Satu minggu--waktu yang disepakati kedua belah pihak setelah pertemuan dua hari yang lalu. Meski perdebatan sedikit menghiasi karena Bara merasa tidak terima jika harus menikah dalam jangka waktu yang katanya lama. Akhirnya pria itu mau menerima setelah diberi pengertian. "Indah, beneran kamu bakal nikah sama Pak Bara?" Indah yang sedang berjalan di koridor kantor pun harus mendapatkan pertanyaan dari temannya--Rosi yang langsung menariknya untuk bicara berdua. Memang setelah Indah menjadi sekretaris Bara--Ia menjadi tidak memiliki banyak waktu bersama Rosi. Hal itu karena Bara yang selalu menempel kepada Indah. Beruntungnya kali ini Rosi memiliki kesempatan karena Indah tanpa sengaja melihat Indah berjalan seorang diri. "Iya," jawab Indah apa adanya. Rasanya tidak ada lagi yang perlu Indah sembunyikan tentang hubungannya dengan Bara. Bagaimanapun Bara terlalu terang-terangan. Lagi pula pernikahan sudah berada di depan mata. "What? Jadi bener ya gosip tentang kamu yang mau nikah?
"Indah, kenapa kamu diam aja?" tanya Bara ketika mereka baru saja selesai rapat. Bara terus menganggu Indah yang kini sedang sibuk mengerjakan pekerjaannya. "Indah, ayolah. Kenapa kamu jadi pendiam setelah tadi siang?" Indah menghela napas lalu menyimpan pensil yang ia pegang. Kepalanya mendongak--menatap Bara yang ada di atasnya. "Saya kesal karena Bapak pake mata-matai saya." "Ya gimana ... habisnya kamu enggak ada kabar. Bilangnya sebentar ternyata lama, aku enggak punya pilihan." Jawaban Bara yang sama sekali tidak merasa bersalah membuat Indah mendesah. Rasanya percuma saja jika dirinya terus membahas. Sementara Bara sendiri malah biasa saja. Akhirnya Indah memilih tidak memperpanjang. "Bapak tidak akan ke ruangan? Sebentar lagi masuk jam pulang. Apa Bapak berniat lembur?" Dengan cepat Bara menggeleng. "Tentu saja enggak! Kamu lupa kalau kita akan menikah? Jadi aku harus simpan stamina buat lembur sama kamu." Wajah Indah langsung berubah merah karena Bara mengatakan yang
"Indah, kamu cantik sekali." Mega menatap kagum putrinya yang kini dalam balutan kabaya putih. Indah tersenyum mendengar pujian dari ibunya. "Terima kasih, Bun." "Bunda enggak nyangka, sebentar lagi kamu akan menikah dengan Bara. Kamu bukan lagi tanggung jawab Bunda sama Ayah, Indah." Tanpa mengatakan apa pun, Indah langsung berhambur memeluk Mega. Rasa haru bercampur sedih Indah rasakan sekarang. Ia ingin menangis, tetapi sudah diwanti-wanti oleh tukang rias untuk tidak melakukannya. Mega segera membalas pelukan Indah. Wanita paruh baya itu mengusap punggung ringkih anaknya dengan lembut. Untuk beberapa saat mereka saling berpelukan, sampai akhirnya seseorang meminta Indah untuk segera ke tempat ijab kabul. "Ayo, Indah, ijab kobul sebentar lagi di mulai." "Iya, Bun." Kedua wanita beda usia itu keluar dari kamar hotel lalu melangkah menuju balroom yang sudah disulap menjadi tempat ijab kobul yang sakral. Begitu tiba Indah langsung disuruh duduk di samping Bara yang sejak tadi s
Bara menuntun Indah yang berjalan sedikit kaku. "Aku gendong ya?" "Tidak perlu, Pak. Saya bisa sendiri," tolak Indah membuat Bara mendengus."Tadi udah sepakat buat panggil aku dengan sebutan 'Mas', terus kenapa sekarang balik lagi jadi Bapak?" Bara protes--merasa tidak suka dengan Indah yang terus mengulangi kesalahan yang sama dalam memanggil namanya. Indah menyengir kuda---merasa bersalah. "Lupa terus, Mas.""Masih muda udah pelupa!" cetus Bara sambil terus menuntun Indah. Tiba di kamar pengantin, Bara langsung meminta Indah untuk duduk di sofa. Tidak ada penolakan dari Indah--karena memang ia sudah merasa pegal sejak tadi menyambut tamu yang begitu banyak. Indah terkesiap ketika tiba-tiba Bara berjongkong di hadapannya. "Ma-mas mau apa?" tanya Indah tergagap. "Mau buka sepatu kamu." Saat Bara akan menyentuh kaki Indah, dengan cepat Indah menarik kakinya. Sehingga Bara belum sempat menyentuhnya. Jelas tindakan itu membuat Bara langsung mendongak--menatap Indah dengan satu a
