Mendengar pertanyaan Riana membuat Fandy tertawa. "Mau ngapain kata kamu? Mau ngerjai kamu. Jangan menolak dan jangan pernah kabur apalagi alasan datang tamu. Tamunya sudah pergi dua minggu yang lalu. Aku tahu itu!"Riana mengeluh lesu mendengarnya."Kenapa kamu tanya seperti itu padaku? Jangan bilang tamunya datang sebulan dua kali. Kamu lagi nyari pembalut?"Riana menggaruk rambutnya. 'Tidak mungkin juga aku lupa membawa pil KB aku. Fandy pasti akan mengadu pada Mama kalau selama ini aku minum pil KB.'Riana dalam dilema. Bila ia memberi tahu kalau selama ini dia memakai KB, Yuni pasti akan marah besar padanya lantaran perempuan itu amat sangat menunggu momen di mana Riana memberi kabar bahwa dia sedang hamil."Tidur, Riana. Sudah mau jam tiga."Riana menolehkan kepalanya dengan pelan ke arah suaminya itu. "Fandy?" panggilnya kemudian."Heung? Jangan khawatir, aku tidak akan memperkosa kamu lagi. Tidurlah dengan nyenyak dan jangan takut besok tubuhmu polos."Riana mengembuskan napas
Fandy menganggukkan kepalanya perlahan, gerakannya nyaris seperti angin malam yang menyapu dedaunan, begitu tenang namun sarat beban."Iya, Riana. Aku tidak akan melupakannya. Jangan bahas itu karena kedatangan kita ke sini mau liburan, bukan mau bahas masa lalu."Suara Riana melenting seperti senar yang dipetik terlalu keras, penuh nada ketidakpuasan."Masa lalu dari mana! Baru juga dua bulan yang lalu."Fandy menghela napas pelan, seperti mencoba mengusir bayangan gelap yang membayang di benaknya. "Iya, dua bulan yang lalu."Riana menatapnya, sorot matanya seperti cahaya lilin yang menari di tengah ruangan gelap, lemah namun menuntut jawaban."Kamu ... masih menunggunya pulang? Jawab saja dengan jujur. Agar aku tidak terlalu mengharapkan kamu jadi suami baik buat aku. Aku akan bersiap setelah Citra kembali."Ada jeda panjang, seperti langit yang menahan hujan sebelum pecah menjadi deras. Fandy menelan saliva dengan pelan, seolah kata-kata yang akan keluar terlalu tajam untuk diucapk
Namun, semua emosi itu larut perlahan seperti jejak kaki di pasir yang diterjang gelombang. Riana menghela napas panjang, membiarkan udara pantai yang asin dan segar memenuhi paru-parunya.Ia memilih untuk menikmati pemandangan yang begitu indah ketimbang tenggelam dalam perdebatan yang tak ada ujungnya."Riana, aku minta maaf. Aku mohon jangan marah lagi," suara Fandy terdengar di belakangnya, penuh ketulusan yang hampir menyakitkan."Aku lihat antusias kamu ingin ke sini, makanya aku nggak cari negara lain lagi dan memilih negara ini saja. Tapi, kalau kamu tidak nyaman ada di sini, kita bisa pergi ke tempat lain."Riana diam, matanya memandang jauh ke cakrawala di mana langit dan laut bertemu dalam warna biru yang nyaris tak terbedakan.Entah bagaimana, di tengah kecamuk rasa kecewa, ia menemukan setitik damai. Mungkin, hanya mungkin, ia bisa mencoba menerima semua ini.Riana mengibaskan tangannya dengan gerakan malas, seolah mengusir debu kenangan yang berusaha menyelimuti mereka.
