Share

Bab 5. Berhenti Menangis!

Mathias melangkah dengan tenang memasuki ruang tamu yang luas, dihiasi dengan perabotan mewah yang tampak tua tapi elegan. Di sana, duduk dengan anggun tapi penuh ketegangan, George, ayah mertuanya, yang jelas sudah menunggunya. Wajah George menampakkan ekspresi tegas, matanya tajam mengamati setiap gerakan Mathias. Mathias berhenti beberapa langkah dari George, pandangannya dingin dan tak terduga.

“Apa yang kau inginkan, George?” tanyanya tanpa basa-basi, suaranya tenang tapi mengandung kekuatan.

George tersenyum tipis, senyum yang lebih mirip kilatan singkat pisau daripada ekspresi kebahagiaan. Kemudian pria itu berdiri dan menghampiri Mathias.

“Maaf mengganggu malam pengantin Anda, Tuan Cameron, tapi saya hanya ingin menagih janji,” katanya, suaranya rendah dan penuh makna. “Anda ingat, kan, Tuan Cameron? Janji yang Anda buat sebelum menikahi putri saya.”

Mathias mengepalkan tangannya di samping tubuhnya, menahan emosi yang bergejolak di dalam dirinya. Dia tahu benar George sudah menipunya dengan memberikan wanita lain sebagai istrinya bukan Evangeline, putri sulung keluarga Brantley. Berani sekali dia. Sepertinya George berpikir kalau Mathias bodoh. Mathias menyeringai tipis.

“Janji?” ulang Mathias dengan sengaja, meski dia tahu persis apa yang dimaksud George.

George mengangguk pelan, sorot matanya semakin tajam. “Ya, janji itu. Bukankah Anda bilang setelah Anda menikahi putri saya, hutang bisnis kami pada Cameron Group akan lunas? Anda, kan, sudah mendapatkan putri keluarga Brantley, sekarang saatnya untuk membuat hutang bisnis kami lunas.”

Mathias merasakan darahnya mendidih, tapi wajahnya tetap tanpa ekspresi. Untuk beberapa saat, Mathias tidak berkata apa-apa, hanya membiarkan keheningan yang memekakkan telinga menguasai ruangan. George mencoba tetap tenang, tapi ketegangan terlihat jelas di wajahnya.

Akhirnya, Mathias memecah kesunyian dengan suaranya yang rendah tapi penuh tekanan. “Apakah benar wanita yang aku nikahi adalah putrimu, George?”

George tersentak sedikit mendengar pertanyaan itu, matanya membesar karena terkejut. Dia menelan ludah, mencoba mengumpulkan keberaniannya. Tatapan dingin Mathias seolah mengintimidasinya. Sedangkan George sendiri berulang kali berusaha untuk meyakinkan diri bahwa Mathias tidak mengetahui apa-apa. Dan kegelisahan ini pasti hanya perasaannya saja. Ya, pasti begitu.

“Tentu saja dia putri saya yang berharga, Tuan Cameron,” jawabnya dengan suara yang sedikit bergetar. “Bisa saya jamin bahwa wanita yang Anda nikahi adalah putri saya.”

Mathias melangkah maju, mendekati George dengan gerakan yang lambat tapi pasti, membuat George semakin merasa terintimidasi.

“Kau yakin?” desak Mathias, suaranya dingin dan penuh intimidasi. “Tidak ada yang kau sembunyikan dariku, George?”

George gemetaran, matanya mencari-cari jalan keluar dari situasi yang semakin menekan ini. Namun, dia tahu tidak ada tempat untuk lari.

“Ya, tentu saja Tuan Cameron. Saya yakin. Dia adalah putri keluarga Brantley,” katanya, berusaha sekuat tenaga untuk terdengar meyakinkan. Toh, George tidak berbohong. Hailey memang putri keluarga Brantley, meskipun hanya seorang putri yang diadopsi dari panti asuhan. Namun tetap saja, dia juga menyandang nama Brantley, berarti dia juga putri keluarga Brantley. 

Mathias tetap menatap George tanpa berkedip, menelusuri setiap detail ekspresi di wajah pria yang sekarang adalah ayah mertuanya. Wajah Mathias datar, dan dia tidak memperlihatkan kepercayaan sedikitpun. Tentu saja itu membuat George semakin gelisah.

“Kau tahu, George, aku bukan orang yang mudah percaya,” katanya perlahan. “Banyak hal yang tidak masuk akal dalam pernikahan ini.”

“Tuan Cameron, percayalah!” George merasakan keringat dingin mulai membasahi pelipisnya. “Saya bersumpah, Tuan Cameron. Wanita itu adalah putri saya. Tidak ada tipu muslihat di sini.”

