Bagas menggaruk kepalanya yang diyakini Abrisam tidak gatal sama sekali. Pria itu duduk di samping Abrisam dengan wajahnya tanpa dosanya. Sesekali mencolek lengan Abrisam yang sejak setengah jam lalu hanya diam saja di samping Bagas. "Bri … marah ya?" tanya Bagas kesekian kalinya. Mungkin ini pertanyaan yang kelima puluh kali, Bagas mengatakan hal yang sama. Dan Abrisam masih tetap dengan diamnya. Dia masih kesal dengan sikap Bagas yang tidak sopan masuk ke kamarnya. Mungkin dulu sebelum menikah, Abrisam masih memaklumi nya. Tapi kan ini statusnya sudah berbeda. Dimana Abrisam sudah menikah, dan di kamar ini tidak hanya ada Abrisam tapi juga ada istrinya. Lalu dengan bangganya Bagas malah mendobrak pintu kamarnya dan berteriak kencang. Dia pikir Abrisam melakukan apa? "Heh nggak ada yang orang nggak berpikiran negatif, pas kamu bilang sedot-sedot. Terus … kamu bilang biar Bagas aja yang nyedot. Apa coba!!" omel Bagas. "Pikiran kamu aja yang kotor!!" kata Abrisam kesal. "Bukan sal
Turun dari mobil yang jarak parkiran dan juga tempat pasar raya lumayan jauh. Rania dengan hati-hati menuntun Abrisam, yang mendadak tidak ingin menggunakan tongkat. Padahal ya, jika menggunakan tongkat juga tidak masalah bagi Rania. Bisa untuk hati-hati dan juga bisa tahu jika kakinya tidak akan menyentuh apapun. Tapi ya dasarnya Abrisam tetaplah Abrisam, yang suka sekali ngeyel. "Awas Mas ada batu." kata Rania. Entah sudah berapa kali Rania mengatakan jika di hadapan Abrisam ada banyak batu. Dan meminta Abrusan untuk kembali hati-hati. Sedangkan batu dan juga kaki Abrisam itu masih besar kaki Abrisam, jika hanya kerikil dan batu kecil juga tidak akan ada masalah apapun. Kecuali batu besar yang besarnya sepinggang Abrisam barulah Abrisam hati-hati ketika berjalan. "Astaga … batunya sama kakiku besaran kakiku loh. Itu batu cuma seupil, Rana." gemas Abrisam. Rania tertawa kecil dan kembali mengalungkan tangannya pada lengan Abrisam. Wanita itu kembali mengajak Abrisam keliling pasa
Satu jam sudah lamanya, Rania terus menatap boneka teddy bear pink besar di hadapannya. Wanita itu sesekali memencet hidung boneka itu dengan gemas. Awalnya, Rania sempat tahu dengan Abrisam yang akan melempar bola tadi. Dia sudah berpikir jika bola itu tidak akan masuk, dan mereka akan pulang dengan tangan kosong. Tapi yang terjadi, Abrisam malah bisa meruntuhkan dia belas kaleng dalam satu lemparan. Kalau tau begini mah, mending tadi minta Abrisam yang melempar bola agar bisa mendapat banyak hadiah. Sayangnya … Rania meragukan hal ini. Melihat hal ini, Bagas sesekali menendang kaki Abrisam untuk memastikan jika apa yang dia lihat itu benar. Dia juga membisikan sesuatu di telinga Abrisam. "Udah sejam, itu boneka dipeluk terus nggak di lepas." bisiknya. Abrisam mendengus, terus dia harus apa kalau Rania memeluk boneka? Apa dia harus marah dan membuang boneka itu? Yang ada Rania yang akan marah padanya karena membuang bonekanya. "Nggak cemburu apa sama boneka?" bisik Bagas kembali.
