Mathias melangkah dengan tenang memasuki ruang tamu yang luas, dihiasi dengan perabotan mewah yang tampak tua tapi elegan. Di sana, duduk dengan anggun tapi penuh ketegangan, George, ayah mertuanya, yang jelas sudah menunggunya. Wajah George menampakkan ekspresi tegas, matanya tajam mengamati setiap gerakan Mathias. Mathias berhenti beberapa langkah dari George, pandangannya dingin dan tak terduga.
“Apa yang kau inginkan, George?” tanyanya tanpa basa-basi, suaranya tenang tapi mengandung kekuatan.
George tersenyum tipis, senyum yang lebih mirip kilatan singkat pisau daripada ekspresi kebahagiaan. Kemudian pria itu berdiri dan menghampiri Mathias.
“Maaf mengganggu malam pengantin Anda, Tuan Cameron, tapi saya hanya ingin menagih janji,” katanya, suaranya rendah dan penuh makna. “Anda ingat, kan, Tuan Cameron? Janji yang Anda buat sebelum menikahi putri saya.”
Mathias mengepalkan tangannya di samping tubuhnya, menahan emosi yang bergejolak di dalam dirinya. Dia tahu benar George sudah menipunya dengan memberikan wanita lain sebagai istrinya bukan Evangeline, putri sulung keluarga Brantley. Berani sekali dia. Sepertinya George berpikir kalau Mathias bodoh. Mathias menyeringai tipis.
“Janji?” ulang Mathias dengan sengaja, meski dia tahu persis apa yang dimaksud George.
George mengangguk pelan, sorot matanya semakin tajam. “Ya, janji itu. Bukankah Anda bilang setelah Anda menikahi putri saya, hutang bisnis kami pada Cameron Group akan lunas? Anda, kan, sudah mendapatkan putri keluarga Brantley, sekarang saatnya untuk membuat hutang bisnis kami lunas.”
Mathias merasakan darahnya mendidih, tapi wajahnya tetap tanpa ekspresi. Untuk beberapa saat, Mathias tidak berkata apa-apa, hanya membiarkan keheningan yang memekakkan telinga menguasai ruangan. George mencoba tetap tenang, tapi ketegangan terlihat jelas di wajahnya.
Akhirnya, Mathias memecah kesunyian dengan suaranya yang rendah tapi penuh tekanan. “Apakah benar wanita yang aku nikahi adalah putrimu, George?”
George tersentak sedikit mendengar pertanyaan itu, matanya membesar karena terkejut. Dia menelan ludah, mencoba mengumpulkan keberaniannya. Tatapan dingin Mathias seolah mengintimidasinya. Sedangkan George sendiri berulang kali berusaha untuk meyakinkan diri bahwa Mathias tidak mengetahui apa-apa. Dan kegelisahan ini pasti hanya perasaannya saja. Ya, pasti begitu.
“Tentu saja dia putri saya yang berharga, Tuan Cameron,” jawabnya dengan suara yang sedikit bergetar. “Bisa saya jamin bahwa wanita yang Anda nikahi adalah putri saya.”
Mathias melangkah maju, mendekati George dengan gerakan yang lambat tapi pasti, membuat George semakin merasa terintimidasi.
“Kau yakin?” desak Mathias, suaranya dingin dan penuh intimidasi. “Tidak ada yang kau sembunyikan dariku, George?”
George gemetaran, matanya mencari-cari jalan keluar dari situasi yang semakin menekan ini. Namun, dia tahu tidak ada tempat untuk lari.
“Ya, tentu saja Tuan Cameron. Saya yakin. Dia adalah putri keluarga Brantley,” katanya, berusaha sekuat tenaga untuk terdengar meyakinkan. Toh, George tidak berbohong. Hailey memang putri keluarga Brantley, meskipun hanya seorang putri yang diadopsi dari panti asuhan. Namun tetap saja, dia juga menyandang nama Brantley, berarti dia juga putri keluarga Brantley.
Mathias tetap menatap George tanpa berkedip, menelusuri setiap detail ekspresi di wajah pria yang sekarang adalah ayah mertuanya. Wajah Mathias datar, dan dia tidak memperlihatkan kepercayaan sedikitpun. Tentu saja itu membuat George semakin gelisah.
“Kau tahu, George, aku bukan orang yang mudah percaya,” katanya perlahan. “Banyak hal yang tidak masuk akal dalam pernikahan ini.”
