Di sepanjang perjalanan pulang dari tempat pemakaman umum sampai rumah, baik Noura atau Dean tak ada yang saling bicara. Begitu pun ibu Noura yang memang tak berselera untuk bicara sebab kepergian sang putra. Meski heran, wanita itu lebih memilih diam dan enggan bertanya. Mobil yang berjejer di sepanjang blok komplek perumahan di mana keluarga Noura tinggal sedikit membuat Noura tak enak hati kepada para tetangga. Tapi, entah mengapa sosok Dean telah membuat rasa tak enak hati itu berubah menjadi cuek dan tak peduli. "Aku ada urusan dengan Kenz." Tanpa basa basi, Noura pamit pada Dean setelah turun dari mobil. Tidak menunggu respon dari sang suami, Noura bergegas pergi setelah membantu ibunya turun dari mobil dan mengantarnya ke kamar. "Tunggu!"Rupanya Dean tak diam ketika dirinya ditinggalkan begitu saja oleh Noura. Meski ekspresinya tetap datar, tapi Noura tahu jika lelaki itu tidak suka diabaikan. "Seharusnya aku pulang bersama Kenz kalau saja ibuku tidak melarang. Andai tadi
Di sebuah taman yang ada di komplek perumahan di mana keluarga Noura tinggal, wanita itu tengah bersama dengan sang kawan, Kenz. Duduk masing-masing di atas sebuah ayunan, keduanya tampak saling diam. "Bagaimana rencanamu sekarang setelah Adlin pergi?" Kenz bertanya langsung tanpa perlu basa-basi atau bertele-tele. "Rencana apa maksud kamu?""Ya, rencana pekerjaanmu yang kemarin lalu kamu minta ke aku.""Oh, itu. Aku tetap butuh pekerjaan, Kenz," ucap Noura dengan pandangan lurus ke bawah tanah. "Meski tak ada lagi tuntutan di mana kamu harus mencari banyak uang untuk pengobatan Adlin?""Tujuan utamaku mencari pekerjaan bukan semata-mata untuk pengobatan Adlin saja. Tapi, ibu dan juga Harry."Kenz paham dengan apa yang Noura bicarakan. Mengenai keluarganya yang sejak dulu sudah menjadi tanggung jawabnya, yang kini menjadi jauh lebih ringan setelah kepergian si bungsu. Apakah masih butuh pekerjaan? Meski statusnya saat ini adalah seorang istri dari Dean Waverly, pengusaha kaya raya
"Kamu izin hanya untuk pergi sebentar. Tapi, kenapa sudah lebih dari satu jam kamu masih belum kembali?" tanya Dean setelah ia berdiri di depan Noura yang masih duduk di atas ayunan. Noura tampak acuh atas pertanyaan Dean. Tapi, akhirnya ia memilih untuk bangkit berdiri dan merespon suaminya kemudian. "Aku tidak bilang sampai kapan akan bicara dengan Kenz. Lagipula untuk apa kamu mengkhawatirkan aku? Kalau kamu jenuh berada di sini, kamu bisa pulang.""Aku akan pulang kalau kamu ikut pulang.""Jangan mengada-ada. Aku dan keluargaku baru kehilangan Adlin, bagaimana bisa kamu berpikir bahwa aku akan pulang bersamamu.""Apa maksudmu?" Dean menarik sebelah alisnya, sembari sesekali melirik ke arah Kenz yang terlihat tersenyum tipis. "Aku akan menginap di sini sampai seminggu ke depan.""Kamu belum meminta izin padaku.""Aku mau bilang kalau kamu mau pulang. Ya ... walau sebenarnya enggan." Noura menatap Dean dengan tatapan mengejek. Suaminya itu membalas dengan tatapan yang sulit diar
