"Hah? Kak Hana punya uang? Kamu yakin, Mas?"Aji berdecak keras. "Mana aku tahu. Antara yakin dan tidak, karena Hana tidak bekerja selama ini. Tapi, melihat Hana yang begitu tenang menghadapiku yang baru saja di-PHK, tentu ini sangat aneh."Kalila terduduk lemas. Kalau benar begitu? Lantas, bagaimana nasibnya dan Aji? Terlebih, dia sudah mengakui semua kebusukannya."Lalu, kita harus bagaimana, Mas? Kamu gak mau cari kerja? Jangan kalah sama Kak Hana."Sebenarnya, hari ini Aji pamit untuk mencari pekerjaan. Tetapi, sebelumnya dia mampir dulu ke tempat Kalila untuk memastikan sesuatu.Tenyata, wanita itu malah tak tahu apa-apa perihal uang yang dibicarakan oleg Hana. Jadi, bagaimana dia mencari tahu dana itu, sementara tidak ada yang tahu sumbernya?"Aku akan mencari kerja setelah dari sini.""Baguslah. Tapi, Mas. Kamu yakin Kak Hana punya uang sebanyak itu? Bahkan, kamu tidak tahu nominalnya."Kalila kembali mempertanyakan semua itu. Dia dilanda rasa penasaran yang tak terbendung."Iy
Entah sudah berapa kali Hana berusaha untuk menghubungi Aji. Tetapi, sayangnya tidak ada jawaban dari seberang sana.Wanita itu sudah tak karuan rasa, ingin mengusir mertua julidnya. Hanya saja, Hana masih waras. Tidak mungkin melakukan itu secara terang-terangan.Dia memilih agar Aji saja yang melakukan. Entah berapa lama lagi dia akan bertahan dengan sikap Ibu mertuanya. Tetapi, ini sungguh sangat menjengkelkan.Tak menyerah, Hana masih mencoba untuk menghubungi sang suami. Tetapi, hasilnya nihil."Hana!"Sang wanita tersentak mendengar suara Ibu mertuanya yang menggelegar."Hana, sini kamu!"Hana hanya bisa memejamkan mata sembari menghela napas berkali-kali, berusaha untuk sabar menghadapi Bu Minarti.Dengan cepat, wanita itu pun keluar kamar. Mendapati Bu Minarti sedang berdisi sembari berkacak pinggang, di depannya ada Bi Asih yang baru pulang dari pasar."Kenapa, Bu?"Hana melirik pada Bi Asih yang tampak ketakutan dengan Bu Minarti. Tentu saja, perangai wanita paruh baya itu b
Entah sudah berapa lama Bu Minarti bolak-balik di depan ranjang. Tampak gusar, menunggu kedatangan Aji. Hingga, tepat pukul 4 sore, akhirnya Aji datang. Terdengar suara Aji mengucapkan salam.Dengan cepat Bu Minarti datang. Terlihat Hana menghampiri dan membawa tas juga jas yang dikenakan oleh Aji."Bagus kamu datang!" seru wanita paruh baya itu, tiba-tiba saja menghampiri.Aji kaget dengan kehadiran ibunya. Sementara Hana hanya bisa menahan napas, bersiap jika Ibu mertuanya akan berulah lagi."Kenapa Ibu ada di sini?" tanya Aji, refleks.Sebab, sang Ibu sama sekali tak memberi kabar apa-apa. Heran saja. Selama Hana sakit, wanita paruh baya itu bahkan enggan menengok. Tetapi, kenapa sekarang ada di sini?Banyak pertanyaan yang bersarang di benak, tentang kehadiran ibunya."Kenapa memangnya? Ibu tidak boleh ke sini?!" tanya Bu Minarti, sinis.Aji terkekeh sembari menggaruk kepalanya yang tidak gatal."Bukan gitu, Bu. Soalnya Ibu ngabarin kami dulu," jawab Aji, tidak mau sampai ibunya s