“Tuan Cameron, percayalah!” George merasakan keringat dingin mulai membasahi pelipisnya. “Saya bersumpah, Tuan Cameron. Wanita itu adalah putri saya. Tidak ada tipu muslihat di sini.”
Mathias mengangkat satu alis, menunjukkan ketidak percayaannya. “Aku harap kau benar, George. Karena jika aku menemukan bahwa ada kebohongan di balik ini semua, kau tahu konsekuensinya.”
George menelan ludah lagi, matanya tidak bisa lepas dari tatapan tajam Mathias. Seakan tatapan pria itu bagaikan pisau belati yang siap menusuk ke arahnya.
“Mana berani saya membohongi Anda, Tuan Cameron. Saya tidak akan bermain-main dengan sesuatu yang begitu penting seperti ini. Terutama yang berhubungan dengan perjanjian penting kita.” katanya dengan suara yang lebih tegas kali ini.
Mathias akhirnya mengangguk pelan, meskipun kecurigaan masih tersisa di matanya.
“Baiklah, George,” katanya sambil berbalik menuju pintu. “Kita lihat saja nanti. Namun ingat, aku akan selalu mencari kebenaran, dan aku tidak akan berhenti sampai menemukannya. Jika di masa depan aku mengetahui bahwa kau telah menipuku, aku bersumpah akan langsung menghancurkanmu.”
George merasa darahnya membeku mendengar kata-kata Mathias. Dia menelan ludah, tubuhnya sedikit gemetaran karena ancaman yang jelas itu.
“Te- tentu saja. Tentu saja, sa- saya ... saya mengerti, Tuan Cameron,” jawabnya dengan suara yang nyaris tak terdengar. “Saya tidak akan menipu Anda.”
Mathias memperhatikan George dengan mata yang masih penuh kecurigaan. Mathias tahu George sudah menipunya. Namun dia ingin melihat sejauh mana George akan menipunya.
“Baiklah,” katanya akhirnya. “Sekarang, aku ingin kau pergi dari rumahku. Sekarang juga.”
George terlihat terkejut. Dia berpikir Mathias tidak akan percaya padanya. Namun ternyata semua diluar dugaannya. Dia tahu bahwa berkata apapun lagi hanya akan memperburuk situasi. Sehingga dia pun berdiri dengan gugup, mengangguk dengan cepat.
“Baik, saya tidak akan mengganggu Anda lagi,” kata George dengan suara serak.
Tanpa berkata lagi, George bergegas keluar dari ruang tamu, langkahnya terburu-buru dan canggung. Mathias mengawasinya dengan dingin, memastikan George benar-benar pergi.
Sepeninggal George, Mathias berjalan kembali menuju kamar, pikirannya masih dipenuhi oleh pertemuan tegang dengan George. Saat dia membuka pintu kamar, dia melihat Hailey duduk di tepi tempat tidur, wajahnya tampak ketakutan dan cemas. Mathias berhenti sejenak, menatapnya dengan mata yang penuh kekhawatiran dan kebingungan.
“Hailey,” kata Mathias dengan suara rendah tapi tegas, “urusan kita belum selesai.”
Hailey menoleh ke arahnya, matanya membesar karena ketakutan. Dia tidak tahu apa yang telah terjadi di ruang tamu, tapi jelas ada sesuatu yang membuat suaminya begitu tegang. Mathias mendekat, berdiri di depan Hailey yang masih duduk.
“Kau sangat takut padaku.”
Hailey tidak merespon. Dia bahkan tidak tahu kalimat itu pertanyaan, pernyataan, atau sindiran. Wajah datar Mathias tak bisa Hailey baca, dan matanya yang setajam elang seolah menelanjangi Hailey setiap kali mereka bertatapan.
“Apa kau yakin ingin tetap tinggal?” tanya Mathias, suaranya penuh dengan ketidakpastian dan harapan yang tersembunyi. “Tak ingin pulang?”
“Apa kau akan membiarkan aku pergi?” Hailey bertanya dengan matanya yang mulai berair.
Mathias mendesah, sial, dia benci air mata wanita. Kenapa tiba-tiba Hailey mengangis?
“Kau pikir aku akan melepaskanmu?”
Hailey menggeleng pelan, air mata mulai menggenang di matanya. “Tidak, Mathias.”
