Dor! Dor! Dor! Zahra terus menggedor pintu rumah Dika, rasa dingin yang menyelimuti seakan tembus mengenai seluruh tulang, hujan disertai angin yang tak berhenti seakan menghilangkan suara gedoran pintu yang Zahra lakukan. Setelah menggedor pintu beberapa kali namun tak berhasil, akhirnya Zahra pindah ke beberapa bagian jendela rumah, masih berusaha sembari mendekap tubuhnya yang terasa seperti es. "Mas, Mas Dika! Buka pintunya!"Beberapa kali Zahra memanggil Dika, ia benar-benar merasa bodoh, lantaran pergi tidak membawa apa-apa, baik ponsel ataupun yang lainnya, tetapi ia tidak menyesali kepergiannya itu, karena yang ia inginkan adalah segera berpisah dari Cahyo. Sayup-sayup Tasya mendengar suara suaminya dipanggil, setelah ia melakukan ibadah malam dan hendak naik ke atas ranjang, karena suara yang begitu sangat jelas dan terlampau sering akhirnya Tasya merasa penasaran. Ia membuka gorden jendela kamarnya, untuk mengintip dan mencari sumber suara yang ia dengar. Dan saat ia men
"Tidur lah di sini, aku akan tidur di sofa," titah Dika setelah berhasil membawa Tasya masuk. "Enggak, aku nggak mau tidur, lagi pula sudah hampir pagi, aku lebih baik bersih-bersih, hari ini aku mau ke rumah ibuku," tolak Tasya cetus, entah mengapa ia teringat akan sang ibu. "Tasya, apa kamu sudah tidak waras! Di rumah ini ada Zahra," Dika menatap nanar ke arah Tasya. "Lalu, kenapa dengan Zahra. Apa kamu ingin aku melayani Zahra seperti aku sedang melayani seorang ratu? Tidak Mas, aku tidak mau!" celetuk Tasya menolak dengan keras. "B-bukan, bukan itu maksud ku, tapi kamu tidak bisa pergi begitu saja dan membiarkan aku tinggal bersama Zahra, apa kata orang nantinya,' seru Dika. Pria itu akhirnya kini banyak bicara pada Tasya. "Kalau memang kamu tidak mau ada orang lain yang berkomentar, lebih baik kamu bawa pulang istri orang itu ke rumahnya." sungut Tasya berbalik badan hendak membuka pintu. Tasya keluar dari kamar dan memilih untuk membersihkan rumah, saat itu Dika berpikir b
Sejak menerima curhatan hati dari sang putri, bu Nirma merasa tidak tenang, ia takut jika pernikahan putrinya itu akan terancam hancur karena Tasya sudah mengatakan bahwa ia tidak tahan lagi. Bu Nirma pun berinisiatif untuk menemui mama Riri, sahabat sekaligus besannya itu ke kediamannya. Di temani oleh asisten rumah tangga yang dibayar oleh Dika, bu Nirma pun akhirnya tiba di rumah mama Riri, lama bu Nirma tidak berkunjung, karena memang ia diminta untuk istirahat penuh di rumah. Kedatangan bu Nirma tentu saja disambut hangat oleh mama Riri dan juga papa Arkana yang sedang menikmati waktu santai di rumah, sejak papa Arkana pensiun, mereka lebih sering menghabiskan waktu di rumah, karena selama ini mereka sudah menghabiskan hampir seluruh waktu nya untuk membangun bisnis di perusahaan mereka. "Mbak Nirma, ayo duduk, di minum tehnya," ucap mama Riri ramah. "Terima kasih banyak Mbak Riri, sebenarnya aku datang ke sini karena ada yang ingin aku sampaikan, kebetulan suamimu juga ada d
