"Kamu kedinginan, ayo berteduh!"Niko menarik Bela untuk pergi dari bawah gerimis yang berubah menjadi hujan. Mengisyaratkan pada keluarganya untuk tidak mengikutinya dan memberinya ruang berdua untuknya dan juga Bela.Dan di sinilah mereka sekarang, duduk di teras yang ada di depan hall. Niko melepas pakaian hitam—jubah wisuda—yang tadi ia kenakan. Sehingga menunjukkan setelan jas yang ia pakai. Ia melepas jasnya dan memberikannya pada Bela.Bela? Ia masih tertunduk menghindari tatapan Niko saat tangannya menutup tubuh Bela dengan jas hangat yang tadi dipakainya.Bela malu karena ia sadar hanya menjadikan Niko sebagai pelariannya."Aku sudah dengar adanya kemungkinan itu dari ayahku, Bel."Niko ikut duduk di sampingnya. "Benar begini, Bela.""Apa?"Bela menoleh dan mata mereka bertemu. Ia juga bisa melihat senyuman Niko yang sama manis seperti biasanya. Apalagi dengan aksen zygomaticus mayor yang ia tunjukkan."Bukankah aku sudah pernah bilang padamu, saat Nial menyakitimu, kamu b
"Lalu kamu akan menyerah begitu saja?!" Jerry setengah berteriak saat mendesak Bela agar ia tidak menyerah atau mundur setelah tahu kondisi terkini Nial. Suaranya meninggi, bersaing dengan derasnya air hujan yang menulikan telinga setiap orang."Turunkan suaramu!"Niko yang kesal pada Jerry akhirnya memasang badan untuk melindungi Bela."Nona Bela ... kumohon jangan menyerah! Demi Pak Nial, tolong ... bawa kembali ingatannya padamu!""Dengan cara apa? Mas Nial telah memilih dengan siapa pikirannya harus bersama. Memaksanya mengingatku?""Ya! Buat dia ingat denganmu!""Dan melihatnya kesakitan?"Jerry tahu Bela menangis saat ia merapatkan jas hitam yang sudah pasti milik Niko. Hanya saja, ia tidak tampak demikian karena air matanya jatuh bergulir bercampur dengan air hujan."Lebih baik aku yang merasakan sakit itu dari pada harus melihat Mas Nial menderita saat memaksanya mengingatku.""Kamu menyerah?"Jerry mencoba mengambil jarak agar dekat dengan Bela, tanpa ada gangguan dari makh
***Bela terbangun dari tidurnya dengan mata yang bengkak, ia selalu menangis setiap malam, sebelum tidur. Membayangkan apa yang dilakukan Nial bersama Vida di atas ranjang yang harusnya menjadi miliknya. Ia berharap apa yang dilaluinya beberapa waktu belakangan hanyalah mimpi belaka.Tapi tampaknya, bangun di dalam kamarnya sendiri telah memberinya jawaban bahwa semua ini bukanlah mimpi. Ini kenyataan yang dibawa oleh arus takdir yang berubah.Bela ingat ia pernah beraktivitas panas bersama Nial di sini, membicarakan hal-hal manis tentang memberi pewaris untuk Ones Air dan Ones Company yang membuatnya tidak tidur sampai pagi.Semuanya ... hanya kenangan.Ia keluar dari kamar saat aroma masakan Sasti tercium menggugah rasa lapar di perutnya."Makanlah, Nak!"Bela hanya mengangguk dan mengambil duduk di seberang Handoko."Bapak sudah ketemu Vida kemarin, Bel."Bela mengalihkan pandangannya dari piring makannya ke wajah putus asa Handoko."Lalu? Dia bilang apa, Pak?""Dia ngamuk sama
Beberapa saat sebelum panggilan itu tiba di ponsel Jerry........Siska bilang, dia akan menunggu Bela di depan pintu gerbang kampus untuk bersama-sama menghadiri kelas mereka. Setidaknya itulah yang disampaikan Siska lewat pesan.Bela turun dari taksi online dan tiba di depan kampus. Tapi, matanya menangkap kerumunan yang tak jauh dari gerbang. Bersama sebuah mobil ambulans yang ada di sana.Ada sebuah mobil polisi dan mobil yang menabrak pagar kampusnya.Seorang perempuan bersimbah darah ada di atas brankar dan di masukkan ke dalam ambulans."SISKA!"Bela berlari untuk memastikan bahwa apa yang dilihatnya adalah salah. Tapi itu benar-benar Siska, Fransiska Nalendra yang baru saja mengiriminya pesan agar mereka berjumpa di depan gerbang.Tapi Bela tidak tahu mereka akan bertemu dengan keadaan seperti ini."Anda mengenalnya?" Seorang polisi mendekat dan bertanya."Iya, teman saya, Pak.""Dia baru saja ditabrak pengemudi mabuk. Bisa ikuti dia ke rumah sakit?"Iya."Bela mengangguk dan
