***Bela berjalan menuruni tangga dengan cepat setelah Nial membacakan pesan dari Jerry yang mengatakan ia akan sampai dalam waktu satu menit lagi."Siska!""Bela!"Bela memeluknya dengan erat."I hope you doing well!"Siska tersenyum dan dibalas anggukan pasti oleh Bela."Selamat malam."Siska mengucapkannya pada Nial, bersamaan dengan Jerry yang juga mengucapkannya."Selamat malam, Jerry, Siska. Kalian baru kencan?"Nial mengisyaratkan agar mereka duduk di ruang makan saja setelah menerima tas milik Bela dari Jerry, juga ponsel baru. Karena ia sudah meminta Kim menyiapkan coklat hangat untuk mereka berempat."Baru makan malam, Pak Nial. Ini aku bawakan pizza."Siska mengangkat dua kotak pizza ukuran besar yang ada di tangannya."Wah, terima kasih."Bela menerimanya dan meletakkanya di atas meja makan. Membukanya dan mereka melahapnya dengan suka cita."Aku pikir, Pak Nial nggak makan junk food?"Siska mengerling sekilas pada Nial yang duduk di samping Bela, melahap pizza dengan tanp
***…."Nial?"Mata Vida melebar saat ia melihat Nial yang duduk dengan hanya dipisahkan oleh sekat kaca antara pengunjung dan tahanan yang ada di kantor polisi. Dengan Jerry yang berdiri di belakangnya tanpa bergerak seinchi pun dari tempatnya."Nial? Apa maumu?"Nial mendengus kesal. Vida dapat melihat mata penuh kebenciannya. Mata yang sama yang diberikan saat Nial mengusirnya pergi dari ranjang malam pertama mereka.Jam sudah sore, tapi Nial masih menawan dalam setelan jas yang dipakainyaDia tampak menggertakkan gigi-giginya. Menegakkan punggungnya yang sedari tadi bersandar di kursi dan menatap Vida lebih dekat."Aku tidak ingin membuang waktuku. Aku hanya ingin kebenarannya. Siapa yang memintamu melakukan ini?""Kenapa kamu harus bertanya? Jerry sudah memberi tahumu semuanya, 'kan?"Vida mengerling sekilas pada Jerry yang kedua sudut matanya meruncing. Lebih mengintimidasi dari pada mata serigala Nial."Jadi itu benar?" Nial menegaskan."Ya.""Aku tidak tahu bagaimana caramu be
…."Jalang, enyah kamu dari hidupku!"Bariton dingin Nial terdengar lirih dan mengintimidasi Jenni. Tadinya ia mengira Nial akan menciumnya sejak Nial memposisikannya terkunci di dinding. Dengan keadaan kedua bibir mereka yang hampir bersentuhan.Tapi bukan kata-kata sensual atau perlakuan romantis, Nial justru melemparkan sumpah serapahnya tepat di depan pucuk hidungnya."Nial!"Jenni mencoba pergi tapi Nial membuatnya kembali berdiri dengan kaku di tempatnya."Kamu ingin aku memperlakukanmu seperti ini? Sedekat dan semanis seperti kelihatannya, 'kan? Jangan mimpi!"Nial masih berbisik di samping telinga Jenni. Sementara Jerry tidak bisa mendengar apa yang dikatakan oleh Nial karena suaranya terlalu dalam untuk sampai di telinganya.Tapi ia mengamati perubahan mimik wajah Jenni dari yang berseri penuh debaran menjadi marah dan ketakutan dalam waktu yang bersamaan.Nial menegakkan punggungnya. Membenarkan kerah jas yang sedikit berantakan menurutnya."Aku tahu apa yang kamu lakukan pa
