"Tidak ada yang memintamu untuk membawaku ke sini," balas Noura yang masih lemah mendadak tersulut emosinya. Perkataan Dean yang sebenarnya memang selalu ketus, ditanggapi berbeda oleh Noura kali ini. Ia merasa tersinggung dan sakit hati. "Oh yah? Lantas, apa menurutku kamu akan kembali segar seperti ini kalau bukan karena aku membawamu ke dokter?"Noura sudah akan membalas, tetapi mulut pedas Dean lebih cepat darinya yang notabene dimiliki seorang perempuan. "Ah satu lagi, sepertinya kamu lupa waktu mulutmu itu terus mengeluh kesakitan. Bahkan, kamu meminta tolong padaku karena rasa sakit di perutmu itu."Noura tampak tak percaya. Ia sama sekali tidak menyadari hal tersebut. 'Benarkah apa yang ia bilang?' batin Noura sangsi. Dean terlihat berjalan mendekat. Berdiri di sisi ranjang di mana Noura terbaring, lelaki itu memandang istrinya sinis. "Aku yakin kamu tidak akan percaya. Tapi, tidak apa-apa, karena bagiku itu sama sekali tidak penting.""Lalu, apa maksudmu mengatakan hal i
Waktu sudah menjelang subuh ketika Noura sampai di rumahnya. Ia terlihat menguap dan merasa tidak bersalah saat hendak meninggalkan Dean sendirian. "Maaf, tapi aku ngantuk sekali," ucap Noura yang tidak sempat tidur waktu di mobil tadi. Meski tak peduli apa yang akan Dean lakukan setelah ia pergi tidur, Noura masih menyempatkan diri untuk pamit. "Tidurlah. Itu akan sangat membantuku.""Maksudmu?" tanya Noura tak mengerti. "Ya, dengan kamu membuka mata, itu hanya akan membuat mataku terganggu. Otomatis membuat mulutku tak berhenti berkomentar."Noura paham sekarang apa yang Dean maksud. Tapi, ia sudah tidak memiliki daya untuk membalas ucapan suaminya itu. Meski hatinya ingin berontak dan memaki-maki. "Apapun yang mau kamu lakukan, lakukanlah," ucap Noura kemudian. Ia segera membelakangi Dean sembari memeluk guling di depannya. "Tak usah pedulikan aku."Kalimat terakhir yang Dean katakan, tidak lagi Noura dengar. Wanita itu sudah terlelap dalam tidurnya. 'Sepertinya ia benar-ben
Noura tidak tahu kapan Dean pergi. Saat ia bangun, suaminya itu sudah tak ada di kamarnya, bahkan di seluruh area rumahnya. "Apakah Dean sudah berangkat ke kantor, Bu?" tanya Noura sambil mengucek matanya, ngantuk. "Tidak. Ibu rasa Dean pulang." Ibunya menjawab santai. "Pulang? Maksud Ibu?""Ya, pulang. Kembali ke rumahnya. Apalagi menurutmu?" jawab ibu Noura menatapnya sembari tersenyum. "Loh, kok tiba-tiba, yah? Padahal kemarin dia bilang mau nginep di sini sampai aku pulang." Noura bicara seolah pada dirinya sendiri. Sang ibu yang melihatnya tak kuasa untuk tidak meledek. "Kenapa? Kangen, yah?""Hah!" Noura tampak terkejut dengan ucapan ibunya. "Kangen apanya, Bu?""Ya, kangen. Baru sebentar gak ada udah ditanyain.""Ih, Ibu ini ada-ada aja pikirannya. Aku tuh cuma aneh aja. Soalnya kemarin dia yang maksa mau nginep di sini. Padahal udah aku suruh pulang." Noura berusaha menjelaskan kesalahpahaman yang ibunya duga. 'Siapa juga yang kangen sama laki-laki gila itu,' batin Nour
Kediaman keluarga Waverly seketika heboh sebab sang pemiliknya yang mendadak uring-uringan tidak jelas. Sejak Dean kembali dari rumah orang tua Noura, para pelayan dibuat ketakutan karena emosinya yang tidak beralasan. Tiba-tiba saja Dean memarahi seorang pelayan yang sedang membersihkan debu di tangga. Mendadak Dean menyentuh tangga yang terbuat dari kayu mahal tersebut dengan jari tangannya. "Berapa lama kamu bekerja di sini? Kenapa membersihkan debu seperti ini saja kamu tidak becus!"Pelayan tersebut harus ditenangkan cukup lama sebab ancaman Dean yang akan memecatnya kalau pekerjaannya masih belum sempurna di matanya. Belum lagi ketika Dean hendak berenang, air yang menurutnya keruh itu langsung membuat pegawai paruh baya yang sudah mengabdi di keluarga tersebut selama puluhan tahun, dibuat gemetar karena saking marahnya Dean akan kondisi fasilitas kolam yang dimilikinya. "Apakah hari ini tidak ada satu pun orang yang becus bekerja. Semua serba minus!" kesal Dean setelah tak
