"Lain kali, jangan memotong sesuatu kalau hati sedang marah, agar tidak terjadi seperti ini," ucap Dika, yang sudah mengobati jari telunjuk Tasya. "Siapa juga yang sedang marah, aku tidak marah," cetus Tasya berpaling muka, menutupi rasa cemburu yang sebenarnya telah disadari oleh Dika. "Kalau begitu kenapa dari pagi kamu terlihat sangat berbeda dari biasanya? Cara mu membersihkan rumah pun tidak seperti biasanya, wajah dan juga tubuh mu itu berbicara," pandangan Dika menatap lurus ke arah Tasya. "Sejak kapan Mas jadi pengintai ku?" Tasya melotot membalas tatapan Dika. Melihat itu Dika merasa sangat gemas, wanita yang tidak pernah ia anggap selama ini rupanya terlihat sangat lucu ketika sedang cemburu, ia tersenyum kecil menanggapi pertanyaan Tasya saat itu. Ceklek! saat itu Zahra membuka pintu, ia tersadar bahwa saat ini ia tidak ada di kamar pribadinya, rasa pusing dan haus, membuatnya memilih keluar untuk meminta segelas air minum, tatapan mata Zahra tertuju pada sepasang suam
Di meja makan, Tasya sudah menyiapkan beberapa menu makanan yang sudah di pesan sebelumnya oleh Dika, dan setelah semua siap, Tasya pun menghampiri Dika yang sedang memainkan ponselnya. Sementara Zahra sendiri ikut duduk di samping Dika sambil meratapi sikap dingin Dika padanya. "Mas, makanan sudah aku siapkan, ayo ajak Mbak Zahra makan," ucap Tasya menghampiri Dika. "Oh, sudah kamu siapin ya sayang, ya sudah kalau begitu, ayo kita makan," seru Dika melempar senyum lebar. "Zahra, ayo kita makan dulu, sudah Tasya siapkan di meja." sambung Dika memanggil Zahra. Dika bangkit lebih dulu bersama dengan Tasya, tiba-tiba saja Dika merangkul pundak Tasya yang berjalan beriringan dengannya, Tasya terkejut ketika mendapatkan perlakuan tersebut oleh Dika, namun Dika seolah tidak melakukan apapun pada Tasya, ia masih bersikap dingin dan biasa. Degup jantung yang berdebar itu, membuat Tasya menelan saliva beberapa kali, ia terlihat tegang, sementara Zahra menatap mereka dengan penuh rasa cemb
"Mas, kamu sudah pulang," sapa Tasya saat menyambut kedatangan suaminya. "Hemm," singkat Dika menjawab. "Mas, tunggu." Tasya menangkap salah satu pergelangan tangan Dika saat ia hendak naik ke lantai dua. Dika pun menghentikan langkahnya, dengan masih bersikap dingin pada Tasya ketika hanya mereka berdua di rumah, Tasya sebenarnya ragu untuk memanggil suaminya, tetapi mau bagaimana lagi, ia tidak bisa menahan perasaannya lagi saat itu. Tasya menatap mantap wajah Dika yang begitu khas, dan tatapan itu seakan membuat Dika bertanya-tanya meskipun ia tidak mengatakan apapun pada Tasya. "Ada apa?" Dika bertanya dengan nada dingin. "Emmm, Mas... Aku hanya ingin bertanya, apa kamu sudah benar-benar membawa mbak Zahra pada suaminya?" Tasya akhirnya mengungkapkan rasa penasarannya. "Tidak, dia tidak mau aku antar ke rumah suaminya, katanya dia ingin berpisah dari suaminya," ucap Dika memberitahu. "A-apa, pisah? K-kenapa, Mas?" dengan penuh rasa penasaran, Tasya pun tidak sadar bahwa ke
"Apa, berpisah? Yang benar saja kamu Zahra, kamu pasti hanya bercanda, kan?!" Cahyo mulai fokus dengan pembahasan tersebut. "Ya, aku sudah memikirkan ini matang-matang, lagian tidak ada lagi alasan untuk aku bertahan sama kamu, kamu bangkrut, kamu tidak punya pekerjaan, dan satu lagi yang membuat aku tidak tahan, kamu adalah pria yang tidak waras, karena setiap hari minum dan minum," sungut Zahra sangat marah. "Hei Zahra, apa kamu lupa kenapa aku bisa bangkrut seperti ini? Itu semua karena kamu yang tidak becus jadi istri, kamu selalu foya-foya dan tidak pernah menabung. Sampai akhirnya dengan tidak sadar, kamu telah menghabiskan semua uangku untuk gaya hidup kamu yang elit itu," celetuk Cahyo dengan suara yang ia naikkan satu oktaf. "Mas, itu karena aku istri kamu, wajar dong kalau aku pakai uang kamu, untuk apa aja dan kapan aja, kenapa kamu justru menyalahkan aku." seru Zahra tidak terima. Adu mulut pun tak terhindarkan, mereka saling menyalahkan satu sama lain hingga akhirnya