“Bagus, kau rupanya tahu jawabannya.” Mathias tersenyum samar, kemudian melanjutkan, “tapi, bagaimana kalau seandainya aku benar-benar mengizinkanmu pulang?”
Hailey menatap Mathias, kemudian menggeleng pelan. “Aku ... tidak punya tempat di sana. Mungkin di sana atau di sini akan sama saja.”
Mathias menghela napas dalam-dalam, sepertinya kali tadi dia sudah berlebihan. Pasti sulit jadi Hailey. Perasaan pria itu sebenarnya sedikit tersentuh, tapi benar-benar hanya sedikit. Hailey juga tidak dalam posisi di mana dia bisa menentukan jalan hidupnya. Jadi, Mathias mencoba memahami perasaan istrinya.
“Apa aku terlihat sangat jahat?”
“Tidak ... a- aku ... aku hanya merasa ... mereka telah mengkhianatiku.” Hailey menunduk, air mata mulai mengalir di pipinya. “Dulu aku selalu merindukan rumah, karena bagiku mereka adalah keluarga yang hangat. Namun sekarang aku tahu bahwa semua itu palsu. Sekarang ... kalaupun harus kembali, rasanya di sana aku tidak merasa seperti di rumah,” katanya pelan. “Aku pasti akanmerasa terasing, karena aku memang bukan bagian dari keluarga itu.”
Mathias menatap Hailey yang duduk di tepi tempat tidur, wajahnya menunjukkan campuran ketegangan dan kelelahan. Hailey menatap Mathias dengan mata yang masih berlinang air mata, mencoba mengumpulkan kekuatan untuk berbicara.
Hailey berkata dengan suara bergetar, “selama ini aku membiarkan diriku berkorban untuk Evangeline. Evangeline sempat didiagnosa anemia aplastik karena virus. Sehingga mengharuskannya menerima transfusi darah sebulan sekali. Karena aku memiliki rhesus negatif yang sama seperti Evangeline, aku harus merelakan darahku diambil setiap bulan sampai Evangeline sembuh. Aku pikir pengorbanan itu setimpal karena kami keluarga, tapi ternyata bukan. Aku ... hanya di manfaatkan”
Mathias menatap Hailey sembari mendengus sinis. “Sudah kubilang, kau memang bodoh.”
Hailey menegakkan tubuhnya, matanya menyala dengan kemarahan yang tiba-tiba. “Jika aku punya pilihan, aku ingin memiliki kehidupan yang lain. Aku tidak pernah menyangka bahwa aku hanya dimanfaatkan.”
Mengingat semua pengorbanan yang dia lakukan, Hailey tidak bisa menahan air mata yang mengalir deras. “Mengapa aku harus berada di sini dan menderita begini hanya karena aku bukan anak kandung mereka? Kenapa?”
Kening Mathias berkerut. Dia tersinggung. Apa? Wanita itu menderita karena sudah dipaksa menikah dengannya? Ha! Memangnya dia pikir, siapa dirinya?
Wajah Mathias menjadi garang.
Memangnya Mathias bahagia mengambil wanita yang merupakan musuhnya sebagai istri? Memangnya Mathias bersukacita karena bisa menjalin hubungan yang lebih dalam dengan kleuarga Brantley sialan itu? Memangnya Mathias tidak punya harga diri, sampai masih bisa merasa bahagia setelah Evangeline dan keluarga Brantley membunuh orang yang paling disayanginya?
Mathias mendengus, dan wanita ini masih bisa bilang dia menderita? Konyol! Bukan setahun atau dua tahun Mathias menunggu waktu untuk menjalankan rencana ini. Seharusnya dia sudah membalaskannya sebelas tahun lalu. Namun, karena satu dan lain hal, Mathias tidak bisa melakukannya. Sekarang pria itu masih di tahap pertama rencana pembalasan dendam, dan sudah ada masalah baru.
Gadis yang dia incar, Evangeline Brantley melarikan diri. Dan perempuan yang saat ini menjadi istrinya malah membuatnya terlihat seperti penjahat yang sesungguhnya. Mathias tidak bersalah. Dia sengaja merancang pernikahan itu dengan menyebar rumor bahwa dirinya tua dan buruk rupa untuk mempermainkan Evangeline. Meskipun begitu, seharusnya Hailey merasa beruntung, bukan terhina. Toh, dia tak akan mengincar mangsa yang salah. Mathias, yang salah paham dengan emosi Hailey, merasa kesal melihat tangisan istrinya.
