"Jangan mimpi kamu Zahra, aku masih waras, istriku adalah Tasya, dan hanya dia yang berhak atas semuanya," tolak Dika mentah-mentah."Mas, sudah lah, di sini adanya aku, bukan Tasya. Bahkan kalau pun kamu pulang ke rumah, kamu akan melihat penampilan Tasya yan sudah tidak seperti dulu lagi, kamu akan melihat istrimu itu sibuk dengan anaknya tanpa memperhatikan penampilan untukmu," sahut Zahra tak ingin berhenti menggoda Dika. Bahkan tangannya dengan berani meraba dada bidang itu yang tak tertutup kain sehelai pun."Lepas Zahra! Kau benar-benar sudah tidak waras!" Pekik Dika langsung melepaskan tangan Zahra yang membuatnya sangat risih.Pria itu bergegas pergi meninggalkan ranjang, mengambil pakaiannya yang berserakan di lantai, lalu ia masuk ke kamar mandi dan keluar dengan penampilan yang sudah rapi, sementara Zahra sendiri masih dengan santai merebahkan tubuhnya dengan pakaian yang masih berserakan di lantai, tatapan mata Zahra begitu nakal ketika Dika tidak berhasil membuka pintu ka
Siang itu, tiba-tiba Zahra datang menemui Dika di ruangannya, ia bahkan tidak mengetuk terlebih dahulu atau meminta izin untuk masuk, kejadian di malam itu seolah menjadikan Zahra sebagai wanita yang begitu sangat berani. Dika terkejut dengan kedatangan masa lalunya itu, ia bahkan terlihat jengkel karena tiba-tiba Zahra masuk tanpa izin ke ruangan pribadinya. "Lancang sekali kamu Zahra, kenapa kamu masuk ke ruangan ku tanpa izin!" marah Dika kesal. "Maafkan aku Mas, aku tidak bermaksud untuk membuatmu marah. Tapi aku datang ke sini karena aku ingin mengajak mu makan siang bersama," ucap Zahra begitu percaya diri, ia bahkan duduk di meja kerja Dika dengan memperlihatkan lekukan tubuhnya. "Apa-apaan kamu ini Zahra? Apa kamu datang ke sini untuk menggoda ku? Maaf Zahra, aku sama sekali tidak tertarik," celetuk Dika yang langsung memalingkan wajah, apapun yang terjadi pada malam bersama Zahra, pria itu nampak tidak mempedulikan apapun. "Mas, yakin kamu tidak tertarik padaku? Padahal
Dor! Dor! Dor! Dika memaksa untuk masuk, namun pintu kamar Tasya terkunci dari dalam, Tasya yang terjaga itu segera bangun dan membuka pintu, betapa terkejutnya Tasya saat mendapati suami pulang dalam keadaan mabuk, hal yang tidak pernah ia lihat selama menikah dengan Dika, namun malam ini ia benar-benar syok melihat sesuatu yang baru saja terjadi itu. "Mas, kamu mabuk? Astaga, kamu kenapa harus melakukan ini si Mas," protes Tasya saat mencoba membantu Dika masuk dan memapahnya. "Banyak sekali masalah ku akhir-akhir ini Tasya, aku benar-benar dibuat sakit kepala," oceh Dika dalam setengah sadar. "Apa si masalah kamu, kenapa kamu harus lari untuk minum-minuman seperti ini. Mas, kamu sudah punya Sauqi, harusnya kamu itu belajar untuk menjadi seorang ayah yang baik, bukan seperti ini," omel Tasya, wanita itu merebahkan tubuh Dika ke atas ranjang. Ia juga melepaskan sepatu dan kaus suaminya dengan sabar. "Mas, minum dulu." Tasya membantu Dika bangkit untuk meneguk air mineral yang se
