Entah sudah berapa lama Bu Minarti bolak-balik di depan ranjang. Tampak gusar, menunggu kedatangan Aji. Hingga, tepat pukul 4 sore, akhirnya Aji datang. Terdengar suara Aji mengucapkan salam.Dengan cepat Bu Minarti datang. Terlihat Hana menghampiri dan membawa tas juga jas yang dikenakan oleh Aji."Bagus kamu datang!" seru wanita paruh baya itu, tiba-tiba saja menghampiri.Aji kaget dengan kehadiran ibunya. Sementara Hana hanya bisa menahan napas, bersiap jika Ibu mertuanya akan berulah lagi."Kenapa Ibu ada di sini?" tanya Aji, refleks.Sebab, sang Ibu sama sekali tak memberi kabar apa-apa. Heran saja. Selama Hana sakit, wanita paruh baya itu bahkan enggan menengok. Tetapi, kenapa sekarang ada di sini?Banyak pertanyaan yang bersarang di benak, tentang kehadiran ibunya."Kenapa memangnya? Ibu tidak boleh ke sini?!" tanya Bu Minarti, sinis.Aji terkekeh sembari menggaruk kepalanya yang tidak gatal."Bukan gitu, Bu. Soalnya Ibu ngabarin kami dulu," jawab Aji, tidak mau sampai ibunya s
“Tapi, Bu. Aku masih mencintai Hana,” ucap Aji, membuat Bu Minarti melotot marah.“Gila kamu! Apa yang kamu harapkan dari wanita seperti itu? Yang ada, menyusahkan saja. Kalau sudah menikah lama, yang dibutuhkan itu bukan cinta, Ji. Tapi, pengabdian. Hana sudah lama tidak mengurusimu. Jadi, sudah. Jangan lagi pakai perasaan, pakai logika kamu!”Hana terdiam mendengar semua perkataa mertuanya. Walaupun ada rasa sakit yang menggerogoti hati, tapi saat Aji mengatakan kalau masih mencintainya seperti ada nurani yang masih hidup di hari Hana untuk suaminya itu.“Sudahlah, Bu. Sebaiknya Ibu istirahat saja. Besok, aku akan antar Ibu pulang.”“Hah?! Kamu mengusir Ibu?"Aji langsung menggelengkan kepala. "Bukan gitu, Bu. Masalahnya, Hana baru sembuh. Ditambah Ibu gak ada temen ngobrol dini. Atau Ibu mau menemani Hana saja?"Hana langsung melotot mendengar penawaran Aji. Yang ada, dia bakalan diomelin habis-habisan oleh Bu Minarti."Cih, mana sudi! Ibu gak mau lah. Dia itu udah buat kamu terlan
Aji menghela napas gusar. Kalau sudah begini, dia tidak bisa berbuat apa-apa kecuali menggunakan sisa uang pesangon yang dipegang.Pria itu tak mengatakan apa-apa, selain pergi dari hadapan Hana dengan wajah kecewa. Apakah dia merasa bersalah? Tidak.Bagi Hana, penderitaan suami dan adiknya lebih utama dibandingkan belas kasihan. Ini membuatnya muak karena harus tetap diam.Namun, dari percakapan Aji dan mertuanya, Hana sudah bisa mulai mengambil keputusan. Bertahan dengan pria pembohong, hanya akan membuatnya sengsara.Jadi, Hana putuskan akan mengakhiri hubungan ini setelah mendapatkan semua harta bersama. Bahkan, Hana tidak akan menyisakan uang sepeserpun untuk pria itu.Dia pun akhirnya memilih diam di kamar bersama Nara. Tidak mau sampai anaknya dipengaruhi oleh sang mertua.Di ruang kerja, Aji uring-uringan. Dia berusaha menelepon Kalila, tetapi tidak cepat diangkat. Sampai panggilan ketiga, akhirnya wanita di seberang sana mau menjawab."Halo?""Kal, kenapa lama sekali angkat
