Noura sudah akan pergi tidur ketika Dean selesai dengan aktifitasnya. Penampilannya terlihat segar. Rambutnya yang basah sebab keramas, terlihat air menetes ke piyamanya yang mahal. 'Entah kapan lelaki itu membawa pakaian ganti.'Noura tidak tahu karena sejak tadi ia berbicara dengan ibunya. Menurut kabar yang Hary berikan, lelaki berkacamata dengan tubuhnya yang tinggi dan kurus datang membawa satu buah koper dan diberikan kepada Dean.'Aku tidak tahu kapan Alton datang,' batin Noura seraya berjalan berusaha mengontrol debaran di hatinya yang tiba-tiba hadir setelah melihat sosok Dean yang baru selesai mandi. "Nak Dean, kamu belum makan bukan?" Ibunya Noura bertanya kepada menantunya tersebut. Dean yang tadinya sudah akan pergi ke kamar Noura, berhenti sejenak demi merespon pertanyaan sang mertua. "Saya tidak lapar, Bu.""Sungguh? Tapi, Ibu lihat Nak Dean makan tadi siang. Itu juga cuma makan buah.""Benar, Bu. Saya belum lapar. Mungkin Noura," ucap Dean sambil menatap istrinya y
Malam mungkin sudah larut, tapi pasangan suami istri di atas kontrak —Noura dan Dean, nyatanya baru memasuki alam bawah sadar mereka beberapa menit yang lalu. Namun, Dean yang mungkin baru akan menggapai mimpinya setelah beberapa waktu membuka mata dengan pikiran-pikiran yang memenuhi isi kepalanya, tiba-tiba dikejutkan dengan rintihan suara seorang perempuan. Dean membuka matanya perlahan demi mendengarkan suara rintihan tersebut yang sudah berhasil mengganggu tidurnya. "Arh, sakit." Erangan orang tersebut sontak membuat Dean mengedarkan pandangan. Namun, setelah lelaki itu sadar di mana dirinya sekarang, langsung saja ia tahu pemilik suara tersebut. "Kamu kenapa?" tanya Dean menatap Noura yang tengah mengaduh dengan posisi tubuhnya miring dan membungkuk. Kedua tangannya memegang perut dengan kaki yang ditekuk seperti menahan sakit. "Sakit. Tiba-tiba perutku sakit." Tampak beberapa bulir keringat menghiasi wajah Noura. Entah mengapa, kali ini Dean merasa khawatir. Perempuan yan
Masih menunggu kabar dari ruangan IGD, akhirnya Dean mengangkat panggilan yang terus menerus berbunyi. "Iya, ada apa?" tanya Dean ketus. "Oh, Tuhan! Dean, apakah kau marah?"Benar feeling Dean, jika panggilan yang berkali-kali minta diangkat itu adalah panggilan dari Jane. "Kau pikir saja sendiri.""Oh, baiklah. Aku minta maaf. Aku jadi tidak bisa tidur karena kabar darimu. Sekarang kau di mana? Bagaimana kondisi istrimu?""Aku sudah di rumah sakit. Sesuai perintahmu bukan?" Dean berkata sinis. "Tidak, Dean. Sungguh aku benar-benar meminta maaf. Tapi, itu bukan sebuah perintah. Itu hanya saran yang bisa aku berikan karena kondisi Noura yang sedang hamil. Aku menyarankan itu karena di rumah sakit dia akan mendapat penanganan yang lebih baik.""Dia tidak sedang hamil.""Apa maksudmu? Aku jelas memeriksanya jika istrimu hamil.""Dia keguguran. Baru kemarin malam.""Oh Tuhan!" seru Jane dari seberang panggilan. Dokter muda itu sepertinya cukup shock mendengar kabar yang Dean sampaika
"Tidak ada yang memintamu untuk membawaku ke sini," balas Noura yang masih lemah mendadak tersulut emosinya. Perkataan Dean yang sebenarnya memang selalu ketus, ditanggapi berbeda oleh Noura kali ini. Ia merasa tersinggung dan sakit hati. "Oh yah? Lantas, apa menurutku kamu akan kembali segar seperti ini kalau bukan karena aku membawamu ke dokter?"Noura sudah akan membalas, tetapi mulut pedas Dean lebih cepat darinya yang notabene dimiliki seorang perempuan. "Ah satu lagi, sepertinya kamu lupa waktu mulutmu itu terus mengeluh kesakitan. Bahkan, kamu meminta tolong padaku karena rasa sakit di perutmu itu."Noura tampak tak percaya. Ia sama sekali tidak menyadari hal tersebut. 'Benarkah apa yang ia bilang?' batin Noura sangsi. Dean terlihat berjalan mendekat. Berdiri di sisi ranjang di mana Noura terbaring, lelaki itu memandang istrinya sinis. "Aku yakin kamu tidak akan percaya. Tapi, tidak apa-apa, karena bagiku itu sama sekali tidak penting.""Lalu, apa maksudmu mengatakan hal i