Hari berganti minggu dan minggu pun berganti bulan, meskipun telah selesai nifas Tasya nampak tidak begitu memperhatikan Dika lagi, kedatangan Sauqi benar-benar membuat dunia Tasya berbeda jauh, ia terlalu sibuk setiap hari hingga mengabaikan Dika yang sudah menantikan kebersamaan dengan Tasya. Rupanya kedatangan Sauqi tak benar-benar membuat keluarga itu bahagia. Apalagi Dika selalu mendapatkan rayuan maut dari mantan kekasih yang dengan rela memberikan apapun pada nya dan juga ikhlas menawarkan diri untuk menjadi kekasih gelap. Pagi ini Dika sudah siap untuk pergi ke kantor, ia menghampiri Tasya yang masih sibuk menggendong dan menimang Sauqi, pria itu pamit dan di respon biasa saja dari Tasya yang terlihat tetap fokus pada putranya. "Tasya, apa kamu tidak bisa menatapku walau cuma sebentar saja, aku ini pamit mau kerja loh, dan aku nggak tahu akan pulang jam berapa nantinya," protes Dika menahan kesal. "Ya ampun Mas, tanpa aku menatap kamu saja aku sudah tahu kalau kamu memang
"Mas, kamu udah cukup tenang?" tanya Zahra pelan. "Emm, sudah jauh lebih baik, terima kasih ya," ucap Dika mengulas senyum. "Sama-sama Mas, kamu bisa cerita sama aku apa yang membuat kamu seperti ini, karena selama aku kenal kamu, aku nggak pernah liat kamu kayak gini," sambung Zahra menatap sayu, tangannya ia letakkan di punggung tangan Dika saat itu, hingga membuat pandangan Dika pun tertuju ke arahnya. "Maaf, kamu merasa terganggu, aku akan melepaskannya." sambung Zahra mengulas senyum lalu mengangkat telapak tangannya. Dika terdiam, entah mengapa perlakuan Zahra begitu membuatnya tersentuh, ada rasa teduh dan tiba-tiba teringat dengan kisah mereka yang dulu. Zahra semakin membuat Dika terpana ketika tiba-tiba ia bersikap begitu manis, bahkan Zahra nampak sengaja mengingatkan kembali betapa serius nya dulu hubungan keduanya tanpa ia sadar jika sebenarnya ia sendiri yang telah mengkhianati. "Mas, maafin aku ya, karena aku udah nyia-nyiain kamu. Tapi perlu kamu tahu Mas, aku nye
Roy mulai menggerayangi tubuh sontal Zahra yang begitu terlihat menggoda malam ini, aroma tubuhnya yang wangi membuat Roy tergoda, ia benar-benar menginginkan wanita itu jadi miliknya malam ini, sementara Zahra sendiri terlihat tidak senang ketika Roy menatap dirinya dengan penuh nafsu. "Roy, apa-apaan si ini, lo jangan macem-macem ya sama gue," marah Zahra mendorong dada bidang pria itu. "Zahra, jangan pura-pura, lo sebenarnya juga menginginkan hal ini, kan? Ayo lah kita nikmati malam ini," ucap Roy penuh nafsu. "Roy, jangan asal bicara ya lo, gue masih punya harga diri, gue bukan wanita murahan seperti yang lo kira," cetus Zahra kesal. "Zahra, semakin lo menolak semakin gue menginginkan lo, ayo lah... Nggak akan ada yang tahu, di apartemen ini cuma ada gue dan lo." bisik Roy yang sudah tidak bisa menahan diri. Namun Zahra masih waras, tidak mungkin ia melakukan hal itu pada pria yang bukan suaminya, apalagi niatnya saat ini adalah ingin menggeser Tasya dari kehidupan Dika, tent
Bukannya turun, Cahyo justru menatap wajah Zahra dengan tatapan lekat, membuat Zahra semakin merasa risih. Karena tak kunjung turun, Zahra akhirnya memutuskan untuk keluar lagi dan membuka pintu bagian samping, tangan Zahra dengan cepat menarik pergelangan Cahyo supaya pria itu keluar. "Ayo Mas, keluar! Kamu nggak denger ya, apa yang aku suruh," marah Zahra terus menarik pergelangan tangan itu. Cahyo menyeringai senyum, tubuh Zahra yang kurus tentu saja kesulitan untuk membuat Cahyo benar-benar keluar dari sana, pria itu justru menarik kembali tangan Zahra hingga membuat tubuh Zahra jatuh dalam dekapannya, Zahra terkejut, kedua matanya mendelik ketika bibirnya hampir menyentuh bibir Cahyo. Bau aroma alkohol begitu menyengat, dan Zahra sangat membenci hal itu. Sejak Cahyo menjadi suaminya, Zahra sangat tidak suka dengan perlakuan kasar Cahyo. "Mas, lepaskan!" pinta Zahra berusaha melepaskan diri. "Tidak Zahra, aku tidak akan melepaskan kamu, kecuali kalau kamu mau mengantarkan aku
