Mathias berjalan menghampiri pintu kamar, membukanya dan melangkah keluar. Karena emosi yang memenuhi dirinya, Mathias pun membanting pintu dengan suara keras.
BRAK! Pintu kamar terbanting keras hingga bergema di seluruh rumah. Suara itu memekikkan telinga, seolah menjadi puncak dari pertengkaran mereka yang sudah memanas sejak tadi. Di dalam kamar, Hailey terduduk lemas di sudut tempat tidur. Tangisannya pecah tak tertahankan. Air matanya mengalir deras, membasahi pipi yang sudah memerah. Ia merasa terjebak dalam pernikahan yang lebih mirip neraka. Setiap kata yang keluar dari mulut Mathias, setiap tindakannya yang meledak-ledak, membuat Hailey semakin merasa ditumbalkan ke dalam kandang singa yang mengerikan. “Kenapa? Kenapa semua harus seperti ini?” isak Haley dengan perasaan terluka. “Apa salahku? Apa mau pria itu sebenarnya?” Hailey mencoba menarik napas dalam-dalam, berusaha mengumpulkan kekuatan. Ia tahu bahwa dia tidak bisa terus-terusan seperti ini. Namun, bayangan suaminya yang temperamental dan tidak jelas apa maunya itu membuat Hailey takut dan bingung. Dia pun memikirkan apa yang akan terjadi ke depannya jika mereka akan menjalani kehidupan berumah tangga. Tak ada cinta dalam hati mereka. Bahkan mereka seakan terjebak dalam pernikahan yang tidak mereka inginkan. Sementara itu Mathias keluar dari kamar Hailey dengan langkah berat, wajahnya merah padam menahan marah. Ia berjalan cepat menuju kamar utama. Kamar itu jauh lebih luas, dindingnya dipenuhi foto-foto keluarga Cameron yang tertata rapi, menghadirkan nuansa hangat dan hidup. Sejak awal, dia memang tidak berniat untuk berbagi kamar dengan Hailey, atau lebih tepatnya, dengan wanita yang sekarang menjadi istrinya. Ia hanya masuk ke kamar Hailey tadi untuk mencari jawaban atas satu pertanyaan yang membakar pikirannya: Mengapa pengantinnya ditukar? “Sial!” Mathias menggeram sambil mengusap wajahnya kasar. “Seharusnya Evangeline yang menjadi pengantinku. Bukan Hailey. Semua rencanaku untuk Evangeline akan berjalan lancar jika bukan karena pertukaran mempelai wanita ini.” Padahal Mathias sudah merencanakan banyak hal untuk menghancurkan Evangeline setelah wanita itu menjadi istrinya. Namun sayangnya semua rencana hanyalah sebatas rencana. Karena sekarang Mathias sudah menikah dengan Hailey dan keberadaan Evangeline pun masih belum diketahui keberadaannya. Sehingga mau tidak mau Mathias harus menahan dirinya. Mathias duduk di kursi dekat meja, kepalanya tertunduk dan tangannya memegang pelipis yang berdenyut nyeri. Ia merasa pusing dengan pernikahannya yang kacau balau, beban di hatinya semakin berat. Dalam perasaan yang kesal, dia meraih gagang telepon di atas meja dan menekan tombol panggilan. “Ya, Tuan, ada yang bisa saya bantu?” Suara pelayan pria terdengar sopan dari seberang. “William, bisa bawakan wine dan blue cheese favoritku ke kamar utama?” suara Mathias terdengar lelah tapi tetap tegas. “Tentu, Tuan. Saya akan segera mengantarkannya,” jawab William dengan nada penuh hormat. Mathias menaruh gagang telepon kembali ke tempatnya dan menghela napas panjang. Ia merasa sedikit lega, tapi perasaan kacau masih menghantui pikirannya. Tidak lama kemudian, terdengar ketukan di pintu kamar utama. “Masuk,” ujar Mathias tanpa mengalihkan pandangannya dari jendela. Pintu terbuka perlahan, dan William masuk dengan nampan di tangannya. Di atas nampan itu, ada botol wine yang diletakkan di atas ember penuh es, gelas, dan sepiring blue cheese seperti yang diinginkan Mathias. William berjalan pelan menuju