“CUKUP, HAILEY!” seru Mathias dengan nada tajam. “DIAMLAH!”
Hailey terperanjat, dia ingin diam, tapi air matanya malah semakin deras mengalir. Demi apapun, Hailey bingung. Pria yang belum ada dua puluh empat jam menjadi suaminya ini sangat sulit dihadapi. Bagi Hailey, Mathias sungguh menakutkan. Wanita itu tak tahu kapan Mathias akan berubah sikap, dan itu membuatnya semakin frrustrasi.
“Jika kau mau menangis, lakukan di rumahmu saja, jangan di rumahku. Di sini, tidak ada waktu untuk menangis, karena aku benci melihat tangisan perempuan.” Marah Mathias dengan tatapan tajam tertuju pada Hailey.
Hailey terdiam, terkejut dan terluka mendengar kata-kata Mathias.
Mathias berjalan menghampiri pintu kamar, membukanya dan melangkah keluar. Karena emosi yang memenuhi dirinya, Mathias pun membanting pintu dengan suara keras.BRAK!Pintu kamar terbanting keras hingga bergema di seluruh rumah. Suara itu memekikkan telinga, seolah menjadi puncak dari pertengkaran mereka yang sudah memanas sejak tadi.Di dalam kamar, Hailey terduduk lemas di sudut tempat tidur. Tangisannya pecah tak tertahankan. Air matanya mengalir deras, membasahi pipi yang sudah memerah. Ia merasa terjebak dalam pernikahan yang lebih mirip neraka. Setiap kata yang keluar dari mulut Mathias, setiap tindakannya yang meledak-ledak, membuat Hailey semakin merasa ditumbalkan ke dalam kandang singa yang mengerikan.“Kenapa? Kenapa semua harus seperti ini?” isak Haley dengan perasaan terluka. “Apa salahku? Apa mau pria itu sebenarnya?”Hailey mencoba menarik napas dalam-dalam, berusaha mengumpulkan kekuatan. Ia tahu bahwa dia tidak bisa terus-terusan seperti ini. Namun, bayangan suaminya y
Keesokan paginya, Hailey terbangun dengan tubuh yang terasa berat. Dia mengeluh kesal saat mencoba bangkit dari tempat tidur. Sendi-sendinya sakit dan kepalanya berdenyut, efek dari kurang istirahat dan terlalu banyak menangis. Dengan gerakan lambat, Hailey duduk di atas tempat tidur, merasa asing dengan kamar tempat dia berada.Dia memandangi sekeliling, mencoba mengingat di mana dirinya berada. “Ini dimana? Ini bukan kamarku di kediaman keluarga Brantley.”Hailey menghentikan rasa paniknya. Dia terdiam sejenak untuk mengingat apa yang terjadi kemarin. Kemudian dia teringat kejadian dimana dirinya dijadikan pengganti bagi Evangeline untuk menikah dengan Mathias. Setelah menikah dia diseret oleh Mathias ke kediaman Cameron lalu mereka berbicara dan berujung pada pertengkaran hingga membuat Hailey tertidur.“Ah,ya, ini adalah kamar di kediaman keluarga Cameron, keluarga pria yang saat ini menjadi suamiku.” Kedua bahu Hailey terkulai lemas karena dia harus diseret pada kenyataan jika di
Mathias meletakkan sendoknya dengan perlahan, matanya menatap tajam ke arah Hailey. Seringaian sinis menghiasi wajahnya, membuat suasana di ruang makan itu semakin tegang. Hailey, yang kemarin tampak seperti anak anjing yang ketakutan, kini bisa merasakan ketakutannya sedikit berkurang. Dia telah melihat temperamen buruk Mathias kemarin, dan sekarang dia berusaha mengumpulkan keberanian untuk menghadapi suaminya.Hailey menghela napas dalam-dalam sebelum berbicara, “Apa sebenarnya maksud ucapanmu, Tuan Mathias? Tentu saja aku berbicara dengan mulutku. Karena manusia hanya berbicara dengan menggunakan mulut.”Mathias terkekeh mendengar keberanian Hailey. Dia menatap istrinya dengan tatapan meremehkan, kemudian bertopang dagu. Setelan biru gelap yang dikenakannya semakin menambah aura otoritas yang dia pancarkan.“Hailey, di antara kita tidak ada yang perlu dibicarakan lagi. Kau hanyalah istri yang kunikahi karena suatu kepentingan bersifat sementara. Tidak lebih dari itu.” Kata Mathias