Ting... Tong... Suara bel berbunyi, Zahra yang sejak tadi menunggu balasan dari Dika itu akhirnya berdiri untuk membuka pintu, dan berapa terkejutnya wanita itu saat mengetahui bahwa yang datang bertamu adalah Dika. "Mas Dika, kamu datang ke sini," tatapan Zahra seorang tidak percaya. "Iya, bukannya kamu tadi bilang mau makan nasi goreng? Ini aku belikan," ucap Dika mengangkat sebungkus nasi kotak di tangannya. "Ya ampun, jadi kamu beneran beliin buat aku Mas, makasih banget ya Mas, aku dari tadi menunggu balasan dari kamu, tapi kamu nggak kasih aku balasan, rupanya kamu beneran datang ke sini." jawab Zahra tersenyum bahagia.Dika mengulas senyum, lalu segera di ajak masuk oleh Zahra, wanita itu pergi menuju dapur untuk menyalin nasi kotak itu ke sebuah piring, lalu ia kembali lagi dan duduk di samping Dika. Pria itu nampak kikuk ketika berada di ruangan yang sama dengan wanita yang pernah memenuhi hatinya itu, sementara Zahra sendiri justru menampakkan keberaniannya untuk mendek
Pagi itu, Tasya nampak sibuk menyiapkan sarapan pagi di meja makan, hari ini adalah hari ulang tahun Sauqi yang ke empat tahun, nampak seluruh keluarga duduk menunggu semua menu yang sedang dihidangkan oleh Tasya. Sejak pagi Tasya sendiri tidak mengizinkan mama Riri dan bu Nirma membantunya di dapur, ia ingin menyiapkan semuanya sendiri, karena merasa jika hari ini adalah hari yang sangat spesial baginya. Sementara mama Riri dan bu Nirma akhirnya hanya terduduk dan menonton saja apa yang sedang dilakukan oleh Tasya, sambil sekali-kali mengobrol dengan Sauqi yang sudah lincah dalam berbicara. Tidak ada lagi sesuatu yang menghalangi bagi keluarga itu untuk berbagai kebahagiaan, karena setelah semua kejadian yang menimpa mereka tiga tahun yang lalu, nampak pernikahan Tasya dan Dika semakin romantis dan harmonis. "Sayang, kamu nggak capek sibuk-sibuk sendiri, aku bantu kamu ya," ucap Dika yang tidak enak hati ketika melihat kesibukan yang sedang dijalani oleh istrinya."Nggak usah Mas,
Tiga tahun KemudianBug! Bug! Bug! Sebuah bogeman terdengar di ruangan sempit yang di tempati oleh lima tahanan yang masing-masing memiliki bukti kejahatan yang berbeda, dan salah satunya adalah Roy sebagai pimpinan kerusuhan yang terjadi di pagi ini. Cahyo yang melihat hal itu pun berusaha menyudahi perkelahian tersebut dengan memanggil polisi, suaranya yang nyaring pun mengundang beberapa petugas kepolisian yang mendengar suara Cahyo, dengan cepat dan sigap, mereka pun dapat dipisahkan, tahanan baru yang menjadi bully-an itupun diamankan. Roy dan beberapa temannya pun harus mendapatkan hukuman karena telah melakukan tindakan kerusuhan di dalam tahanan, sementara Cahyo sendiri kini mendekati Diki, seorang tahanan baru yang sudah babak belur di buat oleh teman-teman Roy. "Kamu nggak papa kan?" tanyanya memberikan perhatian. Sesekali ia mengobati luka lebam yang terlihat memar di sana. "Nggak kok, aku nggak papa, makasih ya Mas," ucapnya mengulas senyum. "Ya udah, kamu tenang aja