Noura sama sekali tidak puas dengan jawaban yang ibunya berikan. Tapi, jujur saja ia bersyukur karena rahasia antara dirinya dengan Dean masih bisa tersimpan dengan rapi. Sehingga hal tersebut memudahkan Noura untuk tetap menjalankan kontrak kerja sama dengan suasana hati yang tenang. Tak ada ketakutan selain kekhawatiran akan perasaan Hary yang kini sudah berubah. Adiknya itu sekarang mulai membenci sang suami. "Kamu gak usah mikirin Hary. Emosinya masih labil. Ia masih belum bisa membedakan mana informasi yang benar atau salah.""Tapi, tuduhan sebagai pembunuh, apakah sebuah informasi yang salah? Padahal dengan jelas Ibu mendengar sendiri Dean berkata begitu bukan?""Gak," sahut sang Ibu menggeleng. "Ibu gak denger Dean bilang gitu. Ibu cuma denger suara ribut waktu Ibu tidur. Kalimat apa yang keduanya bicarakan, Ibu sama sekali gak dengar."Ah, pantas saja. Noura pikir ibunya terima saja tuduhan Dean padanya itu. Tapi, tahunya sang ibu tidak mendengar langsung apa yang Dean kataka
"Loh, ke mana teman kamu itu?"Ibu Noura muncul dengan nampan di tangannya. Ada dua buah cangkir yang mengeluarkan asap panas dari dalamnya. Dua cangkir teh hangat di suasana pagi yang masih sejuk. "Sudah pulang." Noura menjawab cuek. "Kok cepet banget. Baru juga ditinggal sebentar." Ibu Noura menjawab seraya meletakkan nampan di atas meja. "Mana aku tahu. Mungkin dia buru-buru mau berangkat kerja. Lagian, tadi juga 'kan bilangnya cuma sebentar." Noura sudah akan beranjak bangun ketika sang ibu berkata cepat. "Ini minumannya gimana?" tanya wanita itu sembari menunjuk dua cangkir yang masih utuh isinya. Noura melihat sejenak. Lalu, "Ibu minum aja.""Kebanyakan, Noura," sahut ibu Noura, lalu mengangkat satu cangkir ke arah putrinya itu. "Nih, kamu bawa satu."Dengan terpaksa Noura mengambil cangkir yang ibunya berikan. Lalu, ia pun pamit masuk ke kamarnya. Ibunya hanya menggeleng seolah tahu apa yang sudah terjadi antara sang putri dengan tamu yang datang di waktu yang masih pa
Noura izin kepada ibunya untuk pergi menemui Kenz. Kawannya itu langsung menjawab mau ketika diajak makan siang bersamanya. "Kamu gak bilang Dean dulu, Noura?" Sang ibu bertanya. "Gak usah, Bu. Dia juga pergi gak bilang-bilang." Noura menjawab cuek. "Kamu ini bagaimana sih, Noura. Mau sampai kapan kalian egois seperti itu.""Dean yang ngeduluin, Bu.""Kalau Dean begitu, kenapa kamu balas? Seharusnya tugas istri itu membuat kemarahan suami reda. Bukan malah memperparah suasana."'Duh, Ibu. Kita aja nikah pura-pura. Dean bahkan enggan menganggapku sebagai istrinya. Jadi, buat apa aku bersusah payah merayunya supaya gak marah. Usaha yang gak penting banget,' batin Noura berkata. "Ya, Bu. Nanti Noura coba hubungi Dean." Pada akhirnya Noura harus berbohong. Noura sudah kepalang mengatakan bahwa pernikahannya dengan Dean baik-baik saja. Jika ia bersikeras dengan pendiriannya, bukan tidak mungkin sang ibu akan curiga.**Di dalam sebuah kafe, tempat langganan Noura dan Kenz nongkrong sa
"Apa yang membuatmu tiba-tiba datang ke kafe tadi? Tahu dari mana juga kamu kalau aku ada di sana?" Noura sudah berada di dalam mobil Dean setelah suaminya itu memaksa pulang. "Aku sama sekali tidak tahu kalau kamu ada di sana.""Benarkah?" Noura menatap tak percaya. "Lantas, bagaimana bisa seorang Dean Waverly masuk ke sebuah kafe yang sangat sederhana seperti D'Cony. Itu terlihat tak masuk akal.""Mau masuk akal atau tidak, aku sama sekali tak peduli.""Aku pun tak peduli. Tapi, kamu menghancurkan rencanaku.""Rencana? Rencana yang mana maksudmu? Apakah rencana pergi liburan berdua saja dengan lelaki idamanmu itu adalah sebuah rencana yang sudah kamu impikan sejak lama?" Dean bertanya sinis. Noura sontak menatap Dean. "Apa maksudmu kalau rencanaku pergi itu adalah sebuah impian?"Dean hanya mengangkat bahunya. "Aku tidak punya kewajiban untuk menjawab. Lagipula kamu tak akan pergi juga.""Kalau kamu tak peduli, lalu kenapa kamu tidak kasih aku izin?"Dean membalas tatapan Noura. E