Pria itu menganggukkan kepalanya. “Dia hanya punya teman yang mendirikan hotel di sana. Sekadar membantunya. Yang dia lakukan di sana adalah berobat. Satu tahun menjalani terapy dengan dokter di sini, tidak ada hasil. Akhirnya dokter yang merawat Kak Satya merekomendasikan agar menjalani terapy di Amerika.”Riana menghela napas panjang. “Separah itu rupanya, trauma yang dirasakan oleh Kak Satya,” ucapnya pelan.“Bukan hanya itu, Riana.”Riana menolehkan kepalanya dengan pelan kepada suaminya itu. “Ada lagi?” tanyanya kemudian.“Ya. Pria itu … pria yang berhubungan badan dengan Arumi melakukannya juga pada Kak Satya.”Riana membolakan matanya dengan mulut menganga. “A—apa? Maksud kamu ….”Fandy menganggukkan kepalanya dengan pelan. “Dia tidak ingin disentuh oleh siapa pun setelah kejadian itu. Hampir satu bulan lamanya mengurung di kamarnya. Sampai Mama stress dibuatnya.”Tubuh Riana mendadak lemas mendengar kenyataan yang sebenarnya mengenai kondisi Satya yang sebenarnya.“Riana. Tolon
Perempuan itu menganggukkan kepalanya dengan pelan. "Baru-baru ini juga, aku tahu kalau Pak Fandy suaminya Riana," ucapnya menjelaskan.Dimas menghela napas kasar seraya menatap Riana yang tampak biasa saja kala Dimas tahu bila dirinya adalah istrinya Fandy. Tentu saja seperti itu sementara dirinya tidak memiliki perasaan apa pun terhadap Dimas.Pria itu lantas tersenyum tipis. Ia hanya bisa pasrah dan menata kembali pikirannya tentang Fandy dan juga Satya yang memang seringkali memanggil Riana."Semoga langgeng, yaa. Dan untuk saat ini, semoga cepat sembuh," ucapnya dengan pelan.Riana menganggukkan kepalanya. "Terima kasih sudah menjenguk.""Sama-sama. Aku pamit ke toilet sebentar, yaa."Maya menganggukkan kepalanya kemudian duduk di samping Riana dan mengulas senyumnya."Dimas, menyukai Riana?" tanya Fandy kepada Maya.Perempuan itu kemudian menolehkan kepalanya dengan pelan kepada Fandy, lalu menganggukkan kepalanya. "Iya, Pak. Tapi, sepertinya setelah tahu bila Riana sudah menikah
Waktu sudah menunjuk angka tujuh malam, dan gelap malam seperti kain beludru hitam mulai merangkul langit.Angin dingin mengelus lembut kaca jendela, menciptakan alunan samar yang hampir seperti bisikan. Riana dan Fandy baru saja melangkah melewati pintu rumah, membawa aroma samar obat-obatan dari kunjungan mereka ke rumah sakit."Aku buatkan makan malam dulu. Kamu pasti lapar," ucap Fandy seraya membantu Riana duduk di ranjang yang kini terasa seperti singgasana rapuh.Riana menatapnya dengan alis yang terangkat setengah. "Emang bisa masak?" tanyanya, nada skeptisnya seperti jarum yang menusuk kepercayaan diri Fandy."Kamu meremehkan aku?" Fandy mencondongkan tubuhnya ke depan, tatapannya menyusuri wajah Riana seperti seorang pemburu yang menantikan reaksi mangsanya.Dengan cepat, Riana memundurkan wajahnya, seolah hawa panas dari keberadaan Fandy terlalu membakar. "Jangan dekat-dekat, bisa?" katanya, tatapan matanya dingin dan tajam seperti ujung pedang yang baru diasah.Fandy mundur