"Ngh?"Orang bilang tidak ada yang namanya terlambat. Tapi bagi Bela, dia terlambat mencegah Nial karena prianya itu telah menciumi lehernya tanpa henti dan membuatnya terhempas di atas ranjang. Baru sesaat setelahnya menarik wajahnya sambil berbisik, "Kamu bilang minta berhenti? Tapi malam ini kamu memakai parfum kesukaan Mas di lehermu, 'kan?""Mas? Kita ada di rumah bapak loh ini. Jangan lakukan malam ini ya?"Bela menggeliat agar Nial pergi dari atasnya. Tapi justru gerakan itu membuat Nial semakin tidak ingin melepaskannya."Nggak boleh bercinta? Tapi tubuh kamu ingin, Sayang!"Nial memang tidak salah karena meski Bela mengatakan tidak, nyatanya tubuhnya bereaksi lain. Ingin disentuh dan dijamah. "Mas?""Iya, Mas di sini, kok."Nial membuka resleting depan pada dress Bela. Menenggelamkan wajahnya di sana, di antara kedua miliknya yang hangat dan nyaman. Yang membuat Bela memejamkan mata karena kenikmatan. Menyisipkan jari-jarinya di antara rambut hitam Nial."Masih nggak ingin
Foto Nial dan Jenni.Rekayasa?Tapi bagaimana bisa senyata ini?Tangan Bela kebas saat melihatnya. Nial yang sangat dekat dengan Jenni. Bahkan mereka hampir saling beradu bibir. Dengan posisi Jenni yang tersudut di dinding. Persis yang sering dilakukan Nial padanya.Dan jika dilihat dari tempat di foto itu, desain interiornya adalah restoran milik Jenni. Yang artinya, Nial datang ke sana belum lama ini."Sayang? Kenapa?"Nial yang sudah berjalan menjauh kembali pada Bela. "Mas Nial baru saja menemui Jenni belum lama ini?"Nial ikut berdiri kaku di tempatnya. Tidak mengantisipasi pertanyaan serangan dari Bela yang datang secara tiba-tiba."Iya."Semakin hancur. Bela tidak menyangka ada yang disembunyikan Nial. Bayangkan itu! berkunjung ke tempat orang yang dulu menolaknya, yang merupakan cinta masa kecil Nial. Saat Nial pernah bilang sangat membencinya tapi justru datang padanya dengan suka rela."Apa yang Mas Nial bicarakan dengan dia?""Dari mana kamu tahu, Bel? Jerry yang memberi
"Bela di mana, Bu Kim?"Nial bertanya sesampainya di ruang makan.Dia tidak menjumpai Bela di sampingnya saat bangun. Tidak juga ada di kamar mandi atau di ruang ganti. Yang ada hanya pakaian Nial yang sudah disiapkannya, lengkap dengan jam tangan dan dasi yang ia letakkan berdampingan."Nona sudah berangkat sejak pagi, Tuan Nial.""Dengan diantar Pak Han?""Nggak. Nona bilang naik taksi.""Kenapa?""Nggak tahu. Dia hanya bilang begitu setelah membuat sarapan dan keluar dari rumah."Nial mengurut keningnya yang pegal. Ia duduk di kursi ruang makan dan melihat cinta Bela yang sangat hebatnya ada di sana. Lewat caranya merawat Nial dan caranya memberi makan.Dia membuat pastel tutup. Yang hari itu dibilang Nial sangat enak. Lalu salad sayur yang mendapat pujiannya setiap pagi. Masih banyak yang lainnya yang membuatnya sesaat termenung.Sarapan paginya sendirian setelah sekian lama bersama Bela."Kalian bertengkar?"Kim datang dengan segelas air putih di tangannya."Sedikit. Aku yang sal
Bela tersenyum melihatnya. Hanya ada kediaman yang tanpa saling sapa di antara mereka berdua. Seperti sama-sama tersihir, baru sejenak kemudian Bela dapat merengkuh kembali kesadarannya saat kembang api di tangannya habis.Nial juga melangkah. Dia tampak setinggi tiang saat berjalan melewati sekumpulan anak kecil yang datang di acara bazar."Mas Nial di sini?""Iya, Sayang.""Sepulang kerja?""Iya. Dengan Jerry.""Kak Jerry? Di mana?"Nial mengedikkan kepalanya ke belakang Bela. Jerry sudah ada di sana bersama Siska yang menyalakan kembang api lainnya setelah yang di tangannya mati.Bela terkejut karena Nial mengusap pipi kirinya dengan lembut saat mengatakan,."Cantiknya."Di mata Nial, Bela tampak cantik dengan dress midi warna putih yang dipakainya."Kamu sudah nggak marah sama Mas, 'kan?"Nial bertanya sembari melepas jas yang dipakainya, meletakkannya di punggung Bela sehingga menampakkan vest, dasi dan kemeja putih yang dipakainya, pakaian yang disiapkan Bela tadi pagi.Bela ha