Penelope menghampiri putri angkatnya, Hailey, dan memeluknya erat. Namun, Hailey tetap diam, tubuhnya kaku dalam pelukan ibunya. Setelah beberapa detik, Penelope melepaskan pelukannya dan menatap wajah Hailey dengan penuh kekhawatiran.“Hailey, apakah kau baik-baik saja?” tanya Penelope dengan suara lembut.Hailey mendengus sinis mendengar pertanyaan itu dari ibu angkatnya. Dia tidak percaya setelah apa yang dia lakukan pada Hailey, Penelope justru menanyakan pertanyaan tidak berguna seperti itu.“Baik-baik saja? Setelah kau memaksaku menjadi pengganti bagi Kak Eve agar bisa menikah dengan Mathias, sekarang kau bertanya apakah aku baik-baik saja?” tanya Hailey dengan nada mengejek.Penelope terlihat terluka oleh kata-kata Hailey. “Aku minta maaf, Hailey. Aku terpaksa melakukannya karena aku terlalu takut jika keluarga Cameron menghancurkan keluarga Brantley jika mereka tahu Evangeline kabur.”Hailey tahu benar permintaan maaf itu tidaklah tulus. Dia bisa melihatnya dari ekspresi Penel
Malam sudah menyelimuti kota ketika Mathias duduk di kursi belakang mobil, merasa kelelahan setelah seharian bekerja keras di kantornya. Bruce, asisten pribadinya, mengemudikan mobil menuju rumah Mathias dengan tenang, sementara Mathias bersandar di kursi dengan mata setengah tertutup, mencoba menghilangkan rasa lelah.Tiba-tiba, ponsel Mathias berdering, memecah kesunyian malam. Mathias menarik ponselnya dari saku jasnya, dan matanya tertuju pada layar yang menunjukkan nama ibunya, Sarah Cameron. Dia merasa kesal dengan panggilan itu. Meskipun enggan, tapi dia akhirnya menjawab.“Hallo, Mom,” ucap Mathias dengan nada yang malas.“Mathias, aku ingin kau bersiap-siap untuk makan malam sekarang dengan seseorang,” kata Sarah, suaranya penuh keinginan.Mathias langsung menanggapi dengan nada tegas dan tidak sabar. “Mom, aku tahu kau masih bersikukuh menjodohkanku, tapi aku sudah menikah. Aku tidak mau menghadiri perjodohan seperti itu.”Sarah tidak menyerah, tetap dengan nada penuh penger
Ciuman itu terasa manis.Mathias bukan sekali atau dua kali mencari wanita untuk sekadar memuaskah hasratnya. Ini juga bukan ciuman pertamanya. Akan tetapi, bibir Hailey memberikan efek memabukkan yang nyata. Mathias membuka matanya, sedangkan mata Hailey terpejam erat. Wanita itu seolah menahan sesuatu, tangannya meremas kemeja yang Mathias kenakan. Mathias tersenyum di tengah-tengah ciuman itu. Bibir Hailey begitu candu.Di tengah-tengah kesadarannya yang tidak sepenuhnya hilang, Mathias berpikir bahwa ini salah. Namun Mathias langsung tersihir begitu dia membuka pintu kamar Hailey. Dan saat dia melangkah masuk dengan langkah gontai, gadis itu seolah memberikan godaan yang kuat. Ketika langkahnya terhenti tak jauh dari ranjang Hailey, Mathias terpaku saat melihat Hailey yang sedang duduk di atas ranjang sembari membaca bukunya. Cahaya lampu tidur memantul lembut di wajahnya, membuat rambut pirang Hailey berkilau.Antara sadar dan tidak, Mathias merasakan ada yang aneh dengan dirinya