Aji tampak terburu-buru memasuki apartemen Kalila. Penjaga di sana pun kaget, tapi tahu siapa Aji. Sebab, memang Aji yang memberikan apartemen itu. Jadi, membiarkan Aji masuk begitu saja.Selang beberapa waktu, datang Hana dengan terburu-buru. Tetapi, ditahan oleh satpam."Eh, tunggu dulu, Mbak! Mau ke mana?"Hana kaget, dia berdecak keras. Bingung harus menjawab apa sebab panik. Lalu, Rendi yang melihat itu langsung bergegas."Maaf, Pak. Dia kakaknya Kalila, yang tinggal di sini. Kamj harus ke sana, penting!"Hana langsung menganggukkan kepala dengan wajah penuh harap. Satpam itu tidak percaya begitu saja. Sempat ada perdebatan. Hana tidak bisa ditahan di sini, sampai wanita itu pun memperlihatkan foto dirinya dan Kalila, barulah satpam itu percaya.Hana dan Rendi bergegas menaiki lift. Untunglah, satpam tadi memberi tahu nomor kamar Kalila.Selama di lift, Hana tampak gusar. Rendi yang melihat itu pun penasaran, tak biasanya sang nyonya seperti ini."Maaf, Nyonya. Kenapa Nyonya terl
"Hana?"Pria selingkuhan Kalila berwajah pasi, melihat Hana yang sedang menatapnya nanar."Rido! Gila kamu. Kamu selingkuh dengan adikku?!"Hana langsung menyentak, marah dan kesal pada pria ini. Padahal, sebelumnya sang pria begitu terlihat meyakinkan, sangat sayang dan takut pada istrinya. Tetapi, apa ini?Pria yang dulu pernah naksir pada dirinya, kini tengah tidur dengan adiknya sendiri.Rido yang sudah memakai pakaian pun berusaha mendekat pada Hana, lalu Aji langsung menghalangi. Dia menatap tajam dan benci pada mantan bosnya itu."Jangan dekati istri saya!" seru Aji, dengan nada tertahan.Rido langsung mendelik. "Benarkah? Istri yang kamu sakiti, hah?! Kamu juga pria gak bener. Kamu bahkan tidak tahu kalau selingkuhanmu itu juga selingkuh, hah?!"Aji mulai terpancing emosi. Tanpa aba-aba pria itu melayangkan tinjuan di rahang Rido. Dia seolah mendapat kesempatan emas untuk menyalurkan dendam karena sudah dipecat dan di-black list dari semua perusahaan di kota ini.Hana kaget da
Hening. Tak ada yang bersuara. Saat ini, Aji sedang bersama Hana di dalam mobil. Sementara, Rendi pulang sendiri.Bu Minarti yang sedari awal tidak diperbolehkan masuk pun memilih untuk pulang. Walaupun perasaannya kesal, tapi memang tak punya pilihan lain.Hana memandangi jalanan yang mulai diguyur hujan. Mungkin sekarang sudah tengah malam. Sebab jalanan sudah sepi. Mata wanita itu tampak sembab. Terlalu banyak menangis di tempat Kalila.Sesekali Aji menoleh, melihat keadaan Hana. Sekarang, Aji tak bisa menutupinya lagi. Semua sudah terbongkar. Pria itu hanya bisa berharap Hana mau memaafkannya saja.Awalnya, Aji memang ingin menyingkirkan Hana dan hidup bersama Kalila. Tetapi, saat dirinya jatuh, wanita itu langsung berpaling. Sialnya, malah dengan Robi, mantan bosnya.Pikiran buruk pun hinggap. Jangan-jangan, pemecatan dirinya karena Kalila. Atau, video itu memang Kalila yang buat.Secara, Rido lebih mapan dibandingkan Aji. Selama sisa perjalanan itu, sang pria malah memikirkan p
"Han? Kamu ngusir ibuku?!" tanya Aji, dengan raut wajah tak percaya.Hana menahan napas. Dia terpaksa melakukan ini, karena ulah Bu Minarti sendiri. Tak ada yang mau memperlakukan mertua dengan buruk, kalau bukan mertuanya yang cari masalah.Bu Minarti emosi, tampak bahunya naik turun. "Lihat, Ji! Istrimu keterlaluan, dia ngusir ibumu! Orang yang sudah melahirkan dan membesarkanmu!"Wanita paruh baya itu mulai bermain kata, tentu untuk menghasut anaknya agar membenci istri sendiri.Aji sempat menoleh