Beberapa saat kemudian mereka tergelak melihat seorang wanita sok berani menantang mereka. Sementara ada pria yang berdiri di belakang, membiarkan seorang wanita melindunginya. “Apa priamu itu banci!” seloroh mereka. Membuat Bram mengepalkan tangannya. Tapi wanita yang di hadapannya itu sok melindunginya. Lihat saja, apa wanita sok jagoan ini bisa mengatasi preman itu? Selama preman-preman itu tidak menyentuh Ayesha, Hilbram akan biarkan saja Ayesha berubah menjadi wonder women. “Sha?” panggil Hilbram, tapi Ayesha tidak menghiraukannya dan malah mendorong dada Hilbram agar mundur. Hilbram hanya memutar bola matanya. Ayesha merasa tahu bagaimana menghadapi preman-preman itu. Dia akan berusaha mengambil hati mereka agar tidak menganggu. Dia sudah beberapa kali menghadapi gerombolan preman saat di pasar. Mereka biasanya hanya mau uang keamanan. Tapi--sama tidak ya, preman di pasar dan di kota besar ini? “Maaf Pak, ada apa ya?” “Kau tanya ada apa?” tanya pria gondrong itu te
Balik ke Kota Surajaya, ada rasa tersendiri di hati Ayesha. Di melihat sepanjang jalanan yang dilaluinya. Mengenang serpihan-serpihan kenangan yang terus akan menjadi sejarah di hidupnya.Beberapa bulan yang lalu, dia hanyalah guru miskin yang berlari-lari mengejar bus agar tidak terlambat sampai ke sekolah tempatnya mengajar. Sekarang dia ada di mobil yang menuju sekolah itu untuk menghadiri rapat pelantikan pejabat struktural yang baru.Bukan sebagai guru, tapi sebagai pemilik yayasan. Ayesha juga melewati sebuah jalan yang di sana terdapat gang di mana awal hidupnya dipertaruhkan di rumah bordil itu.Di sanalah Ayesha akhirnya memulai hidup barunya setelah takdir manis Tuhan mempertemukannya dengan pria luar biasa seperti Hilbram.Menoleh ke gang kecil di sana, Tempat itu sepertinya memang sudah ditutup.“Kita langsung ke sekolahan, Nyonya?” tanya Zain melirik Ayesha yang duduk di belakang.“Benar, Zain. Pak Arif menyampaikan kalau pertemuannya di gedung sekolahan.”Zain tidak
Ayesha menangis sesenggukan membaca surat dari sahabatnya itu. Kenangan-kenangan sulit yang dilaluinya membuatnya sadar, bahwa Hanin adalah teman yang selalu ada untuknya.Hanin juga manusia biasa yang bisa saja terpeleset dalam kekhilafan. Seharusnya Ayesha bisa memahami hal itu lebih cepat.Tapi sekarang sudah terlambat. Hanin sudah meninggalkannya. Bahkan kontak pun tidak dia berikan.“Nyonya, apa ada hal yang mengganggu?” Momo memperhatikan sang nyonya yang hanya memainkan makanan yang disuguhkannya.“Tidak, Momo!” jawab Ayesha lirih.“Apa tidak berselera pada menunya?”Ayesha menatap Momo yang cemas itu. Ini bukan tentang makanannya, tapi tentang perasaan hatinya yang sedih. Dia sepertinya butuh menyendiri tanpa diganggu.“Masakanmu enak, Momo. Aku hanya sedang memikirkan sesuatu sehingga kurang napsu makan,” ucap Ayesha lalu bangkit berlalu.Dia jadi ingin pulang ke rumahnya sendiri. Mengunjungi makam orang tuanya dan tidur barang semalam di sana. Sekalian mengenang kebersamaa
Ponsel berdering, tapi Ayesha tampak lelah sekali. Dia ingin beristirahat karena besok pagi-pagi harus segera balik ke Kota Pusat. Suaminya juga akan balik dari New York.Ayesha ingin lebih dulu sampai di rumah agar bisa menyambut suaminya pulang.Ketika paginya dia memeriksa panggilan dan pesan, Dia baru tahu bahwa Hilbramlah yang semalam terus menelponnya.Barulah dia membalas pesan.[Maaf, Mas, semalam tidak balas pesan. Ini baru akan berangkat pesawatnya] tulisnya dan mengirimnya pada Hilbram.Zain yang mendampingi Ayesha menyampaikan, “Tuan sudah datang sejak semalam di Kota Pusat, Nyonya.”“Oh, benarkah? Bukankah dia bilang hari ini baru pulang?” Ayesha masih ingat apa yang dikatakan suaminya itu saat akan pergi ke New York seminggu yang lalu.“Mungkin beliau sudah menyelesaikan pekerjaannya dan bergegas pulang.”Ayesha tidak menyahut. Dia berharap agar lekas sampai dan menemui suaminya itu. Ada sedikit rasa bersalah karena harus menunda pulang. Hilbram pria yang sibuk, setelah