Keesokan paginya, Mathias terbangun lebih dulu. Kepalanya sakit akibat wine yang diminumnya semalam. Dia mengerang, meraba kepalanya dengan tangan kanannya, lalu mengumpat karena rasa pusing yang dirasakannya. Namun tiba-tiba Mathias tersadar bahwa dia sedang tidak berada di kamarnya sendiri.Yang membuatnya lebih terkejut, tangan kirinya terasa begitu berat. Dia menoleh dan melihat Hailey yang terlelap di sampingnya. Wanita itu terlihat begitu tenang, berbaring di atas lengan Mathias.“Apakah aku melakukannya dengan Hailey semalam?” gumam Mathias.Melihat bahu Hailey yang terbuka, Mathias segera menyibak selimut untuk memastikan apakah yang terjadi semalam benar-benar terjadi atau hanya sekedar mimpi. Mathias menemukan noda darah di seprai. Dia tersenyum kecil tanpa sadar. Ternyata itu adalah kali pertama bagi Hailey.Mathias pun bergumam, “yah, aku senang mendapatkan kehormatan menjadi pria pertama yang bercinta dengan Hailey.”Kemudian, Mathias menatap wajah cantik Hailey dan menga
Kedua tangan Hailey terkepal di kedua sisi tubuhnya. Dia malas sekali kalau harus menghadapi kakaknya yang tidak tahu diri.“Ini bukan urusanmu, Evangeline. Minggir!” pinta Hailey dengan dingin.Evangeline tersenyum sinis, “Apa? Kau pikir kau pantas berada di sini? Ini bukan tempat untuk orang sepertimu, Hailey.”Teman-teman Evangeline tertawa, mengolok Hailey.“Kau benar, Evangeline. Lihatlah pakaian gadis ini. Bukankah dia lebih cocok sebagai pengemis?” Grace, salah satu teman Evangeline, ikut menghina Hailey.“Aku yakin dia tidak punya uang yang cukup untuk membeli baju paling murah di sini.” Wanita bernama Olive pun mengikuti temannya.Hailey merasakan wajahnya memanas, tetapi dia menegakkan kepalanya. “Aku di sini karena aku bisa. Dan itu bukan urusan kalian. Aku tidak perlu memberikan laporan pada kalian apakah aku bisa bisa membeli baju disini atau tidak.”Evangeline melangkah lebih dekat, “Apa yang bisa kau beli di sini? Satu gaun? Itu pun mungkin setengah dari tabunganmu.”Ha
Napas Mathias terengah-engah setelah dirinya mencapai puncak kenikmatan yang mengguncang tubuhnya. Saat dia ambruk dan menimpa Hailey, Mathias menyangga tubuhnya dengan tangan. Hailey tampak begitu menawan dan menggoda dengan keringat di sekujur tubuhnya yang putih mulus. Dengan senyuman miring, Mathias menatap Hailey yang baru membuka matanya, masih meresapi sisa kenikmatan yang baru saja mereka capai.“Apakah kau menikmatinya, Hailey?”Hailey menoleh, berusaha menghindari Mathias. Akan tetapi pria itu sama sekali tidak mau melepaskannya. Mathias menangkup wajah Hailey, kemudian mendaratkan ciuman padanya. Secara paksa menyusupkan lidahnya ke dalam mulut Hailey dan menjelajah di sana. Tangannya dengan aktif kembali meremas-remas payudara sintal wanita itu.Aneh, Hailey sangat lelah, tapi sentuhan kecil itu membuat Hailey kembali menginginkannya.“Ma- Mathias .... akh, hen ... hentikan, kumohon ...” Hailey memohon dengan suara bergetar di antara desahannya yang terdengar seksi dan mer
Mathias terperangah mendengar alasan Hailey mengapa dia begitu takut padanya. Selama ini, dia memperlakukan Hailey sama seperti orang lain, tanpa menyadari bahwa sikapnya itu telah membuat wanita itu begitu takut padanya. Mathias mendadak terdiam, matanya menerawang jauh. Dia merenung dalam-dalam, berusaha memahami perasaan Hailey.Pertanyaan berputar-putar dalam pikirannya,. pa benar yang dikatakan Hailey? Apakah dia benar-benar seburuk itu? Mathias tidak tahu. Selama ini tidak ada yang memberitahukan padanya bahwa tatapan matanya membuat orang takut.Pikirannya melayang kembali ke momen-momen ketika dia bersikap kasar kepada Hailey. Saat di pesta, dia menggenggam tangan Hailey dengan keras, nyaris mencederainya. Mathias merasa hatinya tersayat mengingat bagaimana dia melampiaskan kemarahannya tanpa mempertimbangkan perasaan Hailey.Rasa bersalah semakin dalam menguasai hatinya meskipun dia sudah minta maaf. Selama ini, dia terlalu fokus pada pekerjaannya, pada ambisi balas dendamnya
