Bela meremas buket bunga di tangannya erat-erat. Ia berpikir sedang berhalusinasi. Tapi nyatanya itu benar-benar keluar dari bibir Nial."Mas Nial sudah makan?"'Bodoh!'Bela justru mengalihkan pembicaraan dengan hal yang menggelikan. Tapi Nial tertawa kecil mendengarnya."Belum. Mau makan denganku?"Belum sempat Bela menjawab, Nial lebih dulu menarik tangannya pergi dari sana. Menuju mobilnya yang terparkir di dekat pohon untuk menuju sebuah restoran yang ia pesan setelah ia memasang airpods-nya.Bela hanya duduk diam di samping Nial. Tanpa bicara sepatah kata pun sampai mereka tiba dan masuk ke dalam private room yang sudah dipesan Nial selama perjalanan."Silahkan masuk! Pintunya akan saya tutup, Pak Nial bisa memilih menu dan memanggil saya kalau sudah siap.""Ya, terima kasih."Nial membalas senyum seorang lelaki, staf yang keluar dengan menutup pintu. Selagi Bela duduk di sana dengan canggung.Hanya ada mereka berdua di dalam sini, tentu saja. Dengan tatapan Nial yang membuatny
Sebenarnya, Bela malu karena berpikir ini terlalu cepat. Tapi mau apa?Ia sudah menghindar tapi Nial semakin rapat menguncinya di dinding. Tangannya menyentuh dagu Bela, mendaratkan kembali bibirnya yang dingin seperti buah ceri pada bibir Bela. Yang mana itu membuat keduanya terhanyut dalam suasana manis yang mereka buat di sini, di bawah redupnya lampu dimer.Nial tidak bisa menahannya lebih lama lagi, ia mengangkat Bela memasuki kamarnya yang juga temaram. Menempatkannya di atas ranjang, mengagumi wajah ayu Bela yang membuat desir darahnya menggila.Bela juga masih diam, perutnya seperti dipenuhi dengan kupu-kupu. Yang kepakan sayapnya seperti sedang memintanya untuk terus tersadar, dia ada di sini, di bawah Nial.Yang mengecup keningnya, hidungnya dan bibirnya sekilas sebelum memberikan sensasi yang lebih manis dan memabukkan. Bahkan Bela berpikir apa ini karena mereka baru saja minum wine? Sehingga rasanya sangat manis?"Aku mencintaimu, Bela. Kamu milikku."Setelah lama tidak
Bela keluar dari kelas terakhirnya. Ia melihat seorang lelaki yang berjalan dari arah berlawanan dan tersenyum padanya.Ia cukup terkejut karena yang dilihatnya adalah Niko."Kak Niko?"Niko hanya melemparkan senyumnya."Bela? Baru selesai?""Iya. Kenapa Kak Niko di sini?""Baru bertemu dengan Profesor Lim. Kamu mau pulang denganku?""Enggak. Aku bisa pulang sendiri, aku mau minum kopi sebentar, kamu duluanlah!""Aku boleh ikut? Bagaimana keadaanmu? Baik-baik saja?"Bela mengangguk, Niko mengikuti langkahnya."Kapan mulai kerja di rumah sakit?""Mungkin, lusa? Tinggal menunggu panggilan saja. Kenapa? Mau datang mengunjungiku?"Bela tersenyum. Niko masih mengikuti langkah Bela yang masuk ke sebuah kafe di depan kampus dan memesan kopi dingin di sana, sembari menunggu jemputan Nial. Niko juga memesan minuman yang sama.Ia tidak bisa mengalihkan pandangannya dari Bela yang asyik dengan ponselnya. Wajah cantiknya tampak berseri.Harusnya ia gembira saat Bela juga bahagia. Tapi ia benci i