***Pagi ini …."Nona sudah bangun?"Pertanyaan Kim membuatnya Bela yang sedang berjalan menuju ke lemari pendingin menoleh sejenak."Iya, Bu Kim.""Mau buat sarapan apa pagi ini untuk tuan Nial?"Bela ragu."Mas Nial ingin carbonara. Tapi aku nggak yakin.""Kenapa? Buatlah! Aku akan membantu Nona mengupas buah.Gagal!Bantuan yang ditawarkan Kim gagal karena kedatangan Nial dari arah pintu masuk ruang makan dan memanggilnya dengan mesra."Sayang? Kamu di sini?"Kim memilih pergi dari sana dan waktu serta tempat diserahkan pada mereka."Mas? Aku nggak bisa masak loh kalau kamu begini?"Bukannya mengindahkan, Nial malah memeluknya semakin erat dari belakang. Meletakkan dagunya di atas pundak Bela saat ia mulai mencuci sayuran."Mas kangen kamu. Mau dipeluk terus. Hm?"Bela mencium harum dan segarnya bau tubuh Nial karena memang dia tadi sedang mandi saat Bela turun."Kangen apa, Mas? Semalaman kita juga bersama-sama. Jangan menggodaku! Nanti kalau aku nggak masak kamu lapar loh."Bela
***"Selamat pagi."Bariton dalam nan seksi milik Nial selalu menyambutnya setiap pagi.Dia juga tampak baru saja mandi saat melihat Bela yang bangun dari tidurnya dan memberi istrinya kecupan yang manis."Selamat pagi, Mas. Kamu sudah mandi?""Sudah, Sayang. Hm ... kenapa kamu bangun cepat-cepat? Istirahatlah lagi!""Tapi belum ada makanan untuk pagi ini."Nial tersenyum mendengarnya. Ia berlutut di depan Bela dengan sebelah kakinya dan mengusap perutnya yang bulat dan lucu."Oh? Oh!"Nial terkejut. Ia memandang Bela dengan tidak percaya."Kenapa Mas? Dia gerak ya?""Iya. Oh mungkin ingin ucapan selamat pagi juga? Hm ... kamu iri?"Nial mengecup perutnya dan memandang Bela."Bela?""Ya?""Kamu sempurna. Terima kasih untuk sudah mengandung dan mwlahirkan anak-anak kita."Bela mengangguk. Ia tidak bisa menyembunyikan senyumnya saat senyum Nial juga tampak sangat manis."Kamu mandilah! Nanti jadi pergi, 'kan?"Nial lebih dulu bangkit dari posisinya. Mengusap puncak kepala Bela dan memer
***"Ini kebebasan?"Terik. Matahari bersinar terik siang ini.Cerah dan juga berawan. Gugusan Cirro stratus membentang seperti karpet selamat datang yang menyaksikannya keluar dari tahanan. Pada akhirnya ....Tahun-tahun penebusannya telah berlalu. Dan ia tersenyum sekarang. Senyum yang kini tampak lega. Itu adalah Vida.Ia bebas dari tahanan setelah melewati masa yang suram. Yang tidak ingin lagi ia ulangi untuk ke dua kalinya.Dadanya lega sekaligus sebah. Ada perasaan bersalah pada Bela yang kini meluap hingga tumpah.Ia berjalan di sepanjang jalur pedestrian, menunduk dan memasuki sebuah kafe setelah keluar dari toko emas, menjual perhiasan yang dulu masih ia pakai sebelum dibawa polisi.Ponsel dan emas yang dikembalikan padanya itu ia jual dan ia gunakan setidaknya untuk bertahan hidup beberapa waktu ke depan. Sementara ponselnya masih bagus dan saat ini ada di atas meja.Ia duduk. Menghadap sebuah kertas kosong yang baru ia beli dari sebuah toko alat tulis.Netranya tergenan
Bela tersenyum membaca pesan dari Nial yang mengatakan agar ia bicara dengan Niko lebih dulu.Kini, bagi mereka ... semua telah sembuh dari luka. Tidak ada lagi pertengkaran atau baku hantam sama seperti yang