Bab 2
Suasana dikediaman Eliza yang merupakan Tante dari Laura Arsyilla seketika berubah menjadi tegang. Hawa memanas seakan menyelimuti di ruangan tersebut. Mendengar permintaan sang tante, seakan bahu Laura ikut meluruh, ia tidak bisa menerima permintaan yang cukup sulit untuk dipenuhi olehnya. Eliza bersimpuh dan memohon dihadapan Laura. Segera saja Laura mencegah Eliza agar tidak bersujud dan bersimpuh seperti itu dihadapannya, terutama dihadapan semua orang. "Tante mohon Laura, Terimalah pernikahan ini, keselamatan karir Bella ada pada mereka, kamu sendiri mendengarkannya bukan? bagaimana keinginan mereka untuk mencari pengantin pengganti untuk putranya saat ini! Harapan tante cuma kamu satu-satunya, Laura!" ucap Eliza memohon dan menangis dihadapan Laura. Sesaat, Laura tampak berpikir, Bella hanya mempunyai seorang adik lelaki dan juga seorang adik perempuan yang masih duduk di bangku SMP, sangat tidak mungkin bagi Laura mengusulkan pernikahan tersebut untuk anak yang masih di bawah umur. "Andai Reyhana sudah lulus dari SMA, aku akan mengusulkan pernikahan ini untuknya," batin Laura. Suasana semakin tegang. Sementara itu, Melisa semakin mendesak Eliza agar segera mungkin menemukan calon pengantinnya. "Waktu mu sudah tidak banyak lagi Eliza," ucap Melisa penuh peringatan kepada Eliza. Eliza semakin cemas dan khawatir, tidak hanya keluarga dari mempelai pria saja yang akan malu, akan tetapi keluarganya jauh lebih malu karena telah membatalkan pernikahan sepihak secara dadakan. Jika Eliza tampak khawatir, maka berbeda halnya dengan Melisa yang menatap Laura penuh dengan damba dan mata yang berbinar, seakan Laura adalah seseorang yang sedang dinanti-nantikan olehnya. Eliza semakin linglung dan merasa seakan dipermalukan dihadapan umum oleh putrinya. Karena tidak ada pilihan lain, Sintiya ibu dari Laura yang menyaksikan ketegangan ini, segera menghampiri Eliza sang adik. "Ikut Aku!" Tegas sintiya yang membawa Eliza sang adik menjauh dari tempat keramaian "Aku ikut bersedih atas kejadian yang menimpa mu, Eliza," Ucap sintiya dengan tatapan yang sendu. "Kamu tenang saja, aku akan membujuk putriku untuk menerima pernikahan ini untuk sementara waktu," ucap Sintiya berusaha menyelamatkan harga diri Eliza dan juga karir Bella. Eliza menatap Kakak nya dengan perasaan yang lega. "Terimakasih kak, karena sudah mau membantu ku. Aku percayakan dan serahkan hal ini sepenuhnya kepadamu," ucap Eliza tampak pasrah dengan pikiran yang buntu. Sintiya mengangguk mantap, lalu segera menemui putrinya. Melihat putrinya yang berada di tengah keramaian, segera Sintiya menarik tangan Laura dan membawanya sedikit menjauh dari hadapan semua orang. "Mama ingin berbicara dengan kamu, ayo ikut mama sekarang!" Ajak sintiya. "Tolong! Jangan paksakan aku untuk menikah dengan pria yang tidak aku kenal sama sekali, Ma!" Pinta Laura tegas yang sudah mengetahui maksud dari ibunya itu. "Laura sayang, Mama mohon untuk kali ini saja, tolong selamatkan harga diri Tante kamu dan karir sepupu kamu. Menikahlah dengannya untuk sementara waktu! setelah pernikahan ini selesai, kamu boleh meminta perceraian darinya," pinta sintiya seakan memaksa. "Hahaha, ini lucu sekali, Ma" Laura tertawa miris atas permintaan ibunya. Laura menatap tegas sang ibu yang telah melahirkannya ke dunia, tapi tidak dengan kasih sayangnya. "Mama, mengorbankan aku demi Bella? Apa setidak berarti nya aku di mata mama selama ini?" Ucap bela dengan emosi