"Sakit, Mas!"Lirih Tasya berucap, ia tak kuasa menahan sakit itu hingga membuatnya menitikkan air mata. Dika tersadar atas perbuatannya, ia melepaskan cekalan tersebut dan memalingkan wajahnya. "Aku peringatkan padamu, jangan pernah mengatakan apapun lagi pada ibu, karena akan menjadi masalah besar jika sampai mama dan papa tahu, kau bisa memegang ucapan ku, bahwa aku tidak akan kembali pada Zahra," ucap Dika tanpa menatap wajah Tasya sama sekali. "Baik, aku akan memegang janjimu, sebagai istri sah, aku tidak rela jika kamu dekat-dekat dengan wanita lain Mas, meskipun kamu belum mencintaiku dan menerimaku, tapi aku sudah, aku cemburu melihatmu dekat dengan wanita lain." lirih Tasya mengungkapkan perasaannya. Dika tak menanggapi perasaan itu, ia memilih memutar tubuhnya dan pergi meninggalkan Tasya, baru saja beberapa langkah ia menjauh dari Tasya, ponselnya berdering dan Dika terhenti. Ia meraih ponselnya dan melihat ada nama mama Riri di sana. [Ya Ma, halo][Dika, apa kamu sudah
Tok! Tok! Tok! Zahra sudah berada di depan pintu rumah Cahyo, setelah Zahra berhasil kabur tiga bulan yang lalu, kini Zahra memberanikan diri datang bersama dua orang pria yang ia sewa untuk mengawalinya, karena takut jika sampai Cahyo melukai dan berbuat nekat padanya setelah ditolak saat ia ingin mengajak Dika. Cahyo keluar menemui Zahra, setelah beberapa kali ia mengetuk, kini akhirnya yang ia nantikan datang juga. Melihat kedatangan Zahra tentu saja membuat Cahyo merasa sangat senang, ia hendak memeluk wanita itu namun dengan cepat Zahra menolaknya. "Berhenti di situ Mas, karena kedatanganku ke sini untuk memberikan ini padamu," ucap Zahra yang langsung menyodorkan surat cerai di tangannya. "Apa ini, Zahra?" tanya Cahyo, ia belum menerima surat itu. "Terima saja, dan aku meminta kamu untuk menandatangi surat itu." jawab Zahra dengan menyodorkan juga sebuah pena. Saat Cahyo mulai membuka dan membaca, ia pun terkejut, rupanya Zahra telah berhasil menggugat cerainya, beberapa bu
"Aww, sakit!"Rintih Zahra ketika Dika datang membuka pintu ruangannya, Dika sudah bertemu dengan dokter dan dokter mengatakan jika Zahra salah meminum obat. Dokter juga sudah memberikan obat pereda rasa sakit akibat obat yang dikonsumsi oleh Zahra. "Zahra, apa kamu baik-baik saja?" tanya Dika memastikan, saat itu tatapan Dika begitu terasa sejuk. "Ya Mas, aku nggak papa, hanya terasa masih sedikit sakit," ucap Zahra meringis kesakitan. "Kalau begitu kamu akan tetap ada di sini sampai kamu benar-benar pulih," sambung Dika. "Nggak Mas, aku nggak mau, gimana sama kerjaan aku di kantor kalau aku lama-lama di sini, aku mau pulang aja," tolak Zahra yang berusaha bangkit dari tempat tidurnya. "Awww!"Lagi-lagi Zahra merintih, memegangi perutnya sambil meremas pergelangan tangan Dika, Dika sama sekali tak menolak, ia membiarkan Zahra melakukan itu jika memang bisa membuat rasa sakitnya mereda. Lusi dan Sisil pun ikut mencemaskan keadaan Zahra, namun sepertinya kehadiran mereka sama sek
Malam ini Dika sangat gelisah, bahkan sejak kepulangannya Tasya tak melihat Dika membuka tutup saji untuk menikmati makan malam, karena penasaran Tasya pun akhirnya memutuskan untuk mendatangi kamar Dika dan mengetuk nya. Karena pintu kamar itu tak terkunci, Tasya akhirnya dapat masuk dan melihat aktifitas Dika yang terlihat gelisah, ia berdiri di balkon kamar, kedatangan Tasya pun mengejutkan Dika yang sejak tadi memikirkan penawaran dari Zahra. "Kau, kenapa ada di sini?" tatapan Dika mengarah pada Tasya. "Mas, maafkan aku karena aku masuk ke kamarmu tanpa izin, aku tadi coba mengetuk tapi tak mendapatkan jawaban. Mas, aku hanya ingin bertanya, apa kamu sudah makan?" Tasya terlihat ragu-ragu mengutarakan isi hatinya. "Belum, aku belum lapar, kamu saja yang makan," ucap Dika membuang muka. "Mas, ada apa? Apa kamu memiliki masalah di kantor, kenapa sepertinya kamu terlihat berbeda," lirih Tasya mendekati Dika. "Aku tidak apa-apa, Tasya. Tidak perlu berlebihan, ya sudah, aku mau p