"Syukur lah sayang, kamu pulang dalam keadaan selamat," ucap mama Riri mengulas senyum lega. Tasya memblas senyuman itu dengan tulus, lalu ia pun berpindah pada bu Nirma yang tak kalah bahagia ketika melihat putrinya kembali dalam keadaan selamat, wanita itu berbinar ketika menyadari suaminya kini datang menggendong Sauqi, perhatikan nya pun kini tertuju pada bocah itu lalu mendekatinya. "Sayang, ini Mama, Nak!"Tasya terharu, dengan kedua mata yang berkaca-kaca ia meraih tubuh mungil Sauqi, bocah kecil itu pun nampak memancarkan senyuman saat menyadari yang menggendongnya adalah sang mama. "Ma-Ma!"Suara manja itu pun terdengar merdu, Tasya mengulas senyum dan langsung mendaratkan kecupan kasih sayang di keningnya. Betapa bahagianya ketika ia mendengar sang putra sudah bisa memanggilnya dengan sebutan mama. Dika ikut mememeluk Tasya dari belakang, mengulas senyum bahagia dan bersyukur atas kembalinya sang istri. Mama Riri pun meminta Dika untuk membawa Tasya ke kamar, tak menungg
Arkana dan Dika kini sudah berada di rumah, di mana ia akan mempersiapkan uang sebanyak dua miliar untuk menembus Tasya, kedatangan mereka pun disambut oleh bu Nirma dan mama Riri yang menatap cemas. "Pa, Dika, bagaimana, apa kalian sudah menemukan keberadaan Tasya?" tanya mama Riri yang memasang wajah penuh kecemasan. "Iya Dika, bagaimana?" lanjut bu Nirma tak kalah khawatir. "Kami sudah menemukan keberadaan Tasya Ma, Bu, Tasya diculik, dan kami pulang untuk menyiapkan uang sebesar dua milyar seperti yang penculik itu inginkan sebagai penebusnya," ucap Dika menahan emosi. "Apa! Dua milyar, astagfirullah, itu jumlah yang yang sangat besar." jawab bu Nirma menatap sedih. Bu Nirma sepertinya sangat syok mendengar jumlah uang yang disebut oleh menantunya itu, namun dengan cepat ditenangkan oleh mama Riri yang mendapat perintah dari papa Arkana. Papa Arkana mengatakan jika jumlah uang tidak perlu menjadi beban pikiran, karena mereka sendiri sudah siap jika harus kehilangan uang sebes
"Nggak papa Pa," ucap Dika dengan gugup. "Ya ampun, ya udah kalau gitu gantian aja ya yang nyetir, kamu sambil istirahat aja," seru papa Arkana cemas. "Papa yakin bisa bawa mobil?" tanya Dika memastikan. "Iya tenang aja, Papa bisa bawa mobil pelan-pelan." jawabnya dengan yakin. Mereka pun bertukar posisi, kini papa Arkana sudah berada di bagian setir, sementara Dika sendiri saat ini sedang duduk dengan santai menatap ke depan dan ke sini berharap jika ia bisa menemukan istrinya. Sementara di tempat lain, Tasya sudah berada di sebuah ruangan yang cukup gelap, hanya ada lampu kecil yang menerangi ruangan tersebut. Sayup-sayup wanita itu membuka kedua mata, dan terkejut ketika kedua tangannya diikat ke belakang di sebuah kursi kayu, tak lama kemudian datang seorang pria bertubuh tinggi dengan wajah tertutup masker. "Siapa kamu sebenarnya? Dan untuk apa kamu membawaku ke tempat ini, di mana ini?!" bentak Tasya dengan suara parau, tatapan matanya seolah ingin sekali merebut masker ya
"Loh, kok lantainya tiba-tiba basah dan kotor seperti ini? Lalu ini, jejak kaki siapa ya?" bi Surti menatap ke lantai itu dengan penuh tanya. "Maksud Bibi apa bicara seperti itu? Apa di rumah ini ada orang lain selain kalian berdua?!" tatapan tegas dari Dika pun didapatkan oleh bi Surti yang tidak tahu apa-apa. "Saya sendiri tidak tahu Den, tapi ini bukan jejak kaki saya, lihat saja, jejak kakinya cukup besar, dan sepertinya ada kaki lain yang terseret." jawab wanita paruh baya itu dengan polosnya. Dika mendelik sempurna ketika mendengar kalimat dari bi Surti, sempat berpikir tidak mungkin, tetapi pada kenyataannya memang Tasya tidak ada di rumah itu, membuat hati pria tersebut begitu gelisah dan ketakutan.Mencoba untuk tenang, dengan merogoh ponsel di saku celana, ia mencoba untuk menghubungi nomor Tasya, namun tiba-tiba ia mendengar suara ponsel itu di meja makan, rupanya Tasya tidak membawa ponselnya. Menambah kepanikan yang Dika rasakan saat ini. "Sebenarnya tadi non Tasya se