yang tertahan. "Aku memang seorang pengangguran, Ma! Bukan wanita karir seperti Bella yang selalu Mama banggakan! Aku pengangguran, juga karena Mama!" "Kenapa kasih sayang mama harus berat sebelah? Anak Mama itu Aku, bukan Bella, Ma!" Ucap Laura penuh penekanan. "Dan kamu tau Laura! Apa yang membuat mama lebih menyayangi Bella dari pada kamu? Bella bukan anak pembangkang seperti kamu! Dia selalu menuruti keinginan kedua orang tuanya. Tidak seperti kamu anak yang pembangkang!" Laura tersenyum miring, "Lagi-lagi Mama membandingkan aku dengannya?" "Anak pembangkang kata mama?" Tanya Laura dengan perasaan getir dan tersenyum miris. "CUKUP LAURA! Mama capek dan lelah berdebat dengan kamu. Sekarang gantikan posisi Bella, jika tidak, mama akan menghapus nama kamu dari anggota keluarga, dan sampai kapan pun mama tidak akan pernah menganggap kamu lagi sebagai anak mama! Ngerti kamu!" Bentak sintiya yang tidak ingin di bantah. Jordan yang tidak sengaja melewati dapur hendak mengambil minuman, secara tidak sengaja, ia mendengar keributan di samping dapur, seperti suara sang ibu dan adiknya yang sedang berdebat. Langsung saja jordan menghampiri keduanya. "Ada apa ini?" Tanya Jordan. "Laura tidak ingin mengganti posisi Bella, padahal keluarga Bella sudah banyak berjasa kepada kita," ucap Sintiya. Jordan menatap ibunya dengan tatapan yang sulit diartikan. "Tolong, jangan paksa Laura untuk menerima pernikahan dadakan ini, Ma. pernikahan bukanlah ajang permainan. Jangan jadikan Laura sebagai korban dari segala hal yang terjadi hari ini," ucap Jordan yang tidak terima dengan permintaan ibunya. "Tidak ada yang salah dalam pernikahan ini Jordan! Pria itu tampan dan juga mapan, lagi pula Laura juga kesulitan dalam menemukan pasangan yang tepat, mama rasa tidak ada salahnya dengan menerima pernikahan ini. jika Laura tidak suka, tinggal bercerai saja." ucap Sintiya dengan santainya. Jordan menatap Laura dengan tatapan sendu, "pilihan berada ditangan mu Laura," kata Jordan sang Abang. Air mata Laura akhirnya menetes setelah memendam lama kesedihan dan kekecewaannya, ia tidak menyangka jika sang ibu akan terus mendesaknya seperti ini demi melindungi Bella. Tanpa berkata lagi, Sintiya menyeret paksa tangan Laura dan membawanya kembali ke hadapan umum. "Baiklah, kami telah bermusyawarah. dan Laura menerima pernikahan ini." ucap Sintiya dengan lantang dihadapan semuanya. "Ma, aku tidak mengatakan seperti itu." Bisik Laura penuh penekanan "Diam Laura, jangan membantah mama, ini semua demi kamu," bisik Sintiya seakan penuh penekanan. "Pernikahan ini harus segera dimulai," kata Melisa "Jordan, ayo nikahkan adik kamu sekarang juga!" Titah sintiya. Bak kerbau dicocok hidung, tanpa berani membantah perkataan sang ibu, segera saja Jordan menjabat tangan calon pengantin pria setelah lima menit belajar ijab qabul. "Alvaro Zayn Argantara, saya nikahkan adik saya Laura Arsyila binti Almarhum Samsul Bahri dengan engkau, dengan mahar satu unit rumah mewah dibayar tunai." ucap Jordan dengan sekali hentakan tangan. "Saya Terima nikahnya Laura Arsyila binti Almarhum Samsul Bahri dengan mahar satu unit rumah mewah dibayar tunai," ucap Alvaro dengan satu kali tarikan nafas. SAH SAH SAH Para saksi dan yang lainnya, serentak mengatakan sah pernikahan tersebut. Melisa tersenyum puas setelah ijab qobul selesai, lalu menghampiri Laura yang sudah menjadi menantunya dalam beberapa menit yang lalu. Melisa langsung memeluk