Kali ini, Aji sedang dalam perjalanan untuk bertemu Kalila. Sebelumnya, Hana sudah menyuruh Rendi untuk mengikuti sang pria. Tentu saja menggunakan taksi, agar tidak dicurigai oleh Aji.Selama perjalanan, Aji sudah uring-uringan. Takut jika Kalila malah meninggalkannya. Kalau sampai itu terjadi, sang pria akan menagih semua uang dan barang-barang branded yang sudah diberikannya selama ini.Tak lama kemudian, Aji pun sampai di sebuah restoran. Ya, tempat yang sering digunakan Aji untuk bertemu Kalila, dan itu lumayan jauh dari tempat tinggalnya.Semua dilakukan agar Hana tidak tahu tentang hubungan gelap mereka. Walaupun saat itu Hana masih sakit, tapi ini hanya antisipasi saja.Ternyata, Kalila sudah menunggu dari tadi. Sang wanita bahkan melambaikan tangan kala Aji datang. Dia pikir, Aji akan memberikan sesuatu pada Kalila, seperti biasanya kalau mereka sedang keluar seperti ini.Hanya saja, tampaknya kali ini Kalila harus kecewa. Sebab, Aji tak membawa buah tangan apa pun. Wanita it
Aji masuk ke rumah dengan langkah gontai. Dia bingung, marah dan kecewa dengan keputusan Rido padanya. Namun, apa mau dikata? Semua sudah terjadi.Saat dia pulang, Aji mendapati Hana juga baru turun dari mobilnya. Pria itu mengernyit bingung, heran melihat istrinya keluar rumah di jam sekarang yang biasanya Aji sedang bekerja.Pria itu pun langsung menghampiri Hana. "Kamu habis dari mana, Han? Kenapa pergi tidak pakai sopir?"Hana kaget dengan kedatangan suaminya. Sungguh di luar dugaan. Tetapi, wanita itu berusaha bersikap normal, tidak boleh menunjukan kecurigaan. Tentu saja Hana baru menemui Bara untuk cek up. Namun, tentu saja Hana tidak akan mengatakannya."Mas, kamu bikin kaget saja. Aku tadi keluar sebentar, keliling saja."Aji tidak begitu saja percaya. Sebab, sudah berbulan-bulan lamanya Hana tak pernah keluar jauh, bahkan sampai menyetir sendiri."Benarkah? Sejak kapan kamu bisa keliling sendiri?"Pertanyaan Aji malah membuat Hana kesal sekaligus berdebar. Takut, jika suamin
Malam telah tiba, saat ini Aji, Hana dan Nara sedang makan malam bersama. Hening, tak ada yang bersuara. Sepertinya, Hana juga masih kesal karena Aji tidak bisa memberikan mobilnya.Namun, bagaimana lagi? Kalau mobil itu dimiliki oleh Hana, maka dia tidak bisa leluasa mendatangi Kalila.Di sisi lain, Hana sengaja mendiamkan Aji. Ingin tahu sejauh mana Aji masih berusaha mengutamakan dirinya.Tampak Nara celingungan. Sampai gadis kecil itu mengajukan pertanyaan pada sang Ibu."Bu, Tante Kalila ke mana?"Aji tiba-tiba tersedak. Sementara, Hana hanya bisa diam. Sempat melirik pada sang suami, tapi tak terlalu menggubrisnya. Bahkan, Hana tidak sudi hanya sekedar memberi minum pada Aji."Coba tanya sama Ayah."Aji melotot dan menoleh pada istrinya. "Han? Apa-apaan kamu?!"Hana tampak cuek. Sementara Nara menatap ayahnya dengan dalam. Seolah meminta jawaban pasti dari Aji."Em, Tante Kalila sekarang enggak ada di sini. Dia pindah, biar lebih dekat dengan sekolahnya."Nara mengerjapkan mata