Karena ini sudah malam, mau cari restoran atau cafe juga susah. Akhirnya mereka memutuskan untuk makan di pinggiran jalan. Rania memilih penyetan untuk makan malam mereka. Tidak ada lain selain ini kecuali penjual nasi goreng. Dan nyatanya penjual nasi goreng langganan Rania sudah tutup. "Mas mau makan apa? Ada bebek, ayam, udang atau–" "Sama kayak kamu aja Ran aku." porong Abrisam cepat. "Aku nggak alergi seafood kok." lanjutnya. Rania mengangguk, dia pun memilih memesan dua ayam dan juga satu udang untuk Abrisam. Lalu menatap Bagas dengan tatapan tanda tanyanya. "Mas Bagas mau pesen apa?" tanya Rania pada Bagas. seketika itu juga Bagas menatap Rania dengan heran. Lalu menatap Abrisam yang masih diam saja di sampingnya. "Kok kamu panggil dia Mas, Ran?" protes Abrisam yang tidak Terima dengan panggilan dirinya pada Bagas."Dia lebih tua dariku Mas ternyata." Abrisam menggeleng. "Panggil Bagas aja. Nggak usah dikasih embel-embel Mas juga dong." Entah kenapa protes itu mampu memb
Hari ini Rania memutuskan untuk pergi ke rumah Adhitama. Dia begitu merindukan ayahnya setelah menikah dengan Abrisam. Sejujurnya, dia sudah menjadwalkan minggu lalu untuk pulang ke rumah. Tapi karena kesalahan ibu mertuanya, membuat Rania tak bisa pulang ke rumah ayahnya. Sebelum pergi ke rumah ayahnya, Rania sempat mampir sejenak di kantor Rana. Dia menatap ada banyak karyawan menunduk ketakutan ketika melihat Rania datang. Belum lagi dia juga bertemu dengan Grace ibunya yang terlihat sangat sombong di hadapannya. Untung saja Rania mengingat ucapan Rana waktu itu, angkat kepala dan menatap tajam ke arah orang tanpa ada senyuman. Itulah yang Rana katakan, sehingga apa yang Rania lakukan sesuai perintah Rana. Tapi masalahnya … Grace datang dengan membawa banyak file yang harus di tanda tangani, sedangkan Rania sama sekali tidak tahu bagaimana bentuk tanda tangan Rania. "Aku hanya menyampaikan hal itu. Dan aku juga bilang kalau file bisa dikirim via email." jelas Rania. Rana di seber
Abrisam memijat pelipisnya ketika sampai di rumah. Dia tidak mendengar suara Rania atau sambutan hangat dari wanita itu. Dimana istrinya sekarang? Pria itu memanggil nama istrinya, tapi tak ada jawaban sama sekali. Bahkan ketika suaranya naik satu oktaf pun, orang yang dicarinya tidak muncul di hadapannya."Ran–" "Den Abri sudah pulang? Maaf Den, tapi Non Rana masih keluar." jawab Mbok Atuh, yang mendengar teriakan Abrisam. "Pergi kemana Mbok? Kok nggak bilang saya?" "Katanya mau belanja Den. Dan katanya lagi udah bilang sama Aden juga." "Kapan? Kenapa dia tidak menelpon ku?" Mbok Atun juga tidak tahu. Sampai akhirnya Abrisam mengeluarkan ponselnya dari saku jasnya. Bersamaan dengan itu Bagas datang, dan langsung menatap ponsel Abrisam. Disana ada dua pesan masuk dari Rana yang mengatakan jika dia akan pergi belanja dan juga mengunjungi keluarganya. Dia akan segera kembali, sebelum Abrisam pulang dari kantor. "Dia lupa atau gimana sih, kalau suaminya ini nggak bisa baca pesan?"