Di tempat lain ... Vida menemukan sebuah cek kosong bertanda tangan saat ia membongkar isi lemari milik Nial. Sebenarnya ada brankas juga di sana, tapi dia tidak bisa membukanya, tentu saja.Ia menghela napasnya."Sebelum Nial mendapatkan ingatannya terhadap Bela, aku harus melepaskan diri dari si Madam Calsie. Besok aku akan mengambil uang dan membebaskan diri darinya."***Bela membuka matanya, pemandangan kontur wajah Nial yang dipahat oleh surga menyeruak di depannya. Mereka masih di dalam kamar Bela, dengan keadaan Nial yang memeluk pinggangnya begitu erat.Seperti tidak mengizinkannya berpindah barang hanya seinchi.Bela mengerling jam di dinding yang menunjuk pada angka empat pagi hari yang dingin. Sementara ia dan Nial tidak mengenakan pakaian dan hanya menutupi tubuh dengan selimut.Bela bermaksud akan bangun, mandi lebih dulu dan menyiapkan sarapan untuk menghindari kontak mata dengan Nial.Namun, tidak semudah itu.Karena saat ia perlahan memunggungi Nial, mengangkat tanga
Vida memasuki Winsafe Bank dengan menenteng sebuah tas besar. Datang pada teller dan mengatakan akan melakukan penarikan sebesar dua juta dolar.Tapi karena jumlah yang dimintanya cukup besar, ia dibawa untuk menemui Hedi, senior manager di sana."Tunggulah sebentar di sini!"Vida mengangguk saat Hedi meninggalkannya dalam ruangan miliknya. Ia melihat Hedi yang melakukan panggilan di luar.Ia yakin dia pasti menghubungi Nial. Vida mulai gelisah. Ia tidak siap jika harus kehilangan Nial lagi untuk kedua kalinya. Tapi di sisi lain dia juga harus terbebas dari Madam Calsie.Tapi di luar dugaan karena Hedi masuk dengan tas yang terisi penuh dengan gepokan uang dolar di dalamnya."Terima kasih."Hanya itu yang dikatakan Vida saat bergegas pergi dari sana. Ia tahu ia pasti akan ketahuan Nial, tapi tidak ada cara lain. Ia berpikir bisa mencari alasan dan mengatakannya pada Nial nanti.Yang terpenting sekarang dia harus menutup mulut Calsie dengan uang ini sebelum wanita itu menyebarkan vid
....Bela mengantuk. Jam-jam tidurnya berantakan sejak ia kembali bersama dengan Nial. Semalam juga demikian, Nial menggodanya tanpa henti. Membuatnya berdesah sepanjang malam dengan membiarkannya memimpin permainan.Hanya dengan mengingat itu saja membuat kedua pipinya memanas."Tapi nggak apa-apa. Aku senang."Ia tertawa sendiri saat berjalan keluar dari kelas terakhirnya. Siska menyusul dari belakang dan mengamati setiap perubahan pada ekspresi wajahnya.Siska sudah diberi tahu Jerry kalau ada yang disembunyikan oleh Nial akhir-akhir ini. Dan hal yang sama juga dilakukan oleh Bela.Ia tahu temannya ini sedang bahagia tak kepalang. Kedua pipinya yang merona dan kedua bola matanya yang tidak lagi cekung dan menghitam adalah sebuah pertanda yang baik.Tapi juga membuatnya mati penasaran."Kamu jadi makan?"Bela menoleh pada Siska yang berjalan di sisi kanannya."Di kantin? Ayo!"Bela mengangguk dan mereka duduk di sudut kantin dengan makanan yang ada di atas meja."Kamu baik-baik saj
Ingin menghajar Nial.Adalah keinginan terbesar Jerry saat ia tiba di kantor dan melihat kedatangan Nial dari arah parkiran, berhenti di depan pintu lift."Selamat pagi," sapa Nial singkat sembari memakai arloji mahal di pergelangan tangan kirinya.Jerry tidak menjawabnya. Ia mengecek Nial dari bawah sampai ke atas.Sepatunya, pakaiannya, dasinya, semua baru. Yang menandakan ia telah membelinya sejak ia tidak pulang ke rumahnya sendiri akhir-akhir ini.Sudah pasti! Itu karena dia pulang ke rumah Bela. Jawaban atas kenapa dimatikannya ponsel Nial dan ia menyetir sendirian adalah karena agar Jerry tidak tahu kalau sebenarnya ia sudah mendapatkan kembali ingatannya.Agar ia bisa menikmati hari-harinya menjadi pengantin baru lagi dengan menjalani hidup sebagai suami penuh cinta yang bucin pada istrinya.Sekaligus jawaban kenapa wajahnya terlihat cerah setiap pagi. Bekas lipstick yang sering tertinggal—yang tadinya ia sangka milik Vida—itu sebenarnya adalah milik Bela.Pesan yang ia balas