"Hah? Kak Hana punya uang? Kamu yakin, Mas?"Aji berdecak keras. "Mana aku tahu. Antara yakin dan tidak, karena Hana tidak bekerja selama ini. Tapi, melihat Hana yang begitu tenang menghadapiku yang baru saja di-PHK, tentu ini sangat aneh."Kalila terduduk lemas. Kalau benar begitu? Lantas, bagaimana nasibnya dan Aji? Terlebih, dia sudah mengakui semua kebusukannya."Lalu, kita harus bagaimana, Mas? Kamu gak mau cari kerja? Jangan kalah sama Kak Hana."Sebenarnya, hari ini Aji pamit untuk mencari pekerjaan. Tetapi, sebelumnya dia mampir dulu ke tempat Kalila untuk memastikan sesuatu.Tenyata, wanita itu malah tak tahu apa-apa perihal uang yang dibicarakan oleg Hana. Jadi, bagaimana dia mencari tahu dana itu, sementara tidak ada yang tahu sumbernya?"Aku akan mencari kerja setelah dari sini.""Baguslah. Tapi, Mas. Kamu yakin Kak Hana punya uang sebanyak itu? Bahkan, kamu tidak tahu nominalnya."Kalila kembali mempertanyakan semua itu. Dia dilanda rasa penasaran yang tak terbendung."Iy
Entah sudah berapa kali Hana berusaha untuk menghubungi Aji. Tetapi, sayangnya tidak ada jawaban dari seberang sana.Wanita itu sudah tak karuan rasa, ingin mengusir mertua julidnya. Hanya saja, Hana masih waras. Tidak mungkin melakukan itu secara terang-terangan.Dia memilih agar Aji saja yang melakukan. Entah berapa lama lagi dia akan bertahan dengan sikap Ibu mertuanya. Tetapi, ini sungguh sangat menjengkelkan.Tak menyerah, Hana masih mencoba untuk menghubungi sang suami. Tetapi, hasilnya nihil."Hana!"Sang wanita tersentak mendengar suara Ibu mertuanya yang menggelegar."Hana, sini kamu!"Hana hanya bisa memejamkan mata sembari menghela napas berkali-kali, berusaha untuk sabar menghadapi Bu Minarti.Dengan cepat, wanita itu pun keluar kamar. Mendapati Bu Minarti sedang berdisi sembari berkacak pinggang, di depannya ada Bi Asih yang baru pulang dari pasar."Kenapa, Bu?"Hana melirik pada Bi Asih yang tampak ketakutan dengan Bu Minarti. Tentu saja, perangai wanita paruh baya itu b
Entah sudah berapa lama Bu Minarti bolak-balik di depan ranjang. Tampak gusar, menunggu kedatangan Aji. Hingga, tepat pukul 4 sore, akhirnya Aji datang. Terdengar suara Aji mengucapkan salam.Dengan cepat Bu Minarti datang. Terlihat Hana menghampiri dan membawa tas juga jas yang dikenakan oleh Aji."Bagus kamu datang!" seru wanita paruh baya itu, tiba-tiba saja menghampiri.Aji kaget dengan kehadiran ibunya. Sementara Hana hanya bisa menahan napas, bersiap jika Ibu mertuanya akan berulah lagi."Kenapa Ibu ada di sini?" tanya Aji, refleks.Sebab, sang Ibu sama sekali tak memberi kabar apa-apa. Heran saja. Selama Hana sakit, wanita paruh baya itu bahkan enggan menengok. Tetapi, kenapa sekarang ada di sini?Banyak pertanyaan yang bersarang di benak, tentang kehadiran ibunya."Kenapa memangnya? Ibu tidak boleh ke sini?!" tanya Bu Minarti, sinis.Aji terkekeh sembari menggaruk kepalanya yang tidak gatal."Bukan gitu, Bu. Soalnya Ibu ngabarin kami dulu," jawab Aji, tidak mau sampai ibunya s
“Tapi, Bu. Aku masih mencintai Hana,” ucap Aji, membuat Bu Minarti melotot marah.“Gila kamu! Apa yang kamu harapkan dari wanita seperti itu? Yang ada, menyusahkan saja. Kalau sudah menikah lama, yang dibutuhkan itu bukan cinta, Ji. Tapi, pengabdian. Hana sudah lama tidak mengurusimu. Jadi, sudah. Jangan lagi pakai perasaan, pakai logika kamu!”Hana terdiam mendengar semua perkataa mertuanya. Walaupun ada rasa sakit yang menggerogoti hati, tapi saat Aji mengatakan kalau masih mencintainya seperti ada nurani yang masih hidup di hari Hana untuk suaminya itu.