"Ya Allah, Mas Dika kenapa?" tanya Tasya ketika melihat keadaan Dika yang dipapah oleh Cahyo. "Dia mabuk, aku bertemu dengannya di bar, aku akan membantumu membawanya masuk, sekarang buka lah pintunya." pinta Cahyo.Tasya pun buru-buru membukakan pintu dan membantu Cahyo, mereka membawa Dika ke kamarnya yang berada di lantai atas, setelan tiba Cahyo membantu merebahkan Dika di kasur yang berukuran besar itu, sementara Tasya turun kembali untuk mengambilkan air minum. "Dika, kau harus lampiaskan hasrat mu pada Tasya, karena jika tidak, kau akan semakin tersiksa," bisik Cahyo pada Dika. Dika masih merasakan hawa panas dan perasaan yang tak karuan itu, rasanya benar-benar sesak. Cahyo mengulas senyum dan ia memutuskan untuk pergi, saat membuka pintu kamar, Cahyo bertemu dengan Tasya, wanita itu adalah istri Dika. Tasya nampak kikuk ketika Cahyo menatap nya lekat. "Maaf, karena Dika sudah berada di kamar, aku mau pamit pulang," ucap Cahyo. "Oh, baik lah, terima kasih sebelumnya, aku a
Hari berganti minggu, dan minggu pun berganti bulan, setelah kejadian malam itu, Tasya dan Dika masih tidur terpisah, dan Dika pun masih bersikap seperti biasanya seolah tidak terjadi apa-apa pada mereka. Tasya pun masih memendam harapan jika kejadian waktu itu akan mengetuk pintu hati Dika untuk mulai menerima pernikahan itu, namun sampai saat ini Dika justru masih bersikap sama, karena tidak mau memikirkan hal itu terlalu dalam, akhirnya Tasya memutuskan untuk kembali fokus bekerja membersihkan rumah. Hari ini Tasya merasa berbeda, ia terlihat sangat kelelahan sehingga keringat mengucur deras di keningnya, karena tidak tahan akhirnya Tasya memutuskan untuk duduk di sebuah anak tangga antara lantai bawah ke lantai atas. Dika membuka pintu, karena hari libur, Dika memutuskan untuk pergi joging seperti yang biasa ia lakukan, saat Dika membuka pintu, ia menyadari keberadaan Tasya sedang duduk karena kelelahan. "Tasya, kamu kenapa?" tegur Dika terhenti dari langkahnya. Tasya terkeju
"Selamat ya, sebentar lagi, kalian akan jadi nenek, dan kakek," ucap dokter itu melempar senyum. "Apa, jadi maksud dokter menantu saya itu sedang hamil?" mama Riri membulatkan matanya ke arah dokter yang menangani Tasya. "Ya Bu, apa yang dialami oleh menantu anda adalah hal wajar bagi ibu yang sedang hamil, karena keadaan calon ibu sedang lemah, saya sarankan untuk dirawat inap sementara, takutnya terjadi apa-apa pada kandungannya," sambungnya menjelaskan. "Ya, ya Dok, lakukan yang terbaik untuk menantu saya." jawab mama Riri begitu bahagia. Mama Riri bergandengan tangan dengan Bu Nirma, bahkan mereka saling berpelukan. Sebagai ekspresi kebahagiaan yang tak terbendung, sementara papa Arkana hanya mengulas senyum bahagia karena akhirnya apa yang ia dambakan selama ini akan segera terwujud juga, papa Arkana menepuk-nepuk pundak Dika, dengan senyuman mengembang di wajahnya. "Lihat lah Dika, kedua wanita itu begitu sangat bahagia menerima kabar tentang calon anak keturunan mu yang ka
Tring... Tring... Malam hari itu, Dika menghubungi mama Riri. Karena ia merasa tidak nyaman berada di rumah sakit menemani Tasya, mama Riri yang belum tidur pun mengangkat telpon putra kesayangannya itu. "Halo Dika, ada apa?""Ma, Mama ke sini dong, aku nggak bisa tidur di ruangan Tasya, aku pulang aja ya,""Eh, kok pulang, nggak bisa gitu dong Dika! Kalau memang kamu nggak bisa tidur di sofa, ya kamu tidur saja di atas brankar sama Tasya, lagian kalian itu sudah suami istri, jadi nggak papa dong kalian tidur satu brankar,""Nggak Ma, aku nggak mau, ayo dong Ma, jangan ngasih solusi yang nggak mungkin aku lakukan," "Kok nggak mungkin di lakukan si, memangnya apa alasan kamu, Dika! Udah ah, Mama ngantuk, mau tidur."TuuutDengan cepat mama Riri mematikan ponselnya, sengaja ia menutup telinga dari rengekan Dika yang membuat dirinya sebenarnya tidak tega, namun apa boleh buat. Mau tidak mau Dika harus bertanggung jawab dengan pernikahannya yang sudah berjalan selama ini. Dika pun ter