"Jadi … apa ada pertanyaan aneh, setelah kamu ketemu keluarga kamu?" tanya Abrisam. Rania berpikir sebentar. Doa pun menaruh dompet abu-abu miliknya di atas meja. Lalu menatap Abrisam dengan mata memicing. "Kamu … ngikutin aku ya?" tuduh Rania."Aku habis dari kantor. Mana mungkin aku ngikutin kamu." kekeh Abrisam. "Tapi kok tahu kalau aku mendapat pertanyaan aneh dari ayahku?" Dan kali ini giliran Abrisam yang berpikir keras. Ayah? Bahkan selama ini Abrisam mendengar jika istrinya ini memanggil papa bukan ayah? Menyadari ekspresi Abrisam, Rania pun tersenyum. Dia langsung menjelaskan jika ayah yang dia maksud adalah ayah kandungnya. Ibu dan ayahnya berpisah sejak lama, dan dia tinggal bersama dengan ibunya. Setelah berpisah ibunya menikah kembali, tapi tidak dengan ayahnya yang masih sendiri sampai saat ini. Ayahnya pergi meninggalkan rumah mewah mereka dan hidup sederhana, ayahnya juga sempat sakit jantung beberapa bulan yang lalu. Tapi untungnya ayahnya mendapatkan pertolongan
Keesokan paginya, Rania pun bangun dari ranjang kecilnya. Dia pun menatap Abrisam yang masih terlelap di sampingnya. Semalam, Abrisam memutuskan untuk tidur di rumah ayah Rania yang sempit ini. Awalnya dia tidak mempermasalahkan mau tidur di ranjang sempit dan keras ini. Tapi waktu malam tiba dan saat hendak tidur, dia malah kesulitan tidur karena tidak ada pendingin ruangan dan juga banyak nyamuk berterbangan kesana kemari. Dan membuat Rania mau tidak mau menjadikan buku yang ada sebagai kipas, agar Abrisam bisa tidur dengan nyenyak. Belum lagi ada beberapa nyamuk yang menggigit kulit Abrisam hingga memerah. Rania bergerak hendak turun dan ingin membersihkan diri. Tapi ketika Rania kembali bergerak menurunkan kalinya bersamaan dengan itu juga tempat tidur ini menimbulkan suara yang cukup nyaring, membuat Rania mendengus. Dia hanya takut jika Abrisam akan terganggu ketika dia tidur di rumah ayahnya hanya karena ranjang yang berbunyi. sayangnya … Abrisam yang sudah terbangun sejak t
Leon pulang dengan perasaan kesal. Makan siang tadi membuat dirinya ingin sekali marah. Dia harus melihat kemesraan Abrisam dan juga Rania yang ditunjukkan di depan publik. Bisa dibilang sengaja membuat Leon marah. Pria itu masih ingat betul, jika dulu ketika Abrisam memiliki kekasih pria itu tidak seperti ini dengan kekasihnya dulu. Bahkan kebanyakan kekasih Abrisam sekali mengeluh memilih kekasih macam Abrisam yang terkesan cuek dan tidak peduli dengan kekasihnya. Itu sebabnya mereka lebih suka menjalin hubungan dengan Leon karena apa yang mereka dapatkan selalu ada di diri Leon. Perhatian, kasih sayang, dan waktu. Empat hal yang selalu diinginkan wanita ketika memiliki kekasih.Duduk di sofa cream pria itu menatap langit-langit rumahnya dengan mata terpejam. Dalam bayangannya, Leon membayangkan ucapan Rania yang dia dengar tadi. Permainan memakan permen, menjilatinya hingga menggigit. Entah kenapa Leon membayangkan hal yang mengarah pada adegan dewasa. Dimana Rania yang mulai memai
Kara menatap Rania yang mondar mandir di depannya dengan jengkel. Baju tipis itu bergoyang kesana kemari seiring mengikuti arah angin. Belum lagi disini ada tiga pria, yang otomatis juga pasti akan paham dengan situasi seperti ini. Wanita itu masuk ke dalam kamar penginapannya, mengambil beberapa potong baju miliknya lalu dia berikan pada Rania. Meminta kakak iparnya untuk mengganti bajunya yang lebih tebal. Lagian, Kara juga tidak ingin kakak iparnya itu sakit kembali. Jika kemarin kakak iparnya bisa sakit masih, mungkin saja setelah ini kakak iparnya bisa masuk angin. "Kamu serius minjemin baju ini buat aku, Kara?" tanya Rania memastikan. "Iya. Aku pikir-pikir takut Kakak sakit lagi aja." Rania melompat kegirangan layaknya anak kecil. Dia pun buru-buru mengganti baju tipisnya dengan baju tebal milik Kara. Tidak masalah kebesaran sedikit, toh Rania juga suka baju dengan size yang besar. Tidak hanya itu, sangking senangnya dengan baju yang Kara bagi. Rania langsung menemui Abrisa