Noura sudah akan pergi tidur ketika Dean selesai dengan aktifitasnya. Penampilannya terlihat segar. Rambutnya yang basah sebab keramas, terlihat air menetes ke piyamanya yang mahal. 'Entah kapan lelaki itu membawa pakaian ganti.'Noura tidak tahu karena sejak tadi ia berbicara dengan ibunya. Menurut kabar yang Hary berikan, lelaki berkacamata dengan tubuhnya yang tinggi dan kurus datang membawa satu buah koper dan diberikan kepada Dean.'Aku tidak tahu kapan Alton datang,' batin Noura seraya berjalan berusaha mengontrol debaran di hatinya yang tiba-tiba hadir setelah melihat sosok Dean yang baru selesai mandi. "Nak Dean, kamu belum makan bukan?" Ibunya Noura bertanya kepada menantunya tersebut. Dean yang tadinya sudah akan pergi ke kamar Noura, berhenti sejenak demi merespon pertanyaan sang mertua. "Saya tidak lapar, Bu.""Sungguh? Tapi, Ibu lihat Nak Dean makan tadi siang. Itu juga cuma makan buah.""Benar, Bu. Saya belum lapar. Mungkin Noura," ucap Dean sambil menatap istrinya y
Malam mungkin sudah larut, tapi pasangan suami istri di atas kontrak —Noura dan Dean, nyatanya baru memasuki alam bawah sadar mereka beberapa menit yang lalu. Namun, Dean yang mungkin baru akan menggapai mimpinya setelah beberapa waktu membuka mata dengan pikiran-pikiran yang memenuhi isi kepalanya, tiba-tiba dikejutkan dengan rintihan suara seorang perempuan. Dean membuka matanya perlahan demi mendengarkan suara rintihan tersebut yang sudah berhasil mengganggu tidurnya. "Arh, sakit." Erangan orang tersebut sontak membuat Dean mengedarkan pandangan. Namun, setelah lelaki itu sadar di mana dirinya sekarang, langsung saja ia tahu pemilik suara tersebut. "Kamu kenapa?" tanya Dean menatap Noura yang tengah mengaduh dengan posisi tubuhnya miring dan membungkuk. Kedua tangannya memegang perut dengan kaki yang ditekuk seperti menahan sakit. "Sakit. Tiba-tiba perutku sakit." Tampak beberapa bulir keringat menghiasi wajah Noura. Entah mengapa, kali ini Dean merasa khawatir. Perempuan yan
Masih menunggu kabar dari ruangan IGD, akhirnya Dean mengangkat panggilan yang terus menerus berbunyi. "Iya, ada apa?" tanya Dean ketus. "Oh, Tuhan! Dean, apakah kau marah?"Benar feeling Dean, jika panggilan yang berkali-kali minta diangkat itu adalah panggilan dari Jane. "Kau pikir saja sendiri.""Oh, baiklah. Aku minta maaf. Aku jadi tidak bisa tidur karena kabar darimu. Sekarang kau di mana? Bagaimana kondisi istrimu?""Aku sudah di rumah sakit. Sesuai perintahmu bukan?" Dean berkata sinis. "Tidak, Dean. Sungguh aku benar-benar meminta maaf. Tapi, itu bukan sebuah perintah. Itu hanya saran yang bisa aku berikan karena kondisi Noura yang sedang hamil. Aku menyarankan itu karena di rumah sakit dia akan mendapat penanganan yang lebih baik.""Dia tidak sedang hamil.""Apa maksudmu? Aku jelas memeriksanya jika istrimu hamil.""Dia keguguran. Baru kemarin malam.""Oh Tuhan!" seru Jane dari seberang panggilan. Dokter muda itu sepertinya cukup shock mendengar kabar yang Dean sampaika
"Tidak ada yang memintamu untuk membawaku ke sini," balas Noura yang masih lemah mendadak tersulut emosinya. Perkataan Dean yang sebenarnya memang selalu ketus, ditanggapi berbeda oleh Noura kali ini. Ia merasa tersinggung dan sakit hati. "Oh yah? Lantas, apa menurutku kamu akan kembali segar seperti ini kalau bukan karena aku membawamu ke dokter?"Noura sudah akan membalas, tetapi mulut pedas Dean lebih cepat darinya yang notabene dimiliki seorang perempuan. "Ah satu lagi, sepertinya kamu lupa waktu mulutmu itu terus mengeluh kesakitan. Bahkan, kamu meminta tolong padaku karena rasa sakit di perutmu itu."Noura tampak tak percaya. Ia sama sekali tidak menyadari hal tersebut. 'Benarkah apa yang ia bilang?' batin Noura sangsi. Dean terlihat berjalan mendekat. Berdiri di sisi ranjang di mana Noura terbaring, lelaki itu memandang istrinya sinis. "Aku yakin kamu tidak akan percaya. Tapi, tidak apa-apa, karena bagiku itu sama sekali tidak penting.""Lalu, apa maksudmu mengatakan hal i