"B-benar Pak, ini saya Dika, a-ada apa ya?" tanya pria itu dengan suara parau. "Kami menemukan sepucuk surat tergeletak di samping korban, dan surat ini sepertinya untuk Bapak," ucapnya seraya memberitahu. "Benarkah, kalau begitu saya akan terima surat itu Pak." jawab Dika yang langsung mengulurkan tangan kanannya. Tanpa disadari oleh Dika, jika sepasang mata sedang mengamati tingkahnya dari kejauhan, siapa lagi kalau bukan Tasya, wanita itu seperti sudah tidak mengenal suaminya, yang terlihat begitu berbeda dari sebelumnya. Rasa kecewa tak terbendung lagi ketika melihat berapa sibuknya Dika dalam urusan kematian Zahra. Karena tak mampu lagi menahan kesedihan, Tasya pun kini menghilang dari kerumunan, ia berjalan menjauhi tempat itu sambil terus menggendong dan memeluk Sauqi, tak lama kemudian ia menemukan pangkalan ojek, ada satu orang bapak-bapak yang mungkin sejak tadi sedang menunggu penumpang, tak menunggu waktu lama, Tasya segera menghampiri bapak itu dengan nafas yang tersen
Beberapa hari sudah, Duka merasa cukup nyaman menjalani rumah tangga nya bersama Tasya, lantaran Zahra sudah tidak pernah lagi menghubungi atau mengganggunya meksipun hanya sebuah pesan yang ia kirimkan. Namun, sepertinya hal itu membuat hati kecil Dika menjadi ganjal, ia merasa ada sesuatu yang terjadi pada wanita itu, karena ia sangat mengenal sekali siapa Zahra. Wanita yang tidak pernah mau kalah dari pertarungan, apalagi itu menyangkut soal perasaan."Mas, kenapa kamu kayaknya gelisah banget si?"Tiba-tiba datang Tasya yang menegur suaminya, pria itu terkejut dan sontak saja memasang wajah bingung lantaran kepergok memikirkan Zahra. Namun siapa sangka jika Tasya sudah mengetahui apa yang dipikirkan oleh suaminya, dengan melihat sekilas tatapan matanya ia tahu jika Dika saat ini sedang memikirkan orang lain. "Kalau kamu mau menjenguk Zahra di rumah sakit, ya nggak papa Mas, aku negerti kok kalau kamu masih mencemaskan dia," lirih wanita itu yang memberikan lampu hijau pada suamin
Tibanya di pinggir danau, Dika menghentikan mobilnya, membuka pintu lalu mempersilahkan Tasya keluar, namun wanita itu nampaknya enggan mengikuti perintah sang suami lantaran ia masih memendam rasa kecewa. "Sayang, ayo lah turun," ajak Dika berusaha terus membujuk. "Nggak mau, mending kamu bawa aku pulang aja ke rumah ibu, kamu pasti sibuk kan mau ke rumah sakit, jadi lebih baik kamu pergi saja ke sana," celetuk Tasya menolak, ia masih saja berpikir jika suaminya itu lebih memilih mantan kekasihnya itu. "Mau turun sendiri, atau kamu akan melihat aku nekat, dengan menggendong kamu masih memasuki kafe itu." tukas Dika yang sama sekali tak menanggapi ucapan Tasya. Wanita itu mendelik sempurna ketika ucapannya sama sekali tak direspon, ia pun akhirnya turun daripada harus menerima gendongan dari Dika yang jelas-jelas sudah membuatnya marah. Sementara Dika sendiri mengulas senyum sembari berjalan beriringan dengan Tasya menuju sebuah kafe yang terlihat begitu ramai pengunjung. Sebuah