"Sakit, Mas!"Lirih Tasya berucap, ia tak kuasa menahan sakit itu hingga membuatnya menitikkan air mata. Dika tersadar atas perbuatannya, ia melepaskan cekalan tersebut dan memalingkan wajahnya. "Aku peringatkan padamu, jangan pernah mengatakan apapun lagi pada ibu, karena akan menjadi masalah besar jika sampai mama dan papa tahu, kau bisa memegang ucapan ku, bahwa aku tidak akan kembali pada Zahra," ucap Dika tanpa menatap wajah Tasya sama sekali. "Baik, aku akan memegang janjimu, sebagai istri sah, aku tidak rela jika kamu dekat-dekat dengan wanita lain Mas, meskipun kamu belum mencintaiku dan menerimaku, tapi aku sudah, aku cemburu melihatmu dekat dengan wanita lain." lirih Tasya mengungkapkan perasaannya. Dika tak menanggapi perasaan itu, ia memilih memutar tubuhnya dan pergi meninggalkan Tasya, baru saja beberapa langkah ia menjauh dari Tasya, ponselnya berdering dan Dika terhenti. Ia meraih ponselnya dan melihat ada nama mama Riri di sana. [Ya Ma, halo][Dika, apa kamu sudah
Tok! Tok! Tok! Zahra sudah berada di depan pintu rumah Cahyo, setelah Zahra berhasil kabur tiga bulan yang lalu, kini Zahra memberanikan diri datang bersama dua orang pria yang ia sewa untuk mengawalinya, karena takut jika sampai Cahyo melukai dan berbuat nekat padanya setelah ditolak saat ia ingin mengajak Dika. Cahyo keluar menemui Zahra, setelah beberapa kali ia mengetuk, kini akhirnya yang ia nantikan datang juga. Melihat kedatangan Zahra tentu saja membuat Cahyo merasa sangat senang, ia hendak memeluk wanita itu namun dengan cepat Zahra menolaknya. "Berhenti di situ Mas, karena kedatanganku ke sini untuk memberikan ini padamu," ucap Zahra yang langsung menyodorkan surat cerai di tangannya. "Apa ini, Zahra?" tanya Cahyo, ia belum menerima surat itu. "Terima saja, dan aku meminta kamu untuk menandatangi surat itu." jawab Zahra dengan menyodorkan juga sebuah pena. Saat Cahyo mulai membuka dan membaca, ia pun terkejut, rupanya Zahra telah berhasil menggugat cerainya, beberapa bu
"Aww, sakit!"Rintih Zahra ketika Dika datang membuka pintu ruangannya, Dika sudah bertemu dengan dokter dan dokter mengatakan jika Zahra salah meminum obat. Dokter juga sudah memberikan obat pereda rasa sakit akibat obat yang dikonsumsi oleh Zahra. "Zahra, apa kamu baik-baik saja?" tanya Dika memastikan, saat itu tatapan Dika begitu terasa sejuk. "Ya Mas, aku nggak papa, hanya terasa masih sedikit sakit," ucap Zahra meringis kesakitan. "Kalau begitu kamu akan tetap ada di sini sampai kamu benar-benar pulih," sambung Dika. "Nggak Mas, aku nggak mau, gimana sama kerjaan aku di kantor kalau aku lama-lama di sini, aku mau pulang aja," tolak Zahra yang berusaha bangkit dari tempat tidurnya. "Awww!"Lagi-lagi Zahra merintih, memegangi perutnya sambil meremas pergelangan tangan Dika, Dika sama sekali tak menolak, ia membiarkan Zahra melakukan itu jika memang bisa membuat rasa sakitnya mereda. Lusi dan Sisil pun ikut mencemaskan keadaan Zahra, namun sepertinya kehadiran mereka sama sek
Malam ini Dika sangat gelisah, bahkan sejak kepulangannya Tasya tak melihat Dika membuka tutup saji untuk menikmati makan malam, karena penasaran Tasya pun akhirnya memutuskan untuk mendatangi kamar Dika dan mengetuk nya. Karena pintu kamar itu tak terkunci, Tasya akhirnya dapat masuk dan melihat aktifitas Dika yang terlihat gelisah, ia berdiri di balkon kamar, kedatangan Tasya pun mengejutkan Dika yang sejak tadi memikirkan penawaran dari Zahra. "Kau, kenapa ada di sini?" tatapan Dika mengarah pada Tasya. "Mas, maafkan aku karena aku masuk ke kamarmu tanpa izin, aku tadi coba mengetuk tapi tak mendapatkan jawaban. Mas, aku hanya ingin bertanya, apa kamu sudah makan?" Tasya terlihat ragu-ragu mengutarakan isi hatinya. "Belum, aku belum lapar, kamu saja yang makan," ucap Dika membuang muka. "Mas, ada apa? Apa kamu memiliki masalah di kantor, kenapa sepertinya kamu terlihat berbeda," lirih Tasya mendekati Dika. "Aku tidak apa-apa, Tasya. Tidak perlu berlebihan, ya sudah, aku mau p