Laura, "Terimakasih sayang, karena telah menjadi pengantin untuk putraku," ucap Melisa penuh kelembutan "Aku ibu mertuamu, panggil saja aku dengan sebutan mama, sama dengan Alvaro, mama berjanji akan menyayangimu seperti anak mama sendiri," ucap nya dengan tulus. Laura hanya mengangguk kaku, ingin rasanya ia menangis karena harus menerima pernikahan ini atas desakan sang ibu. Seandainya Laura tahu hal ini akan terjadi, sudah pasti Laura tidak akan menghadiri pernikahan sepupunya itu. Setelah ijab qabul dan menandatangani surat-surat penting, maka acara pun telah selesai, Melisa menyarankan agar buku pernikahan dan yang lainnya diurus belakangan saja, dikarenakan calon pengantin wanita sudah diganti. ** Setelah akad selesai, Melisa mengajak Laura untuk melihat rumah yang dimaharkan oleh Alvaro, sedangkan Alvaro masih bungkam seolah enggan mengeluarkan suara walau hanya sekedar menyapa Hai. Alvaro memasang wajah datar dan bersikap dingin seolah tak tersentuh, Melisa memaksa Alvaro untuk mengajak Laura melihat rumah yang dihadiahkan sebagai mahar untuk Laura. "Alvaro, sekarang Laura telah menjadi istrimu, binalah rumah tangga ini dengan baik, mama harap tidak ada perceraian diantara kalian. Belajar dan berusahalah untuk menerima satu sama lain. Karena cinta akan hadir dengan sendirinya suatu saat nanti," Nasihat Melisa. "Dan jika suatu saat nanti, kamu belum juga mencintai Laura, maka pilihannya berada ditangan mu, kamu berhak memutuskan semuanya, namun sebelum semua itu terjadi, berusahalah untuk memulai berkomunikasi dengan baik, ajak istrimu berbicara dari hati ke hati," lanjut Melisa. "Ya." Hanya jawaban singkat yang keluar dari bibir Alvaro. Setelah Laura memasuki mobil, Alvaro segera masuk ke dalam mobil dan melajukan mobilnya menuju rumah yang di maharkan untuk Laura. Sedangkan Laura duduk di samping Alvaro dengan kecanggungan dan fikiran melayang yang entah kemana. Di sepanjang perjalanan hanya keheningan yang menyelimuti mobil sepasang pengantin baru itu. Alvaro terdiam dengan raut wajah yang datar, fikiran nya berkecamuk dalam, ada hal yang sulit untuk ia ungkapkan, ia terus melajukan mobilnya, tanpa sadar ia mencengkeram erat setir mobilnya dan menambahkan laju kecepatannya, membuat Laura tersentak kaget. Setelah menempuh perjalanan dua puluh menit lamanya, akhirnya mereka sampai ke rumah yang dituju, satpam membukakan gerbang, agar mobil tersebut bisa memasuki ke dalam perkarangan rumah. Mobil berhenti tepat di depan bangunan mewah tersebut. "Turun," ucap Alvaro tiba-tiba. Laura mengangguk pelan, lalu segera turun dari mobil, Laura tampak memperhatikan rumah mewah tersebut dengan takjub, ia melihat ke sekitarnya yang ternyata pemandangannya begitu asri dan sejuk. Namun Laura segera tersadar, bagaimana ia harus lepas dari jeratan pernikahan dadakan ini, pikirnya. "wah, manten baru nya tiba. selamat datang pak bos dan ibu bos." ucap kiki dengan ramah, sebagai asisten rumah tangga tersebut. kiki segera saja membawakan barang-barang istri dari tuan nya itu, "Mari ibu bos, kiki akan mengantarkan ibu bos ke kamar." ucap kiki ramah "Terimakasih kiki, panggil saya dengan panggilan Laura, tidak perlu dengan embel-embelan ibu bos." ucap Laura tersenyum lembut. "Tidak bisa bu bos, saya harus menghormati ibu Laura sebagai istri pak bos Al." Laura tersenyum, "kalau begitu terserah kamu saja," ucapnya tersenyum Lembut. kiki mengantarkan barang-barang Laura ke kamar luas dan mewah milik Alvaro, "permisi