Waktu sudah menjelang subuh ketika Noura sampai di rumahnya. Ia terlihat menguap dan merasa tidak bersalah saat hendak meninggalkan Dean sendirian. "Maaf, tapi aku ngantuk sekali," ucap Noura yang tidak sempat tidur waktu di mobil tadi. Meski tak peduli apa yang akan Dean lakukan setelah ia pergi tidur, Noura masih menyempatkan diri untuk pamit. "Tidurlah. Itu akan sangat membantuku.""Maksudmu?" tanya Noura tak mengerti. "Ya, dengan kamu membuka mata, itu hanya akan membuat mataku terganggu. Otomatis membuat mulutku tak berhenti berkomentar."Noura paham sekarang apa yang Dean maksud. Tapi, ia sudah tidak memiliki daya untuk membalas ucapan suaminya itu. Meski hatinya ingin berontak dan memaki-maki. "Apapun yang mau kamu lakukan, lakukanlah," ucap Noura kemudian. Ia segera membelakangi Dean sembari memeluk guling di depannya. "Tak usah pedulikan aku."Kalimat terakhir yang Dean katakan, tidak lagi Noura dengar. Wanita itu sudah terlelap dalam tidurnya. 'Sepertinya ia benar-ben
Noura tidak tahu kapan Dean pergi. Saat ia bangun, suaminya itu sudah tak ada di kamarnya, bahkan di seluruh area rumahnya. "Apakah Dean sudah berangkat ke kantor, Bu?" tanya Noura sambil mengucek matanya, ngantuk. "Tidak. Ibu rasa Dean pulang." Ibunya menjawab santai. "Pulang? Maksud Ibu?""Ya, pulang. Kembali ke rumahnya. Apalagi menurutmu?" jawab ibu Noura menatapnya sembari tersenyum. "Loh, kok tiba-tiba, yah? Padahal kemarin dia bilang mau nginep di sini sampai aku pulang." Noura bicara seolah pada dirinya sendiri. Sang ibu yang melihatnya tak kuasa untuk tidak meledek. "Kenapa? Kangen, yah?""Hah!" Noura tampak terkejut dengan ucapan ibunya. "Kangen apanya, Bu?""Ya, kangen. Baru sebentar gak ada udah ditanyain.""Ih, Ibu ini ada-ada aja pikirannya. Aku tuh cuma aneh aja. Soalnya kemarin dia yang maksa mau nginep di sini. Padahal udah aku suruh pulang." Noura berusaha menjelaskan kesalahpahaman yang ibunya duga. 'Siapa juga yang kangen sama laki-laki gila itu,' batin Nour
Kediaman keluarga Waverly seketika heboh sebab sang pemiliknya yang mendadak uring-uringan tidak jelas. Sejak Dean kembali dari rumah orang tua Noura, para pelayan dibuat ketakutan karena emosinya yang tidak beralasan. Tiba-tiba saja Dean memarahi seorang pelayan yang sedang membersihkan debu di tangga. Mendadak Dean menyentuh tangga yang terbuat dari kayu mahal tersebut dengan jari tangannya. "Berapa lama kamu bekerja di sini? Kenapa membersihkan debu seperti ini saja kamu tidak becus!"Pelayan tersebut harus ditenangkan cukup lama sebab ancaman Dean yang akan memecatnya kalau pekerjaannya masih belum sempurna di matanya. Belum lagi ketika Dean hendak berenang, air yang menurutnya keruh itu langsung membuat pegawai paruh baya yang sudah mengabdi di keluarga tersebut selama puluhan tahun, dibuat gemetar karena saking marahnya Dean akan kondisi fasilitas kolam yang dimilikinya. "Apakah hari ini tidak ada satu pun orang yang becus bekerja. Semua serba minus!" kesal Dean setelah tak
Noura sama sekali tidak puas dengan jawaban yang ibunya berikan. Tapi, jujur saja ia bersyukur karena rahasia antara dirinya dengan Dean masih bisa tersimpan dengan rapi. Sehingga hal tersebut memudahkan Noura untuk tetap menjalankan kontrak kerja sama dengan suasana hati yang tenang. Tak ada ketakutan selain kekhawatiran akan perasaan Hary yang kini sudah berubah. Adiknya itu sekarang mulai membenci sang suami. "Kamu gak usah mikirin Hary. Emosinya masih labil. Ia masih belum bisa membedakan mana informasi yang benar atau salah.""Tapi, tuduhan sebagai pembunuh, apakah sebuah informasi yang salah? Padahal dengan jelas Ibu mendengar sendiri Dean berkata begitu bukan?""Gak," sahut sang Ibu menggeleng. "Ibu gak denger Dean bilang gitu. Ibu cuma denger suara ribut waktu Ibu tidur. Kalimat apa yang keduanya bicarakan, Ibu sama sekali gak dengar."Ah, pantas saja. Noura pikir ibunya terima saja tuduhan Dean padanya itu. Tapi, tahunya sang ibu tidak mendengar langsung apa yang Dean kataka