Bela turun dari pangkuan Nial, menyambar pakaiannya yang sudah berceceran di lantai dan memakainya secepat kilat.Merapikan rambut dan menerima panggilan video dari Handoko."Bapak?""Hai, apa Bapak mengganggu?" Handoko bertanya dengan mendekat pada Sasti sehingga wajah mereka tampak di layar ponsel."Enggak kok, Pak. Bela baru pulang jalan-jalan sama Mas Nial."Bela mengerling sekilas Nial yang masih duduk dengan lemas di tempatnya. Dengan hasrat menggebu yang kini harus tertunda.Bela menyenggol lengannya, matanya mengisyaratkan agar Nial segera memakai bajunya. Untuk menutupi dadanya yang tak mengenakan pakaian,dan juga lehernya yang terdapat bekas kemerahan."Suamimu mana?" tanya Sasti dari seberang telepon karena Nial tak kunjung tampak."Halo, Ayah, Mamah? Kabar baik?"Nial akhirnya muncul di samping Bela. Melambaikan tangan pada Handoko dan Sasti."Baik, Nak. Kalian baik-baik saja di sana?""Baik, Mah.""Kalian pulang besok?""Iya, mungkin besok malam terbang dari sini.""Baikl
Pertanyaan itu hanya terjadi di dalam kepalanya sampai Han mengemudilan mobil memasuki halaman rumah.Sambutan hangat Kim seperti menyadarkannya bahwa ia ada di dunia yang sebenarnya lagi. Pada rutinitas yang harus ia jalani setelah petualangan selama berbulan madu."Selamat datang Pak Nial, Nona Bela.""Terima kasih, Bu Kim."Bela dan Nial menjawabnya hampir bersamaan sebelum memutuskan untuk masuk, selagi Han mengeluarkan koper mereka dari dalam bagasi."Hm ... nyamannya."Bela menghempaskan tubuhnya di atas ranjang. Nial yang masuk belakangan hanya tersenyum melihatnya. Ia membuka coat panjangnya dan melemparnya ke lantai begitu saja."Capek?" tanya Nial begitu ia suduk di sampingnya.Bela tak menjawab. Ia ingat ada yang harus ia tanyakan pada Nial, tentang Vida."Mas Nial, aku di jalan tadi melihat Vida."Mendengar nama Vida disebut membuat telinga Nial memanas. Ia berpikir akan memberi tahu Bela sedikit lebih lama lagi. Setidaknya kalau rasa lelah di antara mereka sudah mereda.
Tak hanya mata Nial yang terasa panas, tapi telinganya juga. Berpikir dalam hati apa yang telah dibuat Jerry sehingga membuat pembangkang yang ingin ia patahkan tulang lehernya itu bisa berlutut di depannya seperti ini.Dio menatap Nial. Dengan malu, sekaligus memohon karena ia tidak ingin membuat ayahnya gulung tikar.Belum lama Dio bahagia karena berpikir ia bisa bertemu Bela secepatnya sejak orang suruhannya memberinya kabar bahwa Bela dan juga Nial sudah mendarat semalam, pasca kembali dari bulan madu mereka.Tapi ....Beberapa saat sebelumnya ........"Brengsek kamu!"Suara ayahnya meninggi saat lelaki paruh baya itu memasuki rumahnya tadi pagi. Menampar Dio dengan tangannya yang paling kuat hingga membuat anaknya tersungkur ke lantai.Pagi yang biasanya tenang dan damai di dalam rumah kini dipenuhi dengan amarah Hakim Arnelda, pemilik Goldsky Holdings, ayahnya Dio."Papa kenapa?"Clueless, karena merasa Dio tidak melakukan kesalahan apapun, tapi Hakim murka tak terbendung."Sus
"Maafkan aku, Pak Nial! Aku tahu aku sudah gagal mendidiknya, maafkan aku!"Nial mendengus mendengarkan hal itu. "Kamu tahu sendiri 'kan bagaimana kejamnya aku? Aku nggak akan memberi ampun pada orang-orang yang sudah mengusik hidup tenangku.""Tapi, Pak Nial telah membuat Goldsky Holdings kolaps dalam waktu singkat.""Lalu apa maumu?""Maafkan Dio! Tolong!"Nial semakin kesal. Ia melihat Jerry yang membuka pintu ruangannya dan berdiri di ambang pintu. Dengan isyarat mata, Nial memintanya agar masuk dan mengenyahkan Hakim dari hadapannya."Ayo keluar!"Jerry menariknya bangkit. Tak peduli lagi untuk alasan apa ia minta bantuan darinya agar Nial kembali menyokongnya bangkit atas bisnisnya yang mengalami kebangkrutan.Nial sedikit melonggarkan dasinya sebelum ia duduk di kursi kerjanya. Memeriksa pesan dari Bela.'Mas Nial sudah ke kantor?''Sudah, Sayang. Maaf Mas berangkat pagi-pagi tadi sebelum kamu bangun.''Iya, aku membuatkanmu makanan. Sekarang sedang jalan diantar Pak Han ke k
