Sebenarnya, Bela malu karena berpikir ini terlalu cepat. Tapi mau apa?Ia sudah menghindar tapi Nial semakin rapat menguncinya di dinding. Tangannya menyentuh dagu Bela, mendaratkan kembali bibirnya yang dingin seperti buah ceri pada bibir Bela. Yang mana itu membuat keduanya terhanyut dalam suasana manis yang mereka buat di sini, di bawah redupnya lampu dimer.Nial tidak bisa menahannya lebih lama lagi, ia mengangkat Bela memasuki kamarnya yang juga temaram. Menempatkannya di atas ranjang, mengagumi wajah ayu Bela yang membuat desir darahnya menggila.Bela juga masih diam, perutnya seperti dipenuhi dengan kupu-kupu. Yang kepakan sayapnya seperti sedang memintanya untuk terus tersadar, dia ada di sini, di bawah Nial.Yang mengecup keningnya, hidungnya dan bibirnya sekilas sebelum memberikan sensasi yang lebih manis dan memabukkan. Bahkan Bela berpikir apa ini karena mereka baru saja minum wine? Sehingga rasanya sangat manis?"Aku mencintaimu, Bela. Kamu milikku."Setelah lama tidak
Bela keluar dari kelas terakhirnya. Ia melihat seorang lelaki yang berjalan dari arah berlawanan dan tersenyum padanya.Ia cukup terkejut karena yang dilihatnya adalah Niko."Kak Niko?"Niko hanya melemparkan senyumnya."Bela? Baru selesai?""Iya. Kenapa Kak Niko di sini?""Baru bertemu dengan Profesor Lim. Kamu mau pulang denganku?""Enggak. Aku bisa pulang sendiri, aku mau minum kopi sebentar, kamu duluanlah!""Aku boleh ikut? Bagaimana keadaanmu? Baik-baik saja?"Bela mengangguk, Niko mengikuti langkahnya."Kapan mulai kerja di rumah sakit?""Mungkin, lusa? Tinggal menunggu panggilan saja. Kenapa? Mau datang mengunjungiku?"Bela tersenyum. Niko masih mengikuti langkah Bela yang masuk ke sebuah kafe di depan kampus dan memesan kopi dingin di sana, sembari menunggu jemputan Nial. Niko juga memesan minuman yang sama.Ia tidak bisa mengalihkan pandangannya dari Bela yang asyik dengan ponselnya. Wajah cantiknya tampak berseri.Harusnya ia gembira saat Bela juga bahagia. Tapi ia benci i
Di tempat lain ... Vida menemukan sebuah cek kosong bertanda tangan saat ia membongkar isi lemari milik Nial. Sebenarnya ada brankas juga di sana, tapi dia tidak bisa membukanya, tentu saja.Ia menghela napasnya."Sebelum Nial mendapatkan ingatannya terhadap Bela, aku harus melepaskan diri dari si Madam Calsie. Besok aku akan mengambil uang dan membebaskan diri darinya."***Bela membuka matanya, pemandangan kontur wajah Nial yang dipahat oleh surga menyeruak di depannya. Mereka masih di dalam kamar Bela, dengan keadaan Nial yang memeluk pinggangnya begitu erat.Seperti tidak mengizinkannya berpindah barang hanya seinchi.Bela mengerling jam di dinding yang menunjuk pada angka empat pagi hari yang dingin. Sementara ia dan Nial tidak mengenakan pakaian dan hanya menutupi tubuh dengan selimut.Bela bermaksud akan bangun, mandi lebih dulu dan menyiapkan sarapan untuk menghindari kontak mata dengan Nial.Namun, tidak semudah itu.Karena saat ia perlahan memunggungi Nial, mengangkat tanga
Vida memasuki Winsafe Bank dengan menenteng sebuah tas besar. Datang pada teller dan mengatakan akan melakukan penarikan sebesar dua juta dolar.Tapi karena jumlah yang dimintanya cukup besar, ia dibawa untuk menemui Hedi, senior manager di sana."Tunggulah sebentar di sini!"Vida mengangguk saat Hedi meninggalkannya dalam ruangan miliknya. Ia melihat Hedi yang melakukan panggilan di luar.Ia yakin dia pasti menghubungi Nial. Vida mulai gelisah. Ia tidak siap jika harus kehilangan Nial lagi untuk kedua kalinya. Tapi di sisi lain dia juga harus terbebas dari Madam Calsie.Tapi di luar dugaan karena Hedi masuk dengan tas yang terisi penuh dengan gepokan uang dolar di dalamnya."Terima kasih."Hanya itu yang dikatakan Vida saat bergegas pergi dari sana. Ia tahu ia pasti akan ketahuan Nial, tapi tidak ada cara lain. Ia berpikir bisa mencari alasan dan mengatakannya pada Nial nanti.Yang terpenting sekarang dia harus menutup mulut Calsie dengan uang ini sebelum wanita itu menyebarkan vid