dilakukan Nial dan Niko jika dulu mereka bertemu.Kebencian mereka telah berakhir. Bela ingat Nial sempat mengatakan bahwa Niko-lah yang dulu memberi tahu Nial saat Bela pergi ke Jawa Barat dan memutuskan akan mengakhiri hidupnya sendiri.Niko jugalah yang telah menanganinya saat Bela dilukai Jenni.Semuanya telah berlalu dengan sangat cepat. Waktu membuat kebencian bermetamorfosa menjadi obat penyembuh paling mujarab."Bagaimana kabarnya Pak Nial?"Pertanyaan Niko kembali merengkuh kesadaran Bela yang sedari tadi dibelenggu oleh pemikiran panjangnya."Kabar baik juga, Kak Nik. Dia sedang menikmati hari menjadi Papa yang super sibuk dengan anak lelakinya yang berlarian tanpa henti."Niko tersenyum mendengarnya. Sudah lama ia juga tidak bertemu Nial."Kak Niko mau bertenu dengan M
"Baby, be careful!"Bela merendahkan tinggi tubuhnya, berlutut saat anak kecil laki-laki berumur tiga tahun itu berlari dan memeluknya."Mommy! Mrs. Kim gets some letters!"Jari kecilnya menunjuk pada pintu ruang makan. Tapi saat Bela melihatnya, Nial lah yang masuk dengan bahu merosot penuh kelegaan. Ia baru saja berlari mengikuti anak lelakinya yang berderap secepat kilat meninggalkannya di belakang."Gavin? Papa 'kan sudah bilang jangan--""Mas? Sudahlah!"Bela tersenyum, mengusap punggung tangan Nial saat mendekat."Gavin, lihat perut mama! Hm? Gavin sayang dengan mama?"Nial ikut berlutut dan mengusap puncak kepalanya."Pasti sayang. Gavin sayang mama.""Kalau begitu pelan-pelan ya kalau peluk mama? Nanti kalau adik sakit bagaimana?"Gavin mengusap perut Bela yang membesar."Dia namanya adik?"Bela tertawa mendengar pertanyaan polosnya."No, Baby! Dia belum punya nama. Masih di dalam perut Mama. Nanti kalau sudah keluar, baru bisa diberi nama."Bela meraih tangan kecilnya. Meleta
Bela hanya menahan senyumnya saat ini. Ia tidak bisa membayangkan apa yang akan Siska rasakan bersama Jerry untuk pertama kalinya.'Jadi, akan ada yang segelnya dirusak malam ini.'Bela tertawa sendiri. Ia berdiri di deoan cermin setinggi pintu yang ada di dalam kamar ganti dan mengulurkan tangannya ke belakang. Meraih resleting di punggungnya, untuk melepas gaun malam yang tadi ia gunakan untuk menghadiri pernikahan Siska dan juga Jerry."Astaga! Kenapa selalu saja seperti ini. Tadi dipakai mudah tapi kalau mau dilepas sulitnya minta ampun."Bela menggerutu. Ia masih mencoba menarik resletingnya tapi rasanya tidak bisa.Sampai sebuah tangan menariknya turun dan Bela dengan cepat menoleh ke belakang. Ia menunduk teelalu lama sampai tidak sadar Nial sudah masuk dan membantunya."Terima kasih, Mas Nial.""Iya, sama-sama, Sayang."Bela melepasnya. Melemparnya ke sandaran sofa ruang ganti dengan hanya menyisakan underwear. Saat Nial juga membuka kancing jasnya dan ikut melemparnya di temp
Nial tidak bisa membendung senyumnya saat tahu isi di dalam kotak kado itu. Itu berisi figura yang membingkai sebuah foto.Foto anak kecil perempuan dengan topi bundarnya. Itu adalah foto masa kecil Bela."Mas Nial 'kan selalu bilang kalau aku adalah hadiah yang kamu sukai?""Ya. Memang benar begitu, kok.""Jadi aku memberikan foto anak kecil itu padamu. Anak kecil yang hidupnya kamu selamatkan dan meski terpisah selama lebih dari satu dekade, takdir kembali mempertemukannu dengannya.""Ya, benar. Terima kasih. Mas akan letakkan ini di atas meja kantor kalau pulang nanti. Tapi ada yang harus kamu lakukan sekarang."Nial menutup kotak kado itu dan meletakkannya di atas nakas. Ia meraih tangan Bela dan membuatnya duduk di atas pangkuannya."Apa? Apa yang harus aku lakukan?""Berperan sebagai hadiah yang baik. Hm?"Nial telah membuka kancing dress yang dipakai Bela."Mas? Kamu nggak ingin makan kuenya dulu? Itu enak loh! Aku pesan di toko kue di ujung jalan yang ramai itu."Nial menggele