meja dan meletakkan semuanya dengan hati-hati. “Apakah ada hal lain yang Anda butuhkan, Tuan?” tanya William dengan sopan setelah menyelesaikan tugasnya. Mathias menggelengkan kepala tanpa menoleh. “Tidak, itu saja. Kau boleh keluar.” “Baik, Tuan. Jika Anda membutuhkan sesuatu lagi, jangan ragu untuk memanggil saya,” ujar William sebelum membungkuk sedikit dan keluar dari kamar, menutup pintu dengan lembut di belakangnya. Mathias menatap botol wine di hadapannya, kemudian menuangkan segelas penuh. Ia mengambil sepotong blue cheese dan mulai menikmati keduanya dengan lambat. Rasanya yang kaya sedikit menenangkan pikirannya, tapi bayangan pernikahan yang kacau masih membayangi pikirannya. Dia tahu bahwa wine dan blue cheese tidak akan menyelesaikan masalahnya, tapi setidaknya untuk malam ini, mereka memberikan sedikit pelarian dari kenyataan pahit yang harus dihadapi. Mathias menatap botol wine di hadapannya. Dia meraih benda itu lalu membuka botol tersebut dan menuangkan segelas penuh. Ia meneguknya dengan cepat, merasakan rasa pahit bercampur manis dan sepat yang mengalir di tenggorokannya. “Minuman ini sangat cocok untuk hari yang kacau ini,” gumam Mathias. Satu gelas habis, kemudian disusul gelas kedua, ketiga, dan seterusnya. Setiap tegukan wine seakan menghapus rasa pening yang menyelimutinya. Ia memakan sepotong blue cheese di antara tegukan, tapi pikirannya tetap gelap. Mathias duduk terkulai di kursi, tubuhnya lemas dan pandangannya kabur akibat pengaruh alkohol. Di tengah kekalutan itu, bayangan seorang gadis remaja tiba-tiba muncul di benaknya. Gadis itu cantik dan ceria, memanggilnya “kakak” dengan suara lembut yang selalu menenangkan. Sejenak, Mathias mengangkat kepalanya dan menoleh. Di depan matanya yang buram, dia bisa melihat sosok gadis itu berdiri sambil tersenyum manis. Senyuman yang begitu hangat dan penuh kasih sayang, seolah membawa kembali kenangan masa lalu yang indah. Namun, saat Mathias ingin membalas senyuman itu, tiba-tiba ekspresi gadis tersebut berubah. Wajah cerianya mendadak memberengut, matanya yang tajam tertuju padanya dengan pandangan penuh teguran. Gadis itu mengangkat kedua tangannya di pinggang, bersiap untuk mengomel. “Kakak, jangan minum terlalu banyak. Tidak baik untuk kesehatanmu,” kata gadis itu dengan nada tegas, tapi tetap mengandung kekhawatiran yang tulus. Mathias terpaku, tidak mampu menjawab. Mathias menggeleng pelan. Ini halusinasi. Tidak, anak itu sudah meninggal sebelas tahun yang lalu. Namun, berkedip beberapa kali tak membuat bayangan di depan matanya menghilang. Kehadiran gadis itu seakan terlalu nyata untuk menjadi sekadar halusinasi, tapi juga terlalu mustahil untuk menjadi kenyataan. Ia bergumam pelan, “Apakah aku sedang bermimpi?” Gadis itu tetap berdiri di sana, menatap Mathias dengan tatapan penuh kepedulian. “Kakak, tolong dengarkan aku. Aku tidak ingin melihatmu hancur seperti ini.” Gadis itu pun mulai berjalan mengelilingi kamar Mathias, berceloteh tentang banyak hal. “Kakak, kau tahu? Sebentar lagi akan ada camp musim panas! Aku sangat bersemangat untuk ikut! Bayangkan, kita akan berkemah di hutan, membuat api unggun, dan bernyanyi bersama di malam hari! Aku tidak sabar mengikutinya.” Mendengar celotehan gadis itu, ingatan tentang masa-masa bahagia bersama adiknya kembali membanjiri pikiran Mathias. Kenangan tentang tawa, kebahagiaan, dan impian yang dulu mereka bagi. Namun, kenyataan pahit bahwa semua itu telah hilang membuat amarah membara di dalam dirinya. Tangannya mengepal erat-erat hingga