Ia mengembungkan pipinya, sebuah kebiasaan yang sering ia lakukan ketika merasa kesal atau gelisah.Ting!Suara notifikasi dari ponsel Fandy memecah lamunannya. Riana menoleh, pandangannya tertuju pada ponsel itu yang tergeletak di atas pasir. Ia menatapnya sejenak, ragu."Aku nggak berani buka. Takut Fandy marah," bisiknya pada diri sendiri. Tapi rasa penasaran mulai menggerogoti hatinya, seperti air laut yang perlahan mengikis tebing karang."Tapi, penasaran juga dari siapa," gumamnya sambil mengambil ponsel itu dengan hati-hati. Ia mengetuk layar ponsel dan membukanya. "Sekalian lihat wajah Citra juga. Pasti masih ada di sini."Riana memandangi layar dengan jantung yang berdegup sedikit lebih cepat. Pesan masuk baru saja dikirim, dan ia membaca nama pengirimnya.Satya.Matanya membelalak. "Kak Satya?" gumamnya, lalu membuka pesan itu dengan telunjuk yang sedikit gemetar.Satya:[Jangan khawatir, Fandy. Aku sudah semakin membaik. Have fun ya, Dek. Jaga Riana, jangan sampai kehilanga
Riana menelan saliva dengan susah payah. "Karena ... karena aku sudah ...." Kalimatnya menggantung di udara, diikuti helaan napas kasar.Ia menatap wajah Fandy dengan sorot mata yang penuh emosi. "Karena aku menjaga kehamilan! Tapi, bukan sepenuhnya salahku. Kamu juga yang membuatku melakukannya!"Fandy tertegun sejenak, lalu tertawa kecil. Tawa itu bukan untuk mengejek, melainkan bentuk kehangatan yang ia harapkan dapat meringankan hati istrinya."Maksud kamu ... kamu merasa bersalah karena kita menjaga supaya tidak punya anak dulu? It's oke, Riana. Kalau kamu mau, kita coba lagi. Kali ini semoga berhasil. Oke?""Heuh?" Riana menatap Fandy dengan bingung.Fandy tersenyum penuh arti, lalu mengacak lembut rambut Riana. "Jangan pura-pura nggak tahu, Riana. Sok polos banget, deh!" candanya sambil melangkah ke arah tempat penitipan papan selancar. "Tunggu di sini sebentar. Aku ganti baju dulu. Habis ini kita mau ke mana lagi? Masih jam empat."Riana mengangkat bahunya dengan ekspresi bing
Fandy mengadahkan kepalanya kemudian tersenyum tipis. "Enjoy, Riana," ucapnya kemudian mengulum pucuk merah muda itu dengan rakus.Riana membusungkan dadanya. Tangannya meremas erat sprei di sampingnya dengan mata terpejam.Suara parau itu beradu jadi jadi seraya menikmati sentuhan nikmat yang mereka lakukan di malam itu. Gerayang nafsu akan bercinta yang mulai diadu di malam itu.Puas menyesapi dada itu, Fandy mulai menyatukan dirinya di bawah sana. Matanya terus menatap Riana yang tengah bersiap menunggu Fandy menyatukan dirinya.Blesss ....Riana menggigit bibirnya seraya menahan sesuatu di bawah sana sudah masuk. Ia kemudian membuka matanya dan menatap Fandy yang berada di atasnya."Percobaan pertama. Ke sananya juga kamu bisa nikmati ini. Jangan hanya sebagai penumpu apa yang aku lakukan pada kamu," ucapnya seraya mendorong tubuhnya.Riana sudah bukan gadis lagi. Tak perlu ia hati-hati karena memang sudah biasa ada benda asing masuk di bawah sana. Milik Fandy, hanya dia dan mungk