Fandy melirik jam yang melingkar di pergelangan tangannya. Waktu terasa seperti pasir halus yang terus meluncur di dalam jam pasir, tak pernah berhenti, tak pernah kembali. "Sudah sampai kayaknya. Kamu mau ikut atau mau di sini saja?" tanyanya lagi, nadanya datar tapi penuh perhatian."Ikut," jawab Riana dengan cepat, suaranya terdengar seperti bisikan angin yang melintasi celah sunyi."Sudah satu minggu ini aku tidak melihat Mama. Bahkan semenjak menemani Kak Satya di sana pun dia nggak menghubungiku." Matanya menunduk, dan ada bayang kesedihan yang mengintip di balik bulu matanya.Rasanya seperti kehilangan sosok ibu kandung sendiri, Yuni yang biasanya hangat kini terasa jauh, dingin seperti musim dingin di Amerika.Fandy, seolah merasakan getar emosi itu, mengulurkan tangannya dan mengusap lembut lengan istrinya. Sentuhannya seperti sinar matahari pagi, hangat dan menenangkan."Ya sudah, sekarang kita jemput Mama di bandara. Yuk!" katanya dengan senyum kecil yang mencoba mencairkan
"Kenapa, Riana? Tidak senang kalau Kak Satya mau kembali mencari pasangan?" suara Fandy tiba-tiba memecah lamunannya, nadanya terdengar ringan namun menyentuh tepat di inti pikirannya.Riana menggeleng cepat, hampir seperti gerakan otomatis untuk menyembunyikan kegundahannya. "Nggak," jawabnya dengan senyum tipis yang dipaksakan. "Aku sangat senang sekali karena akhirnya Kak Satya mau membuka hatinya dan mau jatuh cinta lagi.Itu akan menjadi suatu kebahagiaan tersendiri untukku," tambahnya, berusaha meyakinkan bukan hanya Fandy, tapi juga dirinya sendiri.Fandy menyunggingkan senyum tipis, seperti seseorang yang tengah menikmati ironi kehidupan. "Itu sudah menjadi momen paling ditunggu oleh Mama dan Papa. Aku pun tidak tahu siapa orang yang sedang ia usahakan untuk menjadi kekasihnya."Riana menelan salivanya perlahan, matanya melirik ke arah Fandy, mencari petunjuk apakah ada yang dia sembunyikan."Semoga Kak Satya segera menemukan tambatan hatinya," ucapnya lirih, suara itu terdenga
Setelah tiba di rumah, Fandy langsung mengikuti langkah Riana yang telah lebih dulu masuk ke kamar. Matanya tertuju pada paper bag yang digenggam Riana, rasa penasaran terpancar jelas di wajahnya."Apa yang dikasih Mama?" tanyanya dengan nada penuh ingin tahu, seraya mendekat.Riana mengangkat paper bag itu, meliriknya sebentar, lalu menyerahkannya kepada Fandy. "Aku belum melihatnya," ucapnya santai, meskipun matanya sedikit menyipit, mencoba menebak isi kejutan itu.Fandy segera membuka paper bag tersebut, tangannya bergerak pelan, seolah mengantisipasi sesuatu yang mengejutkan. Namun, ketika ia melihat isinya, ekspresinya berubah drastis. Napasnya terembus perlahan, wajahnya mendadak lesu seperti balon yang kehilangan udara."Kok murung? Emangnya apaan?" Riana mengulurkan tangan dan mengambil paper bag itu dari Fandy. Saat ia melihat isinya, tawa kecil keluar dari bibirnya, suaranya bergema seperti lonceng yang berdenting di sudut ruangan."Ucapannya tadi seperti mengarah ke hal ya
Ia kemudian duduk di samping Riana, dekat, namun dengan ruang yang cukup untuk menjaga kenyamanan. Sorot matanya melembut, menatap Riana dengan intensitas yang sulit diabaikan.“Aku ingin ajak kamu ke tempat asing yang belum pernah kamu kunjungi. Setidaknya kamu tahu dan merasakan naik pesawat itu seperti apa,” ucapnya sambil tersenyum kecil, mencoba mengusir ketegangan.Riana memutar bola matanya, senyum tipis terukir di bibirnya. “Nggak perlu ngejek juga!” jawabnya, nadanya terdengar manja meskipun masih menyimpan sedikit ketus.“Yah, emang bener kan kalau kamu belum pernah naik pesawat? Ada yang salah dengan ucapanku, heum?” goda Fandy, senyum menggoda bermain di sudut bibirnya.Riana menggeleng pelan, lalu menghela napas panjang. “Aku terlahir bukan dari keluarga kaya raya seperti kamu,” katanya dengan nada yang hampir seperti bisikan, matanya menerawang ke arah jendela.“Jalan-jalan ke luar negeri hanya angan-angan semata yang belum tentu aku gapai. Beda dengan kamu dan Kak Satya