Waktu sudah menjelang subuh ketika Noura sampai di rumahnya. Ia terlihat menguap dan merasa tidak bersalah saat hendak meninggalkan Dean sendirian. "Maaf, tapi aku ngantuk sekali," ucap Noura yang tidak sempat tidur waktu di mobil tadi. Meski tak peduli apa yang akan Dean lakukan setelah ia pergi tidur, Noura masih menyempatkan diri untuk pamit. "Tidurlah. Itu akan sangat membantuku.""Maksudmu?" tanya Noura tak mengerti. "Ya, dengan kamu membuka mata, itu hanya akan membuat mataku terganggu. Otomatis membuat mulutku tak berhenti berkomentar."Noura paham sekarang apa yang Dean maksud. Tapi, ia sudah tidak memiliki daya untuk membalas ucapan suaminya itu. Meski hatinya ingin berontak dan memaki-maki. "Apapun yang mau kamu lakukan, lakukanlah," ucap Noura kemudian. Ia segera membelakangi Dean sembari memeluk guling di depannya. "Tak usah pedulikan aku."Kalimat terakhir yang Dean katakan, tidak lagi Noura dengar. Wanita itu sudah terlelap dalam tidurnya. 'Sepertinya ia benar-ben
Setelah hampir seminggu menginap di kediaman Dean, Feli dan Hans akhirnya pamit pulang. Meskipun Noura sedikit tak rela, ia tetap melepaskan kepergian sang kawan beserta keluarganya itu. "Mainlah nanti." Feli berbicara pada Noura sesaat hendak masuk ke dalam mobilnya. "Nanti kalau bayiku sudah besar, aku pasti akan main ke sana.""Untuk apa menunggu bayimu besar?" sahut Feli menatap aneh. "Kita ini bukan orang tua zaman dulu yang apa-apa harus menunggu. Zaman kita sudah jauh berbeda. Mau anak kita masih bayi atau sudah besar, mereka akan aman. Karena fasilitas penunjang zaman sekarang yang sudah jauh lebih baik.""Ya, aku tahu.""Ya, terus?"Noura tersenyum menatap kawannya itu. "Setidaknya aku harus meminta izin pada Dean untuk masalah itu.""Ya, itu jelas. Kamu memang harus meminta izin padanya." Feli berkata kemudian masuk dan menutup pintu mobil. "Tapi, ngomong-ngomong ... bagaimana kelanjutan hubungan kalian? Akan lanjut atau bagaimana?" Rasa penasaran Feli akhirnya bisa dilua
"Mat bodoh, Noura." Sarah masih kesal dengan kelambatan Mat dalam berpikir. Untuk itu ia sengaja memberi tahukan semua orang tentang kekesalannya tersebut. "Sarah, apakah harus semua orang kamu beri tahu tentang masalah ini?" Mat ikutan kesal sekarang. Harga dirinya sebagai lelaki merasa direndahkan oleh kekasihnya itu. "Tidak. Aku hanya memberi tahu Dean dan Mat." Sarah terlihat berkilah. "Nanti ada yang datang, kau beri tahu juga?""Tidak." Sarah menjawab cepat. "Oh iya, Noura. Bisakah kita bicara berdua?" lanjut wanita itu seraya beranjak berdiri. Mat melihat Dean dengan ekspresi kesal yang masih belum hilang. "Dean, apakah sedang ada konspirasi saat ini antara dua wanita di depan kita?""Kamu ini bicara apa sih, Mat? Konspirasi apa?" Noura menyahut sambil tertawa geli. "Ya ... ini. Antara aku dan Sarah belum selesai bicara, tapi dia malah mengajakmu pergi. Aku yakin sekali, dia mau membicarakan atau menjelekkan aku padamu."Tidak hanya Noura, Sarah bahkan menatap tak percaya