***Tanpa gairah.Bela berjalan masuk ke dalam kamarnya seperginya dari rumah sakit karena orang tua Siska sudah datang, keadannya juga sudah sadar dan pada akhirnya Bela disarankan untuk istirahat dan pulang.Ia menghempaskan tubuhnya yang lelah ke atas tempat tidur. Kehampaan menggerogotinya hingga jauh, pedih dan sesak.Ia rindu Nial. Ia sangat rindu bagaimana wajahnya yang kaku seperti formalin. Namun hangat jika mereka sudah bicara semakin dalam pada percakapan.Ia rindu bagaimana Nial menggodanya, menatapnya, menyentuh dagunya dan mengatakan Bela miliknya."Mas Nial, apa nggak ada takdir yang menuliskan untuk kita kembali bersama?"Drrt ... drrt ...."Siapa yang menelpon malam-malam?"Bela meraba ponselnya dari dalam tas yang tadi ikut ia lemparkan. Ia bangkit dengan segera saat tahu itu adalah Niko."Ya, Kak Nik?""Bela, kamu sibuk?" Suaranya tenang seperti biasa."Enggak, kenapa?""Aku ada di dekat rumahmu? Bisa kita bertemu?"Bela menengok jam dinding yang menunjuk pada angk
***Saat Nial membuka matanya, ia melihat langit-langit kamar yang gelap. Sejak kapan ia tidur dalam keadaan gelap seperti ini? Bahkan dimer pun tidak dinyalakan.Nial menoleh ke sisi kanannya, Vida masih ada di sana dengan lelap."Bukannya Vida takut ruang gelap sama seperti Catherine? Tapi kenapa semua lampu dia matikan?"Ia bergumam, kepalanya pusing setelah semalam pingsan di tempat makan yang ada di Belleswiss Apparel. Vida cepat menghubungi Jerry dan dia dibawa pulang.Itu adalah pertama kalinya ia menjejakkan kakinya di sana, tapi ... tempat itu tidak asing sejak awal.Apa lagi sejak ia masuk ke dalam Alexa Apparel dan menjumpai gaun cantik itu. Ia pernah melihat gaun itu dipakai seseorang, bukan Catherine dan juga bukan Vida.Mungkinkah itu Bela?Perempuan asing yang belakangan ini terasa menghantuinya. Senyumnya jauh lebih menawan. Lebih memikat dan meski bayangannya samar-samar, Nial dapat mengetahui kalau dia sangatlah cantik.Dan suaranya sendiri yang menggoda perempuan it
Garis satu.Dia tidak sedang hamil. Bela menyandarkan punggungnya ke pintu kamar mandi di apotek yang ia masuki.Perasaannya campur aduk. Satu sisi sedih karena itu artinya dia belum bisa memberi pewaris untuk Ones Air. Tapi di sisi lain sedikit lega, mengingat keadaannya seperti ini mungkin Tuhan masih berencana lain.Bela menunduk, tertawa tanpa suara dengan dada yang sesak."Bela bodoh! Apa yang kuharapkan? Nial saja nggak ingat apapun. Sadarlah, Bel!"Ia menampar dirinya sendiri agar bangun dari dunia tipu-tipu yang terus saja dibuatnya."Bela?"Suara Niko terdengar dari luar. Membuat Bela sejenak mengatur napas, membuang test pack ke tempat sampah dan membuka pintu."Kamu baik-baik saja?"Niko tampak khawatir saat melihat wajah pucat Bela yang hanya mengangguk menjawabnya.Mereka keluar dari apotek dan berjalan di sepanjang jalur pedestrian yang tampak redup. Ditutupi bayangan pohon sekaligus mendung di atas sana."Kenapa, Bel?"Niko sekilas menyentuh pundaknya agar Bela tidak di
....Di tempat lain ....Mata Bela merasa ia baru saja salah membaca. Tapi itu benar-benar dari Nial. Pesan yang masuk ke dalam ponselnya itu datang dari Nial. "Mas Nial ingin bertemu denganku?"Ia tersenyum. Kebahagiaannya meluap hingga tumpah. Ia yang tadinya sudah bermalas-malasan dengan rebahan di atas ranjang sepulang dari kampus kini bangkit dan duduk dengan tegak.Tak berapa lama, pesan dari Nial kembali masuk dan itu menunjukkan tempat di salah satu kafe yang tidak jauh dari kampusnya.Bela bergegas keluar dan pergi ke sana.Hatinya berdebar, diselubungi perasaan aneh yang membuatnya merasakan ia seperti sedang jatuh cinta lagi. Pada akhirnya, ia keluar dari taksi online yang ia pesan dan turun di depan kafe. Matanya menangkap sosok bertubuh tinggi yang masih mengenakan setelan jasnya. Sedang berdiri di luar kafe, di bawah pohon rindang. Membelakanginya.Dari kejauhan pun Bela tahu itu adalah Nial karena ia bisa menghidu bau parfum miliknya yang menguar dengan maskulin, sep