Riana menyunggingkan bibirnya kemudian memutar bola matanya dengan malas.Fandy yang melihatnya lantas terkekeh pelan. "Ya sudah kalau begitu. Aku hanya bertanya, kalau memang tidak, ya sudah. Tidak perlu emosi. Tidurlah, sudah malam." Fandy menepuk-nepuk kasur di sampingnya agar menghampiri Fandy di sana.Riana lantas menarik selimut kemudian memunggungi Fandy. Tidak ingin memperlihatkan wajahnya yang tengah menahan emosinya lantaran pertanyaan Fandy mengenai perasaannya kepada Satya.'Bisa-bisanya dia bertanya seperti itu padaku. Kenapa dia bisa berpikir seperti itu padaku? Cinta? Bagaimana bisa?' Riana berucap dalam hatinya.Ia pun tidak tahu apakah dia mencintai Satya atau hanya sekadar menganggap bila Satya adalah kakak iparnya yang memiliki sifat baik dan selalu perhatian kepadanya.Pikiran Riana terus tertuju pada pertanyaan Fandy tadi. Belum bisa ia lupakan hingga tak sadar sudah satu jam lamanya dia terjaga sementara Fandy sudah terlelap dalam tidurnya.'Kenapa malah nggak bi
Fandy menganggukkan kepalanya perlahan, seperti mencoba menata sebuah pikiran yang terurai kusut. "Iya. Aku ingin tahu setidaknya pendidikan terakhir kamu itu apa," tanyanya, suaranya lembut namun penuh dengan rasa ingin tahu yang tersembunyi di balik nada datarnya.Riana menundukkan kepala, seolah ada beban tak kasatmata yang tiba-tiba menghimpit bahunya."Hanya sampai SMA," jawabnya pelan, suaranya hampir tenggelam di tengah hening yang terasa meluas di antara mereka."Setelah itu, kerja dari perusahaan ke perusahaan lainnya. Terakhir, aku dapat pekerjaan jadi service room di hotel kamu."Fandy tersenyum samar, seperti ada sesuatu yang hanya dia tahu. "Kak Satya," koreksinya lembut."Hotel itu milik Kak Satya. Setelah dia mengalami trauma itu, aku ditugaskan untuk menjaga hotel itu selama Kak Satya menjalani pengobatannya."Ia berhenti sejenak, matanya menatap lurus ke arah Riana, penuh dengan intensitas yang sulit diartikan. "Jangan bicara pada siapa pun, sekalipun pada temanmu soa
Waktu sudah menunjuk angka satu pagi. Riana sudah memasuki bukaan lengkap. Dokter Mery dan juga tiga perawat sudah berada di sana hendak membantu proses persalinan Riana."Tarik napasnya dalam-dalam, lalu keluarkan. Oke! Satu ... dua ... tiga ...."Riana menarik napasnya dan mengeluarkannya kembali. Mengejan dengan sekuat tenaga dengan tangan memegang erat tangan Satya.Lelaki itu benar-benar tak pernah meninggalkan Riana sejak mereka tiba di rumah sakit."Ayo, Sayang. Kamu pasti bisa," ucap Satya sembari mengusapi kening Riana yang sudah bercucuran keringat."Eeuurrnghhh ...." Dengan sekuat tenaga ia mengejan agar bayinya segera keluar.Riana mengatur napasnya yang sudah tersengal sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. Tubuhnya sudah sangat lemas. Namun, bayinya belum juga ingin keluar dari sana."Ayo, Bu. Tarik lagi, yuk! Tarik napasnya, kemudian keluarkan." Dokter Mery memberikan interupsi lagi kepada Riana.Perempuan itu kembali mengejan. Tangannya sudah semakin erat memegang tang
Sembilan bulan sudah, usia kandungan Riana. Perkiraan Riana akan melahirkan sekitar dua sampai tiga harian lagi."Kamu sudah cuti, Kak?" tanya Riana menghampiri Satya yang baru saja selesai mandi."Iya, Sayang. Waktu lahir Fabian dulu, kamu lahiran lebih cepat dari perkiraan. Aku tidak ingin hal yang dulu terjadi, terjadi lagi untuk saat ini. Aku mau stay di rumah dan menemani kamu."Riana menerbitkan senyumnya. "Manis banget. Suaminya siapa sih, ini?""Kamu nggak ngakuin aku?"Riana terkekeh pelan kemudian menggeleng pelan. "Aku anggapnya kamu teman hidupku. Forever."Satya mencubit gemas hidung istrinya itu. "Bisa aja. Mau sarapan apa? Mau aku buatkan lagi?""Boleh. Roti bakar selai strawbery, yaa.""Siap! Tunggu sebentar, yaa. Fabian udah bangun?""Udah. Mulai hari ini kan, Fabian udah sekolah. Lupa?""Oh, iyaa. Aku udah janji ke Fabian akan antar dia ke sekolah hari ini. Astaga! Untung kamu ingetin."Satya segera keluar dari kamarnya dan menghampiri Fabian. Riana yang melihatnya h