“Sudahlah, Bu. Sebaiknya Ibu istirahat saja. Besok, aku akan antar Ibu pulang.”“Hah?! Kamu mengusir Ibu?"Aji langsung menggelengkan kepala. "Bukan gitu, Bu. Masalahnya, Hana baru sembuh. Ditambah Ibu gak ada temen ngobrol dini. Atau Ibu mau menemani Hana saja?"Hana langsung melotot mendengar penawaran Aji. Yang ada, dia bakalan diomelin habis-habisan oleh Bu Minarti."Cih, mana sudi! Ibu gak mau lah. Dia itu udah buat kamu terlan
Aji menghela napas gusar. Kalau sudah begini, dia tidak bisa berbuat apa-apa kecuali menggunakan sisa uang pesangon yang dipegang.Pria itu tak mengatakan apa-apa, selain pergi dari hadapan Hana dengan wajah kecewa. Apakah dia merasa bersalah? Tidak.Bagi Hana, penderitaan suami dan adiknya lebih utama dibandingkan belas kasihan. Ini membuatnya muak karena harus tetap diam.Namun, dari percakapan Aji dan mertuanya, Hana sudah bisa mulai mengambil keputusan. Bertahan dengan pria pembohong, hanya akan membuatnya sengsara.Jadi, Hana putuskan akan mengakhiri hubungan ini setelah mendapatkan semua harta bersama. Bahkan, Hana tidak akan menyisakan uang sepeserpun untuk pria itu.Dia pun akhirnya memilih diam di kamar bersama Nara. Tidak mau sampai anaknya dipengaruhi oleh sang mertua.Di ruang kerja, Aji uring-uringan. Dia berusaha menelepon Kalila, tetapi tidak cepat diangkat. Sampai panggilan ketiga, akhirnya wanita di seberang sana mau menjawab."Halo?""Kal, kenapa lama sekali angkat
Hana tak bertanya atau walaupun menimpali ucapan wanita itu, tetapi lebih meneliti bagaimana wajah Kalila saat ini. Mungkin saja wanita itu sedang berbohong kepadanya. Dia benar-benar harus berhati-hati kepada Kalila. Wajahnya saja yang terlihat lugu, tapi ternyata hatinya busuk dan kelakuannya di luar batas. Bahkan dia tidak menyangka kalau Adik yang selama ini disayangi dan juga dilindungi malah menusuknya dari belakang. "Aku benar-benar serius mengatakan itu. Kalau misalkan Kakak tidak percaya, aku bisa memberikan buktinya. Aku sudah mengumpulkan banyak bukti tentang kejahatan Mas Aji kepada Kakak," ujar Kalila. Dia tidak mau sampai diserang oleh Hana atau malah sendirian menghadapi Aji. "Kamu punya bukti-buktinya? Kenapa kamu melakukan itu? Berarti benar kamu mengakui kalau kamu itu sudah jahat kepadaku?" tanya Hana sembari melipat tangan di depan dada. Dia ingin sekali melakukan ini dari dulu, menginterogasi atau bahkan memaki-maki adiknya sendiri. Tak masalah, karena memang
Melihat situasi yang mulai memanas, sang kakek pun langsung buka suara. "Maaf kalau saya memotong pembicaraan kalian. Saya ingin menjelaskan duduk permasalahannya, agar tidak ada salah paham, ya," ucap Kakek itu yang membuat mereka bertiga menoleh. Kebetulan di sana juga sudah ada Rendi. "Maaf, Kakek ini siapa, ya?" tanya Hana, dia tidak bisa mudah percaya begitu saja. Mengingat kalau Kalila itu mungkin licik dan menyewa Kakek ini untuk pura-pura menjadi saksi. Walaupun memang saat ini keadaan Kalila begitu kacau, tapi entah kenapa rasa percaya terhadap adiknya itu sudah hilang begitu saja. Harus punya bukti yang kuat, baru benar-benar bisa paham dengan situasi yang terjadi. "Saya Tono. Saya orang yang tinggal di sekitaran perkebunan itu." Pria tua itu pun menceritakan kronologis saat ia menemukan Kalila di sebuah lubang. Hana hanya terdiam. Dia melihat tidak ada kebohongan di sorot mata Kakek ini. Tampak benar-benar tulus dan juga jujur. "Seperti itu, Nak. Saya datang ke sini h
