Itu adalah suara getar ponsel Bela dari atas meja. "Ada telepon," ucap Bela lirih, tapi tidak menghentikan aktivitas panasnya bersama dengan Nial."Angkatlah!""S-sekarang?""Iya, sekarang!""Tapi, Mas—"Bela menggigit bibirnya, gugup.Nial hanya tersenyum melihat kedua pipinya yang merah merona dan meraih ponsel Bela dari atas meja. Memutuskan dia yang menerima panggilan itu.'Niko?' batinnya setengah terkejut.Ia mendengar,"Bela? Kamu baik-baik saja? Nial nggak melakukan apapun yang buruk, 'kan?"Nial tak menjawab, ia meletakkan ponselnya di samping telinga sembari membuat tanda merah di bahu Bela yang membuatnya sedikit mengerang."Mas Nial, jangan ...."Suaranya mendayu mesra, yang sudah pasti dapat didengar oleh Niko karena anak itu langsung mematikan panggilannya.Setelahnya mereka tenggelam dalam lelap.Tapi Bela masih membuka matanya.Bela melihat wajah Nial yang sedang terlelap. Menyentuh bibirnya dan dagunya, ia tersenyum."Aku nggak tahu akan sepert ini, tapi terima kasih
'Siapa lelaki itu?'Pertanyaan terasa memenuhi isi kepala Vida seperginya Calsie dari ruang kunjung tahanan.Ia terus bertanya dalam hati, siapa lelaki yang dengan beraninya akan memberinya jaminan tetapi dengan syarat bahwa ia harus memporak-porandakan biduk rumah tangga Nial dan juga adiknya.Sebenarnya ia senang karena ini artinya ada kesempatan baginya untuk enyah dari tempat sempit ini untuk kembali menjalani hidup normalnya.Tapi ia juga tahu bahwa ada bahaya lain yang bisa saja datang dan membuatnya terperangkap lebih dalam. Sekaligus membuatnya semakin kesal karena satu demi satu lelaki mulai memperebutkan Bela menjadi milik mereka.Baik itu Nial, Niko dan ditambah lagi lelaki dari Goldsky Holdings ini.'Muda, mahasiswa, ingin merebut Bela? Bukankah itu terlihat seperti seorang anak muda yang berbahaya?'Vida mendengus kesal. Ia akan memikirkannya lain kali. Tapi untuk sekarang ia benar-benar tidak bisa menentukan mana yang harus ia pilih.Ia kembali merebahkan badannya ke at
"Nial bodoh!"Ia meremas rambutnya. Tangannya yang menggenggam ponsel Bela terasa kebas.Sekarang Nial tahu bahwa arti kontak 'Daddy' yang ditulis Bela memanglah ayah dalam arti yang sesungguhnya. Bukan panggilan sayang seperti yang dilakukan orang-orang saat memanggil pasangan pria mereka.Dia tidak tahu karena tidak ada pesan sebelumnya dan kalimat 'Good night, Baby Girl' adalah pesan pertama yang masuk di ruang percakapan mereka."Habis sudah aku!"Ia kembali membuka ruang obrolan dan harus menjelaskan situasi yang sebenarnya pada Handoko.'Maaf, Ayah. Aku pikir Ayah lelaki lain karena Bela memberi nama kontaknya dengan 'daddy.''Balasan datang secepat kecepatan cahaya.'Daddy? Bela memanggilmu Daddy? Astaga ... anak muda sekarang.'Handoko mengirim stiker tertawa yang membuat Nial merasa malu. Hidupnya sekarang terasa tidak berguna.'Maaf, aku akan menghapus percakapan kita. Tapi, Ayah mau janji padaku satu hal?''Iya, tentu saja!''Jangan katakan ini pada Bela, tolong! Kalau dia
"Brengsek!"Nial memukul meja kerjanya, bangkit namun dengan cepat tangannya ditahan oleh Jerry."Mau ke mana?""Ke mana lagi? Tentu saja pergi untuk mematahkan tulang leher anak itu."Jerry mendengus kesal. Mengedikkan kepalanya mengisyaratkan agar Nial kembali duduk."Aku akan mencari kebenarannya dulu. Pak Nial duduk tenanglah di sini!"Tidak ingin memperburuk suasana hatinya sendiri, dan tidak ingin terhanyut dalam emosi, Nial kembali duduk dan melonggarkan dasinya."Ya! Pastikan dia nggak melakukan apapun pada Bela!""Nona Bela itu orang baik, dia nggak akan mengatakan ada orang yang menyakitinya. Jadi sebaiknya Pak Nial memancingnya untuk jujur.""Iya.""Pak Nial sudah pernah melihatnya?""Siapa? Dio?"Jerry mengangguk."Iya, sekali. Dia dan Niko memperebutkan Bela saat aku menjemputnya di depan kantor polisi tempo hari.""Dia mahasiswa?""Ya! Sebagai informasi tambahan, dia adalah anak pemilik Goldsky Holdings. Jadi dia cukup berkuasa dan memiliki banyak uang. Dia pasti lebih g