***Nial membuka matanya, hari sudah pagi. Dengan keadaan dirinya yang terbaring di atas ranjang bulan madunya. Dengan keadaan tanpa pakaian.Ia sama sekali tidak turun dari ranjang sejak dengan Bela kemarin sore. Akh.Mengingatnya saja membuatnya gerah setengah mati bahkan saat pendingin udara dinyalakan di atas sana. Ingatannya kembali terpanggil di saat-saat ia dan Bela memasuki kamar kemarin."Are you sure?" ragu Bela, bertanya memastikan pada Nial bahwa ia diperbolehkan mengambil alih kontrol mulai saat ini sejak Nial tidak bisa mendominasi hubungan ranjang karena ia masih tidak diperbolehkan bergerak terlalu banyak."Yeah, Baby! Take off my clothes!"Jantung Bela berdebar mendengar permintaan Nial agar melucuti pakaiannya. Bela tidak membantahnya dan membuka kancing kemeja Nial satu demi satu. Melihat perutnya yang masih terlilit perban dan belum sepenuhnya bisa dikatakan pulih.Nial hanya tersenyum saat Bela membuka kancing di celana panjang putih yang ia kenakan dan membuatny
Darah lebih kental dari Air. Jika di Swiss Leo menyerang Nial saat semua orang lengah, atau Jenni yang menyerang Bela saat itu, sekarang di sini, di Jakarta, Rafael menyerang Jerry.Tapi Jerry telah meningkatkan kewaspadaannya sepuluh kali lipat. Ia membaca pergerakan Rafael dan secepat mungkin menahan pergelangan tangannya yang membawa pisau cutter."Kamu yang brengsek!"Jerry memuntir tangannya hingga terbalik dan jatuhlah pisau itu. Rafael didorongnya hingga punggungnya terbentur dinding dengan kasar."Untuk semua yang telah kamu lakukan pada keluarga Nial, dan kali ini padaku. Bayarkan dan tebuslah semuanya, Rafael! Kamu punya kesempatan untuk menyesal."Jerry mengalihkan tangannya dari bahu Rafael ke kerah bajunya."Tapi saat kamu nggak berubah, aku pastikan kerah bajumu ini nggak lagi sama karena kamu akan mendekam di dalam penjara. Do you get it? Get lost you bastard!"Jerry memberikan penekanan pada setiap kalimatnya. Membuat Rafael bergidik ngeri karena dia dalam ancaman yan
"Selamat malam."Jerry datang dan menunduukan kepalanya pada Nial dan juga Bela yang ada di dalam kamar rawat."Selamat malam," balas mereka hampir bersamaan."Pak Nial sudah baikan?""Ya, Jerry. Dari mana kamu seharian? Kamu nggak datang menjengukku loh."Jerry menunjukkan senyumnya yang manis. Tapi Bela dapat melihat ada gurat kemarahan yang ia pendam saat ini."Bisa kita bicara? Hanya berdua saja."Jerry memandang Bela, memohon pengertian dan maaf."Sure, aku akan keluar. Aku akan ngobrol dengan Pak Watson."Bela hanya melemparkan senyumnya lalu memberi tempat untuk Jerry."Sebentar ya, Sayang?" Nial meraih tangannya sebelum ia benar-benar pergi."Iya, Mas. Kalian bicaralah!"Bela melambaikan tangannya sekilas pada Nial sebelum menghilang di balik pintu ruangan."Kenapa, Jerry? Hari ini kamu mengunjungi anak itu?"Nial bertanya sesegera mungkin. Tidak ingin membuang waktu lebih banyak karena ia ingin dengar apa yang ingin dikatakan oleh Jerry sampai membuat Bela harus pergi dari si