Membutuhkan waktu sepersekian detik bagi Jerry untuk memahami bahwa Nial sedang sungguh-sungguh. Ekspresinya mengatakan segalanya. Bagaimana mata hancur itu kembali ia suguhkan, mata hancur yang dulu selalu di sana sejak kematian Catherine dan hilang karena dihidupkan Bela.Lalu pagi ini, mata menyedihkan itu kembali pada Nial."Kenapa Pak Nial menyesal?"Nial menghela napasnya."Hatiku ... nggak setuju.""Kenapa?""Ini aneh!""Apanya?""Aku berdebar saat melihat Bela. Aku ingin perasaan seperti itu, Jer. Tapi itu nggak aku dapatkan dari Vida. Justru—""Bela yang memberikannya?"Nial mengangguk.Jerry sebenarnya dalam hati bersorak. Tapi melihat wajah penasaran Nial, ia tidak ingin memberi petunjuk lebih jauh. Meski sebelumnya Jerry juga ikut andil membantunya.Sekarang, tiba waktunya Nial mencari tahunya sendiri, menemukan Bela dalam ingatannya atas dorongannya sendiri. "Itu 'kan perasaanmu, jadi ... Pak Nial bisa mencari tahunya sendiri. Mungkin menemuinya lagi dan mencoba bicara
....Nial sangat kesal pada dirinya sendiri. Bukannya datang menemui Wijaya Aden untuk berkonsultasi perihal apa yang terjadi padanya akhir-akhir ini, ia justru datang ke sini.Ke kampus di mana ia yakin Bela kuliah di sini. Karena rasa berdebar yang ia dapatkan saat memandang gerbang kampus ini adalah rasa berdebar yang sama saat ia melihat Bela.Samar-samar bayangan dirinya mengendarai Maserati miliknya untuk memasuki kampus, guna mengantar Bela. Dan mencium keningnya di depan kerumunan yang menggila. Kenangan itu telah hadir.Otaknya terus saja melakukan recall. Ia juga bisa melihat bayangan Bela yang berlarian saat melihatnya datang dan dia mengatakan, 'Hei! Jangan lari!' sebelum Nial merengkuh pinggang rampingnya.Ia juga ingat sedang bertengkar dengan seseorang yang tak lain adalah ...."Vida? Kenapa aku bertengkar dengannya saat itu?"Nial menghela napasnya dengan cemas. Bayangan itu semakin rinci dan semakin jelas. "Nial bodoh! Harusnya pergi saja menemui Aden! Bukan ke sin
Bela berdiri kaku di antara dua pria ini. Yang keduanya sama-sama tidak ingin mengalah. Saling tatap satu sama lain dengan masing-masing mata yang tajam mengawasi.Nial lupa siapa lelaki ini, yang tampak seumuran Bela, mungkin hanya beberapa tahun lebih tua. Tapi ada perasaan aneh yang membuat Nial sangat membencinya bahkan hanya dengan sekali melihat.Dia juga melakukan hal yang sama saat Nial mengarahkan payungnya pada Bela, yang kini hanya diam membeku memandangnya dan lelaki itu bergantian."Mas Nial? Kak Niko?"'Jadi namanya Niko?' Nial bergumam dalam hati."Apa yang kalian lakukan di sini?" lanjut Bela, memandang Nial dan Niko bergantian saat mereka masih saling tatap."Konsultasi dengan dokter kenalanku.""Melengkapi berkas untuk magang di sini."Nial dan Niko menjawab bela bersamaan. Kedua suara bariton itu bercampur dan tumpang tindih di telinganya. Bela memejamkan matanya dengan kesal, berpikir sampai kapan mereka akan seperti ini."Pulanglah denganku!"Kalimat itu dikatak
Jerry melihat kehadiran Nial yang datang dari balik pintu rumahnya saat ia menjemputnya pagi ini.Matanya menangkap pin jas yang sangat cocok dipakai olehnya. Jerry ingat itu adalah hadiah dari Bela, yang hari itu minta diantar ke Q Jewelry untuk mengambil pesanannya.Ia juga ingat Nial pernah pamer itu padanya. 'Dan hari ini dia memakainya?'Jerry menerka dalam hati, pasti ada hal baik yang tidak ia ketahui terjadi dalam diri Nial. Muncul dengan wajah secerah itu harusnya menandakan situasi yang cukup baik.Atau ... ada hal buruk tapi ia abaikan?"Selamat pagi," sapa Jerry akhirnya."Selamat pagi."Nial mengikuti Jerry yang lebih dulu masuk disusul dia yang duduk di sebelahnya.Keadaan hanya dipenuhi dengan kediaman sampai Jerry menyalakan radio di mana suara merdu Alex Porat terdengar menyanyikan All I Want."Aku menemukannya di dalam laci."Nial memecah kediaman di antara mereka. Saat Jerry berhenti di lampu merah tak jauh dari sebuah gerai retail."Apa, Pak Nial?""Pin jas. Apa .