buku-bukunya memutih. Ia tidak mampu menahan kemarahan yang semakin membuncah. Dengan satu gerakan cepat, dia melemparkan gelas wine yang dipegangnya ke dinding. Gelas itu pecah berantakan, mengirimkan serpihan kaca ke seluruh lantai. Dengan napas terengah-engah karena amarah, Mathias pun berkata, “Aku bersumpah akan membasmi keluarga Brantley. Mereka akan membayar atas semua penderitaan ini.” Bayangan gadis itu menghilang, meninggalkan Mathias sendirian di kamar yang sunyi, penuh dengan kemarahan dan tekad yang baru. Dia tahu bahwa balas dendam adalah satu-satunya jalan yang bisa mengembalikan kedamaian dalam hidupnya. Dan mulai malam itu, dia bertekad untuk menjalankan sumpahnya.Keesokan paginya, Hailey terbangun dengan tubuh yang terasa berat. Dia mengeluh kesal saat mencoba bangkit dari tempat tidur. Sendi-sendinya sakit dan kepalanya berdenyut, efek dari kurang istirahat dan terlalu banyak menangis. Dengan gerakan lambat, Hailey duduk di atas tempat tidur, merasa asing dengan kamar tempat dia berada.Dia memandangi sekeliling, mencoba mengingat di mana dirinya berada. “Ini dimana? Ini bukan kamarku di kediaman keluarga Brantley.”Hailey menghentikan rasa paniknya. Dia terdiam sejenak untuk mengingat apa yang terjadi kemarin. Kemudian dia teringat kejadian dimana dirinya dijadikan pengganti bagi Evangeline untuk menikah dengan Mathias. Setelah menikah dia diseret oleh Mathias ke kediaman Cameron lalu mereka berbicara dan berujung pada pertengkaran hingga membuat Hailey tertidur.“Ah,ya, ini adalah kamar di kediaman keluarga Cameron, keluarga pria yang saat ini menjadi suamiku.” Kedua bahu Hailey terkulai lemas karena dia harus diseret pada kenyataan jika di
Mathias meletakkan sendoknya dengan perlahan, matanya menatap tajam ke arah Hailey. Seringaian sinis menghiasi wajahnya, membuat suasana di ruang makan itu semakin tegang. Hailey, yang kemarin tampak seperti anak anjing yang ketakutan, kini bisa merasakan ketakutannya sedikit berkurang. Dia telah melihat temperamen buruk Mathias kemarin, dan sekarang dia berusaha mengumpulkan keberanian untuk menghadapi suaminya.Hailey menghela napas dalam-dalam sebelum berbicara, “Apa sebenarnya maksud ucapanmu, Tuan Mathias? Tentu saja aku berbicara dengan mulutku. Karena manusia hanya berbicara dengan menggunakan mulut.”Mathias terkekeh mendengar keberanian Hailey. Dia menatap istrinya dengan tatapan meremehkan, kemudian bertopang dagu. Setelan biru gelap yang dikenakannya semakin menambah aura otoritas yang dia pancarkan.“Hailey, di antara kita tidak ada yang perlu dibicarakan lagi. Kau hanyalah istri yang kunikahi karena suatu kepentingan bersifat sementara. Tidak lebih dari itu.” Kata Mathias
Penelope menghampiri putri angkatnya, Hailey, dan memeluknya erat. Namun, Hailey tetap diam, tubuhnya kaku dalam pelukan ibunya. Setelah beberapa detik, Penelope melepaskan pelukannya dan menatap wajah Hailey dengan penuh kekhawatiran.“Hailey, apakah kau baik-baik saja?” tanya Penelope dengan suara lembut.Hailey mendengus sinis mendengar pertanyaan itu dari ibu angkatnya. Dia tidak percaya setelah apa yang dia lakukan pada Hailey, Penelope justru menanyakan pertanyaan tidak berguna seperti itu.“Baik-baik saja? Setelah kau memaksaku menjadi pengganti bagi Kak Eve agar bisa menikah dengan Mathias, sekarang kau bertanya apakah aku baik-baik saja?” tanya Hailey dengan nada mengejek.Penelope terlihat terluka oleh kata-kata Hailey. “Aku minta maaf, Hailey. Aku terpaksa melakukannya karena aku terlalu takut jika keluarga Cameron menghancurkan keluarga Brantley jika mereka tahu Evangeline kabur.”Hailey tahu benar permintaan maaf itu tidaklah tulus. Dia bisa melihatnya dari ekspresi Penel