Nial menuju kantor polisi untuk menjemput Bela sesuai pesan yang mengatakan dia akan menjenguk Vida di sini.Tapi saat ia baru saja tiba dan mobilnya masih di tepi jalan, matanya menangkap dua makhluk hidup berwujud laki-laki yang menarik tangan Bela. Dia adalah Niko. Dan yang satunya pastilah mahasiswa baru yang beberapa hari lalu dibicarakan Bela, Dio."Kalian nggak mendengarku?"Suara bariton dingin Nial kembali tedengar karena baik itu Niko atau pun Dio hanya terdiam seperti patung pahatan saat melihat kehadiran Nial.Keterpakuan Niko lebih pada ucapan Nial yang mengatakan 'istriku,' di mana itu merujuk pada ingatannya yang sudah pasti kembali.Dio juga sama, tapi itu disebabkan karena ia beku dengan kehadiran Nial yang baru pertama kali ini ia jumpai secara langsung. Karena selama ini ia hanya bisa melihatnya di majalah bisnis saja."Lepaskan!"Nial seperti sedang memberi titah yang secepat mungkin ditaati. Sehingga Niko dan Dio segera melepaskan tangan mereka dari Bela.Meski B
***"Selamat pagi."Bariton dalam nan seksi milik Nial selalu menyambutnya setiap pagi.Dia juga tampak baru saja mandi saat melihat Bela yang bangun dari tidurnya dan memberi istrinya kecupan yang manis."Selamat pagi, Mas. Kamu sudah mandi?""Sudah, Sayang. Hm ... kenapa kamu bangun cepat-cepat? Istirahatlah lagi!""Tapi belum ada makanan untuk pagi ini."Nial tersenyum mendengarnya. Ia berlutut di depan Bela dengan sebelah kakinya dan mengusap perutnya yang bulat dan lucu."Oh? Oh!"Nial terkejut. Ia memandang Bela dengan tidak percaya."Kenapa Mas? Dia gerak ya?""Iya. Oh mungkin ingin ucapan selamat pagi juga? Hm ... kamu iri?"Nial mengecup perutnya dan memandang Bela."Bela?""Ya?""Kamu sempurna. Terima kasih untuk sudah mengandung dan mwlahirkan anak-anak kita."Bela mengangguk. Ia tidak bisa menyembunyikan senyumnya saat senyum Nial juga tampak sangat manis."Kamu mandilah! Nanti jadi pergi, 'kan?"Nial lebih dulu bangkit dari posisinya. Mengusap puncak kepala Bela dan memer
***"Ini kebebasan?"Terik. Matahari bersinar terik siang ini.Cerah dan juga berawan. Gugusan Cirro stratus membentang seperti karpet selamat datang yang menyaksikannya keluar dari tahanan. Pada akhirnya ....Tahun-tahun penebusannya telah berlalu. Dan ia tersenyum sekarang. Senyum yang kini tampak lega. Itu adalah Vida.Ia bebas dari tahanan setelah melewati masa yang suram. Yang tidak ingin lagi ia ulangi untuk ke dua kalinya.Dadanya lega sekaligus sebah. Ada perasaan bersalah pada Bela yang kini meluap hingga tumpah.Ia berjalan di sepanjang jalur pedestrian, menunduk dan memasuki sebuah kafe setelah keluar dari toko emas, menjual perhiasan yang dulu masih ia pakai sebelum dibawa polisi.Ponsel dan emas yang dikembalikan padanya itu ia jual dan ia gunakan setidaknya untuk bertahan hidup beberapa waktu ke depan. Sementara ponselnya masih bagus dan saat ini ada di atas meja.Ia duduk. Menghadap sebuah kertas kosong yang baru ia beli dari sebuah toko alat tulis.Netranya tergenan
Bela tersenyum membaca pesan dari Nial yang mengatakan agar ia bicara dengan Niko lebih dulu.Kini, bagi mereka ... semua telah sembuh dari luka. Tidak ada lagi pertengkaran atau baku hantam sama seperti