Dua hari berlalu ....Waktu sudah menunjuk angka tujuh malam. Di malam itu, Riana dan Fandy hendak berangkat menuju Australia tepatnya ke Sidney. Menikmati liburan selama dua minggu lamanya di sana setelah hampir dua bulan lamanya mereka menikah.Baru hari ini Fandy membawa Riana pergi liburan atau yang biasa disebut bulan madu. Hanya saja, bulan madu itu bukanlah bukan bulan madu bagi para pasangan pengantin baru.Melainkan sebagai pasangan suami istri yang entah sampai kapan akan terus seperti anjing dan kucing. Tidak ada kata rukun untuk kedua insan itu."Perjalanannya membutuhkan waktu berapa lama, Fandy?" tanya Riana seraya menikmati pemandangan di dalam pesawat tersebut.Fandy menoleh pelan ke arah istrinya itu. "Kurang lebih tujuh jam. Kita akan tiba jam dua pagi. Langsung tidur dan kalau mau jalan-jalan bisa besoknya."Riana manggut-manggut dengan pelan. "Jadi ini, alasan kamu ambil penerbangan malam. Supaya bisa langsung tidur setelah tiba di sana."Fandy menyunggingkan senyu
Waktu sudah menunjuk angka satu pagi. Riana sudah memasuki bukaan lengkap. Dokter Mery dan juga tiga perawat sudah berada di sana hendak membantu proses persalinan Riana."Tarik napasnya dalam-dalam, lalu keluarkan. Oke! Satu ... dua ... tiga ...."Riana menarik napasnya dan mengeluarkannya kembali. Mengejan dengan sekuat tenaga dengan tangan memegang erat tangan Satya.Lelaki itu benar-benar tak pernah meninggalkan Riana sejak mereka tiba di rumah sakit."Ayo, Sayang. Kamu pasti bisa," ucap Satya sembari mengusapi kening Riana yang sudah bercucuran keringat."Eeuurrnghhh ...." Dengan sekuat tenaga ia mengejan agar bayinya segera keluar.Riana mengatur napasnya yang sudah tersengal sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. Tubuhnya sudah sangat lemas. Namun, bayinya belum juga ingin keluar dari sana."Ayo, Bu. Tarik lagi, yuk! Tarik napasnya, kemudian keluarkan." Dokter Mery memberikan interupsi lagi kepada Riana.Perempuan itu kembali mengejan. Tangannya sudah semakin erat memegang tang
Sembilan bulan sudah, usia kandungan Riana. Perkiraan Riana akan melahirkan sekitar dua sampai tiga harian lagi."Kamu sudah cuti, Kak?" tanya Riana menghampiri Satya yang baru saja selesai mandi."Iya, Sayang. Waktu lahir Fabian dulu, kamu lahiran lebih cepat dari perkiraan. Aku tidak ingin hal yang dulu terjadi, terjadi lagi untuk saat ini. Aku mau stay di rumah dan menemani kamu."Riana menerbitkan senyumnya. "Manis banget. Suaminya siapa sih, ini?""Kamu nggak ngakuin aku?"Riana terkekeh pelan kemudian menggeleng pelan. "Aku anggapnya kamu teman hidupku. Forever."Satya mencubit gemas hidung istrinya itu. "Bisa aja. Mau sarapan apa? Mau aku buatkan lagi?""Boleh. Roti bakar selai strawbery, yaa.""Siap! Tunggu sebentar, yaa. Fabian udah bangun?""Udah. Mulai hari ini kan, Fabian udah sekolah. Lupa?""Oh, iyaa. Aku udah janji ke Fabian akan antar dia ke sekolah hari ini. Astaga! Untung kamu ingetin."Satya segera keluar dari kamarnya dan menghampiri Fabian. Riana yang melihatnya h