Saat ini Hana sedang berada di mobil menuju perjalanan pulan. Dia terus saja memikirkan perkataan Sabrina kepadanya. Wanita itu hampir saja tergoda untuk ikut kerjasama dengan Sabrina perihal Kalila, tetapi Hana sadar kalau yang dihadapinya adalah Rido dan orang kaya yang mungkin saja bisa melakukan segala cara dengan uang atau bisa saja dia dimanfaatkan oleh Sabrina demi kepentingan tertentu. Lalu, ujungnya Hana juga yang menjadi tersangka atau kambing hitam mereka. "Aku tidak mau berurusan dengan orang-orang kaya seperti itu. Mereka terlihat baik, padahal di belakangnya busuk. Untuk masalah Kalila, biarlah aku sendiri akan berpikir sesuai dengan rencanaku sebelumnya," gumam Hana saat masih di dalam mobil.Dia benar-benar tidak mau berurusan lagi dengan Rido atau istrinya, berharap semuanya akan segera berakhir dan bisa memulai hidup baru dengan baik. Suara ponsel berdering, di sana tertera nama Rendi. Wanita itu menautkan kedua alisnya. Biasanya Rendi akan menelepon Hana jika mema
“Aku ingin mengajakmu kerja sama.”Hana masih tampak kebingungan, terlihat dari wajahnya serta alis yang saling bertautan.“Untuk?”Sabrina tersenyum, lalu menghela napas panjang. wanita itu begitu santai. Tetapi, wajahnya kali ini tampak serius.“Aku tahu, suamimu selingkuh dengan adikmu.”Lagi-lagi tubuh Hana menegang. Satu pertanyaan muncul di benak, bagaimana wanita itu bisa tahu?Seolah paham dengan mimik wajah Hana, Sabrina kembali melanjutkan ucapannya yang malah membuat Hana tidak bisa berkata-kata.“Aku mengikuti kegiatan dan gerak-gerik Kalila.”Hana menghela napas berat. Adiknya itu memang sangat memalukan. Dia malah merebut seorang suami yang sudah beristri.Namun, sekarang bukan itu point masalahnya. Kenapa Sabrina harus mengajaknya kerja sama? Dia sama sekali tidak butuh patner untuk memberikan adiknya hukuman.“Kamu bisa memakai uangmu untuk membereskan Kalila. Dia memang adikku, tapi perlakuan dan tindakannya bukan tanggung jawabku.”Sabrina takjub dengan keteguhan dan
“Kalau itu saya kurang tahu, Non. Tapi, sedari pagi Tuan memang sudah berangkat.”Kalila masih khawatir. Jadi, dia hanya bisa berharap kalau Aji tidak dulu pulang dan Hana segara kembali.Sementara itu di sebuah kafe, Hana sedang bertemu dengan wanita yang kemarin meneleponnya. Pada akhirnya, sang wanita tidak punya pilihan lain.Rasa penasaran membuatnya mengambil keputusan ini. Apalagi, mungkin ini bisa dijadikan bahan bukti penangkapan Adik dan suaminya.Namun, yang membuat Hana kaget adalah wanita itu dikenal olehnya. Dia adalah Sabrina, istri dari Rido.Wanita cantik dan elegan itu tersenyum simpul pada Hana. Entah kenapa, kesan pertama yang dilihat bukanlah takut atau risi, melainkan merasa terpukau.“Pasti kamu kenal aku, kan?” tanya Sabrina dengan ramah.Hana ikut tersenyum sembari mengangguk. “Iya, aku mengenalmu.”“Sama, aku juga kenal kamu. Termasuk hubunganmu dengan suamiku.”Kali ini Hana mengernyit bingung. “Maksudmu? Maaf, aku tidak punya hubungan apa pun dengan Rido.”