pak bos, kiki izin membawakan barang ini ke kamar pak bos ya," ucap kiki setelah mengetuk pintu kamar yang di susul oleh Laura dibelakang nya. Setelah pintu kamar di buka, kiki hendak masuk ke kamar Alvaro mengantarkan koper milik Laura, Alvaro menatap tajam asisten rumah tangga nya itu, "Siapa yang menyuruh kamu membawa barang ini ke kamar saya?!" tanya Alvaro dengan suara dingin dan tegas. "Ma-maksud pak bos ba-bagaimana? apakah kiki salah? " tanya kiki dengan raut wajah ketakutan. Laura yang mendengar hal itu semakin menunduk dan memilin ujung hijabnya itu. Melihat sikap Alvaro yang dingin, membuat Laura sedikit ketakutan. Alvaro berjalan dan mendekati mereka berdua yang berada di ambang pintu kamar, dangan langkah tegap dan raut wajah yang datar, Alvaro berhenti tepat di hadapan Laura dan menatap wanita yang sudah menjadi istrinya itu sejak satu jam yang lalu. Jantung Laura berdegup dengan cepat, niatnya hendak membahas mengenai kelanjutan hubungan pernikahan mereka, namun saat ini jantungnya yang tidak aman.Bab 3 Dag dig dugDetak jantung Laura semakin berdetak kencang dan tak karuan. Alvaro menatap gadis cantik yang menundukkan kepalanya sambil memilinkan ujung hijabnya itu. Kiki semakin merasakan kecemasan yang mendalam, takut ia salah dalam hal ini, namun diluar dugaan. Alvaro langsung saja menarik tangan Laura dengan penuh kelembutan. "Ikut saya," pinta Alvaro yang membawa Laura masuk ke kamar. kiki menghela nafas lega dan mengelus dadanya, Kiki tampak tersenyum malu-malu. "udah gak sabar ya pak?" tanya Kiki dengan sedikit tengil. Cetakk'Awww' pekik Kiki mengusap jidatnyaAlvaro menyentil jidat Kiki karena merasa geram dengan bocah berusia 18 tahun yang menjadi asisten rumah tangganya. "Apaan ki?" tanya Alvaro "Itu loh pak, anu.. apa ya." jawab kiki yang kebingungan ingin melanjutkan perkataannya. "Anak kecil jangan mikir yang macam-macam, lakukan tugas mu dengan baik," ucap Alvaro "Ba-baik pak Al," ucapnya sedikit takut melihat tatapan tajam Alvaro. "Kamu boleh
Bab 4 Pagi hari, matahari tampak malu-malu menampilkan dirinya yang berselimuti awan. Perlahan, cahaya nya mulai memantulkan bayangan yang sempurna dipagi hari. sementara itu, selesai melaksanakan sholat subuh, Laura ingin membereskan dan mulai melakukan aktivitas Bersih-bersih rumah. Rasanya, tidak mungkin bagi Laura tinggal dirumah ini tanpa melakukan aktivitas sama sekali. Meskipun Alvaro telah menetapkan asisten rumah tangga untuk membantu pekerjaan rumah.Setelah berpikir sejenak, Laura memutuskan untuk membantu Kiki beres-beres rumah dari pada berdiam diri tanpa melakukan aktivitas apapun. "Bu bos ngapain? bu bos mah mending diem aja duduk manis disitu, biarkan urusan pekerjaan rumah, kiki yang urus. Ok, Bu bos ku yang cantik," ucap kiki sambil tersenyum menampilkan jejeran giginya. "Tapi—" ucapan Laura terpotong "Tidak ada tapi-tapian bu bos, biar kiki si yang paling cantik jelita nan mempesona ini yang akan membereskan pekerjaan rumah," ucap kiki yang kemudian men