Suara peluit berbunyi dengan kencangnya. Satu persatu bola masuk ke gawang lawan dan mencetak gol. Permainan dimulai dua jam yang lalu, dimana team Kara dan juga Rania unggul dengan delapan poin. Sedangkan team Mbok Atun dan juga Selena unggul dengan lima poin. Susah dipastikan team Rania dan juga Kara yang memenangkan tantangan kali ini. "Astaga capek banget." keluh Rania dan duduk di samping Abrisam. "Seru mainnya?" tanya Abrisam bersemangat. Rania mengangguk, dia pun menerima satu botol minum yang diberikan Abrisam. Meneguk nya hingga setengah, Rania pun dengan iseng melempar bola itu ke sembarang arah. Hingga dia mendengar suara rintihan yang kencang. "Ehh siapa itu?" pekik Rania kaget. "Ada orang kah?" teriak Kata kencang. Rania menatap setiap penjuru arah, sambil mewanti-wanti jika itu adalah monster hutan, atau mungkin orang jahat. Selena dan yang lain pun bisa langsung kabur jika ada yang mau mencelakai mereka. Dan ternyata, orang itu keluar dari arah samping kanan denga
Bangun lebih dulu, Rania pun memutuskan untuk membantu Mbok Atun memasak di dapur villa. Hari ini akan ada pertandingan sepak bola antara team Rania dan juga Selena. Ya, semalam Selena mengumpulkan seisi rumah ini untuk berunding. Selena menginginkan permainan selama mereka liburan, anggap saja hiburan sementara ini untuk menghibur Selena yang sempat kecewa dengan keadaan. Dimana Rania tidak kunjung hamil.Pagi ini dengan membuatkan nasi goreng telur mata sapi, Rania pun menatap semua masakannya di atas meja. Hingga satu persatu orang keluar dari kamar mereka, termasuk Abrisam. "Selamat pagi." sapa Rania ketika melihat Kara yang baru saja datang dan duduk. "Pagi Kak. Kita jadi main bolanya? Aku nggak jago loh." kata Kara. Rania mengangguk, "Jadi dong. Kamu team aku." Kara mengangguk, dia pun menatap Selena yang sudah siap dengan baju olahraganya. Begitu juga dengan para pria yang datang satu persatu dengan rasa malasnya. Rania langsung berlari kecil ke arah Abrisam, dan menuntunn
Leon tersenyum lebar ketika melihat rumah di depannya. Pria itu memutuskan untuk pergi ke puncak untuk menyusul Rania. Untung saja salah satu tangan katakan Leon cepat menemukan keberadaan Leon dan juga Abrisam. Dan sekarang jarak antara penginapan Leon dan juga Rania hanya berjarak dua rumah. Itu tandanya Leon bisa melihat Rania apapun yang wanita itu lakukan setiap harinya. Pria itu menarik kopernya untuk membawanya ke kamar, menata semua bajunya ke sebuah lemari kecil di ujung ruangan. Rumah ini tidak terlalu besar, hanya ada satu lantai dengan banyak penyekat ruangan. Dapur dan juga ruang tengah, dihalangi oleh satu bufet kaca tinggi yang tidak memiliki isi apapun. Lalu dari pintu dan sebelah kiri pintu, langsung ke ruang tengah. Depan rumah juga ada taman sedikit, dan juga teras yang minimalis yang indah. Leon keluar dari kamarnya, dia pun memutuskan untuk menikmati udara di puncak. Agak dingin, tapi tidak masalah. Menggunakan syal untuk menutup lehernya, Leon pun berjalan di d
