Beberapa saat sebelum panggilan itu tiba di ponsel Jerry........Siska bilang, dia akan menunggu Bela di depan pintu gerbang kampus untuk bersama-sama menghadiri kelas mereka. Setidaknya itulah yang disampaikan Siska lewat pesan.Bela turun dari taksi online dan tiba di depan kampus. Tapi, matanya menangkap kerumunan yang tak jauh dari gerbang. Bersama sebuah mobil ambulans yang ada di sana.Ada sebuah mobil polisi dan mobil yang menabrak pagar kampusnya.Seorang perempuan bersimbah darah ada di atas brankar dan di masukkan ke dalam ambulans."SISKA!"Bela berlari untuk memastikan bahwa apa yang dilihatnya adalah salah. Tapi itu benar-benar Siska, Fransiska Nalendra yang baru saja mengiriminya pesan agar mereka berjumpa di depan gerbang.Tapi Bela tidak tahu mereka akan bertemu dengan keadaan seperti ini."Anda mengenalnya?" Seorang polisi mendekat dan bertanya."Iya, teman saya, Pak.""Dia baru saja ditabrak pengemudi mabuk. Bisa ikuti dia ke rumah sakit?"Iya."Bela mengangguk dan
***Tanpa gairah.Bela berjalan masuk ke dalam kamarnya seperginya dari rumah sakit karena orang tua Siska sudah datang, keadannya juga sudah sadar dan pada akhirnya Bela disarankan untuk istirahat dan pulang.Ia menghempaskan tubuhnya yang lelah ke atas tempat tidur. Kehampaan menggerogotinya hingga jauh, pedih dan sesak.Ia rindu Nial. Ia sangat rindu bagaimana wajahnya yang kaku seperti formalin. Namun hangat jika mereka sudah bicara semakin dalam pada percakapan.Ia rindu bagaimana Nial menggodanya, menatapnya, menyentuh dagunya dan mengatakan Bela miliknya."Mas Nial, apa nggak ada takdir yang menuliskan untuk kita kembali bersama?"Drrt ... drrt ...."Siapa yang menelpon malam-malam?"Bela meraba ponselnya dari dalam tas yang tadi ikut ia lemparkan. Ia bangkit dengan segera saat tahu itu adalah Niko."Ya, Kak Nik?""Bela, kamu sibuk?" Suaranya tenang seperti biasa."Enggak, kenapa?""Aku ada di dekat rumahmu? Bisa kita bertemu?"Bela menengok jam dinding yang menunjuk pada angk
***Saat Nial membuka matanya, ia melihat langit-langit kamar yang gelap. Sejak kapan ia tidur dalam keadaan gelap seperti ini? Bahkan dimer pun tidak dinyalakan.Nial menoleh ke sisi kanannya, Vida masih ada di sana dengan lelap."Bukannya Vida takut ruang gelap sama seperti Catherine? Tapi kenapa semua lampu dia matikan?"Ia bergumam, kepalanya pusing setelah semalam pingsan di tempat makan yang ada di Belleswiss Apparel. Vida cepat menghubungi Jerry dan dia dibawa pulang.Itu adalah pertama kalinya ia menjejakkan kakinya di sana, tapi ... tempat itu tidak asing sejak awal.Apa lagi sejak ia masuk ke dalam Alexa Apparel dan menjumpai gaun cantik itu. Ia pernah melihat gaun itu dipakai seseorang, bukan Catherine dan juga bukan Vida.Mungkinkah itu Bela?Perempuan asing yang belakangan ini terasa menghantuinya. Senyumnya jauh lebih menawan. Lebih memikat dan meski bayangannya samar-samar, Nial dapat mengetahui kalau dia sangatlah cantik.Dan suaranya sendiri yang menggoda perempuan it
Garis satu.Dia tidak sedang hamil. Bela menyandarkan punggungnya ke pintu kamar mandi di apotek yang ia masuki.Perasaannya campur aduk. Satu sisi sedih karena itu artinya dia belum bisa memberi pewaris untuk Ones Air. Tapi di sisi lain sedikit lega, mengingat keadaannya seperti ini mungkin Tuhan masih berencana lain.Bela menunduk, tertawa tanpa suara dengan dada yang sesak."Bela bodoh! Apa yang kuharapkan? Nial saja nggak ingat apapun. Sadarlah, Bel!"Ia menampar dirinya sendiri agar bangun dari dunia tipu-tipu yang terus saja dibuatnya."Bela?"Suara Niko terdengar dari luar. Membuat Bela sejenak mengatur napas, membuang test pack ke tempat sampah dan membuka pintu."Kamu baik-baik saja?"Niko tampak khawatir saat melihat wajah pucat Bela yang hanya mengangguk menjawabnya.Mereka keluar dari apotek dan berjalan di sepanjang jalur pedestrian yang tampak redup. Ditutupi bayangan pohon sekaligus mendung di atas sana."Kenapa, Bel?"Niko sekilas menyentuh pundaknya agar Bela tidak di