“Bagaimana Hailey?” Sarah memojokkan Hailey dan mengulangi pernyataannya tadi, “aku sudah bilang tidak suka padamu, kau menikahi putraku secara diam-diam. Aku juga sudah punya calon istri untuk Mathias.”“Y- ya?” Hailey tidak bisa menjawab kata-kata lain, kerongkongannya tercekat.Sarah melanjutkan dengan nada bicara yang tajam. “Bercerailah dari Mathias.”Melihat ketegangan itu, Mathias langsung menghentikan ibunya yang hendak mengintimidasi Hailey kembali. Mathias mengenal betul sifat ibunya. Dia tidak akan berhenti membahas masalah ini jika tidak dihentikan.“Mom, sudah cukup. Tolong jangan bahas soal ini lagi,” kata Mathias dengan tegas. “Aku tidak akan bercerai dari Hailey.”Sarah mendengus tidak percaya mendengar ucapan Mathias. Dia semakin kesal karena putranya itu menghalangi dirinya untuk menyadarkan Hailey agar dia tahu diri.Sarah menatap putranya dengan dingin. “Memang apa yang sudah Mom lakukan, Mathias? Mom hanya mengutarakan pendapat saja. Setiap orang berhak berpendapa
Mata Hailey terbelalak dan buku yang dia pegang jatuh begitu saja ke lantai, dia mengerjap beberapa kali untuk meyakinkan dirinya sendiri. Namun, kenyataannya Mathias memang mengecup bibirnya. Ciuman itu terasa lembut dan tidak menuntut. Hailey diam saja, tapi Mathias terus memberikan kecupan-kecupan ringan padanya. Jantung Hailey berdebar kencang.“Tutup matamu, Hailey.” Mathias berbicara pelan disela ciumannya. Itu tidak terdengar seperti Mathias, dan Hailey linglung saat mendengarnya. Akan tetapi, meski bicaranya pelan dan lembut, Hailey masih menemukan aura otoritas di dalam nada bicara pria itu.Pada detik berikutnya, Hailey memejamkan mata. Mathias menggelitik bibir Hailey dengan lidahnya. Seolah mengetuk pintu sebelum masuk. Saat Hailey membuka sedikit mulutnya, lidah Mathias menyusup masuk dengan cepat. Menjelajah mulut Hailey, mencecap semua yang dia bisa. Tanpa sadar Hailey mengalungkan tangannya di leher Mathias.Secara perlahan Hailey mulai membalas ciuman itu.“Mmmhh....”
“Senang bisa bermain dengan kalian. Sampai jumpa lagi.” Mathias mengangguk sambil berpamitan pada rekan bisnis lainnya.“Kami juga merasa senang bisa bermain dengan Anda, Tuan Mathias. Sampai jumpa lagi.” Ucap Harry, salah satu rekan bisnisnya.Mathias pun berjalan menuju tempat parkir dengan membawa tas berisi peralatan golfnya. Langkahnya mantap saat dia melangkah melewati lapangan parkir. Karena hari itu dia memilih untuk berangkat tanpa supir. Setelah memasukkan peralatan golfnya ke bagasi, Mathias masuk ke dalam mobil. Baru saja dia menghidupkan mesin, terdengar ketukan di kaca pintu mobilnya.Mathias memutar kepala dan melihat Evangeline berdiri di sana,sembari tersenyum semanis mungkin untuk menggoda Mathias. Wajahnya tampak penuh harap tapi matanya mengandung kilatan menggoda. Dengan enggan, Mathias menurunkan kaca jendela.“Ada apa, Nona Evangeline?” tanya Mathias dengan nada datar.Evangeline tersenyum manis, sebuah senyum yang Mathias tahu digunakan untuk memikat siapa saja