yang dilakukan Nial dan Niko jika dulu mereka bertemu.Kebencian mereka telah berakhir. Bela ingat Nial sempat mengatakan bahwa Niko-lah yang dulu memberi tahu Nial saat Bela pergi ke Jawa Barat dan memutuskan akan mengakhiri hidupnya sendiri.Niko jugalah yang telah menanganinya saat Bela dilukai Jenni.Semuanya telah berlalu dengan sangat cepat. Waktu membuat kebencian bermetamorfosa menjadi obat penyembuh paling mujarab."Bagaimana kabarnya Pak Nial?"Pertanyaan Niko kembali merengkuh kesadaran Bela yang sedari tadi dibelenggu oleh pemikiran panjangnya."Kabar baik juga, Kak Nik. Dia sedang menikmati hari menjadi Papa yang super sibuk dengan anak lelakinya yang berlarian tanpa henti."Niko tersenyum mendengarnya. Sudah lama ia juga tidak bertemu Nial."Kak Niko mau bertenu dengan M
"Baby, be careful!"Bela merendahkan tinggi tubuhnya, berlutut saat anak kecil laki-laki berumur tiga tahun itu berlari dan memeluknya."Mommy! Mrs. Kim gets some letters!"Jari kecilnya menunjuk pada pintu ruang makan. Tapi saat Bela melihatnya, Nial lah yang masuk dengan bahu merosot penuh kelegaan. Ia baru saja berlari mengikuti anak lelakinya yang berderap secepat kilat meninggalkannya di belakang."Gavin? Papa 'kan sudah bilang jangan--""Mas? Sudahlah!"Bela tersenyum, mengusap punggung tangan Nial saat mendekat."Gavin, lihat perut mama! Hm? Gavin sayang dengan mama?"Nial ikut berlutut dan mengusap puncak kepalanya."Pasti sayang. Gavin sayang mama.""Kalau begitu pelan-pelan ya kalau peluk mama? Nanti kalau adik sakit bagaimana?"Gavin mengusap perut Bela yang membesar."Dia namanya adik?"Bela tertawa mendengar pertanyaan polosnya."No, Baby! Dia belum punya nama. Masih di dalam perut Mama. Nanti kalau sudah keluar, baru bisa diberi nama."Bela meraih tangan kecilnya. Meleta
Bela hanya menahan senyumnya saat ini. Ia tidak bisa membayangkan apa yang akan Siska rasakan bersama Jerry untuk pertama kalinya.'Jadi, akan ada yang segelnya dirusak malam ini.'Bela tertawa sendiri. Ia berdiri di deoan cermin setinggi pintu yang ada di dalam kamar ganti dan mengulurkan tangannya ke belakang. Meraih resleting di punggungnya, untuk melepas gaun malam yang tadi ia gunakan untuk menghadiri pernikahan Siska dan juga Jerry."Astaga! Kenapa selalu saja seperti ini. Tadi dipakai mudah tapi kalau mau dilepas sulitnya minta ampun."Bela menggerutu. Ia masih mencoba menarik resletingnya tapi rasanya tidak bisa.Sampai sebuah tangan menariknya turun dan Bela dengan cepat menoleh ke belakang. Ia menunduk teelalu lama sampai tidak sadar Nial sudah masuk dan membantunya."Terima kasih, Mas Nial.""Iya, sama-sama, Sayang."Bela melepasnya. Melemparnya ke sandaran sofa ruang ganti dengan hanya menyisakan underwear. Saat Nial juga membuka kancing jasnya dan ikut melemparnya di temp
Nial tidak bisa membendung senyumnya saat tahu isi di dalam kotak kado itu. Itu berisi figura yang membingkai sebuah foto.Foto anak kecil perempuan dengan topi bundarnya. Itu adalah foto masa kecil Bela."Mas Nial 'kan selalu bilang kalau aku adalah hadiah yang kamu sukai?""Ya. Memang benar begitu, kok.""Jadi aku memberikan foto anak kecil itu padamu. Anak kecil yang hidupnya kamu selamatkan dan meski terpisah selama lebih dari satu dekade, takdir kembali mempertemukannu dengannya.""Ya, benar. Terima kasih. Mas akan letakkan ini di atas meja kantor kalau pulang nanti. Tapi ada yang harus kamu lakukan sekarang."Nial menutup kotak kado itu dan meletakkannya di atas nakas. Ia meraih tangan Bela dan membuatnya duduk di atas pangkuannya."Apa? Apa yang harus aku lakukan?""Berperan sebagai hadiah yang baik. Hm?"Nial telah membuka kancing dress yang dipakai Bela."Mas? Kamu nggak ingin makan kuenya dulu? Itu enak loh! Aku pesan di toko kue di ujung jalan yang ramai itu."Nial menggele