....Kawasan wisata yang bersih, cantik dan dihias banyak lampu.Nial merasa tubuhnya menggigil begitu ia keluar dari mobil. Udara sejuk pegunungan menerpa kulitnya.Memberikan sensasi yang membuat otaknya ikut dingin saat itu juga. Menghela napas, mengeluarkannya dengan damai, memejamkan mata dalam hening.Ia ingin mengingat Bela.Nial dengan cepat membuka matanya. Berpikir dalam hati kenapa ia ingin mengingat Bela?Tujuannya ke sini adalah untuk melupakan sejenak urusan perempuan baik itu Bela atau pun Vida, guna memberi jeda pada kepalanya yang terasa akan pecah.'Tapi barusan aku malah ingin ingat dengan Bela?'Nial menyapukan rambutnya sekilas ke belakang. Sementara Jerry membiarkan Nial berkutat dengan jouska."Ayo!"Jerry lebih dulu masuk, melakukan pembayaran dan memimpin Nial untuk mencari Siska. Setelah bertanya pada staf, pacarnya itu ia temukan sedang duduk di tanah yang sedikit lapang, tak jauh dari tepi hutan, di dekat tenda. Tentu saja, bersama dengan Bela.Nial juga
Bela ikut memejamkan matanya. Tangannya kebas saat Nial memagut habis bibirnya, bergantian atas dan bawah, baru memberi jeda."Ternyata aku benar.""Apa, Mas?""Kamu yang aku inginkan.""Lalu?""Bantu aku menemukanmu. Ini aneh bagiku, Bela! Tapi ... aku jatuh cinta padamu, sekali lagi."Pupil mata Bela bergetar.Nial sudah akan kembali mengecup Bela tapi gagal saat suara seorang lelaki hadir dan memanggil namanya."Bela?"Mereka berdua secepat mungkin menoleh."Kak Niko?"Itu adalah Niko, kedatangannya membuat Nial muak. Ia sudah akan melakukan sumpah serapahnya sampai sebuah dering ponsel mencegahnya. Dan itu adalah panggilan masuk pada ponsel Nial. Saat ia mengeceknya, Bela dapat melihat nama Vida ada di sana."Ya, kenapa Vid?"Bela tidak mendengar suara Vida. Yang ia tahu, wajah Nial berubah marah saat itu."Kenapa nggak hati-hati? Orang yang kamu tabrak baik-baik saja?""....""Aiissh, aku sibuk. Uruslah sendiri.""....""Kamu tetaplah di sana!"Panggilan itu ia tutup."Maaf, Bel
....Bela masih di tempat yang sama saat ia menunggu Niko kembali menghampirinya."Kamu mau pulang sekarang, Bel? Aku bisa mengantarmu, aku bawa mobilku sendiri tadi.""Apa ... Siska dan Kak Jerry tahu kamu di sini?""Ya. Aku sudah memberi tahu mereka."Niko menarik tangannya untuk bangkit."Aku mengganggu liburanmu dan keluargamu?" tanya Bela saat mereka melangkah di atas jalan bebatuan yang disusun dengan rapi di sana."Nggak, kok! Aku senang malahan bisa bertemu denganmu di sini.Bela kesal, Niko seperti tidak bisa marah padanya.Dan masih memberikan tatapannya yang paling teduh sampai ia lebih dulu berhenti karena berpapasan dengan ibunya."Mamah?"Seketika itu, kaki Bela jadi dingin. Ia sedang berhadapan dengan ibunya Niko yang tidak sendirian karena ia datang dengan dokter William yang ia kenal. Tak ketinggalan juga dengan kakak perempuan Niko yang cantik.Ia tidak tahu bagaimana harus bersikap. Berjalan bersama Niko, dengan punggungnya yang mengenakan coat panjangnya, di tempat