Malam sudah menyelimuti kota ketika Mathias duduk di kursi belakang mobil, merasa kelelahan setelah seharian bekerja keras di kantornya. Bruce, asisten pribadinya, mengemudikan mobil menuju rumah Mathias dengan tenang, sementara Mathias bersandar di kursi dengan mata setengah tertutup, mencoba menghilangkan rasa lelah.Tiba-tiba, ponsel Mathias berdering, memecah kesunyian malam. Mathias menarik ponselnya dari saku jasnya, dan matanya tertuju pada layar yang menunjukkan nama ibunya, Sarah Cameron. Dia merasa kesal dengan panggilan itu. Meskipun enggan, tapi dia akhirnya menjawab.“Hallo, Mom,” ucap Mathias dengan nada yang malas.“Mathias, aku ingin kau bersiap-siap untuk makan malam sekarang dengan seseorang,” kata Sarah, suaranya penuh keinginan.Mathias langsung menanggapi dengan nada tegas dan tidak sabar. “Mom, aku tahu kau masih bersikukuh menjodohkanku, tapi aku sudah menikah. Aku tidak mau menghadiri perjodohan seperti itu.”Sarah tidak menyerah, tetap dengan nada penuh penger
Ciuman itu terasa manis.Mathias bukan sekali atau dua kali mencari wanita untuk sekadar memuaskah hasratnya. Ini juga bukan ciuman pertamanya. Akan tetapi, bibir Hailey memberikan efek memabukkan yang nyata. Mathias membuka matanya, sedangkan mata Hailey terpejam erat. Wanita itu seolah menahan sesuatu, tangannya meremas kemeja yang Mathias kenakan. Mathias tersenyum di tengah-tengah ciuman itu. Bibir Hailey begitu candu.Di tengah-tengah kesadarannya yang tidak sepenuhnya hilang, Mathias berpikir bahwa ini salah. Namun Mathias langsung tersihir begitu dia membuka pintu kamar Hailey. Dan saat dia melangkah masuk dengan langkah gontai, gadis itu seolah memberikan godaan yang kuat. Ketika langkahnya terhenti tak jauh dari ranjang Hailey, Mathias terpaku saat melihat Hailey yang sedang duduk di atas ranjang sembari membaca bukunya. Cahaya lampu tidur memantul lembut di wajahnya, membuat rambut pirang Hailey berkilau.Antara sadar dan tidak, Mathias merasakan ada yang aneh dengan dirinya
Keesokan paginya, Mathias terbangun lebih dulu. Kepalanya sakit akibat wine yang diminumnya semalam. Dia mengerang, meraba kepalanya dengan tangan kanannya, lalu mengumpat karena rasa pusing yang dirasakannya. Namun tiba-tiba Mathias tersadar bahwa dia sedang tidak berada di kamarnya sendiri.Yang membuatnya lebih terkejut, tangan kirinya terasa begitu berat. Dia menoleh dan melihat Hailey yang terlelap di sampingnya. Wanita itu terlihat begitu tenang, berbaring di atas lengan Mathias.“Apakah aku melakukannya dengan Hailey semalam?” gumam Mathias.Melihat bahu Hailey yang terbuka, Mathias segera menyibak selimut untuk memastikan apakah yang terjadi semalam benar-benar terjadi atau hanya sekedar mimpi. Mathias menemukan noda darah di seprai. Dia tersenyum kecil tanpa sadar. Ternyata itu adalah kali pertama bagi Hailey.Mathias pun bergumam, “yah, aku senang mendapatkan kehormatan menjadi pria pertama yang bercinta dengan Hailey.”Kemudian, Mathias menatap wajah cantik Hailey dan menga