“Tapi, Bu. Aku masih mencintai Hana,” ucap Aji, membuat Bu Minarti melotot marah.“Gila kamu! Apa yang kamu harapkan dari wanita seperti itu? Yang ada, menyusahkan saja. Kalau sudah menikah lama, yang dibutuhkan itu bukan cinta, Ji. Tapi, pengabdian. Hana sudah lama tidak mengurusimu. Jadi, sudah. Jangan lagi pakai perasaan, pakai logika kamu!”Hana terdiam mendengar semua perkataa mertuanya. Walaupun ada rasa sakit yang menggerogoti hati, tapi saat Aji mengatakan kalau masih mencintainya seperti ada nurani yang masih hidup di hari Hana untuk suaminya itu.“Sudahlah, Bu. Sebaiknya Ibu istirahat saja. Besok, aku akan antar Ibu pulang.”“Hah?! Kamu mengusir Ibu?"Aji langsung menggelengkan kepala. "Bukan gitu, Bu. Masalahnya, Hana baru sembuh. Ditambah Ibu gak ada temen ngobrol dini. Atau Ibu mau menemani Hana saja?"Hana langsung melotot mendengar penawaran Aji. Yang ada, dia bakalan diomelin habis-habisan oleh Bu Minarti."Cih, mana sudi! Ibu gak mau lah. Dia itu udah buat kamu terlan
Aji menghela napas gusar. Kalau sudah begini, dia tidak bisa berbuat apa-apa kecuali menggunakan sisa uang pesangon yang dipegang.Pria itu tak mengatakan apa-apa, selain pergi dari hadapan Hana dengan wajah kecewa. Apakah dia merasa bersalah? Tidak.Bagi Hana, penderitaan suami dan adiknya lebih utama dibandingkan belas kasihan. Ini membuatnya muak karena harus tetap diam.Namun, dari percakapan Aji dan mertuanya, Hana sudah bisa mulai mengambil keputusan. Bertahan dengan pria pembohong, hanya akan membuatnya sengsara.Jadi, Hana putuskan akan mengakhiri hubungan ini setelah mendapatkan semua harta bersama. Bahkan, Hana tidak akan menyisakan uang sepeserpun untuk pria itu.Dia pun akhirnya memilih diam di kamar bersama Nara. Tidak mau sampai anaknya dipengaruhi oleh sang mertua.Di ruang kerja, Aji uring-uringan. Dia berusaha menelepon Kalila, tetapi tidak cepat diangkat. Sampai panggilan ketiga, akhirnya wanita di seberang sana mau menjawab."Halo?""Kal, kenapa lama sekali angkat
Aji tampak terburu-buru memasuki apartemen Kalila. Penjaga di sana pun kaget, tapi tahu siapa Aji. Sebab, memang Aji yang memberikan apartemen itu. Jadi, membiarkan Aji masuk begitu saja.Selang beberapa waktu, datang Hana dengan terburu-buru. Tetapi, ditahan oleh satpam."Eh, tunggu dulu, Mbak! Mau ke mana?"Hana kaget, dia berdecak keras. Bingung harus menjawab apa sebab panik. Lalu, Rendi yang melihat itu langsung bergegas."Maaf, Pak. Dia kakaknya Kalila, yang tinggal di sini. Kamj harus ke sana, penting!"Hana langsung menganggukkan kepala dengan wajah penuh harap. Satpam itu tidak percaya begitu saja. Sempat ada perdebatan. Hana tidak bisa ditahan di sini, sampai wanita itu pun memperlihatkan foto dirinya dan Kalila, barulah satpam itu percaya.Hana dan Rendi bergegas menaiki lift. Untunglah, satpam tadi memberi tahu nomor kamar Kalila.Selama di lift, Hana tampak gusar. Rendi yang melihat itu pun penasaran, tak biasanya sang nyonya seperti ini."Maaf, Nyonya. Kenapa Nyonya terl
"Hana?"Pria selingkuhan Kalila berwajah pasi, melihat Hana yang sedang menatapnya nanar."Rido! Gila kamu. Kamu selingkuh dengan adikku?!"Hana langsung menyentak, marah dan kesal pada pria ini. Padahal, sebelumnya sang pria begitu terlihat meyakinkan, sangat sayang dan takut pada istrinya. Tetapi, apa ini?Pria yang dulu pernah naksir pada dirinya, kini tengah tidur dengan adiknya sendiri.Rido yang sudah memakai pakaian pun berusaha mendekat pada Hana, lalu Aji langsung menghalangi. Dia menatap tajam dan benci pada mantan bosnya itu."Jangan dekati istri saya!" seru Aji, dengan nada tertahan.Rido langsung mendelik. "Benarkah? Istri yang kamu sakiti, hah?! Kamu juga pria gak bener. Kamu bahkan tidak tahu kalau selingkuhanmu itu juga selingkuh, hah?!"Aji mulai terpancing emosi. Tanpa aba-aba pria itu melayangkan tinjuan di rahang Rido. Dia seolah mendapat kesempatan emas untuk menyalurkan dendam karena sudah dipecat dan di-black list dari semua perusahaan di kota ini.Hana kaget da