Bela meremas buket bunga di tangannya erat-erat. Ia berpikir sedang berhalusinasi. Tapi nyatanya itu benar-benar keluar dari bibir Nial."Mas Nial sudah makan?"'Bodoh!'Bela justru mengalihkan pembicaraan dengan hal yang menggelikan. Tapi Nial tertawa kecil mendengarnya."Belum. Mau makan denganku?"Belum sempat Bela menjawab, Nial lebih dulu menarik tangannya pergi dari sana. Menuju mobilnya yang terparkir di dekat pohon untuk menuju sebuah restoran yang ia pesan setelah ia memasang airpods-nya.Bela hanya duduk diam di samping Nial. Tanpa bicara sepatah kata pun sampai mereka tiba dan masuk ke dalam private room yang sudah dipesan Nial selama perjalanan."Silahkan masuk! Pintunya akan saya tutup, Pak Nial bisa memilih menu dan memanggil saya kalau sudah siap.""Ya, terima kasih."Nial membalas senyum seorang lelaki, staf yang keluar dengan menutup pintu. Selagi Bela duduk di sana dengan canggung.Hanya ada mereka berdua di dalam sini, tentu saja. Dengan tatapan Nial yang membuatny
***"Selamat pagi."Bariton dalam nan seksi milik Nial selalu menyambutnya setiap pagi.Dia juga tampak baru saja mandi saat melihat Bela yang bangun dari tidurnya dan memberi istrinya kecupan yang manis."Selamat pagi, Mas. Kamu sudah mandi?""Sudah, Sayang. Hm ... kenapa kamu bangun cepat-cepat? Istirahatlah lagi!""Tapi belum ada makanan untuk pagi ini."Nial tersenyum mendengarnya. Ia berlutut di depan Bela dengan sebelah kakinya dan mengusap perutnya yang bulat dan lucu."Oh? Oh!"Nial terkejut. Ia memandang Bela dengan tidak percaya."Kenapa Mas? Dia gerak ya?""Iya. Oh mungkin ingin ucapan selamat pagi juga? Hm ... kamu iri?"Nial mengecup perutnya dan memandang Bela."Bela?""Ya?""Kamu sempurna. Terima kasih untuk sudah mengandung dan mwlahirkan anak-anak kita."Bela mengangguk. Ia tidak bisa menyembunyikan senyumnya saat senyum Nial juga tampak sangat manis."Kamu mandilah! Nanti jadi pergi, 'kan?"Nial lebih dulu bangkit dari posisinya. Mengusap puncak kepala Bela dan memer
***"Ini kebebasan?"Terik. Matahari bersinar terik siang ini.Cerah dan juga berawan. Gugusan Cirro stratus membentang seperti karpet selamat datang yang menyaksikannya keluar dari tahanan. Pada akhirnya ....Tahun-tahun penebusannya telah berlalu. Dan ia tersenyum sekarang. Senyum yang kini tampak lega. Itu adalah Vida.Ia bebas dari tahanan setelah melewati masa yang suram. Yang tidak ingin lagi ia ulangi untuk ke dua kalinya.Dadanya lega sekaligus sebah. Ada perasaan bersalah pada Bela yang kini meluap hingga tumpah.Ia berjalan di sepanjang jalur pedestrian, menunduk dan memasuki sebuah kafe setelah keluar dari toko emas, menjual perhiasan yang dulu masih ia pakai sebelum dibawa polisi.Ponsel dan emas yang dikembalikan padanya itu ia jual dan ia gunakan setidaknya untuk bertahan hidup beberapa waktu ke depan. Sementara ponselnya masih bagus dan saat ini ada di atas meja.Ia duduk. Menghadap sebuah kertas kosong yang baru ia beli dari sebuah toko alat tulis.Netranya tergenan
Bela tersenyum membaca pesan dari Nial yang mengatakan agar ia bicara dengan Niko lebih dulu.Kini, bagi mereka ... semua telah sembuh dari luka. Tidak ada lagi pertengkaran atau baku hantam sama seperti yang dilakukan Nial dan Niko jika dulu mereka bertemu.Kebencian mereka telah berakhir. Bela ingat Nial sempat mengatakan bahwa Niko-lah yang dulu memberi tahu Nial saat Bela pergi ke Jawa Barat dan memutuskan akan mengakhiri hidupnya sendiri.Niko jugalah yang telah menanganinya saat Bela dilukai