Bab 5 Mobil mewah berjenis Alphard putih berhenti tepat di sebuah perusahaan yang bergerak dibidang properti, "Ayo, sayang" ajak Melisa merangkul pundak Laura, sedangkan yoga berjalan dibelakang mereka. Laura menatap takjub gedung yang berdiri megah dihadapannya ini, yang bertuliskan "AL company" "Ini perusahaan siapa, Ma?" tanya Laura yang belum mengetahui sama sekali. Melisa tersenyum lembut, "Nanti kamu bakal tau sayang. Ayo, kita masuk," Melisa mengajak menantu kesayangannya. Laura sedikit canggung dengan situasi seperti ini, untuk pertama kalinya ia memasuki perusahaan sebesar ini, sebelumnya Laura adalah seseorang yang begitu tertutup, setelah lulus dari SMA Laura tidak melanjutkan ke jenjang pendidikan selanjutnya karena kondisi ekonomi yang tidak memungkinkan. Laura yang merupakan sibungsu dari kedua bersaudara, tepat di hari kelulusan SMA, ayah dari Laura meninggal dunia. selama ini Laura hanya menemani sang mama dirumah. Untuk penghasilan sehari-hari, Laura h
Bab: 6 "Ka-kamu," katanya dengan gugup "Turun," ucapnya dengan ekspresi datar. Laura yang merasa malu, langsung saja mengangguk dan turun dari mobil. "Akhirnya, kita sampai juga." Ucap Melisa. Melisa langsung saja merangkul pundak menantunya itu, meskipun Laura masih merasa canggung dengan sang mama mertuanya. "Ayo, kita masuk ke villa." ucap Melisa. Baru saja Alvaro melangkahkan kaki, tiba-tiba saja ponselnya berdering, segera Alvaro meraih ponselnya di saku celana dan langsung menggeser icon hijau dilayar ponselnya. Sedangkan Laura, Melisa, dan Prayoga langsung saja masuk ke villa miliknya yang berada di puncak. Melisa mengajak Laura mengobrol agar Laura tidak merasa canggung dengannya. Meskipun Melisa mengobrol dengan Laura, namun rencana telah tersusun dan terancang rapi di kepalanya. Tidak lama kemudian Alvaro masuk ke villa menghampiri mereka yang sedang menunggu dirinya di villa sambil mengobrol ringan. "Anak lelaki tampan mama sudah datang, kalau begit
Bab: 7 Laura duduk di tepi ranjangnya, ia mulai mengalihkan edaran pandangannya pada Alvaro, pria itu terlihat begitu sibuk di depan laptopnya, padahal mereka sedang berada di puncak, bisa-bisanya Alvaro masih menyelesaikan tugasnya yang di kantor. Laura yang merasa bosan, tidak sengaja mengamati sisi samping wajah Alvaro yang sedang berkutat dengan laptop, Laura akui wajah Alvaro begitu terpatri sempurna. hidungnya yang mancung, memiliki rahang yang tegas, manik mata kecoklatan, kulit sawo matang, pria bertubuh tinggi dan tegap itu benar-benar mencerminkan seorang pria dewasa yang gentleman. Tiba-tiba saja netra mereka saling bersobok, kedua insan itu lantas saling membuang muka sedetik setelahnya. "Shit!" umpat Alvaro tiba-tiba, namun matanya masih menatap layar laptopnya. Laura wanita berhijab itu mengeryit mendengar ucapan Alvaro yang jauh dari kata sopan, ia sedikit tersinggung dengan kata-kata itu. Laura lantas mengerucutkan bibirnya. "Sangat tidak ramah, bintang satu
Bab: 8 "Andy, kamu udah pulang?" tanya Bella yang merasa kaget dan tidak percaya jika orang yang begitu dicintainya, akhirnya datang menemuinya. "Ya, ini aku Bella," kata Andy tersenyum kepada Bella. Bella dengan senang hati mempersilahkan Andy masuk kerumah, kebetulan Eliza juga datang menyambut kehadiran Andy, calon menantu. Andy pun langsung masuk dan duduk di kursi sofa ruang tamu, sedangkan Eliza langsung bangun hendak menyiapkan cemilan dan juga menghidangkan minuman. Bella tampak senang dengan mata yang berbinar menatap kekasih hatinya, "Andy, kenapa nggak ngabari aku, kalau kamu kesini?" tanya Bella menatap wajah tampan Andy. "Jika aku memberitahumu, bukan kejutan namanya." "Lagian kenapa kamu jarang banget ngabari aku? padahal aku begitu merindukanmu." "Maaf, aku sedang menjalankan tugasku sebagai Abdi negara di Papua. Tolong maklumi jika ponselku sering tidak aktif." Bella tampak menghembus nafas berat, "Baiklah." Tidak lama kemudian, Eliza membawaka
