***"Carilah tempat tinggal lain, Vid! Rumah ini sebentar lagi disita bank!"Vida yang sedang memakai lipstick dan duduk di depan cermin yang ada di dalam kamar terkejut karena apa yang dikatakan oleh Dio.Ia baru ingat kalau tadi pagi saat ia tidur terjadi keributan di rumah ini, tapi ia tidak terlalu jelas mendengarnya karena matanya masih lengket seperti lem.Ia memutar kepalanya pada Dio.Wajah tampan yang senantiasa tampak ambisius itu kini tampak berantakan, kacau dan lesu dalam waktu bersamaan."Kenapa disita bank?"Dio mendengus kesal."Pantas Nial membuangnmu jauh-jauh dari hidupnya. Itu karena kamu bodoh!""Yah!"Vida yang kesal bangkit dari duduknya. Ia memandang Dio yang dilihat dari manapun sedang sangat kesal padanya."Goldsky Holdings bangkrut."Vida mundur teratur. 'Secepat ini?' batinnya bertanya.Padahal ia baru saja melakukan kesepakatan dengan Dio untuk merusak hubungan Nial dan juga Bela, dan dia sudah akan memulainya sejak tahu adik perempuannya itu sudah kembal
"Menyedihkan!"Hanya itu yang sedari tadi terus dipikirkan Vida saat ia angkat kaki dari rumah Dio yang beberapa waktu terakhir ini sangat nyaman untuknya.Ternyata impian untuk hidup damai dan tenang tidak bisa terjadi karena takdir bergerak lebih cepat seolah menamparnya dengan sebuah kenyataan bahwa ia tidak bisa lepas dari pusaran sengsara yang memeluknya begitu hebat.Ia menunduk, berdiri di bawah hujan dengan menangis. Marah pada dirinya sendiri. Marah pada hidupnya yang berantakan sejak Sasti hampir tewas pasca kecelakaan.Marah pada Nial yang membencinya setengah mati.Marah pada Bela yang dipihak terus-terusan oleh keberuntungan dan nasib baik.Saat dirinya harus kehujanan di sini dan menggigil kedinginan, Bela pasti merasakan tempat yang nyaman, dipeluk Nial dengan cinta yang meluap untuknya. Cinta Nial yang tidak akan diberikan kepada orang lain selain Bela."Kamu bodoh? Kenapa hujan-hujanan?"Suara seorang perempuan datang setelah mobil sedan berhenti di tepi jalan. Memb
***Handoko dan Sasti benar-benar dibuat melongo dengan apa yang mereka lihat di atas meja ruang tamu. Ada sangat banyak barang di sana yang dibawa masuk Nial dan juga Bela. Yang dibilang adalah oleh-oleh dari Auckland.Teh, kopi, madu, susu, coklat, cookies, lukisan, tas, mantel dan masih banyak yang lain.Bela hanya menahan tawa melihat ayahnya yang tampak tak bisa mengatakan apapun selagi Nial bingung. Apakah ini disukai atau tidak, ia masih belum tahu."Tunggu!"Handoko mulai membuka suaranya."Bukannya Bapak nggak suka. Tapi apa ini nggak terlalu banyak?"Sasti menyetujui dengan mengatakan,"Berapa yang harus kalian bayar untuk menempatkan ini di kargo?""Jangak pikirkan, Mah! Nial yang meminta Bela membeli banyak karena nggak tahu mana yang Ayah dan Mamah suka!"Bela mengangguk menyetujui Nial.Tidak ingin mengecewakan anak dan menantunya. Handoko tersenyum."Terima kasih untuk perhatian kalian.""Kalau Ibuk merasa terlalu banyak, bagikan saja ke tetangga. Iya, 'kan, Mas?"Bel
|| Lima Belas Tahun Yang Lalu ||...."Eh! Eh! Ada yang tenggelam!"Suara Beni terdengar berisik di telinga Nial. Ia baru saja merebahkan badan di atas pasir pantai yang putih sore ini. Ikut teman-temannya yang memaksanya datang karena Nial tampak suntuk seharian.Tapi sekarang Beni mengguncang pundaknya. Membuat Nial bangkit dan melihat seorang pria dan istrinya yang berlari ke arah gulungan ombak.Nial dapat mendengar jerit tangis istri lelaki itu saat melihat anak perempuannya yang berusia mungkin sekitar empat atau lima tahun terseret ombak.Nial bangkit, ia berderap dengan cemas saat melihat anak itu bisa saja masuk ke boleran atau rip current. Apalagi ombak semakin pasang."Nial! Ke mana kamu! Ombaknya tinggi!"Nial mengabaikan panggilan Beni dan beberapa orang temannya yang mengikutinya di belakang.Bagi Nial, tujuannya hanya satu. Agar anak itu masih sempat ia selamatkan.Ia masuk ke perairan lebih cepat ketimbang ayah anak itu. Nial dapat melihatnya yang memakai dress merah,