"Aku harap dia nggak cukup sinting untuk nggak menyerah mendapatkan Bela."Nial bergegas menjemput Bela. Ia khawatir karena ada pemuda tanggung bernama Dio yang terobsesi untuk memilikinya.Namun, saat mobil yang ia kemudikan berhenti dan ia keluar, ia melihat dengan mata kepalanya sendiri bagaimana Dio yang menahan Bela.Sementara Siska memasang badan untuk melindunginya, Dio bukannya mereda tapi justru menggila saat ia menyeret Siska enyah dari hadapannya.Ketenangannya buyar saat ia melihat Bela yang menampar Dio setelah cincin pernikahannya dibuang.Amarah menguasai Nial dari ujung kaki hingga ke ujung kepala saat Dio melepas tangan Bela dengan kasar dan membuatnya hampir terjerembab jatuh ke belakang.Nial dengan sigap menahan pinggang ramping Bela. Membuat ketegangan beralih mata padanya, seolah ia tidak terlihat sebelumnya. Baik itu oleh Siska, Dio dan juga Bela."Sepertinya kamu tuli! Kutanya apa yang kamu lakukan pada wanitaku, brengsek?"Nial mengulangi kalimatnya saat orang
Niko datang ke kampus karena sengaja ingin bertemu dengan Bela. Tapi ia kesal karena hujan mengguyur sore yang tadinya baik-baik saja.Suasana ini seperti sedang mengatakan bahwa ada yang bersedih. Yang tak disangka oleh Niko, ternyata yang bersedih itu adalah Bela. Saat ia keluar dari mobilnya dengan membuka payung, ia melihat Bela, Nial dan juga Siska tampak mencari sesuatu di antara rumput kecil. Di bawah pohon yang letaknya tak jauh dari pintu gerbang kampus.Ia ingin tahu dan memutuskan untuk berjalan ke dalam. Ia sudah akan mengeluarkan suara untuk bertanya apa yang mereka lakukan di bawah derai hujan yang menggila ini.Tapi sebelum hal itu sempat ia lakukan, Niko melihat sebuah benda berkilauan yang tepat hampir saja ia injak. Benda berbentuk lingkaran dengan kemilauan sedang ada di antara segerombolan rumput semanggi berdaun empat.Seperti sebuah keadaan yang melambangkan keberuntungan 'Cincin milik Bela?'Ia memungut cincin itu, benar ada nama 'Danial' yang terukir di bag
Bela merasa darahnya memanas dengan cepat saat tangannya memeluk Nial. Prianya juga kembali memberikan sensasi berdebar yang menyenangkan saat memagut bibirnya dengan hangat.Bela tahu Nial sedang tersenyum saat melakukannya. Tapi itu hanya sesaat sebelum mereka menyadari ada orang ketiga dan keempat yang datang, yang sebelumnya seperti lepas dari pengawasan mereka karena suasana terlanjur menyeret mereka dengan rasa nyaman."Bapak, Ibuk?""Ayah, Mamah?"Suara Bela dan Nial saling bertumpang tindih dengan terkejut saat melihat kedatangan Handoko dan Sasti yang juga sama terkejutnya.Bela mendorong Nial sehingga Nial bangkit sambil menariknya dan mereka duduk dengan panik di sofa ruang tamu."Maaf! K-kalian di sini?"Handoko bertanya dengan tergagap, sambil berjalan masuk diikuti Sasti, saling menahan senyum."I-iya," jawab Bela dan juga Nial bersamaan."Maaf, Bapak kira rumahnya kosong karena nggak ada mobilnya di depan.""Iya, tadi hujan. Jadi Nial masukkan ke dalam kamar.""Kamar?"
***"Selamat datang kembali, Nona Bela."Suara bahagia Kim terdengar saat ia menyambut kedatangan Bela dan juga Nial dari arah pintu rumah.Kim tersenyum lepas, seperti menemukan mana orang yang benar yang seharusnya ada di rumah ini. Nial melihat bagaimana Kim menyambut Bela masuk, meraih tas Bela dan mengajaknya ke dalam rumah. Ia jadi ingat wajah kesal Kim yang hari itu tahu bahwa perempuan yang dibawa pulang Nial adalah Vida, saat ia hilang ingatan."Mas nggak masuk?"Suara Bela menghentikan lamunan sesaatnya. Bela tersenyum pada Nial yang masih berdiri di luar padahal malam ini sedang gerimis."Iya.""Kenapa, Mas? Terjadi sesuatu?" Bela yang masih berdiri di samping Kim memandangnya yang mulai mengambil langkah masuk."Terakhir kali aku datang dengan seorang perempuan, Bu Kim nggak seperti ini, Bel.""Oh? Sungguh? Saat membawa pulang Vida?""Ya, tatapannya berisik. Matanya seperti sedang mengatakan kalau dia membenciku. Nggak menyambut kedatanganku, mengisyaratkan sebaiknya ak