Riana mengerucutkan bibirnya. Satya kemudian menarik tangan Riana hingga kini perempuan itu duduk di sampingnya.Bibirnya menyapu bibir mungil perempuan itu dengan lembut. Tangannya melingkar di ceruk leher Riana merasakan sensasi ciuman yang semakin nikmat mereka rasakan.Lelaki itu sudah tidak sabar lagi. Ia lantas membuka celana dan juga kaus yang ia kenakan dan mengambil majalah yang ada di tangan Riana.Meraup bibir Riana lagi dengan ganas seraya meremas dada Riana dengan gemas. Suara desahan dari mulut Riana sudah mulai terdengar. Begitu jelas dan membuat Satya semakin ingin menghujam lebih dalam ciumannya itu.“Mmmpphh …,” desah Riana merasakan ciumannya itu. Lalu melingkarkan tangannya di ceruk leher Satya dengan tangan satunya membuka tali dress yang ia kenakan.Hingga kini, hanya celana dalam yang ia kenakan. Bagian atasnya sudah tereskpos dan tangan kekar itu kembali meremas gundukan kenyal dan indah milik istrinya itu
Satya menghela napasnya dengan panjang. "Nggak banyak, hanya segilintir saja. Lagian kan, jam tiga nanti baru berangkat. Jadi ini kan, alasan kamu nggak mau ikut karena lagi hamil?"Riana mengangguk. "Iya. Kalau lagi nggak hamil sih, aku pasti ikut. Kapan-kapan aja, yaa. Itu pun kalau nggak malas sih.""Babymoon?""Eum! Boleh deh."Satya kemudian mencium punggung tangan istrinya itu dan menatapnya sekali lagi. Membuat Riana yang melihatnya lantas salah tingkah karena ulah suaminya itu."Udah, aah. Aku mau ke dapur dulu. Mau minum susu hamil.""Biar aku saja. Kamu tunggu di sini, sambil nunggu Fabian bangun." Satya beranjak dari duduknya dan berlari kecil ke luar untuk membuatkan susu hamil untuk sang istri.Kali ini, ia benar-benar menikmati peran sebagai suami yang harus standby untuk istrinya yang tengah hamil bayinya itu.Lima menit kemudian, Satya masuk lagi ke dalam dan memberikan satu gelas susu hamil kepada sang istri.
Riana menerbitkan senyumnya lalu melingkarkan tangannya di ceruk leher Satya yang kemudian mengecup singkat bibir lelaki itu."Terima kasih, sudah mau bertahan demi aku. Kalau nggak ada kamu, entah apa yang akan terjadi pada hidupku dan juga Fabian. Mungkin akan sengsara selamanya."Satya menghela napasnya dengan panjang dan menatap wajah Riana dengan lekat. "Jika aku tidak ada, mungkin akan ada pria lain yang akan buat kamu bahagia. Dan sepertinya aku tidak terima."Riana mengerucutkan bibirnya. "Alasan kamu nggak mau pulang ke Indonesia itu karena kamu tidak yakin akan sembuh?" tanyanya ingin tahu.Satya menggeleng pelan. "Karena aku tidak ingin melihat air mata Mama dan Papa yang terus meratapi kesedihan akan kondisiku. Itulah kenapa Mama sangat menyayangi kamu. Karena kamu sudah menyelamatkan hidup anak sulungnya."Riana mengulas senyumnya kepada suaminya itu. "Begitu rupanya. Aku bersyukur punya Mama dan Papa yang care dan sayang sama aku, Kak