Jenni.Semuanya telah berlalu dengan sangat cepat. Waktu membuat kebencian bermetamorfosa menjadi obat penyembuh paling mujarab."Bagaimana kabarnya Pak Nial?"Pertanyaan Niko kembali merengkuh kesadaran Bela yang sedari tadi dibelenggu oleh pemikiran panjangnya."Kabar baik juga, Kak Nik. Dia sedang menikmati hari menjadi Papa yang super sibuk dengan anak lelakinya yang berlarian tanpa henti."Niko tersenyum mendengarnya. Sudah lama ia juga tidak bertemu Nial."Kak Niko mau bertenu dengan M
"Baby, be careful!"Bela merendahkan tinggi tubuhnya, berlutut saat anak kecil laki-laki berumur tiga tahun itu berlari dan memeluknya."Mommy! Mrs. Kim gets some letters!"Jari kecilnya menunjuk pada pintu ruang makan. Tapi saat Bela melihatnya, Nial lah yang masuk dengan bahu merosot penuh kelegaan. Ia baru saja berlari mengikuti anak lelakinya yang berderap secepat kilat meninggalkannya di belakang."Gavin? Papa 'kan sudah bilang jangan--""Mas? Sudahlah!"Bela tersenyum, mengusap punggung tangan Nial saat mendekat."Gavin, lihat perut mama! Hm? Gavin sayang dengan mama?"Nial ikut berlutut dan mengusap puncak kepalanya."Pasti sayang. Gavin sayang mama.""Kalau begitu pelan-pelan ya kalau peluk mama? Nanti kalau adik sakit bagaimana?"Gavin mengusap perut Bela yang membesar."Dia namanya adik?"Bela tertawa mendengar pertanyaan polosnya."No, Baby! Dia belum punya nama. Masih di dalam perut Mama. Nanti kalau sudah keluar, baru bisa diberi nama."Bela meraih tangan kecilnya. Meleta
Bela hanya menahan senyumnya saat ini. Ia tidak bisa membayangkan apa yang akan Siska rasakan bersama Jerry untuk pertama kalinya.'Jadi, akan ada yang segelnya dirusak malam ini.'Bela tertawa sendiri. Ia berdiri di deoan cermin setinggi pintu yang ada di dalam kamar ganti dan mengulurkan tangannya ke belakang. Meraih resleting di punggungnya, untuk melepas gaun malam yang tadi ia gunakan untuk menghadiri pernikahan Siska dan juga Jerry."Astaga! Kenapa selalu saja seperti ini. Tadi dipakai mudah tapi kalau mau dilepas sulitnya minta ampun."Bela menggerutu. Ia masih mencoba menarik resletingnya tapi rasanya tidak bisa.Sampai sebuah tangan menariknya turun dan Bela dengan cepat menoleh ke belakang. Ia menunduk teelalu lama sampai tidak sadar Nial sudah masuk dan membantunya."Terima kasih, Mas Nial.""Iya, sama-sama, Sayang."Bela melepasnya. Melemparnya ke sandaran sofa ruang ganti dengan hanya menyisakan underwear. Saat Nial juga membuka kancing jasnya dan ikut melemparnya di temp
Nial tidak bisa membendung senyumnya saat tahu isi di dalam kotak kado itu. Itu berisi figura yang membingkai sebuah foto.Foto anak kecil perempuan dengan topi bundarnya. Itu adalah foto masa kecil Bela."Mas Nial 'kan selalu bilang kalau aku adalah hadiah yang kamu sukai?""Ya. Memang benar begitu, kok.""Jadi aku memberikan foto anak kecil itu padamu. Anak kecil yang hidupnya kamu selamatkan dan meski terpisah selama lebih dari satu dekade, takdir kembali mempertemukannu dengannya.""Ya, benar. Terima kasih. Mas akan letakkan ini di atas meja kantor kalau pulang nanti. Tapi ada yang harus kamu lakukan sekarang."Nial menutup kotak kado itu dan meletakkannya di atas nakas. Ia meraih tangan Bela dan membuatnya duduk di atas pangkuannya."Apa? Apa yang harus aku lakukan?""Berperan sebagai hadiah yang baik. Hm?"Nial telah membuka kancing dress yang dipakai Bela."Mas? Kamu nggak ingin makan kuenya dulu? Itu enak loh! Aku pesan di toko kue di ujung jalan yang ramai itu."Nial menggele