pada Bu Minarti yang tengah marah, lalu kembali menoleh pada Hana."Han, kenapa kamu seperti ini? Dia itu ibuku, ibumu juga."Hana tersenyum miring, menatap anak dan Ibu bergantian. "Ibuku? Tidak, Mas. Dia ibumu. Mertuaku. Ya, mertua yang sangat jahat pada menantunya."Mendengar itu, Bu Minarti tidak terima. Sang wanita paruh baya berjalan cepat, tanpa aba-aba melayangkan tamparan pada Hana.Suaranya begitu nyaring. Rendi yang ada di sana pun kaget. Tentu Aji terkesiap melihat aksi ibunya
Pagi sekali, Hana sudah bersiap. Setelah semalaman berpikir, sampai tak tidur akhirnya wanita itu memutuskan untuk mengakhiri hubungan ini. Tentu saja dia harus mengalihkan semua aset milik bersama atas namanya.Dia tidak mau rugi. Anggap saja ini sebagai hukuman karena sudah membuat Hana sengsara. Bahkan, itu saja tidak cukup.Dia punya banyak bukti untuk menyeret sang pria maupun adiknya ke balik jeruji. Tetapi, bukti itu akan dikeluarkan di waktu yang tepat.Aji terbangun dalam keadaan kaget, sebab dia tak melihat sang istri di samping. Biasanya, kalau Aji tidak bangun, Hana akan menjadi alarm untuk sang pria.Namun, semua langsung berubah sejak kejadian semalam. Sang pria melihat Hana sedang ada di meja rias, sudah rapi."Loh, Han. Kamu kenapa tidak bangunkan aku?" tanya Aji, sambil duduk di pertengahan kasur.Hana sama sekali tidak menoleh, menjawab dengan ketus. "Kamu kan gak kerja, ngapain aku bangunin."Aji terperanjat mendengarnya. Kekagetan amat kentara dari wajah sang pria.
Hana tak bertanya atau walaupun menimpali ucapan wanita itu, tetapi lebih meneliti bagaimana wajah Kalila saat ini. Mungkin saja wanita itu sedang berbohong kepadanya. Dia benar-benar harus berhati-hati kepada Kalila. Wajahnya saja yang terlihat lugu, tapi ternyata hatinya busuk dan kelakuannya di luar batas. Bahkan dia tidak menyangka kalau Adik yang selama ini disayangi dan juga dilindungi malah menusuknya dari belakang. "Aku benar-benar serius mengatakan itu. Kalau misalkan Kakak tidak percaya, aku bisa memberikan buktinya. Aku sudah mengumpulkan banyak bukti tentang kejahatan Mas Aji kepada Kakak," ujar Kalila. Dia tidak mau sampai diserang oleh Hana atau malah sendirian menghadapi Aji. "Kamu punya bukti-buktinya? Kenapa kamu melakukan itu? Berarti benar kamu mengakui kalau kamu itu sudah jahat kepadaku?" tanya Hana sembari melipat tangan di depan dada. Dia ingin sekali melakukan ini dari dulu, menginterogasi atau bahkan memaki-maki adiknya sendiri. Tak masalah, karena memang
Melihat situasi yang mulai memanas, sang kakek pun langsung buka suara. "Maaf kalau saya memotong pembicaraan kalian. Saya ingin menjelaskan duduk permasalahannya, agar tidak ada salah paham, ya," ucap Kakek itu yang membuat mereka bertiga menoleh. Kebetulan di sana juga sudah ada Rendi. "Maaf, Kakek ini siapa, ya?" tanya Hana, dia tidak bisa mudah percaya begitu saja. Mengingat kalau Kalila itu mungkin licik dan menyewa Kakek ini untuk pura-pura menjadi saksi. Walaupun memang saat ini keadaan Kalila begitu kacau, tapi entah kenapa rasa percaya terhadap adiknya itu sudah hilang begitu saja. Harus punya bukti yang kuat, baru benar-benar bisa paham dengan situasi yang terjadi. "Saya Tono. Saya orang yang tinggal di sekitaran perkebunan itu." Pria tua itu pun menceritakan kronologis saat ia menemukan Kalila di sebuah lubang. Hana hanya terdiam. Dia melihat tidak ada kebohongan di sorot mata Kakek ini. Tampak benar-benar tulus dan juga jujur. "Seperti itu, Nak. Saya datang ke sini h