Brem.... ciiitt....!! Cahyo menghentikan mobilnya dengan penuh emosi, Zahra ditarik paksa keluar oleh Cahyo saat ia menolak turun dari mobil, kesabaran Cahyo sudah habis, ia tidak tahan lagi dengan sikap Zahra yang sudah kelewat batas."Ayo masuk,""Enggak Mas, aku nggak mau masuk, aku mau pisah sama kamu,""Masuk Zahra!"Suara Cahyo naik satu oktaf, ia benar-benar marah pada Zahra, ia membanting tubuh Zahra hingga tersungkur ke lantai. Sebuah tamparan keras tepat mengenai wajah mulus Zahra, ke-cemburuan Cahyo saat melihat kebersamaan Zahra dengan Dika telah membuat dirinya kehilangan kesadaran. Ia sampai tidak mengetahui jika Dika sudah berada di ambang pintu untuk menyelamatkan Zahra, Dika sengaja mengikuti Cahyo dari belakang agar ia tahu di mana tempat tinggal Zahra bersama sang suami. Saat hendak ingin melakukan pemukulan lagi terhadap Zahra, tangan Dika dengan cepat menyambar pergelangan Cahyo hingga mengalihkan perhatian Cahyo pada Dika. "Oh, rupanya kau mengikuti ku," ucap
Dor! Dor! Dor! Zahra terus menggedor pintu rumah Dika, rasa dingin yang menyelimuti seakan tembus mengenai seluruh tulang, hujan disertai angin yang tak berhenti seakan menghilangkan suara gedoran pintu yang Zahra lakukan. Setelah menggedor pintu beberapa kali namun tak berhasil, akhirnya Zahra pindah ke beberapa bagian jendela rumah, masih berusaha sembari mendekap tubuhnya yang terasa seperti es. "Mas, Mas Dika! Buka pintunya!"Beberapa kali Zahra memanggil Dika, ia benar-benar merasa bodoh, lantaran pergi tidak membawa apa-apa, baik ponsel ataupun yang lainnya, tetapi ia tidak menyesali kepergiannya itu, karena yang ia inginkan adalah segera berpisah dari Cahyo. Sayup-sayup Tasya mendengar suara suaminya dipanggil, setelah ia melakukan ibadah malam dan hendak naik ke atas ranjang, karena suara yang begitu sangat jelas dan terlampau sering akhirnya Tasya merasa penasaran. Ia membuka gorden jendela kamarnya, untuk mengintip dan mencari sumber suara yang ia dengar. Dan saat ia men
"Tidur lah di sini, aku akan tidur di sofa," titah Dika setelah berhasil membawa Tasya masuk. "Enggak, aku nggak mau tidur, lagi pula sudah hampir pagi, aku lebih baik bersih-bersih, hari ini aku mau ke rumah ibuku," tolak Tasya cetus, entah mengapa ia teringat akan sang ibu. "Tasya, apa kamu sudah tidak waras! Di rumah ini ada Zahra," Dika menatap nanar ke arah Tasya. "Lalu, kenapa dengan Zahra. Apa kamu ingin aku melayani Zahra seperti aku sedang melayani seorang ratu? Tidak Mas, aku tidak mau!" celetuk Tasya menolak dengan keras. "B-bukan, bukan itu maksud ku, tapi kamu tidak bisa pergi begitu saja dan membiarkan aku tinggal bersama Zahra, apa kata orang nantinya,' seru Dika. Pria itu akhirnya kini banyak bicara pada Tasya. "Kalau memang kamu tidak mau ada orang lain yang berkomentar, lebih baik kamu bawa pulang istri orang itu ke rumahnya." sungut Tasya berbalik badan hendak membuka pintu. Tasya keluar dari kamar dan memilih untuk membersihkan rumah, saat itu Dika berpikir b
Sejak menerima curhatan hati dari sang putri, bu Nirma merasa tidak tenang, ia takut jika pernikahan putrinya itu akan terancam hancur karena Tasya sudah mengatakan bahwa ia tidak tahan lagi. Bu Nirma pun berinisiatif untuk menemui mama Riri, sahabat sekaligus besannya itu ke kediamannya. Di temani oleh asisten rumah tangga yang dibayar oleh Dika, bu Nirma pun akhirnya tiba di rumah mama Riri, lama bu Nirma tidak berkunjung, karena memang ia diminta untuk istirahat penuh di rumah. Kedatangan bu Nirma tentu saja disambut hangat oleh mama Riri dan juga papa Arkana yang sedang menikmati waktu santai di rumah, sejak papa Arkana pensiun, mereka lebih sering menghabiskan waktu di rumah, karena selama ini mereka sudah menghabiskan hampir seluruh waktu nya untuk membangun bisnis di perusahaan mereka. "Mbak Nirma, ayo duduk, di minum tehnya," ucap mama Riri ramah. "Terima kasih banyak Mbak Riri, sebenarnya aku datang ke sini karena ada yang ingin aku sampaikan, kebetulan suamimu juga ada d