Mathias mengangkat satu alis, menunjukkan ketidak percayaannya. “Aku harap kau benar, George. Karena jika aku menemukan bahwa ada kebohongan di balik ini semua, kau tahu konsekuensinya.”

George menelan ludah lagi, matanya tidak bisa lepas dari tatapan tajam Mathias. Seakan tatapan pria itu bagaikan pisau belati yang siap menusuk ke arahnya.

“Mana berani saya membohongi Anda, Tuan Cameron. Saya tidak akan bermain-main dengan sesuatu yang begitu penting seperti ini. Terutama yang berhubungan dengan perjanjian penting kita.” katanya dengan suara yang lebih tegas kali ini.

Mathias akhirnya mengangguk pelan, meskipun kecurigaan masih tersisa di matanya.

“Baiklah, George,” katanya sambil berbalik menuju pintu. “Kita lihat saja nanti. Namun ingat, aku akan selalu mencari kebenaran, dan aku tidak akan berhenti sampai menemukannya. Jika di masa depan aku mengetahui bahwa kau telah menipuku, aku bersumpah akan langsung menghancurkanmu.”

George merasa darahnya membeku mendengar kata-kata Mathias. Dia menelan ludah, tubuhnya sedikit gemetaran karena ancaman yang jelas itu.

“Te- tentu saja. Tentu saja, sa- saya ... saya mengerti, Tuan Cameron,” jawabnya dengan suara yang nyaris tak terdengar. “Saya tidak akan menipu Anda.”

Mathias memperhatikan George dengan mata yang masih penuh kecurigaan. Mathias tahu George sudah menipunya. Namun dia ingin melihat sejauh mana George akan menipunya.

“Baiklah,” katanya akhirnya. “Sekarang, aku ingin kau pergi dari rumahku. Sekarang juga.”

George terlihat terkejut. Dia berpikir Mathias tidak akan percaya padanya. Namun ternyata semua diluar dugaannya. Dia tahu bahwa berkata apapun lagi hanya akan memperburuk situasi. Sehingga dia pun berdiri dengan gugup, mengangguk dengan cepat.

“Baik, saya tidak akan mengganggu Anda lagi,” kata George dengan suara serak.

Tanpa berkata lagi, George bergegas keluar dari ruang tamu, langkahnya terburu-buru dan canggung. Mathias mengawasinya dengan dingin, memastikan George benar-benar pergi.

Sepeninggal George, Mathias berjalan kembali menuju kamar, pikirannya masih dipenuhi oleh pertemuan tegang dengan George. Saat dia membuka pintu kamar, dia melihat Hailey duduk di tepi tempat tidur, wajahnya tampak ketakutan dan cemas. Mathias berhenti sejenak, menatapnya dengan mata yang penuh kekhawatiran dan kebingungan.

“Hailey,” kata Mathias dengan suara rendah tapi tegas, “urusan kita belum selesai.”

Hailey menoleh ke arahnya, matanya membesar karena ketakutan. Dia tidak tahu apa yang telah terjadi di ruang tamu, tapi jelas ada sesuatu yang membuat suaminya begitu tegang. Mathias mendekat, berdiri di depan Hailey yang masih duduk.

“Kau sangat takut padaku.”

Hailey tidak merespon. Dia bahkan tidak tahu kalimat itu pertanyaan, pernyataan, atau sindiran. Wajah datar Mathias tak bisa Hailey baca, dan matanya yang setajam elang seolah menelanjangi Hailey setiap kali mereka bertatapan. 

“Apa kau yakin ingin tetap tinggal?” tanya Mathias, suaranya penuh dengan ketidakpastian dan harapan yang tersembunyi. “Tak ingin pulang?”

“Apa kau akan membiarkan aku pergi?” Hailey bertanya dengan matanya yang mulai berair.

Mathias mendesah, sial, dia benci air mata wanita. Kenapa tiba-tiba Hailey mengangis?

“Kau pikir aku akan melepaskanmu?”

Hailey menggeleng pelan, air mata mulai menggenang di matanya. “Tidak, Mathias.”

“Bagus, kau rupanya tahu jawabannya.” Mathias tersenyum samar, kemudian melanjutkan, “tapi, bagaimana kalau seandainya aku benar-benar mengizinkanmu pulang?”

Hailey menatap Mathias, kemudian menggeleng pelan. “Aku ... tidak punya tempat di sana. Mungkin di sana atau di sini akan sama saja.”

Mathias menghela napas dalam-dalam, sepertinya kali tadi dia sudah berlebihan. Pasti sulit jadi Hailey. Perasaan pria itu sebenarnya sedikit tersentuh, tapi benar-benar hanya sedikit. Hailey juga tidak dalam posisi di mana dia bisa menentukan jalan hidupnya. Jadi, Mathias mencoba memahami perasaan istrinya. 