"Ya Allah, Mas Dika kenapa?" tanya Tasya ketika melihat keadaan Dika yang dipapah oleh Cahyo. "Dia mabuk, aku bertemu dengannya di bar, aku akan membantumu membawanya masuk, sekarang buka lah pintunya." pinta Cahyo.Tasya pun buru-buru membukakan pintu dan membantu Cahyo, mereka membawa Dika ke kamarnya yang berada di lantai atas, setelan tiba Cahyo membantu merebahkan Dika di kasur yang berukuran besar itu, sementara Tasya turun kembali untuk mengambilkan air minum. "Dika, kau harus lampiaskan hasrat mu pada Tasya, karena jika tidak, kau akan semakin tersiksa," bisik Cahyo pada Dika. Dika masih merasakan hawa panas dan perasaan yang tak karuan itu, rasanya benar-benar sesak. Cahyo mengulas senyum dan ia memutuskan untuk pergi, saat membuka pintu kamar, Cahyo bertemu dengan Tasya, wanita itu adalah istri Dika. Tasya nampak kikuk ketika Cahyo menatap nya lekat. "Maaf, karena Dika sudah berada di kamar, aku mau pamit pulang," ucap Cahyo. "Oh, baik lah, terima kasih sebelumnya, aku a
Pagi itu, Tasya nampak sibuk menyiapkan sarapan pagi di meja makan, hari ini adalah hari ulang tahun Sauqi yang ke empat tahun, nampak seluruh keluarga duduk menunggu semua menu yang sedang dihidangkan oleh Tasya. Sejak pagi Tasya sendiri tidak mengizinkan mama Riri dan bu Nirma membantunya di dapur, ia ingin menyiapkan semuanya sendiri, karena merasa jika hari ini adalah hari yang sangat spesial baginya. Sementara mama Riri dan bu Nirma akhirnya hanya terduduk dan menonton saja apa yang sedang dilakukan oleh Tasya, sambil sekali-kali mengobrol dengan Sauqi yang sudah lincah dalam berbicara. Tidak ada lagi sesuatu yang menghalangi bagi keluarga itu untuk berbagai kebahagiaan, karena setelah semua kejadian yang menimpa mereka tiga tahun yang lalu, nampak pernikahan Tasya dan Dika semakin romantis dan harmonis. "Sayang, kamu nggak capek sibuk-sibuk sendiri, aku bantu kamu ya," ucap Dika yang tidak enak hati ketika melihat kesibukan yang sedang dijalani oleh istrinya."Nggak usah Mas,
Tiga tahun KemudianBug! Bug! Bug! Sebuah bogeman terdengar di ruangan sempit yang di tempati oleh lima tahanan yang masing-masing memiliki bukti kejahatan yang berbeda, dan salah satunya adalah Roy sebagai pimpinan kerusuhan yang terjadi di pagi ini. Cahyo yang melihat hal itu pun berusaha menyudahi perkelahian tersebut dengan memanggil polisi, suaranya yang nyaring pun mengundang beberapa petugas kepolisian yang mendengar suara Cahyo, dengan cepat dan sigap, mereka pun dapat dipisahkan, tahanan baru yang menjadi bully-an itupun diamankan. Roy dan beberapa temannya pun harus mendapatkan hukuman karena telah melakukan tindakan kerusuhan di dalam tahanan, sementara Cahyo sendiri kini mendekati Diki, seorang tahanan baru yang sudah babak belur di buat oleh teman-teman Roy. "Kamu nggak papa kan?" tanyanya memberikan perhatian. Sesekali ia mengobati luka lebam yang terlihat memar di sana. "Nggak kok, aku nggak papa, makasih ya Mas," ucapnya mengulas senyum. "Ya udah, kamu tenang aja