Kedua tangan Hailey terkepal di kedua sisi tubuhnya. Dia malas sekali kalau harus menghadapi kakaknya yang tidak tahu diri.“Ini bukan urusanmu, Evangeline. Minggir!” pinta Hailey dengan dingin.Evangeline tersenyum sinis, “Apa? Kau pikir kau pantas berada di sini? Ini bukan tempat untuk orang sepertimu, Hailey.”Teman-teman Evangeline tertawa, mengolok Hailey.“Kau benar, Evangeline. Lihatlah pakaian gadis ini. Bukankah dia lebih cocok sebagai pengemis?” Grace, salah satu teman Evangeline, ikut menghina Hailey.“Aku yakin dia tidak punya uang yang cukup untuk membeli baju paling murah di sini.” Wanita bernama Olive pun mengikuti temannya.Hailey merasakan wajahnya memanas, tetapi dia menegakkan kepalanya. “Aku di sini karena aku bisa. Dan itu bukan urusan kalian. Aku tidak perlu memberikan laporan pada kalian apakah aku bisa bisa membeli baju disini atau tidak.”Evangeline melangkah lebih dekat, “Apa yang bisa kau beli di sini? Satu gaun? Itu pun mungkin setengah dari tabunganmu.”Ha
Hailey bisa merasakan tatapan penuh kebencian dari Evangeline yang membara di seberang ruangan. Awalnya, Hailey berharap bahwa perlakuan baik Mathias adalah tanda peningkatan dalam hubungan mereka. Namun, pemikiran itu ternyata salah besar.Dalam hati, Hailey berbisik, ‘Sepertinya Mathias memang sengaja bersikap romantis padaku hanya untuk membuat Evangeline cemburu.’“Tuan Mathias, Nyonya Hailey, mari kita ke ruang privat. Saya sudah menyiapkan beberapa gaun dari koleksi terbaik kami untuk dicoba oleh Nyonya Hailey,” ujap Matthew, sang manajer butik, sambil mempersilahkan mereka berdua.Mathias mengangguk, kemudian memeluk pinggang Hailey dengan lembut. Mereka berjalan bersama melewati Evangeline, yang tatapannya semakin tajam.“Sial! Kenapa harus Hailey yang bersama dengan pria tampan itu? Seharusnya aku yang berada di posisi Hailey,” gumam Evangelin kesal.Bibir Mathias tersenyum lebar penuh kemenangan mendengar gumaman Evangeline. Bukan karena Mathias menyelamatkan Hailey. Namun
Napas Mathias terengah-engah setelah dirinya mencapai puncak kenikmatan yang mengguncang tubuhnya. Saat dia ambruk dan menimpa Hailey, Mathias menyangga tubuhnya dengan tangan. Hailey tampak begitu menawan dan menggoda dengan keringat di sekujur tubuhnya yang putih mulus. Dengan senyuman miring, Mathias menatap Hailey yang baru membuka matanya, masih meresapi sisa kenikmatan yang baru saja mereka capai.“Apakah kau menikmatinya, Hailey?”Hailey menoleh, berusaha menghindari Mathias. Akan tetapi pria itu sama sekali tidak mau melepaskannya. Mathias menangkup wajah Hailey, kemudian mendaratkan ciuman padanya. Secara paksa menyusupkan lidahnya ke dalam mulut Hailey dan menjelajah di sana. Tangannya dengan aktif kembali meremas-remas payudara sintal wanita itu.Aneh, Hailey sangat lelah, tapi sentuhan kecil itu membuat Hailey kembali menginginkannya.“Ma- Mathias .... akh, hen ... hentikan, kumohon ...” Hailey memohon dengan suara bergetar di antara desahannya yang terdengar seksi dan mer
Mathias terperangah mendengar alasan Hailey mengapa dia begitu takut padanya. Selama ini, dia memperlakukan Hailey sama seperti orang lain, tanpa menyadari bahwa sikapnya itu telah membuat wanita itu begitu takut padanya. Mathias mendadak terdiam, matanya menerawang jauh. Dia merenung dalam-dalam, berusaha memahami perasaan Hailey.Pertanyaan berputar-putar dalam pikirannya,. pa benar yang dikatakan Hailey? Apakah dia benar-benar seburuk itu? Mathias tidak tahu. Selama ini tidak ada yang memberitahukan padanya bahwa tatapan matanya membuat orang takut.Pikirannya melayang kembali ke momen-momen ketika dia bersikap kasar kepada Hailey. Saat di pesta, dia menggenggam tangan Hailey dengan keras, nyaris mencederainya. Mathias merasa hatinya tersayat mengingat bagaimana dia melampiaskan kemarahannya tanpa mempertimbangkan perasaan Hailey.Rasa bersalah semakin dalam menguasai hatinya meskipun dia sudah minta maaf. Selama ini, dia terlalu fokus pada pekerjaannya, pada ambisi balas dendamnya