Saat ini Hana sedang berada di mobil menuju perjalanan pulan. Dia terus saja memikirkan perkataan Sabrina kepadanya. Wanita itu hampir saja tergoda untuk ikut kerjasama dengan Sabrina perihal Kalila, tetapi Hana sadar kalau yang dihadapinya adalah Rido dan orang kaya yang mungkin saja bisa melakukan segala cara dengan uang atau bisa saja dia dimanfaatkan oleh Sabrina demi kepentingan tertentu. Lalu, ujungnya Hana juga yang menjadi tersangka atau kambing hitam mereka. "Aku tidak mau berurusan dengan orang-orang kaya seperti itu. Mereka terlihat baik, padahal di belakangnya busuk. Untuk masalah Kalila, biarlah aku sendiri akan berpikir sesuai dengan rencanaku sebelumnya," gumam Hana saat masih di dalam mobil.Dia benar-benar tidak mau berurusan lagi dengan Rido atau istrinya, berharap semuanya akan segera berakhir dan bisa memulai hidup baru dengan baik. Suara ponsel berdering, di sana tertera nama Rendi. Wanita itu menautkan kedua alisnya. Biasanya Rendi akan menelepon Hana jika mema
“Aku ingin mengajakmu kerja sama.”Hana masih tampak kebingungan, terlihat dari wajahnya serta alis yang saling bertautan.“Untuk?”Sabrina tersenyum, lalu menghela napas panjang. wanita itu begitu santai. Tetapi, wajahnya kali ini tampak serius.“Aku tahu, suamimu selingkuh dengan adikmu.”Lagi-lagi tubuh Hana menegang. Satu pertanyaan muncul di benak, bagaimana wanita itu bisa tahu?Seolah paham dengan mimik wajah Hana, Sabrina kembali melanjutkan ucapannya yang malah membuat Hana tidak bisa berkata-kata.“Aku mengikuti kegiatan dan gerak-gerik Kalila.”Hana menghela napas berat. Adiknya itu memang sangat memalukan. Dia malah merebut seorang suami yang sudah beristri.Namun, sekarang bukan itu point masalahnya. Kenapa Sabrina harus mengajaknya kerja sama? Dia sama sekali tidak butuh patner untuk memberikan adiknya hukuman.“Kamu bisa memakai uangmu untuk membereskan Kalila. Dia memang adikku, tapi perlakuan dan tindakannya bukan tanggung jawabku.”Sabrina takjub dengan keteguhan dan
“Kalau itu saya kurang tahu, Non. Tapi, sedari pagi Tuan memang sudah berangkat.”Kalila masih khawatir. Jadi, dia hanya bisa berharap kalau Aji tidak dulu pulang dan Hana segara kembali.Sementara itu di sebuah kafe, Hana sedang bertemu dengan wanita yang kemarin meneleponnya. Pada akhirnya, sang wanita tidak punya pilihan lain.Rasa penasaran membuatnya mengambil keputusan ini. Apalagi, mungkin ini bisa dijadikan bahan bukti penangkapan Adik dan suaminya.Namun, yang membuat Hana kaget adalah wanita itu dikenal olehnya. Dia adalah Sabrina, istri dari Rido.Wanita cantik dan elegan itu tersenyum simpul pada Hana. Entah kenapa, kesan pertama yang dilihat bukanlah takut atau risi, melainkan merasa terpukau.“Pasti kamu kenal aku, kan?” tanya Sabrina dengan ramah.Hana ikut tersenyum sembari mengangguk. “Iya, aku mengenalmu.”“Sama, aku juga kenal kamu. Termasuk hubunganmu dengan suamiku.”Kali ini Hana mengernyit bingung. “Maksudmu? Maaf, aku tidak punya hubungan apa pun dengan Rido.”