Riana menganggukkan kepalanya dan menerbitkan senyum kepadanya. "Semangat."Tak lama kemudian, Satya pun datang menghampiri istrinya itu. Ia lalu menyapa Deasy yang tengah duduk di samping istrinya."Kenalin, ini suami saya. Namanya Satya.""Deasy." Perempuan itu memperkenalkan dirinya kepada Satya."Satya." Ia hanya tersenyum kepada perempuan itu tanpa menjabat tangannya."Suami saya pernah memiliki penyakit aneh. Dia tidak berani menyentuh perempuan mana pun kecuali mamanya. Dan sampai sekarang, dia masih belum berani menyentuh perempuan lain selain saya dan mamanya."Riana menjelaskan kepada Deasy tentang Satya yang menolak jabatan tangannya.Deasy akhirnya paham kemudian mengulas senyumnya. "Memang ada, penyakit seperti itu dan sangat langka."Riana mengangguk. "Iya. Dan suami saya merupakan salah satunya yang mengalami penyakit itu."Deasy mengangguk. Ia kemudian pamit kepada Riana sebentar untuk mengambil ponselnya
Satya menarik tangan Riana dan memeluknya lagi. Angin yang bertiup cukup kencang dengan terik matahari yang menyinari bumi, keduanya berpijak di sana menikmati keindahan alam.Malam harinya, Riana dan Satya memilih untuk dinner di sebuah restoran yang ada di dalam hotel miliknya.Baru pertama kali buka, pengunjung hotel sudah sebanyak hampir tiga puluh persen. Banyak yang menyukai desain dan interiornya. Juga pelayanan yang ramah, seperti hotel di Jakarta."Kak. Aku baru tahu kalau kamu punya banyak teman ternyata. Aku pikir kamu ini introvert," ucap Riana sembari melahap makanan miliknya.Satya terkekeh pelan. "Bisa-bisanya kamu mikir kalau aku seorang introvert. Aku menutup diri hanya sejak mengalami penyakit itu saja. Sebenarnya aku tidak seperti itu."Riana manggut-manggut dengan pelan kemudian menerbitkan senyumnya kepada suaminya itu."Sekarang udah berani buat terbuka lagi?"Satya mengendikan bahunya. "Aku sudah menikah, sudah
Riana mengulas senyum dan mengangguk kecil. "Sama-sama. Makin ke sini kamu makin menggila, Kak."Satya terkekeh pelan. "Malu, sama badan kekar tapi payah dalam melakukan itu."Riana mengerucutkan bibirnya mendengar ucapan suaminya itu. Ia kemudian beranjak dari tempat tidur dan masuk ke dalam kamar mandi untuk membersihkan diri terlebih dahulu sebelum tidur.Pun dengan Satya. Lelaki itu juga masuk ke dalam kamar mandi dan mengenakan celana boxer miliknya."Kamu yakin, hanya ingin satu bulan saja di sini? Memangnya cukup?" tanya Satya kepada Riana yang tengah membasuh wajahnya.Riana menoleh dan menatap suaminya itu. "Kenapa emang? Mau nambah hari?""Terserah kamu sih."Riana menghela napasnya. "Nggak deh, Kak. Di sini hanya cabang, kan? Kamu nggak harus nuruti semua yang aku inginkan, Kak. Karena kamu pun pasti punya keinginan."Satya kembali mengecup kening Riana. "I love you," ucapnya kemudian keluar dari kamar mandi tanpa be
Riana tampak begitu bahagia bahkan menganggukkan kepalanya sangat antusias. "Yeaayy! Liburan ke Bali.""Belum pernah, hm?" tanyanya sembari mengusapi sisian wajah Riana dengan lembut.Riana menggeleng pelan. "Belum. Karena nggak ada yang ngajakin."Satya manggut-manggut dengan pelan. "Mau satu bulan, di sana?""Woah! Lama juga. Boleh. Itu pun kalau kamu nggak keberatan.""No, Honey. Kapan, aku keberatan nurutin permintaan kamu? Gendong kamu aja nggak berat."Riana lantas mengerucutkan bibirnya mendengar ucapan dari suaminya itu. "Nggak gitu maksudnya, Kak Satya."Lelaki itu lantas tertawa dengan pelan. "Canda, Sayang. Kamu boleh tinggal di sana sepuas kamu. Karena aku juga masih harus cek kondisi hotel dan semua karyawan juga pemimpin di sana.""Sekalian kerja juga, yaa. Bukan beneran mau liburan sama bininya," ucapnya kemudian menyunggingkan bibirnya.Melihat itu, sontak membuat Satya mencium gemas pipi istrinya. "Nggak