“Bagaimana Hailey?” Sarah memojokkan Hailey dan mengulangi pernyataannya tadi, “aku sudah bilang tidak suka padamu, kau menikahi putraku secara diam-diam. Aku juga sudah punya calon istri untuk Mathias.”“Y- ya?” Hailey tidak bisa menjawab kata-kata lain, kerongkongannya tercekat.Sarah melanjutkan dengan nada bicara yang tajam. “Bercerailah dari Mathias.”Melihat ketegangan itu, Mathias langsung menghentikan ibunya yang hendak mengintimidasi Hailey kembali. Mathias mengenal betul sifat ibunya. Dia tidak akan berhenti membahas masalah ini jika tidak dihentikan.“Mom, sudah cukup. Tolong jangan bahas soal ini lagi,” kata Mathias dengan tegas. “Aku tidak akan bercerai dari Hailey.”Sarah mendengus tidak percaya mendengar ucapan Mathias. Dia semakin kesal karena putranya itu menghalangi dirinya untuk menyadarkan Hailey agar dia tahu diri.Sarah menatap putranya dengan dingin. “Memang apa yang sudah Mom lakukan, Mathias? Mom hanya mengutarakan pendapat saja. Setiap orang berhak berpendapa
Mata Hailey terbelalak dan buku yang dia pegang jatuh begitu saja ke lantai, dia mengerjap beberapa kali untuk meyakinkan dirinya sendiri. Namun, kenyataannya Mathias memang mengecup bibirnya. Ciuman itu terasa lembut dan tidak menuntut. Hailey diam saja, tapi Mathias terus memberikan kecupan-kecupan ringan padanya. Jantung Hailey berdebar kencang.“Tutup matamu, Hailey.” Mathias berbicara pelan disela ciumannya. Itu tidak terdengar seperti Mathias, dan Hailey linglung saat mendengarnya. Akan tetapi, meski bicaranya pelan dan lembut, Hailey masih menemukan aura otoritas di dalam nada bicara pria itu.Pada detik berikutnya, Hailey memejamkan mata. Mathias menggelitik bibir Hailey dengan lidahnya. Seolah mengetuk pintu sebelum masuk. Saat Hailey membuka sedikit mulutnya, lidah Mathias menyusup masuk dengan cepat. Menjelajah mulut Hailey, mencecap semua yang dia bisa. Tanpa sadar Hailey mengalungkan tangannya di leher Mathias.Secara perlahan Hailey mulai membalas ciuman itu.“Mmmhh....”
“Senang bisa bermain dengan kalian. Sampai jumpa lagi.” Mathias mengangguk sambil berpamitan pada rekan bisnis lainnya.“Kami juga merasa senang bisa bermain dengan Anda, Tuan Mathias. Sampai jumpa lagi.” Ucap Harry, salah satu rekan bisnisnya.Mathias pun berjalan menuju tempat parkir dengan membawa tas berisi peralatan golfnya. Langkahnya mantap saat dia melangkah melewati lapangan parkir. Karena hari itu dia memilih untuk berangkat tanpa supir. Setelah memasukkan peralatan golfnya ke bagasi, Mathias masuk ke dalam mobil. Baru saja dia menghidupkan mesin, terdengar ketukan di kaca pintu mobilnya.Mathias memutar kepala dan melihat Evangeline berdiri di sana,sembari tersenyum semanis mungkin untuk menggoda Mathias. Wajahnya tampak penuh harap tapi matanya mengandung kilatan menggoda. Dengan enggan, Mathias menurunkan kaca jendela.“Ada apa, Nona Evangeline?” tanya Mathias dengan nada datar.Evangeline tersenyum manis, sebuah senyum yang Mathias tahu digunakan untuk memikat siapa saja