Hening. Tak ada yang bersuara. Saat ini, Aji sedang bersama Hana di dalam mobil. Sementara, Rendi pulang sendiri.Bu Minarti yang sedari awal tidak diperbolehkan masuk pun memilih untuk pulang. Walaupun perasaannya kesal, tapi memang tak punya pilihan lain.Hana memandangi jalanan yang mulai diguyur hujan. Mungkin sekarang sudah tengah malam. Sebab jalanan sudah sepi. Mata wanita itu tampak sembab. Terlalu banyak menangis di tempat Kalila.Sesekali Aji menoleh, melihat keadaan Hana. Sekarang, Aji tak bisa menutupinya lagi. Semua sudah terbongkar. Pria itu hanya bisa berharap Hana mau memaafkannya saja.Awalnya, Aji memang ingin menyingkirkan Hana dan hidup bersama Kalila. Tetapi, saat dirinya jatuh, wanita itu langsung berpaling. Sialnya, malah dengan Robi, mantan bosnya.Pikiran buruk pun hinggap. Jangan-jangan, pemecatan dirinya karena Kalila. Atau, video itu memang Kalila yang buat.Secara, Rido lebih mapan dibandingkan Aji. Selama sisa perjalanan itu, sang pria malah memikirkan p
"Baiklah, aku mengerti kalau masalah itu. Tetapi apakah uangmu memang sangat banyak sampai kamu berani mengatakan hal seperti itu?" Pertanyaan Aji membuat Hana terdiam. Harusnya wanita itu tidak boleh mengatakan hal demikian, yang ada Aji pasti akan mengorek semua informasi tentang keuangannya. Lebih menyakitkan lagi kalau sampai Aji juga mengambil apa yang harusnya menjadi milik Hana. "Ya, palingan aku akan menjual beberapa emas yang kamu beli." "Emas?" Wajah Aji terlihat sekali sinis, di sorot matanya membuat Hana yakin kalau pria itu memang tidak akan pernah ikhlas kalau dirinya bahagia. Entah apa yang sudah dilakukannya di masa lalu sampai mendapatkan jodoh seperti Aji. Dia bahkan tidak melihat sisi buruk dari suaminya selama bertahun-tahun menikah dengan sang pria. Namun, setelah semuanya terbongkar wanita itu sadar sudah menikahi seorang penjahat yang sangat menakutkan dan juga harus diwaspadai. "Kalau itu sama saja dengan bohong, berarti kamu tidak punya uang lain, kan?
"Hai, Han. Aku sudah pulang," ucap Aji sembari menenteng tas kerjanya. Hana tersenyum sebaik mungkin. Dia berusaha menyembunyikan apa yang sebenarnya terjadi. Bukti tentang perbuatan Aji pun sudah ada. Hana tinggal memanggil Kakek yang sudah menyelamatkan Kalila untuk menjadi saksi, tetapi tidak boleh semudah itu membuat suaminya langsung masuk penjara. Dia akan memberikan perhitungan terlebih dahulu kepada Aji, agar pria itu mengaku dan bisa dihukum seberat mungkin. "Iya, Mas. Ayo makan dulu!" ajak Hana.Sebenarnya ini membuat Aji bingung dan juga heran, sebab sebelumnya istrinya itu agak cuek kepadanya. Bahkan tidak seperti biasanya saat mereka masih bersama dan Hana terbaring sakit. Wanita ini malah semakin bugar, tidak terlihat tanda-tanda kesakitannya. Mungkin ada yang salah dengan obat yang diberikan oleh Kalila. Dia yakin, obat itu bisa memperparah keadaan Hana, tetapi malah seperti ini. Dia harus mencari tahu dulu ke mana Kalila dan akan membuat perhitungan kepada wanita it