"Syukur lah sayang, kamu pulang dalam keadaan selamat," ucap mama Riri mengulas senyum lega. Tasya memblas senyuman itu dengan tulus, lalu ia pun berpindah pada bu Nirma yang tak kalah bahagia ketika melihat putrinya kembali dalam keadaan selamat, wanita itu berbinar ketika menyadari suaminya kini datang menggendong Sauqi, perhatikan nya pun kini tertuju pada bocah itu lalu mendekatinya. "Sayang, ini Mama, Nak!"Tasya terharu, dengan kedua mata yang berkaca-kaca ia meraih tubuh mungil Sauqi, bocah kecil itu pun nampak memancarkan senyuman saat menyadari yang menggendongnya adalah sang mama. "Ma-Ma!"Suara manja itu pun terdengar merdu, Tasya mengulas senyum dan langsung mendaratkan kecupan kasih sayang di keningnya. Betapa bahagianya ketika ia mendengar sang putra sudah bisa memanggilnya dengan sebutan mama. Dika ikut mememeluk Tasya dari belakang, mengulas senyum bahagia dan bersyukur atas kembalinya sang istri. Mama Riri pun meminta Dika untuk membawa Tasya ke kamar, tak menungg
Arkana dan Dika kini sudah berada di rumah, di mana ia akan mempersiapkan uang sebanyak dua miliar untuk menembus Tasya, kedatangan mereka pun disambut oleh bu Nirma dan mama Riri yang menatap cemas. "Pa, Dika, bagaimana, apa kalian sudah menemukan keberadaan Tasya?" tanya mama Riri yang memasang wajah penuh kecemasan. "Iya Dika, bagaimana?" lanjut bu Nirma tak kalah khawatir. "Kami sudah menemukan keberadaan Tasya Ma, Bu, Tasya diculik, dan kami pulang untuk menyiapkan uang sebesar dua milyar seperti yang penculik itu inginkan sebagai penebusnya," ucap Dika menahan emosi. "Apa! Dua milyar, astagfirullah, itu jumlah yang yang sangat besar." jawab bu Nirma menatap sedih. Bu Nirma sepertinya sangat syok mendengar jumlah uang yang disebut oleh menantunya itu, namun dengan cepat ditenangkan oleh mama Riri yang mendapat perintah dari papa Arkana. Papa Arkana mengatakan jika jumlah uang tidak perlu menjadi beban pikiran, karena mereka sendiri sudah siap jika harus kehilangan uang sebes
"Nggak papa Pa," ucap Dika dengan gugup. "Ya ampun, ya udah kalau gitu gantian aja ya yang nyetir, kamu sambil istirahat aja," seru papa Arkana cemas. "Papa yakin bisa bawa mobil?" tanya Dika memastikan. "Iya tenang aja, Papa bisa bawa mobil pelan-pelan." jawabnya dengan yakin. Mereka pun bertukar posisi, kini papa Arkana sudah berada di bagian setir, sementara Dika sendiri saat ini sedang duduk dengan santai menatap ke depan dan ke sini berharap jika ia bisa menemukan istrinya. Sementara di tempat lain, Tasya sudah berada di sebuah ruangan yang cukup gelap, hanya ada lampu kecil yang menerangi ruangan tersebut. Sayup-sayup wanita itu membuka kedua mata, dan terkejut ketika kedua tangannya diikat ke belakang di sebuah kursi kayu, tak lama kemudian datang seorang pria bertubuh tinggi dengan wajah tertutup masker. "Siapa kamu sebenarnya? Dan untuk apa kamu membawaku ke tempat ini, di mana ini?!" bentak Tasya dengan suara parau, tatapan matanya seolah ingin sekali merebut masker ya
"Loh, kok lantainya tiba-tiba basah dan kotor seperti ini? Lalu ini, jejak kaki siapa ya?" bi Surti menatap ke lantai itu dengan penuh tanya. "Maksud Bibi apa bicara seperti itu? Apa di rumah ini ada orang lain selain kalian berdua?!" tatapan tegas dari Dika pun didapatkan oleh bi Surti yang tidak tahu apa-apa. "Saya sendiri tidak tahu Den, tapi ini bukan jejak kaki saya, lihat saja, jejak kakinya cukup besar, dan sepertinya ada kaki lain yang terseret." jawab wanita paruh baya itu dengan polosnya. Dika mendelik sempurna ketika mendengar kalimat dari bi Surti, sempat berpikir tidak mungkin, tetapi pada kenyataannya memang Tasya tidak ada di rumah itu, membuat hati pria tersebut begitu gelisah dan ketakutan.Mencoba untuk tenang, dengan merogoh ponsel di saku celana, ia mencoba untuk menghubungi nomor Tasya, namun tiba-tiba ia mendengar suara ponsel itu di meja makan, rupanya Tasya tidak membawa ponselnya. Menambah kepanikan yang Dika rasakan saat ini. "Sebenarnya tadi non Tasya se