“Tas?”Rendi bergegas melihat isi tas itu, tentu saja menggunakan sarung tangan. Ini akan jadi bukti untuk diperlihatkan pada Hana. Isinya masih aman, kecuali HP. Sudah dipastikan kalau Aji menculik Kalila.Pria itu mencoba mencari apalagi yang bisa dijadikan bukti, sampai Rendi melihat ada jaket milik Aji yang tertinggal di sana. Rendi pun langsung mengambilnya. Ini akan semakin memperkuat kesalahan Aji.Setelah itu sang pria pun langsung pergi dari sana. Dia akan mencari jejak Kalila sepanjang pulang dari sini. Mungkin saja wanita itu masih ada di sekitaran sini.Sementara itu, tepat pukul 9 Kalila bisa menaiki mobil sayur. Dia diantar oleh kakek itu untuk ke kantor polisi.Selama perjalanan, Kalila terus berdoa, semoga dia tidak bertemu dengan Aji. Kalau tidak, bukan hanya dirinya yang ada dalam masalah, tapi sang Kakek juga.Kalila menutupi kepalanya dengan kain jarik yang diberikan Nenek. Ini digunakan agar Kalila aman dan tidak ada yang mengenali.Hingga satu jam kemudian, akhir
“Ini, Nak. Minumlah.”Kakek tua itu menyerahkan teh hangat pada Kalila yang sedang duduk di dipan sebuah rumah sederhana berdinding anyaman bambu.Dengan tangan gemetar, wanita itu menerimanya dan langsung meminumnya.“Pelan-pelan, Nak. Itu masih panas.”Kalila tahu, teh itu masih agak panas. Tetapi, semalaman dia tidak makan maupun minum. Entah bagaimana kalau dirinya sampai tak tertolong, mungkin kejahatan Aji tidak akan pernah bisa terbongkar.“Kamu sudah tenang?”Tanya seorang nenek yang keluar dari arah dapur. Sepasang sepuh itu tinggal dengan cucunya. Mereka ada di ujung perkambungan, dan hanya rumah ini yang ada di sepanjang jalan setapak. Terbilang hidup sangat sederhana.Nenek itu duduk di pinggir dipan dan mengusap pundak Kalila dengan pelan.“Ya Allah, Nak. Badanmu sampai gemetar seperti ini. Dia pasti sangat ketakutan,” ucap Nenek itu pada sang Kakek.Pria sepuh mengangguk setuju. “Iya, Bu. Kalau saja kita tidak menemukannya, dia pasti sudah tertangkap lagi oleh penculik i
Kalila menangis dengan suara parau. Dia benar-benar mulai putus asa. Kalau tidak ada yang menolongnya, maka kemungkinan besar dirinya akan ketangkap oleh Aji.Dia menggelengkan kepala. Membayangkannya saja sudah membuat dirinya merasa takut.Ternyata Aji punya sisi jahat yang mengerikan. Mungkin saja, Kalila akan habis di tangan pria itu kalau tidak kabur. Tetapi, masalahnya dia tidak tahu cara keluar dari sini.Wanita itu menangis sembari berusaha berpikir, bagaimana caranya agar bisa keluar dari sini. Tak ada jalan selain terus menyerukan permintaan tolong dan berdoa pada Tuhan.“Ya Tuhan, aku benar-benar menyesal. Tidak mau berurusan dengan Mas Aji lagi. Kalau aku keluar dari sini, aku akan membuka kebusukan pria itu. Aku janji.”Kalila menangis sesenggukan, sampai tiba-tiba ....“Ternyata orang!” seru seorang anak remaja dengan pakaian kaos dan celana panjang. Ada topi bambu yang menempel di kepalanya.Kalila langsung mendongak dan menghapus jejak air mata. Wanita itu merasa senan
“Siapa kamu sebenarnya?”Hana masih mencari tahu tentang identitas wanita di seberang sana. Tetapi, lagi-lagi sang wanita tak mengatakan apa pun.“Kamu akan tahu siapa aku setelah nanti kita bertemu.”Hana diam sejenak, memikirkan apa yang harus dia lakukan.“Kalau kamu mau tahu tentang adikmu dan suamimu, datanglah besok jam 8. Aku akan mengirimkan alamatnya.”Setelah itu panggilan pun terputus. Lalu, sebuah pesan masuk. Isinya alamat dari si penelepon tadi.Entah apa yang akan Hana perbuat besok. Yang pasti dia harus hati-hati dengan kemungkinan terburuk.***Suara pintu utama terbuka membuat Hana terkesiap. Sang wanita langsung mencari tahu siapa yang datang, ternyata itu adalah suaminya.Aji terlihat pucat dan juga terengah-engah. Hana mengernyit, bingung. Sebab tak biasanya Aji seperti ini.Pantas saja sedari tadi dia tak melihat keberadaan sang pria.“Kamu dari mana, Mas? Lalu, kenapa seperti habis dikejar orang?”Aji berusaha menenangkan diri. Yang sebenarnya, saat pulang tadi