Riana mengerucutkan bibirnya. Satya kemudian menarik tangan Riana hingga kini perempuan itu duduk di sampingnya.Bibirnya menyapu bibir mungil perempuan itu dengan lembut. Tangannya melingkar di ceruk leher Riana merasakan sensasi ciuman yang semakin nikmat mereka rasakan.Lelaki itu sudah tidak sabar lagi. Ia lantas membuka celana dan juga kaus yang ia kenakan dan mengambil majalah yang ada di tangan Riana.Meraup bibir Riana lagi dengan ganas seraya meremas dada Riana dengan gemas. Suara desahan dari mulut Riana sudah mulai terdengar. Begitu jelas dan membuat Satya semakin ingin menghujam lebih dalam ciumannya itu.“Mmmpphh …,” desah Riana merasakan ciumannya itu. Lalu melingkarkan tangannya di ceruk leher Satya dengan tangan satunya membuka tali dress yang ia kenakan.Hingga kini, hanya celana dalam yang ia kenakan. Bagian atasnya sudah tereskpos dan tangan kekar itu kembali meremas gundukan kenyal dan indah milik istrinya itu
Satya menghela napasnya dengan panjang. "Nggak banyak, hanya segilintir saja. Lagian kan, jam tiga nanti baru berangkat. Jadi ini kan, alasan kamu nggak mau ikut karena lagi hamil?"Riana mengangguk. "Iya. Kalau lagi nggak hamil sih, aku pasti ikut. Kapan-kapan aja, yaa. Itu pun kalau nggak malas sih.""Babymoon?""Eum! Boleh deh."Satya kemudian mencium punggung tangan istrinya itu dan menatapnya sekali lagi. Membuat Riana yang melihatnya lantas salah tingkah karena ulah suaminya itu."Udah, aah. Aku mau ke dapur dulu. Mau minum susu hamil.""Biar aku saja. Kamu tunggu di sini, sambil nunggu Fabian bangun." Satya beranjak dari duduknya dan berlari kecil ke luar untuk membuatkan susu hamil untuk sang istri.Kali ini, ia benar-benar menikmati peran sebagai suami yang harus standby untuk istrinya yang tengah hamil bayinya itu.Lima menit kemudian, Satya masuk lagi ke dalam dan memberikan satu gelas susu hamil kepada sang istri.
Riana menerbitkan senyumnya lalu melingkarkan tangannya di ceruk leher Satya yang kemudian mengecup singkat bibir lelaki itu."Terima kasih, sudah mau bertahan demi aku. Kalau nggak ada kamu, entah apa yang akan terjadi pada hidupku dan juga Fabian. Mungkin akan sengsara selamanya."Satya menghela napasnya dengan panjang dan menatap wajah Riana dengan lekat. "Jika aku tidak ada, mungkin akan ada pria lain yang akan buat kamu bahagia. Dan sepertinya aku tidak terima."Riana mengerucutkan bibirnya. "Alasan kamu nggak mau pulang ke Indonesia itu karena kamu tidak yakin akan sembuh?" tanyanya ingin tahu.Satya menggeleng pelan. "Karena aku tidak ingin melihat air mata Mama dan Papa yang terus meratapi kesedihan akan kondisiku. Itulah kenapa Mama sangat menyayangi kamu. Karena kamu sudah menyelamatkan hidup anak sulungnya."Riana mengulas senyumnya kepada suaminya itu. "Begitu rupanya. Aku bersyukur punya Mama dan Papa yang care dan sayang sama aku, Kak