Bab: 9 "Dia tidur disini, aku harus tidur dimana?" gumamnya. "Tidak mungkin jika aku tidur di kamarnya, terkesan kurang sopan," ucapnya lagi yang merasa tidak enak jika masuk ke kamar orang lain, meskipun rumah ini adalah miliknya. "kak, bangun. Ini kamar aku," kesal Laura yang membangunkan Alvaro, namun Alvaro tidak ingin beranjak bangun sama sekali. "Eh, malah tidur lagi." Rasanya Laura sudah tidak punya tenaga, untuk membangunkan Alvaro lebih lama lagi, matanya sudah mulai mengantuk akibat menangis, karena tidak mungkin tidur di kasur bersama Alvaro, akhirnya Laura memilih tidur di lantai kamar saja. Pasalnya Alvaro memborong tempat tidur sendirian, tidak memberi ruang untuk Laura tidur sama sekali, meskipun masih siang hari, namun kantuk mulai menguasai mereka. Laura mengambil selimut tebal sebagai alas untuk tidur, dan mengambil satu bantal lagi yang tidak digunakan oleh Alvaro. Laura langsung berbaring di lantai berlapiskan selimut, dan mulai memejamkan ked
Bab: 10 Alvaro memainkan ponselnya di ruang tamu, sesekali ia melirik sudut kiri atas ponselnya, dan waktu ternyata sudah menunjukkan jam tujuh malam. Ia berdecak kesal, bayangan tadi sore di kamar Laura masih terlintas di kepalanya. Sebisa mungkin Alvaro membuang jauh-jauh bayangan tadi sore itu, agar tidak terus kepikiran nantinya. Sebenarnya Alvaro ingin memanggil Laura, karena ada hal yang ingin ia bahas, namun ia merasa tidak enak kepada Laura setelah kejadian tadi sore. Tidak ada cara lain, akhirnya Alvaro memanggil Kiki. "Ki, Kiki.." panggil Alvaro "Iya pak bos, Kiki hadir untukmu pak bos," jawab Kiki yang langsung berlari tergopoh menghampiri sang Tuan. "Panggil Laura untuk menemui saya di ruang tamu, sekarang juga, nggak pake lama!" titah Alvaro "Siap pak bos," ucap Kiki tersenyum sambil menatap Alvaro penuh selidik. "Jangan aneh-aneh pikiran kamu, Ki," sela Alvaro yang tahu betul isi pikiran asisten rumah tangganya itu. "I-iya pak, Kiki gak mikir macem-
Bab: 48 Deg! "Sayang, jangan pergi.. mas nggak tau, kalau kamu kesini, maaf ya," ucap Alvaro dengan penuh rasa bersalah karena telah membuat istrinya bersedih. Laura langsung berbalik dan menatap wajah suaminya itu, "Biarkan aku pergi mas, katanya kamu lagi sibuk." "Tidak ada istilah sibuk untuk kamu, karena kamu adalah prioritasku. Jangan ngambek ya sayang, mas cinta banget sama kamu." "Ta-tapi aku mau pergi saja mas," kata Laura yang merasa tidak lagi mood untuk mengantarkan makanan siang untuk suaminya. "Sayang, aku minta maaf ya. Aku pikir orang lain yang datang, dan aku tidak punya schedule pertemuan hari ini, eh tau-taunya istri mas yang cantik ini datang." "Sekarang, ikut mas ya," ucap Alvaro yang kemudian melihat rantang yang dibawa istrinya itu. Alvaro mengambilnya, "Pasti istri mas, sudah bersusah payah memasaknya, ayo kita makan sayang," bujuk Alvaro. "Pasti masakannya enak banget, karna yang bikinnya penuh cinta dan kasih sayang untuk suaminya." Laura m