***Nial membuka matanya, hari sudah pagi. Dengan keadaan dirinya yang terbaring di atas ranjang bulan madunya. Dengan keadaan tanpa pakaian.Ia sama sekali tidak turun dari ranjang sejak dengan Bela kemarin sore. Akh.Mengingatnya saja membuatnya gerah setengah mati bahkan saat pendingin udara dinyalakan di atas sana. Ingatannya kembali terpanggil di saat-saat ia dan Bela memasuki kamar kemarin."Are you sure?" ragu Bela, bertanya memastikan pada Nial bahwa ia diperbolehkan mengambil alih kontrol mulai saat ini sejak Nial tidak bisa mendominasi hubungan ranjang karena ia masih tidak diperbolehkan bergerak terlalu banyak."Yeah, Baby! Take off my clothes!"Jantung Bela berdebar mendengar permintaan Nial agar melucuti pakaiannya. Bela tidak membantahnya dan membuka kancing kemeja Nial satu demi satu. Melihat perutnya yang masih terlilit perban dan belum sepenuhnya bisa dikatakan pulih.Nial hanya tersenyum saat Bela membuka kancing di celana panjang putih yang ia kenakan dan membuatny
Darah lebih kental dari Air. Jika di Swiss Leo menyerang Nial saat semua orang lengah, atau Jenni yang menyerang Bela saat itu, sekarang di sini, di Jakarta, Rafael menyerang Jerry.Tapi Jerry telah meningkatkan kewaspadaannya sepuluh kali lipat. Ia membaca pergerakan Rafael dan secepat mungkin menahan pergelangan tangannya yang membawa pisau cutter."Kamu yang brengsek!"Jerry memuntir tangannya hingga terbalik dan jatuhlah pisau itu. Rafael didorongnya hingga punggungnya terbentur dinding dengan kasar."Untuk semua yang telah kamu lakukan pada keluarga Nial, dan kali ini padaku. Bayarkan dan tebuslah semuanya, Rafael! Kamu punya kesempatan untuk menyesal."Jerry mengalihkan tangannya dari bahu Rafael ke kerah bajunya."Tapi saat kamu nggak berubah, aku pastikan kerah bajumu ini nggak lagi sama karena kamu akan mendekam di dalam penjara. Do you get it? Get lost you bastard!"Jerry memberikan penekanan pada setiap kalimatnya. Membuat Rafael bergidik ngeri karena dia dalam ancaman yan
"Selamat malam."Jerry datang dan menunduukan kepalanya pada Nial dan juga Bela yang ada di dalam kamar rawat."Selamat malam," balas mereka hampir bersamaan."Pak Nial sudah baikan?""Ya, Jerry. Dari mana kamu seharian? Kamu nggak datang menjengukku loh."Jerry menunjukkan senyumnya yang manis. Tapi Bela dapat melihat ada gurat kemarahan yang ia pendam saat ini."Bisa kita bicara? Hanya berdua saja."Jerry memandang Bela, memohon pengertian dan maaf."Sure, aku akan keluar. Aku akan ngobrol dengan Pak Watson."Bela hanya melemparkan senyumnya lalu memberi tempat untuk Jerry."Sebentar ya, Sayang?" Nial meraih tangannya sebelum ia benar-benar pergi."Iya, Mas. Kalian bicaralah!"Bela melambaikan tangannya sekilas pada Nial sebelum menghilang di balik pintu ruangan."Kenapa, Jerry? Hari ini kamu mengunjungi anak itu?"Nial bertanya sesegera mungkin. Tidak ingin membuang waktu lebih banyak karena ia ingin dengar apa yang ingin dikatakan oleh Jerry sampai membuat Bela harus pergi dari si