***Nial membuka matanya, hari sudah pagi. Dengan keadaan dirinya yang terbaring di atas ranjang bulan madunya. Dengan keadaan tanpa pakaian.Ia sama sekali tidak turun dari ranjang sejak dengan Bela kemarin sore. Akh.Mengingatnya saja membuatnya gerah setengah mati bahkan saat pendingin udara dinyalakan di atas sana. Ingatannya kembali terpanggil di saat-saat ia dan Bela memasuki kamar kemarin."Are you sure?" ragu Bela, bertanya memastikan pada Nial bahwa ia diperbolehkan mengambil alih kontrol mulai saat ini sejak Nial tidak bisa mendominasi hubungan ranjang karena ia masih tidak diperbolehkan bergerak terlalu banyak."Yeah, Baby! Take off my clothes!"Jantung Bela berdebar mendengar permintaan Nial agar melucuti pakaiannya. Bela tidak membantahnya dan membuka kancing kemeja Nial satu demi satu. Melihat perutnya yang masih terlilit perban dan belum sepenuhnya bisa dikatakan pulih.Nial hanya tersenyum saat Bela membuka kancing di celana panjang putih yang ia kenakan dan membuatny
Darah lebih kental dari Air. Jika di Swiss Leo menyerang Nial saat semua orang lengah, atau Jenni yang menyerang Bela saat itu, sekarang di sini, di Jakarta, Rafael menyerang Jerry.Tapi Jerry telah meningkatkan kewaspadaannya sepuluh kali lipat. Ia membaca pergerakan Rafael dan secepat mungkin menahan pergelangan tangannya yang membawa pisau cutter."Kamu yang brengsek!"Jerry memuntir tangannya hingga terbalik dan jatuhlah pisau itu. Rafael didorongnya hingga punggungnya terbentur dinding dengan kasar."Untuk semua yang telah kamu lakukan pada keluarga Nial, dan kali ini padaku. Bayarkan dan tebuslah semuanya, Rafael! Kamu punya kesempatan untuk menyesal."Jerry mengalihkan tangannya dari bahu Rafael ke kerah bajunya."Tapi saat kamu nggak berubah, aku pastikan kerah bajumu ini nggak lagi sama karena kamu akan mendekam di dalam penjara. Do you get it? Get lost you bastard!"Jerry memberikan penekanan pada setiap kalimatnya. Membuat Rafael bergidik ngeri karena dia dalam ancaman yan
"Selamat malam."Jerry datang dan menunduukan kepalanya pada Nial dan juga Bela yang ada di dalam kamar rawat."Selamat malam," balas mereka hampir bersamaan."Pak Nial sudah baikan?""Ya, Jerry. Dari mana kamu seharian? Kamu nggak datang menjengukku loh."Jerry menunjukkan senyumnya yang manis. Tapi Bela dapat melihat ada gurat kemarahan yang ia pendam saat ini."Bisa kita bicara? Hanya berdua saja."Jerry memandang Bela, memohon pengertian dan maaf."Sure, aku akan keluar. Aku akan ngobrol dengan Pak Watson."Bela hanya melemparkan senyumnya lalu memberi tempat untuk Jerry."Sebentar ya, Sayang?" Nial meraih tangannya sebelum ia benar-benar pergi."Iya, Mas. Kalian bicaralah!"Bela melambaikan tangannya sekilas pada Nial sebelum menghilang di balik pintu ruangan."Kenapa, Jerry? Hari ini kamu mengunjungi anak itu?"Nial bertanya sesegera mungkin. Tidak ingin membuang waktu lebih banyak karena ia ingin dengar apa yang ingin dikatakan oleh Jerry sampai membuat Bela harus pergi dari si