Hailey sudah duduk di atas ranjang sembari bertanya-tanya dalam hati apakah benar Mathias yang merawatnya semalaman. Karena ada handuk di keningnya. Tatapan Hailey tertuju pada handuk yang sudah berada di atas pangkuannya. Kemudian tatapannya tertuju pada Mathias yang duduk tertidur di samping ranjang. Membuat Hailey semakin bingung apakah Mathias benar-benar merawatnya semalam. Namun, dia segera menepis pikiran itu, merasa tidak mungkin Mathias yang temperamental dan problematik akan melakukan hal seperti itu.“Seorang Mathias yang temperamental dan problematik itu? Kau pasti berhalusinasi, Hailey,” gumamnya pelan.Saat Hailey sibuk dengan pikirannya sendiri, Mathias terbangun dari tidurnya. Dia meringis karena tubuhnya terasa sakit akibat tidur dalam posisi duduk menelungkup ke ranjang. Namun, Mathias segera menepis rasa sakit itu ketika melihat Hailey sudah bangun dan duduk di atas ranjang. Mathias dengan cepat menyentuh kening Hailey, wajahnya penuh dengan kecemasan.“Hailey, apak
Hailey panik dan kaget saat melihat Mathias berdiri tidak jauh darinya. Tatapannya beralih pada pecahan gelas yang tersebar di lantai. Rasa takut segera menjalar di hatinya, khawatir Mathias akan marah karena dia telah memecahkan gelas itu.“Maaf, Tuan Mathias. Aku tidak sengaja memecahkan gelas itu. Aku hanya ingin mengambil air hangat. Aku tidak bermaksud memecahkannya. Kumohon percayalah padaku, Tuan Mathias!” kata Hailey terburu-buru menjelaskan dengan gemetaran pada suaminya.Hailey begitu gugup, tatapannya tak berani menatap langsung ke mata Mathias yang terlihat marah. Mathias menghela napas berat, merasa tak senang dengan sikap Hailey yang terlalu takut padanya.“Hati-hati, Hailey! Jangan bergerak. Aku tak ingin kau menginjak pecahan kaca. Biar aku yang menghampirimu,” ujar Mathias dengan suara tegas tapi lembut.Hailey hanya bisa menganggukkan kepalanya lemah menuruti ucapan Mathias. Seperti yang dikatakan oleh Mathias, pria itu berjalan dengan hati-hati menghampiri Hailey. H
Mathias sudah berada di atas ranjang sejak beberapa jam yang lalu, tapi dia justru tidak bisa tidur. Dia berbalik ke kanan dan ke kiri tanpa bisa membuatnya terlelap. Ada sesuatu yang terus-menerus mengganggu pikirannya.Mathias mengumpat kesal, “Sial, kenapa Hailey selalu mengganggu pikiranku?”Dia merasa frustrasi, pikiran tentang Hailey terus menghantuinya, membuatnya gelisah. Akhirnya, Mathias menyerah untuk mencoba tidur. Dia menyibakkan selimutnya dan beranjak menuju meja kerjanya.Mathias duduk di meja kerja dalam kamarnya dan mengambil sebuah dokumen. Itu adalah dokumen tentang Brantley Mode. Di sana tertulis jelas rencana pendanaan sampai seratus juta dollar. Mathias menatap dokumen itu dengan penuh konsentrasi, lalu menyimpannya kembali.Dia beralih untuk memeriksa email berisi file yang dikirimkan oleh anak buahnya. Itu adalah data aktivitas Evangeline dan rencana kemana dia akan pergi selama beberapa hari ke depan. Mathias telah membayar hacker untuk mendapatkan data itu.
Setelah melangkah jauh, Mathias terdiam sejenak. Dia mengusap rambutnya dengan gusar, memikirkan apa yang sudah dilakukannya tadi.Tiba-tiba, Bruce berjalan menghampirinya dengan cepat. “Tuan Mathias, ada yang mencari Anda terkait bisnis proyek pembangunan Mega City di Miami.”Mathias menoleh ke arah Bruce dengan anggukan singkat. “Terima kasih, Bruce. Aku akan segera menemuinya.”Mathias pun berjalan mengikuti Bruce menuju tamu yang mencarinya. Di lobby hotel tampak seorang pria mengenakan setelan biru gelap sedang duduk menunggu. Melihat kedatangan Mathias, pria itu segera berdiri untuk menyambut Mathias. Abraham mengulurkan tangan. “Selamat malam, Tuan Mathias.”“Selamat malam, Tuan Abraham,” sapa Mathias dengan sopan.“Maaf mengganggu waktu Anda, tapi ada masalah penting yang perlu saya bicarakan dengan Anda.” Abraham terdengar begitu serius.Mathias menganggukkan kepalanya, menunjukkan pengertiannya. “Tidak masalah, Tuan Abraham. Mari kita bicara di tempat yang lebih pribadi.