Selena cemas-cemas harap, ketika melihat Rania pulang dalam keadaan pingsan. Abrisam meminta bantuan warga setempat untuk mengantar mereka pulang. Dan tentunya, warna juga kaget ketika lihat Abrisam yang tidak bisa melihat sama sekali. Untung saja tempat tinggal sementara ini tidak jauh dari pemukiman warga. Hingga beberapa warga mendatangkan bidan desa tempat ini untuk memeriksa Rania. Dalam hati, Selena berharap pingsannya Rania ini karena hamil. Tapi yang ada, bidan desa itu mengatakan jika Rania merasa lelah dan juga maag naik, itu sebabnya dia pingsan. Bukan karena tanda-tanda orang hamil. Bidan desa juga hanya menemukan satu nadi, perut Rania juga lembek. Tidak ada yang keras dibagian bawah. Mungkin memang belum saatnya Rania hamil. Selena sempat kecewa, pernikahan Abrisam dan Rania sudah terbilang cukup lama jika dihitung dari tanggal mereka menikah. Tapi sampai sekarang Rania juga belum hamil anak Abrisam. Apa dia tidak tahu, jika Selena sudah ingin sekali menggendong cucu
Menundukkan kepalanya malu, Rania pun bersembunyi di balik punggung Abrisam. Dia pun menarik ujung baru Abrisam, dan memintanya untuk cepat keluar dari rumah ini. Sungguh, Rania ingin menenggelamkan dirinya di tengah gurun pasir jika melihat wajah Selena yang menyebalkan. "Kalian mau kemana?" tanya Kara. "Heh Kara … kamu kenapa banyak tanya sih. Mereka itu mau jalan-jalan, kalau kamu pengen sama Bagas aja tuh nganggur." jawab Selena. Karaw memutar bola matanya malas. "Apa sih Mi. Orang Kara cuma tanya doang kok, nggak ada niatan juga mau ikut mereka." "Mami pikir juga mau ikut. Dari pada jadi obat nyamuk mending sama Bagas aja nggak masalah." Memutar bola matanya malas, Kara menolak. Jika dia ingin jalan-jalan, dia bisa melakukannya sendiri nanti. Untuk saat ini Kara sedang malas keluar rumah, selain hawanya dingin ada sesuatu yang harus dijaga agar tidak ada orang yang tahu. Ya, ini semua karena ide gila Selena sebelum berangkat ke puncak. Awalnya, Selena yang menarik koper baj
Leon menatap rumah di hadapannya yang terlihat kosong, sejak kemarin Leon tak melihat satu orang pun yang keluar dari rumah itu. Entah Rania, Abrisam atau mungkin pembantu rumah ini. Biasanya, jika Leon lewat depan rumah ini, dia biasanya melihat Rania yang berada di depan rumah sambil menyirami beberapa bunga. Atau mungkin melihat Rania yang tengah memetik bunga mawar di dekat pagar. Dan sekarang …Memijat pelipisnya, Leon pun terlihat sangat pusing. Baru kemarin dia mengirim bunga pada wanita itu dan sekarang malah tidak melihatnya. Belum lagi kuris yang disuruh mengantar bunga memberitahu Leon jika rumahnya kosong. Awalnya, Leon juga tidak percaya, dia berpikir kurir itu salah alamat atau bagaimana. Taunya pas datang kemari rumah ini benar-benar kosong. Dimana Rania berada? Pikir Leon. Mengambil ponselnya, Leon pun langsung menghubungi salah satu orang yang menangani kerjasama antara perusahaan Leon dan juga Abriam. Dia ingin tahu apa Abrisam ada di kantor atau tidak. Dan jawaban
Kesal. Itulah yang dirasakan oleh Rania. Koper miliknya telah di tukar. Baju yang dia bawa telah dikeluarkan dan digantikan baju kekurangan bahan. Dimana baju yang ada di dalam koper Rania kebanyakan baju tipis di cuaca yang dingin ini. "Kamu yakin sudah masukin semua bajunya?" tanya Abrisam memastikan. "Udah Mas. Aku malah banyakin bawa kaos loh tadi. Tapi ini kenapa isinya beda semua ya, warna kopernya juga masih sama." "Kopernya warna apa?" "Warna merah."Abrisam diam mendengar warna merah. Dia teringat sesuatu dengan warna merah itu. Tapi disini Abrisam mencoba untuk mengenyahkan pikiran buruknya. Tidak mungkin jika barangnya ketinggalan di rumah Abrisam. Mana mungkin!! Pikir Abrisam. "Baju kamu satu pun nggak ada?" Bukannya tidak ada. Di koper ini ada banyak baju dan juga dress mini yang menggoda iman. Rania juga mengambil beberapa baju dan dia berikan pada Abrisam, untuk menyentuhnya. Bajunya terlalu tipis dan Rania takut masuk angin jika dia menggunakan baju ini. Sedangka