Bab: 47 Beberapa hari telah berlalu, selama itu Sofiya semakin menunjukkan perkembangan dan kemajuan yang lebih baik, sehingga saat ini Sofiya sudah bisa tersenyum dan bersikap seperti pada umumnya, hanya saja ia akan histeris jika mengingat masa lalu yang begitu kelam baginya, ia akan histeris saat bayangan itu mulai menghampirinya, dan Laura akan menenangkannya kembali. "Ma," panggil Laura yang menghampiri ibunya. "Iya nak," jawab Sofiya dengan lembutnya. "Laura izin pergi sebentar ya, mama baik-baik disini ya, aku hanya ingin ke kantor mas Al sebentar, mau anterin makanan." "Iya sayang, pergilah temui suami kamu, mama tidak apa-apa disini." "Iya ma, aku sudah meminta Kiki untuk menemani mama," ucap Laura yang kemudian langsung mencium wajah cantik sang ibu. "Kiki, kalau ada apa-apa tolong kabari aku ya," kata Laura. "Siap Bu bos, Kiki akan menjaga ibu Sofiya dengan segenap jiwa dan raga Kiki untuk Bu bos," kata Kiki yang langsung cengengesan. "Baik Ki, aku pe
Bab: 46 Hari ini Laura dan Melisa akan pergi kerumah sakit jiwa, tempat ibunya Laura dirawat, kali ini Laura bertekad akan mengeluarkan sang ibu dari rumah sakit jiwa dan akan merawatnya sendiri hingga kondisi ibunya menjadi lebih baik. Sofiya tidak gila hanya saja mungkin ia merasa stres dan terbebani atas apa yang menimpanya di masa lalu, apalagi Sintiya membawanya kerumah sakit jiwa agar membuat Sofiya semakin gila. "Bismillah," gumam Laura yang memasuki rumah sakit jiwa tersebut yang di dampingi oleh Melisa. Melisa senantiasa selalu berada di sisi Laura, ia akan menghibur menantunya disaat Laura merasa sedih, apalagi jika Alvaro sedang tidak berada di sisinya karena mengurus pekerjaan, maka Melisa lah yang akan menjadi sosok ternyaman bagi Laura. "Ayo sayang," ajak Melisa yang memasuki ruangan Sofiya dirawat. Laura mengangguk, lalu ia membuka pintu ruangan tersebut, tampak ibunya sedang menggendong dua boneka di sisi kiri dan kanannya, membuat hati Laura semakin menc
Bab: 45 Pagi harinya sebelum berangkat ke kantor, Alvaro mengecek kondisi sang istri terlebih dahulu dan memastikan jika keadaan Laura sudah mulai membaik, Alvaro ingin mengambil cuti lagi, namun kali ini ada rapat dadakan yang harus dihadiri oleh dirinya. "Mas," panggil Laura yang terbangun setelah merasakan sentuhan hangat dari tangan suaminya itu. "Iya sayang, kamu sudah baikan?" tanya Alvaro. Laura tersenyum, "Sudah mas, aku sudah merasakan lebih baik dari pada sebelumnya, terimakasih ya mas, karena sudah berada di sisiku di saat aku membutuhkan sandaran." "Kamu tidak perlu berterimakasih, sudah tugas dan kewajibanku sebagai seorang suami untuk mendampingi mu," Kata Alvaro sambil mengusap lembut kepala Laura. Tangan Laura terulur begitu saja untuk memperbaiki dasi sang suami, "Aku sudah tidak apa-apa mas, semangat ya kerjanya." "Maaf, untuk hari ini mas harus ke kantor karena ada rapat dadakan, kamu mas tinggali dirumah sama mama gapapa kan?" tanya Alvaro. "Ga a
Bab: 44 Setibanya di rumah sakit, Laura langsung ditangani oleh dokter dan mulai memeriksa kondisi Laura. "Bagaimana keadaan istri saya dok?" tanya Alvaro dengan khawatir." "Istri anda baik-baik saja pak, ibu Laura hanya pingsan karena merasa kelelahan, selain itu ibu Laura juga merasa stres belakangan ini." "Untuk ibu hamil hindari stres dan jaga pola makan teratur, jangan terlalu memikirkan sesuatu secara berlebihan," ujar sang dokter. "Baik dok, apakah istri saya sudah diperbolehkan untuk pulang?" "Silahkan pak, istri bapak sudah diperbolehkan untuk pulang." "Alhamdulillah." Jordan menghela nafas lega mendengar jika adiknya baik-baik saja. Alvaro dan Jordan segera masuk keruang rawat Laura. "Sayang," panggil Alvaro. Laura dengan tatapan yang lemah menatap suaminya dan juga sang Abang, wajahnya tampak pucat dan ia merasa sedang tidak memiliki tenaga. "M-mas," lirih Laura. Alvaro menggenggam tangan istrinya, "Semua baik-baik saja, kamu yang tenang ya sayang.