Mat menatap Feli yang tengah ditenangkan oleh suaminya, Hans. Di sebelahnya Sarah menyenggol lengannya dengan pandangan kesal.'Apa?' gumam Mat pada kekasihnya itu, tidak paham apa yang terjadi. "Apakah Dean belum cerita pada kalian, bahwa Noura terindikasi kena sindrom baby blues?" Hans berkata pada sejoli di depannya. "Hah! Benarkah?" Sarah menyahut kaget. Di sampingnya —Mat, terlihat seperti orang bodoh dengan wajah bengong dan mata berkedip lambat. "Ya, saat di rumah sakit aku sudah menyadarinya. Ketika kalian asik mengobrol seru sembari melihat si kecil, saat itu aku mendapati kesedihan yang Noura alami.""Kenapa dia sedih?" Sarah tampak penasaran. "Itu karena doa Dean.""Doa Dean?" Mat dan Sarah berseru kompak. Dean yang namanya disebut, menengok pada kumpulan sahabatnya yang ada di ruang makan. Tatapannya curiga bahwa ia tengah dibicarakan. Namun, Mat memberi respon senyum seolah tidak terjadi apa-apa. Alhasil, Dean kembali berbincang seru dengan para kerabat yang mengunju
Seluruh penghuni kediaman Waverly sangat berbahagia dengan kehadiran bayi tampan nan lucu yang otomatis akan menjadi pewaris tunggal keluarga kaya tersebut. Kehadirannya di tengah-tengah keheningan rumah membuat bayi Dean dan Noura menjadi satu-satunya pusat perhatian. Feli dan Hans turut gembira dengan kebahagiaan yang terasa di rumah mewah tersebut. Bahkan, keduanya tidak sungkan menyambut para kerabat jauh Dean bersama Mat dan Sarah.Kedua pengusaha itu seperti memiliki chemistry satu sama lain, termasuk istri dan pacar mereka yang terlihat ramah dan cepat akrab. "Saya tidak menyangka bahwa rumah ini akan ramai." Alton, salah satu penghuni terlama di rumah tersebut tak bisa menyembunyikan kebahagiaan yang dirasakannya. "Kau beruntung, Alton, bisa menyaksikan ini semua," ujar Mat menimpali. "Ya, Tuan Mat. Andai saya dulu resign ketika Tuan dan Nyonya Waverly wafat, tentu saya tidak akan melihat ini semua. Betapa bahagianya Tuan Dean memiliki anak yang bahkan tidak pernah ia impi
"Itu tidak masalah. Berarti benar dia bahagia bukan?" Noura membalas ucapan Renee yang masih semangat memprovokasi. "Sekali lagi aku katakan, itu bukan bahagia. Tapi, lebih ke beruntung karena tidak perlu capek-capek mencari perempuan lain untuk ia jadikan mesin pembuat anak.""Jaga ucapan Anda, Nona!" Ibunya Noura menyahut kesal. Raut wajahnya terlihat menahan emosi karena ucapan-ucapan Renee yang dinilainya tidak mendasar. Renee tidak kalah saat berhadapan dengan dua orang wanita di depannya yang kini sudah mulai terbawa emosi. Ia memang sengaja melakukan itu sebab rasa sakit hatinya karena Dean yang lebih memilih Noura dibanding dirinya."Terserah kalian saja mau percaya aku atau tidak." Renee berkata seraya berbalik hendak meninggalkan ruangan. "Kau bisa tanyakan sendiri kepada Dean," ucapnya menghentikan langkah. Ia kemudian berbalik, "Ah, tapi aku tidak yakin dia mau mengaku. Karena beda ceritanya padaku, lain juga kepadamu nanti. Entahlah, aku sangat hapal dirinya." Renee te
Seperti saran yang Feli berikan, Dean kemudian menemui dokter untuk berkonsultasi mengenai kondisi Noura. "Saya awalnya tidak memperhatikan hal tersebut, Dok. Tapi, temannya yang menyadari bahwa istri saya berubah menjadi sensitif.""Sensitif seperti apa?""Saya sendiri tidak tahu pasti, tapi Noura terlalu berlebihan saat menganggap suatu hal. Seketika ia cemas dan khawatir. Seperti serangan panik, Dok. Bahkan, kemarin tiba-tiba ia menangis. Dan saat saya tanya, ia mengatakan bahwa dirinya baik-baik saja."Dokter mengangguk dan begitu serius saat mendengar cerita Dean. Bukan perkara baru ketika seorang ibu yang baru melahirkan mengalami hal tersebut. Dokter tahu itu. "Begini, Tuan Dean. Kecurigaan saya, kemungkinan Bu Noura mengalami sindrom baby blues. Perubahan hormon membuat hal tersebut muncul.""Baby Blues? Apa itu berbahaya?" Dean seperti baru mendengar penyakit tersebut. "Pada dasarnya sindrom baby blues tidaklah berbahaya jika ditangani dengan baik. Tapi, akan membahayakan