Saat sore tiba, Hana menghampiri Kalila yang terus saja di kamar. Wanita itu ketakutan dan pikirannya kacau. Dia tidak tahu harus melakukan apa, tetapi kalau tidak di rumah kakaknya Kalila harus pergi ke mana? Tidak ada lagi tempat untuk dirinya berkeluh kesah, apalagi meminta perlindungan. Walaupun keluar, pasti banyak orang yang mengetahui tentang keberadaannya. Namanya saja sudah tercoreng. Bahkan pekerjaan sebagai model pun dicabut serta dibatalkan. Ini benar-benar membuatnya malu. Kalau pergi ke kampus, dia rasa tidak ada seorang pun yang mau membantunya. Apalagi keterangan dan kabar tentang dirinya sudah tersebar luas.Hana memanggil-manggil Kalila, wanita itu baru tersadar setelah tiga kali Hana memanggil nama Kalila. Dengan cepat dia membukakan pintu. Kalila tersenyum, dia merasa senang karena kakaknya mau mengunjunginya di kamar. Ingin keluar dari tempat itu, takut jika bertemu Aji. Ini sangat rawan. Untunglah kamarnya dilengkapi dengan kamar mandi, jadi dia tidak perlu kel
Kalila terdiam. Dia menggigit bibir bawahnya dengan mata berkaca-kaca. Untuk saat ini Hana benar-benar tidak bisa memberikan hati lagi kepada adiknya ini. Dia sudah terlanjur sakit dengan apa yang dilakukan oleh Kalila. Walaupun memang dirinya sudah tahu semua, tetapi ternyata tetap saja ada rasa sakit yang menggerogoti. Meskipun mereka satu darah, tetapi pengkhianatan tidak bisa ditoleransi lagi."Kenapa kamu diam saja? Cepat kemasi barangmu! Kamu sudah terbukti salah, serahkan apa yang kamu punya tentang Mas Aji kepadaku. Maka hukumanmu pasti akan berkurang." Mendengar itu Kalila mendongak sembari menggelengkan kepala. "Kak, aku mohon jangan usir aku dari sini. Berikan aku waktu. Kalau aku keluar, bagaimana kalau Mas Aji mengincar nyawaku? Jika aku mati, apakah Kakak mau?"Seketika Hana diam, tetapi tiba-tiba saja wanita itu menyeringai. "Lebih baik kehilangan kamu daripada aku harus melihatmu dalam kesakitan seumur hidupku. Jika melihatmu pasti akan ada bayangan pengkhianatan ka
Hana tak bertanya atau walaupun menimpali ucapan wanita itu, tetapi lebih meneliti bagaimana wajah Kalila saat ini. Mungkin saja wanita itu sedang berbohong kepadanya. Dia benar-benar harus berhati-hati kepada Kalila. Wajahnya saja yang terlihat lugu, tapi ternyata hatinya busuk dan kelakuannya di luar batas. Bahkan dia tidak menyangka kalau Adik yang selama ini disayangi dan juga dilindungi malah menusuknya dari belakang. "Aku benar-benar serius mengatakan itu. Kalau misalkan Kakak tidak percaya, aku bisa memberikan buktinya. Aku sudah mengumpulkan banyak bukti tentang kejahatan Mas Aji kepada Kakak," ujar Kalila. Dia tidak mau sampai diserang oleh Hana atau malah sendirian menghadapi Aji. "Kamu punya bukti-buktinya? Kenapa kamu melakukan itu? Berarti benar kamu mengakui kalau kamu itu sudah jahat kepadaku?" tanya Hana sembari melipat tangan di depan dada. Dia ingin sekali melakukan ini dari dulu, menginterogasi atau bahkan memaki-maki adiknya sendiri. Tak masalah, karena memang
Melihat situasi yang mulai memanas, sang kakek pun langsung buka suara. "Maaf kalau saya memotong pembicaraan kalian. Saya ingin menjelaskan duduk permasalahannya, agar tidak ada salah paham, ya," ucap Kakek itu yang membuat mereka bertiga menoleh. Kebetulan di sana juga sudah ada Rendi. "Maaf, Kakek ini siapa, ya?" tanya Hana, dia tidak bisa mudah percaya begitu saja. Mengingat kalau Kalila itu mungkin licik dan menyewa Kakek ini untuk pura-pura menjadi saksi. Walaupun memang saat ini keadaan Kalila begitu kacau, tapi entah kenapa rasa percaya terhadap adiknya itu sudah hilang begitu saja. Harus punya bukti yang kuat, baru benar-benar bisa paham dengan situasi yang terjadi. "Saya Tono. Saya orang yang tinggal di sekitaran perkebunan itu." Pria tua itu pun menceritakan kronologis saat ia menemukan Kalila di sebuah lubang. Hana hanya terdiam. Dia melihat tidak ada kebohongan di sorot mata Kakek ini. Tampak benar-benar tulus dan juga jujur. "Seperti itu, Nak. Saya datang ke sini h