"Sini, biar aku bantu." Bara mencoba mengalihkan pembahasan."Enggak mau jawab masalah yang tadi, Mas?"Dengan cepat menggeleng. "Sekarang belum waktunya, mending aku bantu kamu buka kerudungnya." "Iya, Mas." Indah merasa heran, tetapi ia memilih untuk memperpanjang.Perempuan itu berdiri lalu melangkah menuju meja rias. Ia duduk di depan cermin dan mulai membuka peniti yang tersemat di kerudungnya. Bara tidak tinggal diam--ia langsung mengikuti Indah dan melakukan hal yang sama."Kenapa banyak sekali jarum? Kalau sampai jarumnya nyakitin kamu gimana?" Bara protes, tetapi Indah hanya membalas dengan senyuman.Cukup lama hanya untuk membuka kerudung, sampai akhirnya mereka selesai. Bara tertegun ketika melihat surai hitam kelam milik Indah yang tergulung. Sehingga menampilkan leher jenjang Indah. Tanpa sadar Bara menelan ludahnya kasar. "Em ... Mas, mau Mas dulu atau aku dulu yang bersih-bersih?" tanya Indah membuyarkan lamunan mesum Bara. "Ah, katanya perempuan kalau mandi lama. Ja
Indah tidak bisa mengelak ketika Bara daratkan bibirnya tadi. Kini, jarak keduanya sedikit menjauh karena Bara mundur agar bisa melihat wajah Indah yang cantik. Sorot mata Bara sangat sayu--menatap Indah dengan dalam. "Indah, bolehkah aku melakukannya sekarang?" Pertanyaan itu membuat Indah gugup. Sungguh, Indah tidak pernah membayangkan jika Bara akan secepat itu meminta. Indah sebagai istri tentu tidak bisa menolak keinginan suaminya. Sehingga dengan perlahan Indah mengangguk. Membuat mata Bara berbinar saat melihatnya. "Aku janji akan melakukannya dengan hati-hati." Setelah mengatakan itu, Bara mulai melakukan tugasnya. Sementara Indah hanya pasrah menerima. Sesekali Indah membalas perbuatan Bara dengan ragu. *** "Indah!" Pagi-pagi Bara sudah memanggil Indah. Pria itu kaget ketika bangun tidur dan tidak menemukan Indah di sisinya. Segera Bara turun dari ranjang. Hanya dengan menggunakan celana pendek Bara mencari Indah. Pria itu membuka pintu kamar mandi. Namun, tidak menem
"Pagi, Ma, Pa," sapa Bara ketika mereka baru saja tiba di restoran untuk sarapan. "Pagi juga, gimana malam kalian?" tanya Dona sambil mengerlingkan mata kepada Bara dan Indah. Indah menunduk dalam--menyembunyikan wajahnya yang merona. Sementara Bara tersenyum lebar ketika mengingat kejadian semalam. "Menyenangkan, Ma!" Sontak ucapan Bara mengundang Dona dan Roki untuk tertawa. Mereka merasa jika Bara terlalu terang-terangan. Sangat berbeda dengan Indah. "Bara, kamu pasti menikmatinya?" Roki bukannya berhenti, tetapi malah semakin gencar menggoda anaknya. Terang saja, tindakan itu membuat Roki mengaduh karena Dona tiba-tiba mencubit pinggangnya. Roki menoleh ke arah Dona. "Sakit, Ma!" "Habisnya, Papa enggak liat wajah Indah udah merah banget?" Pertanyaan Dona membuat Bara dan Roki melihat ke arah Indah. "Indah, kenapa malu seperti itu? Kita udah bisa bebas melakukannya," ujar Bara. Dona dan Roki menggeleng. "Bara, udah. Lebih baik kamu ajak Indah duduk, dia pasti lapar." Mende
Sudah dua hari Bara dan Indah menikah. Mereka sekarang dalam perjalanan pulang menuju rumah yang sudah diurus oleh Zulfi. Iya, dengan cepat Zulfi mengurus rumah yang akan Bara dan Indah tempati. Tiba di rumah, Bara dan Indah disambut oleh Zulfi yang sudah menunggu sejak tadi. "Selamat siang, Tuan, Nona," sapa Zulfi. "Siang juga, Zulfi. Apa kamu sudah menyiapkan semuanya?" tanya Bara langsung pada intinya. "Sudah, Tuan. Anda tidak perlu mengkhawatirkan apa pun, karena semua sudah diurus. Termasuk data kepindahan Anda dan Nona, hanya saja untuk suratnya tidak bisa selesai dalam satu hari." "Enggak masalah, yang penting semua sudah diurus. Jadi aku dan Indah tidak perlu repot-repot memikirkan hal itu." "Iya, Tuan. Kalau begitu apa Anda ingin saya bimbing untuk melihat-lihat?" "Enggak usah, biar aku dan Indah yang lakukan sendiri. Kamu bisa pergi sekarang," ujar Bara yang langsung diangguki oleh Zulfi. "Baik, Tuan. Kalau begitu saya permisi," ujar Zulfi pamit undur diri.Setelah ke