Semua hal yang baru Dean alami, entah mengapa terasa mudah terjadi. Noura yang terjatuh ke kolam dan mengalami keram, tiba-tiba harus melahirkan. Setelah ia menyetujui tindakan operasi, nyatanya ia harus dihadapkan pada pilihan antara istri atau anaknya. Namun, ketika ia sudah memilih supaya dokter menyelamatkan sang istri, Tuhan justru memberi keduanya. Tidak ada yang ditakdirkan meninggal lebih dulu. Hal tersebut membuat Dean tak berhenti mengucap rasa syukur. Lain kebahagiaan yang Dean alami dengan apa yang Noura pikirkan saat ini. Setelah beberapa menit kemudian ia siuman, Dean memberi tahu padanya tentang kondisi yang sudah mereka lalui. Noura jelas tidak menyangka jika dirinya sempat berada di fase kritis seseorang yang akan melahirkan. Tapi, begitu ia mendengar tidak ada hal buruk yang terjadi, seketika ia menyadari sesuatu. "Keberuntungan apa yang kamu tukarkan pada Tuhan demi menyelamatkan hidup kami, Dean?" tanya Noura setelah beberapa waktu sudah bisa kembali normal. Efe
Tuhan, mungkin aku bukan seorang hamba yang taat. Bukan juga seorang hamba yang baik. Keburukan serta maksiatku mungkin lebih banyak dibanding kebaikanku selama ini. Tapi, Tuhan, andai aku boleh meminta. Sebagai seorang hamba yang jauh dari kata sempurna, aku ingin Engkau menyelamatkan istri dan anak hamba." Di dalam sebuah rumah ibadah yang terdapat di area luar rumah sakit, Dean menengadahkan tangan untuk berdoa. "Pikiran warasku tidak bisa memilih mana yang harus diselamatkan dan mana yang harus dikorbankan. Keduanya sama berharganya." Suara Dean mulai bergetar. "Dulu mungkin aku membencinya. Ia yang aku tuduh sebagai seorang pembunuh, nyatanya sekarang mampu meluluhlantakkan hati dan jiwaku. Aku tak mau kehilangannya, Tuhan. Sama seperti ketika aku menyesal atas kepergian anakku yang pertama, saat ini juga aku tak mau anakku yang lain pergi sebelum aku melihat dan membesarkannya."Dean sudah mulai menangis. Tangisnya terdengar pilu seiring suaranya yang semakin lirih berdo'a.
Pikiran Dean seketika berkecamuk. Melihat Noura terbaring lemah di atas ranjang dengan wajah pusat, membuatnya tidak bisa berpikir tenang. "Anda harus segera menandatangani surat persetujuan tindakan operasi, Tuan Dean." Dean yang masih belum bisa berpikir jernih, kaget ketika dokter kembali berbicara kepadanya. "Di mana saya harus tanda tangan?""Anda bisa ikut saya."Dean sebetulnya tidak rela meninggalkan Noura sendirian bersama para tenaga medis yang sudah terlihat bersiap melakukan tindakan operasi. Tapi, ia harus patuh pada peraturan. Mau tak mau ia harus mematuhi ucapan dokter di mana ia harus menyetujui tindakan operasi Caesar yang akan Noura lalui. "Maaf sebelumnya, Tuan Dean. Dengan berat hati saya mau menyampaikan hal penting yang mungkin akan membuat Anda kaget atau tidak terima." Di ruangannya, dokter mengatakan hal tak mengenakan kepada Dean. "Hal penting apa, Dok?"Dokter berkaca mata itu membuka sebuah map berisi lembaran kertas yang menunjukkan riwayat pasien. "