Saat ini Hana sedang berada di mobil menuju perjalanan pulan. Dia terus saja memikirkan perkataan Sabrina kepadanya. Wanita itu hampir saja tergoda untuk ikut kerjasama dengan Sabrina perihal Kalila, tetapi Hana sadar kalau yang dihadapinya adalah Rido dan orang kaya yang mungkin saja bisa melakukan segala cara dengan uang atau bisa saja dia dimanfaatkan oleh Sabrina demi kepentingan tertentu. Lalu, ujungnya Hana juga yang menjadi tersangka atau kambing hitam mereka. "Aku tidak mau berurusan dengan orang-orang kaya seperti itu. Mereka terlihat baik, padahal di belakangnya busuk. Untuk masalah Kalila, biarlah aku sendiri akan berpikir sesuai dengan rencanaku sebelumnya," gumam Hana saat masih di dalam mobil.Dia benar-benar tidak mau berurusan lagi dengan Rido atau istrinya, berharap semuanya akan segera berakhir dan bisa memulai hidup baru dengan baik. Suara ponsel berdering, di sana tertera nama Rendi. Wanita itu menautkan kedua alisnya. Biasanya Rendi akan menelepon Hana jika mema
“Aku ingin mengajakmu kerja sama.”Hana masih tampak kebingungan, terlihat dari wajahnya serta alis yang saling bertautan.“Untuk?”Sabrina tersenyum, lalu menghela napas panjang. wanita itu begitu santai. Tetapi, wajahnya kali ini tampak serius.“Aku tahu, suamimu selingkuh dengan adikmu.”Lagi-lagi tubuh Hana menegang. Satu pertanyaan muncul di benak, bagaimana wanita itu bisa tahu?Seolah paham dengan mimik wajah Hana, Sabrina kembali melanjutkan ucapannya yang malah membuat Hana tidak bisa berkata-kata.“Aku mengikuti kegiatan dan gerak-gerik Kalila.”Hana menghela napas berat. Adiknya itu memang sangat memalukan. Dia malah merebut seorang suami yang sudah beristri.Namun, sekarang bukan itu point masalahnya. Kenapa Sabrina harus mengajaknya kerja sama? Dia sama sekali tidak butuh patner untuk memberikan adiknya hukuman.“Kamu bisa memakai uangmu untuk membereskan Kalila. Dia memang adikku, tapi perlakuan dan tindakannya bukan tanggung jawabku.”Sabrina takjub dengan keteguhan dan
“Kalau itu saya kurang tahu, Non. Tapi, sedari pagi Tuan memang sudah berangkat.”Kalila masih khawatir. Jadi, dia hanya bisa berharap kalau Aji tidak dulu pulang dan Hana segara kembali.Sementara itu di sebuah kafe, Hana sedang bertemu dengan wanita yang kemarin meneleponnya. Pada akhirnya, sang wanita tidak punya pilihan lain.Rasa penasaran membuatnya mengambil keputusan ini. Apalagi, mungkin ini bisa dijadikan bahan bukti penangkapan Adik dan suaminya.Namun, yang membuat Hana kaget adalah wanita itu dikenal olehnya. Dia adalah Sabrina, istri dari Rido.Wanita cantik dan elegan itu tersenyum simpul pada Hana. Entah kenapa, kesan pertama yang dilihat bukanlah takut atau risi, melainkan merasa terpukau.“Pasti kamu kenal aku, kan?” tanya Sabrina dengan ramah.Hana ikut tersenyum sembari mengangguk. “Iya, aku mengenalmu.”“Sama, aku juga kenal kamu. Termasuk hubunganmu dengan suamiku.”Kali ini Hana mengernyit bingung. “Maksudmu? Maaf, aku tidak punya hubungan apa pun dengan Rido.”