....Bela mengantuk. Jam-jam tidurnya berantakan sejak ia kembali bersama dengan Nial. Semalam juga demikian, Nial menggodanya tanpa henti. Membuatnya berdesah sepanjang malam dengan membiarkannya memimpin permainan.Hanya dengan mengingat itu saja membuat kedua pipinya memanas."Tapi nggak apa-apa. Aku senang."Ia tertawa sendiri saat berjalan keluar dari kelas terakhirnya. Siska menyusul dari belakang dan mengamati setiap perubahan pada ekspresi wajahnya.Siska sudah diberi tahu Jerry kalau ada yang disembunyikan oleh Nial akhir-akhir ini. Dan hal yang sama juga dilakukan oleh Bela.Ia tahu temannya ini sedang bahagia tak kepalang. Kedua pipinya yang merona dan kedua bola matanya yang tidak lagi cekung dan menghitam adalah sebuah pertanda yang baik.Tapi juga membuatnya mati penasaran."Kamu jadi makan?"Bela menoleh pada Siska yang berjalan di sisi kanannya."Di kantin? Ayo!"Bela mengangguk dan mereka duduk di sudut kantin dengan makanan yang ada di atas meja."Kamu baik-baik saj
Ingin menghajar Nial.Adalah keinginan terbesar Jerry saat ia tiba di kantor dan melihat kedatangan Nial dari arah parkiran, berhenti di depan pintu lift."Selamat pagi," sapa Nial singkat sembari memakai arloji mahal di pergelangan tangan kirinya.Jerry tidak menjawabnya. Ia mengecek Nial dari bawah sampai ke atas.Sepatunya, pakaiannya, dasinya, semua baru. Yang menandakan ia telah membelinya sejak ia tidak pulang ke rumahnya sendiri akhir-akhir ini.Sudah pasti! Itu karena dia pulang ke rumah Bela. Jawaban atas kenapa dimatikannya ponsel Nial dan ia menyetir sendirian adalah karena agar Jerry tidak tahu kalau sebenarnya ia sudah mendapatkan kembali ingatannya.Agar ia bisa menikmati hari-harinya menjadi pengantin baru lagi dengan menjalani hidup sebagai suami penuh cinta yang bucin pada istrinya.Sekaligus jawaban kenapa wajahnya terlihat cerah setiap pagi. Bekas lipstick yang sering tertinggal—yang tadinya ia sangka milik Vida—itu sebenarnya adalah milik Bela.Pesan yang ia balas
Nial menuju kantor polisi untuk menjemput Bela sesuai pesan yang mengatakan dia akan menjenguk Vida di sini.Tapi saat ia baru saja tiba dan mobilnya masih di tepi jalan, matanya menangkap dua makhluk hidup berwujud laki-laki yang menarik tangan Bela. Dia adalah Niko. Dan yang satunya pastilah mahasiswa baru yang beberapa hari lalu dibicarakan Bela, Dio."Kalian nggak mendengarku?"Suara bariton dingin Nial kembali tedengar karena baik itu Niko atau pun Dio hanya terdiam seperti patung pahatan saat melihat kehadiran Nial.Keterpakuan Niko lebih pada ucapan Nial yang mengatakan 'istriku,' di mana itu merujuk pada ingatannya yang sudah pasti kembali.Dio juga sama, tapi itu disebabkan karena ia beku dengan kehadiran Nial yang baru pertama kali ini ia jumpai secara langsung. Karena selama ini ia hanya bisa melihatnya di majalah bisnis saja."Lepaskan!"Nial seperti sedang memberi titah yang secepat mungkin ditaati. Sehingga Niko dan Dio segera melepaskan tangan mereka dari Bela.Meski B
Itu adalah suara getar ponsel Bela dari atas meja. "Ada telepon," ucap Bela lirih, tapi tidak menghentikan aktivitas panasnya bersama dengan Nial."Angkatlah!""S-sekarang?""Iya, sekarang!""Tapi, Mas—"Bela menggigit bibirnya, gugup.Nial hanya tersenyum melihat kedua pipinya yang merah merona dan meraih ponsel Bela dari atas meja. Memutuskan dia yang menerima panggilan itu.'Niko?' batinnya setengah terkejut.Ia mendengar,"Bela? Kamu baik-baik saja? Nial nggak melakukan apapun yang buruk, 'kan?"Nial tak menjawab, ia meletakkan ponselnya di samping telinga sembari membuat tanda merah di bahu Bela yang membuatnya sedikit mengerang."Mas Nial, jangan ...."Suaranya mendayu mesra, yang sudah pasti dapat didengar oleh Niko karena anak itu langsung mematikan panggilannya.Setelahnya mereka tenggelam dalam lelap.Tapi Bela masih membuka matanya.Bela melihat wajah Nial yang sedang terlelap. Menyentuh bibirnya dan dagunya, ia tersenyum."Aku nggak tahu akan sepert ini, tapi terima kasih