Noura bisa melihat melalui sudut matanya di mana Dean yang terus mengawasi dan mendengarnya ketika berbicara dengan Kenz. Terlebih ketika ia menyebut nama Adlin yang saat ini tengah berjuang dengan penyakitnya. Namun, ketika satu kabar yang Kenz sampaikan tentang adik bungsunya itu, seketika Noura merasa langit yang menaunginya runtuh. "Jangan becanda, Kenz. Katakan kabar apa yang sebenarnya mau kamu sampaikan?" Noura tak bisa menerima begitu saja kabar duka yang temannya berikan. "Aku tidak sedang becanda, Noura. Untuk apa aku becanda akan kematian seseorang, terlebih itu adalah adikmu.""Tapi, Kenz. Tidak, ini tidak mungkin." Noura menggeleng dengan air mata yang seketika tumpah begitu deras. Kepergian akan jabang bayi di dalam rahimnya, rupanya tak seberapa sakit ketika ia harus menerima kabar akan kematian sang adik. "Noura, apakah aku perlu menjemputmu?"Tak ada sahutan dari Noura sebab sekarang tampak wanita itu tengah bersusah payah mengontrol emosinya yang tiba-tiba hadir
Dean hanya diam menatap Noura yang terus menangisi jenazah adiknya. Di dalam ruang jenazah di salah satu rumah sakit yang ternyata tak jauh dari rumah sakit tempat di mana Noura keguguran, Dean melihat istrinya meraung sedih. "Maafkan Kaka, maafkan Kaka!"Kata-kata itu terus yang Noura lontarkan sambil memeluk tubuh Adlin yang tertutup kain putih. "Jangan menyalahkan dirimu sendiri, Noura. Ini sudah takdir yang Tuhan berikan kepada Adlin. Adlin memang sudah harus pergi. Ia sudah berusaha sebaik mungkin melawan penyakitnya. Mungkin ini memang jalan terbaik yang harus Adlin jalani, di mana ia tak lagi merasakan sakit." Kenz yang setia berdiri di samping Noura, mencoba memberi semangat agar kawannya itu tabah dan sabar. Noura setuju untuk itu. Tapi, tetap saja rasa bersalah karena tidak bisa menolong di detik-detik terakhir hidup adik bungsunya itu, membuat akal dan pikiran Noura ingkar. Ia tetap menyalahkan dirinya sendiri. 'Andai aku punya uang, detik di mana seharusnya Adlin diope
Baik Kenz atau Dean sama-sama diam. Tak ada yang menjawab pertanyaan Harry. "Apakah aku harus tahu sendiri dari Kak Noura?" tanya pemuda itu lagi masih menatap dua lelaki yang memiliki hubungan dengan sang kakak. "Mungkin memang sebaiknya kamu tahu sendiri dari Noura," jawab Kenz. "Sebab laki-laki di depan kita ini tak punya nyali untuk menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi," lanjut Kenz menatap Dean sinis. Tak berbeda, Dean pun melakukan hal serupa meski tatapan pengusaha itu jauh lebih dingin sehingga membuat suasana terasa mencekam. "Kalian bisa berpikir apapun tentangku, tapi asal menuduh dalam suatu perkara bisa membuat kalian sengsara."Kalimat yang Dean katakan membuat Harry terdiam. Tak mengerti apa yang dikatakan oleh suami kakaknya itu sebab sebelumnya ia memang tidak tahu menahu obrolan apa yang terjadi antara Kenz dan Dean tadi. Setelah berkata demikian Dean pun pergi meninggalkan adik iparnya itu, yang terlihat bingung dengan sesekali melirik ke arah Kenz. "Apa ya
"Kamu pembunuh adikku, Dean! Pembunuh!" seru Noura lantang. Beruntung hanya ada mereka di lorong rumah sakit tempat mereka berdiri sekarang. Air mata menderas keluar dari kedua mata Noura. Ekspresinya terlihat menahan amarah ketika pintu ruangan tempat ibunya dirawat paska pingsan, tiba-tiba terbuka. Sosok wanita paruh baya yang terlihat sendu karena kepergian sang putra, menatap Noura dan Dean bergantian. "Noura, ada apa? Kenapa kamu teriak seperti tadi?" tanya ibu Noura dengan wajah khawatir. "Ibu!" Noura menatap wajah ibunya, lalu mendekat dan menggenggam tangan yang mulai keriput karena dimakan usia. "Gak ada apa-apa kok, Bu," jawab Noura berbohong. "Ibu mau kemana?" lanjutnya lagi. "Ibu mau nemenin kamu. Ibu gak bisa sendirian di dalam. Gak enak, Noura." Tatapan ibu Noura begitu memilukan, spontan membuat Noura memeluk tubuh ibunya itu dari samping. "Maaf, Noura gak peka. Iya, seharusnya Ibu gak sendirian," ucap Noura sambil terus membelai bahu sang ibu. "Ya sudah, Ibu i