Riana menganggukkan kepalanya dan menerbitkan senyum kepadanya. "Semangat."Tak lama kemudian, Satya pun datang menghampiri istrinya itu. Ia lalu menyapa Deasy yang tengah duduk di samping istrinya."Kenalin, ini suami saya. Namanya Satya.""Deasy." Perempuan itu memperkenalkan dirinya kepada Satya."Satya." Ia hanya tersenyum kepada perempuan itu tanpa menjabat tangannya."Suami saya pernah memiliki penyakit aneh. Dia tidak berani menyentuh perempuan mana pun kecuali mamanya. Dan sampai sekarang, dia masih belum berani menyentuh perempuan lain selain saya dan mamanya."Riana menjelaskan kepada Deasy tentang Satya yang menolak jabatan tangannya.Deasy akhirnya paham kemudian mengulas senyumnya. "Memang ada, penyakit seperti itu dan sangat langka."Riana mengangguk. "Iya. Dan suami saya merupakan salah satunya yang mengalami penyakit itu."Deasy mengangguk. Ia kemudian pamit kepada Riana sebentar untuk mengambil ponselnya
Satya menarik tangan Riana dan memeluknya lagi. Angin yang bertiup cukup kencang dengan terik matahari yang menyinari bumi, keduanya berpijak di sana menikmati keindahan alam.Malam harinya, Riana dan Satya memilih untuk dinner di sebuah restoran yang ada di dalam hotel miliknya.Baru pertama kali buka, pengunjung hotel sudah sebanyak hampir tiga puluh persen. Banyak yang menyukai desain dan interiornya. Juga pelayanan yang ramah, seperti hotel di Jakarta."Kak. Aku baru tahu kalau kamu punya banyak teman ternyata. Aku pikir kamu ini introvert," ucap Riana sembari melahap makanan miliknya.Satya terkekeh pelan. "Bisa-bisanya kamu mikir kalau aku seorang introvert. Aku menutup diri hanya sejak mengalami penyakit itu saja. Sebenarnya aku tidak seperti itu."Riana manggut-manggut dengan pelan kemudian menerbitkan senyumnya kepada suaminya itu."Sekarang udah berani buat terbuka lagi?"Satya mengendikan bahunya. "Aku sudah menikah, sudah
Riana mengulas senyum dan mengangguk kecil. "Sama-sama. Makin ke sini kamu makin menggila, Kak."Satya terkekeh pelan. "Malu, sama badan kekar tapi payah dalam melakukan itu."Riana mengerucutkan bibirnya mendengar ucapan suaminya itu. Ia kemudian beranjak dari tempat tidur dan masuk ke dalam kamar mandi untuk membersihkan diri terlebih dahulu sebelum tidur.Pun dengan Satya. Lelaki itu juga masuk ke dalam kamar mandi dan mengenakan celana boxer miliknya."Kamu yakin, hanya ingin satu bulan saja di sini? Memangnya cukup?" tanya Satya kepada Riana yang tengah membasuh wajahnya.Riana menoleh dan menatap suaminya itu. "Kenapa emang? Mau nambah hari?""Terserah kamu sih."Riana menghela napasnya. "Nggak deh, Kak. Di sini hanya cabang, kan? Kamu nggak harus nuruti semua yang aku inginkan, Kak. Karena kamu pun pasti punya keinginan."Satya kembali mengecup kening Riana. "I love you," ucapnya kemudian keluar dari kamar mandi tanpa be
Riana tampak begitu bahagia bahkan menganggukkan kepalanya sangat antusias. "Yeaayy! Liburan ke Bali.""Belum pernah, hm?" tanyanya sembari mengusapi sisian wajah Riana dengan lembut.Riana menggeleng pelan. "Belum. Karena nggak ada yang ngajakin."Satya manggut-manggut dengan pelan. "Mau satu bulan, di sana?""Woah! Lama juga. Boleh. Itu pun kalau kamu nggak keberatan.""No, Honey. Kapan, aku keberatan nurutin permintaan kamu? Gendong kamu aja nggak berat."Riana lantas mengerucutkan bibirnya mendengar ucapan dari suaminya itu. "Nggak gitu maksudnya, Kak Satya."Lelaki itu lantas tertawa dengan pelan. "Canda, Sayang. Kamu boleh tinggal di sana sepuas kamu. Karena aku juga masih harus cek kondisi hotel dan semua karyawan juga pemimpin di sana.""Sekalian kerja juga, yaa. Bukan beneran mau liburan sama bininya," ucapnya kemudian menyunggingkan bibirnya.Melihat itu, sontak membuat Satya mencium gemas pipi istrinya. "Nggak