Bab: 43 "Baik pak, laporan sudah kami terima dan segera kami proses secepatnya." "Baik pak, segera ditindak lanjuti proses penangkapan ibu Sintiya," kata Alvaro mantap. Setelah melaporkan dan menyerahkan bukti tentang kejahatan Sintiya, Alvaro segera meninggalkan tempat tersebut. "Gimana mas? sudah dilaporkan?" tanya Laura yang menunggu suaminya di dalam mobil, Laura sudah tidak punya tenaga lagi untuk berjalan setelah melihat kondisi ibu kandungnya, ia masih merasa shock. "Sudah, kamu tenang ya sayang. Kita akan kerumah mama tiri kamu,untuk memberi sedikit kejutan untuknya." Laura mengangguk setuju, "Baik mas, kita akan kesana. Bang Jordan juga akan menyusul." Alvaro kembali menyetir mobilnya, kali ini tujuannya ke rumah Sintiya, di sepanjang perjalanan Laura terus saja termenung, tidak ada satu patah katapun yang keluar dari bibirnya. Sesekali Alvaro melirik sekilas pada istrinya, ia tahu betul suasana hati sang istri sedang tidak baik-baik saja saat ini. Alvaro me
Bab: 42 Keesokan harinya, Laura tampak terburu-buru, begitu pula dengan Alvaro, mereka akan pergi kerumah sakit jiwa, Laura tampak tidak sabaran ingin bertemu dengan sang ibu, sedangkan di depan rumah, Jordan sudah menunggu kedatangan mereka berdua. "Sayang, hati-hati jalannya, jangan lari-lari," Tegur Alvaro. "Mas, aku udah gak sabaran pengen ketemu mama, kata mas Raka mama dalam keadaan tidak baik-baik saja." "Tenang ya sayang, kita akan segera kesana, jangan terlalu stres karena itu tidak baik bagi kandungan kamu." "Iya, Mas," jawab Laura. Alvaro dan Laura segera pergi dengan satu mobil yang sama, sedangkan Jordan mengikuti mobil Alvaro dari belakang, Tidak dapat di pungkiri jika Jordan sangat emosional setelah mengetahui kejadian yang sebenarnya, bahwa dalang dibalik semua ini adalah mama Sintiya, sosok wanita yang sudah dianggap seperti ibunya sendiri selama ini, orang yang disayanginya, meskipun mereka tidak pernah mendapatkan kasih sayang dari Sintiya, namun Sint
Bab: 41 Laura menatap kepergian Raka dengan perasaan merasa bersalah, sedih sekaligus merasa terharu atas pengorbanan Raka. Sebelum Raka benar-benar pergi dari rumahnya, Raka menatap lama Laura dengan lengkungan senyum di bibirnya yang sempat ia paksakan bersamaan dengan air mata yang jatuh, Laura membalas senyumannya dengan lambaian tangan, sebelum Raka benar-benar pergi. Perlahan mobil Raka mulai menghilang dari pandangan Laura. Setelah kepergian Raka, Laura tampak termenung dengan tatapan yang kosong. Namun tiba-tiba saja Alvaro muncul dan merangkul pundak istrinya dan membawanya kedalam dekapan. "Kamu sedih kehilangannya hm? kamu masih mencintainya?" tanya Alvaro dengan penuh kelembutan namun ia merasakan kecemburuan melihat Laura dan Raka berbicara, terlebih Laura menangisi kepergian Raka. "Mas, kamu cemburu ya?" tanya Laura mendongak menatap wajah suaminya itu. "Bohong jika aku berkata tidak cemburu." Laura tersenyum tenang, "Mas.. cemburu boleh, karena dengan kam
Bab: 40 "Ounch.." Laura meringis dan tampak kesusahan berjalan, Alvaro langsung saja menggendong sang istri, ia tidak akan pernah membiarkan Laura berjalan untuk hari ini. Ia bertekad akan memanjakan sang istri. "Mas, ini semua gara-gara —" perkataan Laura terpotong. "Iya sayang, gara-gara aku kan? aku akan bertanggung jawab atas perbuatanku ini. Aku tidak akan membiarkan kamu berjalan, biar aku saja yang menggendongmu kemana pun kamu pergi," kata Alvaro yang membuat Laura tersipu malu. Tok tok tok "Siapa?" tanya Alvaro dengan suara tegas. "Ini Kiki pak bos, di ruang tamu ada nyonya." "Baiklah, aku akan segera kesana." "Baik, pak bos." "Tuh kan mas, mama kesini, aku ke susahan jalannya," kata Laura yang tampak merengek. "Seperti janji ku kepadamu, kamu ikut temui mama? atau biar aku aja yang turun sendirian?" tanya Alvaro. "Tentu saja aku ingin menemui mama, Mas." "Baiklah, seperti janjiku kepadamu." Alvaro langsung menggendong Laura dan membawanya turun m