***"Vida jadi perempuan panggilan lagi?"Jerry bergumam dalam hati saat membaca pesan dari Luigi yang mengatakan ia baru saja melihat Vida yang masuk ke dalam hotel saat ia baru saja bertemu temannya.Sementara Jerry baru saja keluar dari rumah Siska, karena ini adalah hari Minggu yang mereka janjikan untuk nonton film di bioskop.Tapi sekeluarnya ia dari sana, ia malah membaca pesan Luigi yang membuatnya mengurut kening dengan kesal.Ia merasa Vida adalah spesies paling bodoh yang pernah ia temui. Padahal ia jelas-jelas sudah bebas dari Madam Calsie sejak Dio menebusnya.Harusnya ia bisa lari keluar kota, atau keluar negeri untuk menjauh dari kesengsaraan yang dibuatnya sendiri. Tapi sekarang ia malah kembali lagi jadi mesin uang Calsie?"Aku nggak tahu apa yang dia pikirkan. Dia itu bodoh atau apa, sih? Astaga ...."Jerry naik ke atas motornya, memakai helm dan kembali berpikir karena ada yang lebih membuatnya penasaran.Dio.Ke mana perginya dia?Apa yang dia lakukan bersama kelua
Bela dapat mendengar riak kemarahan yang hebat di dalam sana saat Nial menatap nanar ayahnya yang perlahan bangkit dari tidurnya.Bela tahu kalau keduanya sama-sama menanggung duka dan luka mereka masing-masing. Hanya saja mereka terjebak dalam kesalah pahaman yang lebih dulu membuat dinding teritori tinggi yang memisahkan."Kenapa Ayah nggak pernah mengatakannya dan membiarkan aku membencimu?""Kamu pikir aku tega mencoreng nama baik Yasmin dengan mengatakan bahwa dia sendiri yang membayar media untuk melibatkanku dalam skandal itu? Apa kalau aku mengatakannya kamu akan percaya saat itu, Nial?"Suara serak Hendro memenuhi isi ruangan. Nial menunduk, dadanya sesak dengan rasa sebah yang membuat ulu hatinya terasa akan pecah.Sekarang ia tahu kenapa Bela terus saja memintanya agar berdamai dengan Hendro. Itu karena ada kebenaran tersembunyi yang hari ini menyeruak ke permukaan.Kemarahan Nial luntur saat itu juga. Ia merasa matanya buram dan berair. Pergi dari hadapan Hendro mungkin ad
Bela merasa bibirnya bengkak karena kecupan kasar Niko yang membuatnya terkunci di dinding.Tangannya kebas saat melayangkan tamparan yang sangat keras di pipi kirinya setelah memberontak lepas dari Niko."Sudah kubilang berhenti! Kamu nggak mendengarku?"Air mata Bela luntur. Ia merasa telah kehilangan Niko yang dulu ia kagumi dan bersahaja. Kini lelaki di hadapannya ini tampak lain. Niko merasa bersalah karena membuat Bela ketakutan. Ia juga salah telah memaksa Bela seperti itu yang sama sekali di luar akal sehatnya.Pipinya perih, ia menggigil saat mengumpulkan keberanian untuk kembali memanggil Bela. Entah itu diizinkan atau tidak."Bela, maaf aku--""Tolong berhentilah! Aku sudah menikah! Aku punya hidupku sendiri jadi kamu juga harus punya hidupmu sendiri.""Tapi--""Mas Nial."Telinga Niko memanas mendengar Bela menyebut nama suaminya. Hanya satu nama itu telah membuat Niko bungkam. Ada perbedaan mencolok dari cara memanggil Bela padanya yang dengan marah setiap menyebut 'Kam
"Samudera Nikolass!"Bentakan William menukik tajam membuat kesadaran dengan cepat merengkuh kembali akal sehat Niko. Ia panik saat pasien itu berdarah akibat pembuluhnya salah ia tarik."Kendalikan dirimu!"Ada riak kemarahan dalam titah William saat ia mengambil alih untuk mengatasi kekacauan di atas meja operasi. Salah seorang perawat mengusap keringatnya yang menetes berpeluh-peluh.Niko merasa ia benar-benar kacau. Kehilangan Bela telah mematahkan tulang rusuknya. Menghancurkannya hingga tak berbentuk. Ia dirundung nestapa sementara Nial dapat merasakan cinta yang hebat dari Bela.***Pagi ini, saat Bela keluar dari kamar mandi, Kim telah membawa masuk sebuah dress yang sangat cantik. Berwarna peach, dengan shoulder boat beraksen brukat yang indah."Tuan Nial sudah berangkat lebih pagi ke kantor. Nanti malam Nona Bela akan diantar Pak Han."Kim mengucapkannya seraya meletakkan sebuah kotak sepatu di dekat ranjang."Mas Nial nggak akan pulang, Bu Kim?""Biasanya dia ikut turun