"B-benar Pak, ini saya Dika, a-ada apa ya?" tanya pria itu dengan suara parau. "Kami menemukan sepucuk surat tergeletak di samping korban, dan surat ini sepertinya untuk Bapak," ucapnya seraya memberitahu. "Benarkah, kalau begitu saya akan terima surat itu Pak." jawab Dika yang langsung mengulurkan tangan kanannya. Tanpa disadari oleh Dika, jika sepasang mata sedang mengamati tingkahnya dari kejauhan, siapa lagi kalau bukan Tasya, wanita itu seperti sudah tidak mengenal suaminya, yang terlihat begitu berbeda dari sebelumnya. Rasa kecewa tak terbendung lagi ketika melihat berapa sibuknya Dika dalam urusan kematian Zahra. Karena tak mampu lagi menahan kesedihan, Tasya pun kini menghilang dari kerumunan, ia berjalan menjauhi tempat itu sambil terus menggendong dan memeluk Sauqi, tak lama kemudian ia menemukan pangkalan ojek, ada satu orang bapak-bapak yang mungkin sejak tadi sedang menunggu penumpang, tak menunggu waktu lama, Tasya segera menghampiri bapak itu dengan nafas yang tersen
Beberapa hari sudah, Duka merasa cukup nyaman menjalani rumah tangga nya bersama Tasya, lantaran Zahra sudah tidak pernah lagi menghubungi atau mengganggunya meksipun hanya sebuah pesan yang ia kirimkan. Namun, sepertinya hal itu membuat hati kecil Dika menjadi ganjal, ia merasa ada sesuatu yang terjadi pada wanita itu, karena ia sangat mengenal sekali siapa Zahra. Wanita yang tidak pernah mau kalah dari pertarungan, apalagi itu menyangkut soal perasaan."Mas, kenapa kamu kayaknya gelisah banget si?"Tiba-tiba datang Tasya yang menegur suaminya, pria itu terkejut dan sontak saja memasang wajah bingung lantaran kepergok memikirkan Zahra. Namun siapa sangka jika Tasya sudah mengetahui apa yang dipikirkan oleh suaminya, dengan melihat sekilas tatapan matanya ia tahu jika Dika saat ini sedang memikirkan orang lain. "Kalau kamu mau menjenguk Zahra di rumah sakit, ya nggak papa Mas, aku negerti kok kalau kamu masih mencemaskan dia," lirih wanita itu yang memberikan lampu hijau pada suamin
Tibanya di pinggir danau, Dika menghentikan mobilnya, membuka pintu lalu mempersilahkan Tasya keluar, namun wanita itu nampaknya enggan mengikuti perintah sang suami lantaran ia masih memendam rasa kecewa. "Sayang, ayo lah turun," ajak Dika berusaha terus membujuk. "Nggak mau, mending kamu bawa aku pulang aja ke rumah ibu, kamu pasti sibuk kan mau ke rumah sakit, jadi lebih baik kamu pergi saja ke sana," celetuk Tasya menolak, ia masih saja berpikir jika suaminya itu lebih memilih mantan kekasihnya itu. "Mau turun sendiri, atau kamu akan melihat aku nekat, dengan menggendong kamu masih memasuki kafe itu." tukas Dika yang sama sekali tak menanggapi ucapan Tasya. Wanita itu mendelik sempurna ketika ucapannya sama sekali tak direspon, ia pun akhirnya turun daripada harus menerima gendongan dari Dika yang jelas-jelas sudah membuatnya marah. Sementara Dika sendiri mengulas senyum sembari berjalan beriringan dengan Tasya menuju sebuah kafe yang terlihat begitu ramai pengunjung. Sebuah