“Apa aku terlihat sangat jahat?”

“Tidak ... a- aku ... aku hanya merasa ... mereka telah mengkhianatiku.” Hailey menunduk, air mata mulai mengalir di pipinya. “Dulu aku selalu merindukan rumah, karena bagiku mereka adalah keluarga yang hangat. Namun sekarang aku tahu bahwa semua itu palsu. Sekarang ... kalaupun harus kembali, rasanya di sana aku tidak merasa seperti di rumah,” katanya pelan. “Aku pasti akanmerasa terasing, karena aku memang bukan bagian dari keluarga itu.”

Mathias menatap Hailey yang duduk di tepi tempat tidur, wajahnya menunjukkan campuran ketegangan dan kelelahan. Hailey menatap Mathias dengan mata yang masih berlinang air mata, mencoba mengumpulkan kekuatan untuk berbicara.

Hailey berkata dengan suara bergetar, “selama ini aku membiarkan diriku berkorban untuk Evangeline. Evangeline sempat didiagnosa anemia aplastik karena virus. Sehingga mengharuskannya menerima transfusi darah sebulan sekali. Karena aku memiliki rhesus negatif yang sama seperti Evangeline, aku harus merelakan darahku diambil setiap bulan sampai Evangeline sembuh. Aku pikir pengorbanan itu setimpal karena kami keluarga, tapi ternyata bukan. Aku ... hanya di manfaatkan”

Mathias menatap Hailey sembari mendengus sinis. “Sudah kubilang, kau memang bodoh.”

Hailey menegakkan tubuhnya, matanya menyala dengan kemarahan yang tiba-tiba. “Jika aku punya pilihan, aku ingin memiliki kehidupan yang lain. Aku tidak pernah menyangka bahwa aku hanya dimanfaatkan.”

Mengingat semua pengorbanan yang dia lakukan, Hailey tidak bisa menahan air mata yang mengalir deras. “Mengapa aku harus berada di sini dan menderita begini hanya karena aku bukan anak kandung mereka? Kenapa?”

Kening Mathias berkerut. Dia tersinggung. Apa? Wanita itu menderita karena sudah dipaksa menikah dengannya? Ha! Memangnya dia pikir, siapa dirinya? 

Wajah Mathias menjadi garang. 

Memangnya Mathias bahagia mengambil wanita yang merupakan musuhnya sebagai istri? Memangnya Mathias bersukacita karena bisa menjalin hubungan yang lebih dalam dengan kleuarga Brantley sialan itu? Memangnya Mathias tidak punya harga diri, sampai masih bisa merasa bahagia setelah Evangeline dan keluarga Brantley membunuh orang yang paling disayanginya?

Mathias mendengus, dan wanita ini masih bisa bilang dia menderita? Konyol! Bukan setahun atau dua tahun Mathias menunggu waktu untuk menjalankan rencana ini. Seharusnya dia sudah membalaskannya sebelas tahun lalu. Namun, karena satu dan lain hal, Mathias tidak bisa melakukannya. Sekarang pria itu masih di tahap pertama rencana pembalasan dendam, dan sudah ada masalah baru.

Gadis yang dia incar, Evangeline Brantley melarikan diri. Dan perempuan yang saat ini menjadi istrinya malah membuatnya terlihat seperti penjahat yang sesungguhnya. Mathias tidak bersalah. Dia sengaja merancang pernikahan itu dengan menyebar rumor bahwa dirinya tua dan buruk rupa untuk mempermainkan Evangeline. Meskipun begitu, seharusnya Hailey merasa beruntung, bukan terhina. Toh, dia tak akan mengincar mangsa yang salah. Mathias, yang salah paham dengan emosi Hailey, merasa kesal melihat tangisan istrinya.

“CUKUP, HAILEY!” seru Mathias dengan nada tajam. “DIAMLAH!”

Hailey terperanjat, dia ingin diam, tapi air matanya malah semakin deras mengalir. Demi apapun, Hailey bingung. Pria yang belum ada dua puluh empat jam menjadi suaminya ini sangat sulit dihadapi. Bagi Hailey, Mathias sungguh menakutkan. Wanita itu tak tahu kapan Mathias akan berubah sikap, dan itu membuatnya semakin frrustrasi.

“Jika kau mau menangis, lakukan di rumahmu saja, jangan di rumahku. Di sini, tidak ada waktu untuk menangis, karena aku benci melihat tangisan perempuan.” Marah Mathias dengan tatapan tajam tertuju pada Hailey.

Hailey terdiam, terkejut dan terluka mendengar kata-kata Mathias.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status