....Di tempat lain ....Mata Bela merasa ia baru saja salah membaca. Tapi itu benar-benar dari Nial. Pesan yang masuk ke dalam ponselnya itu datang dari Nial. "Mas Nial ingin bertemu denganku?"Ia tersenyum. Kebahagiaannya meluap hingga tumpah. Ia yang tadinya sudah bermalas-malasan dengan rebahan di atas ranjang sepulang dari kampus kini bangkit dan duduk dengan tegak.Tak berapa lama, pesan dari Nial kembali masuk dan itu menunjukkan tempat di salah satu kafe yang tidak jauh dari kampusnya.Bela bergegas keluar dan pergi ke sana.Hatinya berdebar, diselubungi perasaan aneh yang membuatnya merasakan ia seperti sedang jatuh cinta lagi. Pada akhirnya, ia keluar dari taksi online yang ia pesan dan turun di depan kafe. Matanya menangkap sosok bertubuh tinggi yang masih mengenakan setelan jasnya. Sedang berdiri di luar kafe, di bawah pohon rindang. Membelakanginya.Dari kejauhan pun Bela tahu itu adalah Nial karena ia bisa menghidu bau parfum miliknya yang menguar dengan maskulin, sep
Membutuhkan waktu sepersekian detik bagi Jerry untuk memahami bahwa Nial sedang sungguh-sungguh. Ekspresinya mengatakan segalanya. Bagaimana mata hancur itu kembali ia suguhkan, mata hancur yang dulu selalu di sana sejak kematian Catherine dan hilang karena dihidupkan Bela.Lalu pagi ini, mata menyedihkan itu kembali pada Nial."Kenapa Pak Nial menyesal?"Nial menghela napasnya."Hatiku ... nggak setuju.""Kenapa?""Ini aneh!""Apanya?""Aku berdebar saat melihat Bela. Aku ingin perasaan seperti itu, Jer. Tapi itu nggak aku dapatkan dari Vida. Justru—""Bela yang memberikannya?"Nial mengangguk.Jerry sebenarnya dalam hati bersorak. Tapi melihat wajah penasaran Nial, ia tidak ingin memberi petunjuk lebih jauh. Meski sebelumnya Jerry juga ikut andil membantunya.Sekarang, tiba waktunya Nial mencari tahunya sendiri, menemukan Bela dalam ingatannya atas dorongannya sendiri. "Itu 'kan perasaanmu, jadi ... Pak Nial bisa mencari tahunya sendiri. Mungkin menemuinya lagi dan mencoba bicara
....Nial sangat kesal pada dirinya sendiri. Bukannya datang menemui Wijaya Aden untuk berkonsultasi perihal apa yang terjadi padanya akhir-akhir ini, ia justru datang ke sini.Ke kampus di mana ia yakin Bela kuliah di sini. Karena rasa berdebar yang ia dapatkan saat memandang gerbang kampus ini adalah rasa berdebar yang sama saat ia melihat Bela.Samar-samar bayangan dirinya mengendarai Maserati miliknya untuk memasuki kampus, guna mengantar Bela. Dan mencium keningnya di depan kerumunan yang menggila. Kenangan itu telah hadir.Otaknya terus saja melakukan recall. Ia juga bisa melihat bayangan Bela yang berlarian saat melihatnya datang dan dia mengatakan, 'Hei! Jangan lari!' sebelum Nial merengkuh pinggang rampingnya.Ia juga ingat sedang bertengkar dengan seseorang yang tak lain adalah ...."Vida? Kenapa aku bertengkar dengannya saat itu?"Nial menghela napasnya dengan cemas. Bayangan itu semakin rinci dan semakin jelas. "Nial bodoh! Harusnya pergi saja menemui Aden! Bukan ke sin
Bela berdiri kaku di antara dua pria ini. Yang keduanya sama-sama tidak ingin mengalah. Saling tatap satu sama lain dengan masing-masing mata yang tajam mengawasi.Nial lupa siapa lelaki ini, yang tampak seumuran Bela, mungkin hanya beberapa tahun lebih tua. Tapi ada perasaan aneh yang membuat Nial sangat membencinya bahkan hanya dengan sekali melihat.Dia juga melakukan hal yang sama saat Nial mengarahkan payungnya pada Bela, yang kini hanya diam membeku memandangnya dan lelaki itu bergantian."Mas Nial? Kak Niko?"'Jadi namanya Niko?' Nial bergumam dalam hati."Apa yang kalian lakukan di sini?" lanjut Bela, memandang Nial dan Niko bergantian saat mereka masih saling tatap."Konsultasi dengan dokter kenalanku.""Melengkapi berkas untuk magang di sini."Nial dan Niko menjawab bela bersamaan. Kedua suara bariton itu bercampur dan tumpang tindih di telinganya. Bela memejamkan matanya dengan kesal, berpikir sampai kapan mereka akan seperti ini."Pulanglah denganku!"Kalimat itu dikatak