Di sepanjang perjalanan pulang dari tempat pemakaman umum sampai rumah, baik Noura atau Dean tak ada yang saling bicara. Begitu pun ibu Noura yang memang tak berselera untuk bicara sebab kepergian sang putra. Meski heran, wanita itu lebih memilih diam dan enggan bertanya. Mobil yang berjejer di sepanjang blok komplek perumahan di mana keluarga Noura tinggal sedikit membuat Noura tak enak hati kepada para tetangga. Tapi, entah mengapa sosok Dean telah membuat rasa tak enak hati itu berubah menjadi cuek dan tak peduli. "Aku ada urusan dengan Kenz." Tanpa basa basi, Noura pamit pada Dean setelah turun dari mobil. Tidak menunggu respon dari sang suami, Noura bergegas pergi setelah membantu ibunya turun dari mobil dan mengantarnya ke kamar. "Tunggu!"Rupanya Dean tak diam ketika dirinya ditinggalkan begitu saja oleh Noura. Meski ekspresinya tetap datar, tapi Noura tahu jika lelaki itu tidak suka diabaikan. "Seharusnya aku pulang bersama Kenz kalau saja ibuku tidak melarang. Andai tadi
Di sebuah taman yang ada di komplek perumahan di mana keluarga Noura tinggal, wanita itu tengah bersama dengan sang kawan, Kenz. Duduk masing-masing di atas sebuah ayunan, keduanya tampak saling diam. "Bagaimana rencanamu sekarang setelah Adlin pergi?" Kenz bertanya langsung tanpa perlu basa-basi atau bertele-tele. "Rencana apa maksud kamu?""Ya, rencana pekerjaanmu yang kemarin lalu kamu minta ke aku.""Oh, itu. Aku tetap butuh pekerjaan, Kenz," ucap Noura dengan pandangan lurus ke bawah tanah. "Meski tak ada lagi tuntutan di mana kamu harus mencari banyak uang untuk pengobatan Adlin?""Tujuan utamaku mencari pekerjaan bukan semata-mata untuk pengobatan Adlin saja. Tapi, ibu dan juga Harry."Kenz paham dengan apa yang Noura bicarakan. Mengenai keluarganya yang sejak dulu sudah menjadi tanggung jawabnya, yang kini menjadi jauh lebih ringan setelah kepergian si bungsu. Apakah masih butuh pekerjaan? Meski statusnya saat ini adalah seorang istri dari Dean Waverly, pengusaha kaya raya
"Kamu izin hanya untuk pergi sebentar. Tapi, kenapa sudah lebih dari satu jam kamu masih belum kembali?" tanya Dean setelah ia berdiri di depan Noura yang masih duduk di atas ayunan. Noura tampak acuh atas pertanyaan Dean. Tapi, akhirnya ia memilih untuk bangkit berdiri dan merespon suaminya kemudian. "Aku tidak bilang sampai kapan akan bicara dengan Kenz. Lagipula untuk apa kamu mengkhawatirkan aku? Kalau kamu jenuh berada di sini, kamu bisa pulang.""Aku akan pulang kalau kamu ikut pulang.""Jangan mengada-ada. Aku dan keluargaku baru kehilangan Adlin, bagaimana bisa kamu berpikir bahwa aku akan pulang bersamamu.""Apa maksudmu?" Dean menarik sebelah alisnya, sembari sesekali melirik ke arah Kenz yang terlihat tersenyum tipis. "Aku akan menginap di sini sampai seminggu ke depan.""Kamu belum meminta izin padaku.""Aku mau bilang kalau kamu mau pulang. Ya ... walau sebenarnya enggan." Noura menatap Dean dengan tatapan mengejek. Suaminya itu membalas dengan tatapan yang sulit diar
Noura sudah akan pergi tidur ketika Dean selesai dengan aktifitasnya. Penampilannya terlihat segar. Rambutnya yang basah sebab keramas, terlihat air menetes ke piyamanya yang mahal. 'Entah kapan lelaki itu membawa pakaian ganti.'Noura tidak tahu karena sejak tadi ia berbicara dengan ibunya. Menurut kabar yang Hary berikan, lelaki berkacamata dengan tubuhnya yang tinggi dan kurus datang membawa satu buah koper dan diberikan kepada Dean.'Aku tidak tahu kapan Alton datang,' batin Noura seraya berjalan berusaha mengontrol debaran di hatinya yang tiba-tiba hadir setelah melihat sosok Dean yang baru selesai mandi. "Nak Dean, kamu belum makan bukan?" Ibunya Noura bertanya kepada menantunya tersebut. Dean yang tadinya sudah akan pergi ke kamar Noura, berhenti sejenak demi merespon pertanyaan sang mertua. "Saya tidak lapar, Bu.""Sungguh? Tapi, Ibu lihat Nak Dean makan tadi siang. Itu juga cuma makan buah.""Benar, Bu. Saya belum lapar. Mungkin Noura," ucap Dean sambil menatap istrinya y