“Tas?”Rendi bergegas melihat isi tas itu, tentu saja menggunakan sarung tangan. Ini akan jadi bukti untuk diperlihatkan pada Hana. Isinya masih aman, kecuali HP. Sudah dipastikan kalau Aji menculik Kalila.Pria itu mencoba mencari apalagi yang bisa dijadikan bukti, sampai Rendi melihat ada jaket milik Aji yang tertinggal di sana. Rendi pun langsung mengambilnya. Ini akan semakin memperkuat kesalahan Aji.Setelah itu sang pria pun langsung pergi dari sana. Dia akan mencari jejak Kalila sepanjang pulang dari sini. Mungkin saja wanita itu masih ada di sekitaran sini.Sementara itu, tepat pukul 9 Kalila bisa menaiki mobil sayur. Dia diantar oleh kakek itu untuk ke kantor polisi.Selama perjalanan, Kalila terus berdoa, semoga dia tidak bertemu dengan Aji. Kalau tidak, bukan hanya dirinya yang ada dalam masalah, tapi sang Kakek juga.Kalila menutupi kepalanya dengan kain jarik yang diberikan Nenek. Ini digunakan agar Kalila aman dan tidak ada yang mengenali.Hingga satu jam kemudian, akhir
“Ini, Nak. Minumlah.”Kakek tua itu menyerahkan teh hangat pada Kalila yang sedang duduk di dipan sebuah rumah sederhana berdinding anyaman bambu.Dengan tangan gemetar, wanita itu menerimanya dan langsung meminumnya.“Pelan-pelan, Nak. Itu masih panas.”Kalila tahu, teh itu masih agak panas. Tetapi, semalaman dia tidak makan maupun minum. Entah bagaimana kalau dirinya sampai tak tertolong, mungkin kejahatan Aji tidak akan pernah bisa terbongkar.“Kamu sudah tenang?”Tanya seorang nenek yang keluar dari arah dapur. Sepasang sepuh itu tinggal dengan cucunya. Mereka ada di ujung perkambungan, dan hanya rumah ini yang ada di sepanjang jalan setapak. Terbilang hidup sangat sederhana.Nenek itu duduk di pinggir dipan dan mengusap pundak Kalila dengan pelan.“Ya Allah, Nak. Badanmu sampai gemetar seperti ini. Dia pasti sangat ketakutan,” ucap Nenek itu pada sang Kakek.Pria sepuh mengangguk setuju. “Iya, Bu. Kalau saja kita tidak menemukannya, dia pasti sudah tertangkap lagi oleh penculik i
Kalila menangis dengan suara parau. Dia benar-benar mulai putus asa. Kalau tidak ada yang menolongnya, maka kemungkinan besar dirinya akan ketangkap oleh Aji.Dia menggelengkan kepala. Membayangkannya saja sudah membuat dirinya merasa takut.Ternyata Aji punya sisi jahat yang mengerikan. Mungkin saja, Kalila akan habis di tangan pria itu kalau tidak kabur. Tetapi, masalahnya dia tidak tahu cara keluar dari sini.Wanita itu menangis sembari berusaha berpikir, bagaimana caranya agar bisa keluar dari sini. Tak ada jalan selain terus menyerukan permintaan tolong dan berdoa pada Tuhan.“Ya Tuhan, aku benar-benar menyesal. Tidak mau berurusan dengan Mas Aji lagi. Kalau aku keluar dari sini, aku akan membuka kebusukan pria itu. Aku janji.”Kalila menangis sesenggukan, sampai tiba-tiba ....“Ternyata orang!” seru seorang anak remaja dengan pakaian kaos dan celana panjang. Ada topi bambu yang menempel di kepalanya.Kalila langsung mendongak dan menghapus jejak air mata. Wanita itu merasa senan
“Siapa kamu sebenarnya?”Hana masih mencari tahu tentang identitas wanita di seberang sana. Tetapi, lagi-lagi sang wanita tak mengatakan apa pun.“Kamu akan tahu siapa aku setelah nanti kita bertemu.”Hana diam sejenak, memikirkan apa yang harus dia lakukan.“Kalau kamu mau tahu tentang adikmu dan suamimu, datanglah besok jam 8. Aku akan mengirimkan alamatnya.”Setelah itu panggilan pun terputus. Lalu, sebuah pesan masuk. Isinya alamat dari si penelepon tadi.Entah apa yang akan Hana perbuat besok. Yang pasti dia harus hati-hati dengan kemungkinan terburuk.***Suara pintu utama terbuka membuat Hana terkesiap. Sang wanita langsung mencari tahu siapa yang datang, ternyata itu adalah suaminya.Aji terlihat pucat dan juga terengah-engah. Hana mengernyit, bingung. Sebab tak biasanya Aji seperti ini.Pantas saja sedari tadi dia tak melihat keberadaan sang pria.“Kamu dari mana, Mas? Lalu, kenapa seperti habis dikejar orang?”Aji berusaha menenangkan diri. Yang sebenarnya, saat pulang tadi