***"Carilah tempat tinggal lain, Vid! Rumah ini sebentar lagi disita bank!"Vida yang sedang memakai lipstick dan duduk di depan cermin yang ada di dalam kamar terkejut karena apa yang dikatakan oleh Dio.Ia baru ingat kalau tadi pagi saat ia tidur terjadi keributan di rumah ini, tapi ia tidak terlalu jelas mendengarnya karena matanya masih lengket seperti lem.Ia memutar kepalanya pada Dio.Wajah tampan yang senantiasa tampak ambisius itu kini tampak berantakan, kacau dan lesu dalam waktu bersamaan."Kenapa disita bank?"Dio mendengus kesal."Pantas Nial membuangnmu jauh-jauh dari hidupnya. Itu karena kamu bodoh!""Yah!"Vida yang kesal bangkit dari duduknya. Ia memandang Dio yang dilihat dari manapun sedang sangat kesal padanya."Goldsky Holdings bangkrut."Vida mundur teratur. 'Secepat ini?' batinnya bertanya.Padahal ia baru saja melakukan kesepakatan dengan Dio untuk merusak hubungan Nial dan juga Bela, dan dia sudah akan memulainya sejak tahu adik perempuannya itu sudah kembal
"Menyedihkan!"Hanya itu yang sedari tadi terus dipikirkan Vida saat ia angkat kaki dari rumah Dio yang beberapa waktu terakhir ini sangat nyaman untuknya.Ternyata impian untuk hidup damai dan tenang tidak bisa terjadi karena takdir bergerak lebih cepat seolah menamparnya dengan sebuah kenyataan bahwa ia tidak bisa lepas dari pusaran sengsara yang memeluknya begitu hebat.Ia menunduk, berdiri di bawah hujan dengan menangis. Marah pada dirinya sendiri. Marah pada hidupnya yang berantakan sejak Sasti hampir tewas pasca kecelakaan.Marah pada Nial yang membencinya setengah mati.Marah pada Bela yang dipihak terus-terusan oleh keberuntungan dan nasib baik.Saat dirinya harus kehujanan di sini dan menggigil kedinginan, Bela pasti merasakan tempat yang nyaman, dipeluk Nial dengan cinta yang meluap untuknya. Cinta Nial yang tidak akan diberikan kepada orang lain selain Bela."Kamu bodoh? Kenapa hujan-hujanan?"Suara seorang perempuan datang setelah mobil sedan berhenti di tepi jalan. Memb
***Handoko dan Sasti benar-benar dibuat melongo dengan apa yang mereka lihat di atas meja ruang tamu. Ada sangat banyak barang di sana yang dibawa masuk Nial dan juga Bela. Yang dibilang adalah oleh-oleh dari Auckland.Teh, kopi, madu, susu, coklat, cookies, lukisan, tas, mantel dan masih banyak yang lain.Bela hanya menahan tawa melihat ayahnya yang tampak tak bisa mengatakan apapun selagi Nial bingung. Apakah ini disukai atau tidak, ia masih belum tahu."Tunggu!"Handoko mulai membuka suaranya."Bukannya Bapak nggak suka. Tapi apa ini nggak terlalu banyak?"Sasti menyetujui dengan mengatakan,"Berapa yang harus kalian bayar untuk menempatkan ini di kargo?""Jangak pikirkan, Mah! Nial yang meminta Bela membeli banyak karena nggak tahu mana yang Ayah dan Mamah suka!"Bela mengangguk menyetujui Nial.Tidak ingin mengecewakan anak dan menantunya. Handoko tersenyum."Terima kasih untuk perhatian kalian.""Kalau Ibuk merasa terlalu banyak, bagikan saja ke tetangga. Iya, 'kan, Mas?"Bel
|| Lima Belas Tahun Yang Lalu ||...."Eh! Eh! Ada yang tenggelam!"Suara Beni terdengar berisik di telinga Nial. Ia baru saja merebahkan badan di atas pasir pantai yang putih sore ini. Ikut teman-temannya yang memaksanya datang karena Nial tampak suntuk seharian.Tapi sekarang Beni mengguncang pundaknya. Membuat Nial bangkit dan melihat seorang pria dan istrinya yang berlari ke arah gulungan ombak.Nial dapat mendengar jerit tangis istri lelaki itu saat melihat anak perempuannya yang berusia mungkin sekitar empat atau lima tahun terseret ombak.Nial bangkit, ia berderap dengan cemas saat melihat anak itu bisa saja masuk ke boleran atau rip current. Apalagi ombak semakin pasang."Nial! Ke mana kamu! Ombaknya tinggi!"Nial mengabaikan panggilan Beni dan beberapa orang temannya yang mengikutinya di belakang.Bagi Nial, tujuannya hanya satu. Agar anak itu masih sempat ia selamatkan.Ia masuk ke perairan lebih cepat ketimbang ayah anak itu. Nial dapat melihatnya yang memakai dress merah,