Hailey sudah duduk di atas ranjang sembari bertanya-tanya dalam hati apakah benar Mathias yang merawatnya semalaman. Karena ada handuk di keningnya. Tatapan Hailey tertuju pada handuk yang sudah berada di atas pangkuannya. Kemudian tatapannya tertuju pada Mathias yang duduk tertidur di samping ranjang. Membuat Hailey semakin bingung apakah Mathias benar-benar merawatnya semalam. Namun, dia segera menepis pikiran itu, merasa tidak mungkin Mathias yang temperamental dan problematik akan melakukan hal seperti itu.“Seorang Mathias yang temperamental dan problematik itu? Kau pasti berhalusinasi, Hailey,” gumamnya pelan.Saat Hailey sibuk dengan pikirannya sendiri, Mathias terbangun dari tidurnya. Dia meringis karena tubuhnya terasa sakit akibat tidur dalam posisi duduk menelungkup ke ranjang. Namun, Mathias segera menepis rasa sakit itu ketika melihat Hailey sudah bangun dan duduk di atas ranjang. Mathias dengan cepat menyentuh kening Hailey, wajahnya penuh dengan kecemasan.“Hailey, apak
Hailey panik dan kaget saat melihat Mathias berdiri tidak jauh darinya. Tatapannya beralih pada pecahan gelas yang tersebar di lantai. Rasa takut segera menjalar di hatinya, khawatir Mathias akan marah karena dia telah memecahkan gelas itu.“Maaf, Tuan Mathias. Aku tidak sengaja memecahkan gelas itu. Aku hanya ingin mengambil air hangat. Aku tidak bermaksud memecahkannya. Kumohon percayalah padaku, Tuan Mathias!” kata Hailey terburu-buru menjelaskan dengan gemetaran pada suaminya.Hailey begitu gugup, tatapannya tak berani menatap langsung ke mata Mathias yang terlihat marah. Mathias menghela napas berat, merasa tak senang dengan sikap Hailey yang terlalu takut padanya.“Hati-hati, Hailey! Jangan bergerak. Aku tak ingin kau menginjak pecahan kaca. Biar aku yang menghampirimu,” ujar Mathias dengan suara tegas tapi lembut.Hailey hanya bisa menganggukkan kepalanya lemah menuruti ucapan Mathias. Seperti yang dikatakan oleh Mathias, pria itu berjalan dengan hati-hati menghampiri Hailey. H
Mathias sudah berada di atas ranjang sejak beberapa jam yang lalu, tapi dia justru tidak bisa tidur. Dia berbalik ke kanan dan ke kiri tanpa bisa membuatnya terlelap. Ada sesuatu yang terus-menerus mengganggu pikirannya.Mathias mengumpat kesal, “Sial, kenapa Hailey selalu mengganggu pikiranku?”Dia merasa frustrasi, pikiran tentang Hailey terus menghantuinya, membuatnya gelisah. Akhirnya, Mathias menyerah untuk mencoba tidur. Dia menyibakkan selimutnya dan beranjak menuju meja kerjanya.Mathias duduk di meja kerja dalam kamarnya dan mengambil sebuah dokumen. Itu adalah dokumen tentang Brantley Mode. Di sana tertulis jelas rencana pendanaan sampai seratus juta dollar. Mathias menatap dokumen itu dengan penuh konsentrasi, lalu menyimpannya kembali.Dia beralih untuk memeriksa email berisi file yang dikirimkan oleh anak buahnya. Itu adalah data aktivitas Evangeline dan rencana kemana dia akan pergi selama beberapa hari ke depan. Mathias telah membayar hacker untuk mendapatkan data itu.
Setelah melangkah jauh, Mathias terdiam sejenak. Dia mengusap rambutnya dengan gusar, memikirkan apa yang sudah dilakukannya tadi.Tiba-tiba, Bruce berjalan menghampirinya dengan cepat. “Tuan Mathias, ada yang mencari Anda terkait bisnis proyek pembangunan Mega City di Miami.”Mathias menoleh ke arah Bruce dengan anggukan singkat. “Terima kasih, Bruce. Aku akan segera menemuinya.”Mathias pun berjalan mengikuti Bruce menuju tamu yang mencarinya. Di lobby hotel tampak seorang pria mengenakan setelan biru gelap sedang duduk menunggu. Melihat kedatangan Mathias, pria itu segera berdiri untuk menyambut Mathias. Abraham mengulurkan tangan. “Selamat malam, Tuan Mathias.”“Selamat malam, Tuan Abraham,” sapa Mathias dengan sopan.“Maaf mengganggu waktu Anda, tapi ada masalah penting yang perlu saya bicarakan dengan Anda.” Abraham terdengar begitu serius.Mathias menganggukkan kepalanya, menunjukkan pengertiannya. “Tidak masalah, Tuan Abraham. Mari kita bicara di tempat yang lebih pribadi.