Deg!Darimana Agnes tahu tentang itu?Wajah Ayesha seketika pucat, dan Hamida menangkap hal itu.“Apa ucapanku benar?” Hamida menatap lekat Ayesha penuh selidik.“Maaf, Tante. Saya lelah sekali. Bisakah tante membiarkam saya beristirahat dulu.”Ayesha segera melangkah melewati Hamida dan masuk ke dalam kamarnya. Buru-buru dia menutup pintu kamar lalu tampak shock hingga bersandar di dinding pintu itu.“Ya Allah, bagaimana juga Hamida mengetahui hal itu?” gumamnya sambil menduga-duga.Ayesha memutuskan untuk menenangkan diri dulu. Jangan sampai terjebak dan harus mengakui semua itu. Hamida pasti akan selalu mencari kesalahannya dan menjadikannya masalah. Apalagi saat ini dia sangat tidak menyukai keputusan tentang pembagian hak waris itu.Dalam istirahatnya, Ayesha tetap juga penasaran bagaimana Hamida mengetahuinya. Dia takut Hamida juga akan mengetahui tentang kenyataan bahwa
Ren tidak suka wanita yang tidak dikenalnya itu ikutan menyindirnya. Dia juga heran bagaimana Ayesha tahu tentang kasusnya?Melihat Ayesha sekali lagi, Ren teringat. Bukankah wanita ini ada di tempat kejadian waktu itu dan malah bersedia menjadi saksi saat petugas bertanya?“Kau—kau?” Ren mencoba memperjelas ingatannya.“Bicara yang jelas, Ren?” Agnes ingin Ren bersikap tegas dan memarahi Ayesha karena sudah merendahkannya.“Kau yang ada di tempat itu?”“Benar! Dan aku kasihan pada wanita yang kau siksa itu. Karenanya, apa salah aku hanya ingin mengunjunginya sekedar memberinya dukungan?” Ayesha mencoba mengubah kecurigaan mereka dengan alasan itu.Dengan pernyataan itu, Ayesha akan membuat mereka berfikir bahwa dia dan Lily tidak ada hubungan selain sekedar rasa kemanusiaan.“Lagi pula, kenapa memangnya kalau aku punya hubungan dengan wanita itu? Kau juga p
Karena takut istrinya lelah, Hilbram meminta Rahman memesankan kamar hotel untuk Ayesha.Ada sedikit pembahasan yang begitu membuat lelah. Kontrak kerjasama yang sebenarnya tidak begitu menguntungkan perusahaan namun harus tetap diambil karena kebijakan pemerintah. Sementara beberapa hal yang tidak diinginkan kedua belah pihak menjadi perbincangan yang panjang.Hilbram akhirnya lega bisa mengakhiri pembicaraan malam itu dengan keputusan yang diambilnya.Dia mengambil sedikit waktu berbincang santai sebentar dengan Rahman dan direkturnya yang ikut serta rapat—karena tidak ingin suasana tegang saat perbincangan tadi, membuatnya menemui Ayesha dengan wajah dipenuhi emosi.“Nyonya sudah ada di president suit, Tuan!” Rahman menyampaikan ketika mengetahui Hilbram sudah berjingkat dari kursinya.“Terima kasih, Rahman!”Hilbram bangkit dan berjalan meninggalkan obrolan mereka, Setyo—direktur itu masih berbincang d
David memperhatikan surat perjanjian itu lagi dan baru mengetahui bahwa keponakannya itu ternyata hanya terlibat pernikahan kontrak saja. Padahal dia mengira selama ini pria kaya raya itu sangat mencintai keponakannya. Dia berpikir harus melakukan apa dengan hal ini. Biasanya otaknya langsung bisa memikirkan cara agar bisa memanfaatkan keadaan. “Tidak kasihan kamu sama keponakanmu itu?” ujar Rachel yang baru keluar dari kamar mandi, mengusap rambut basahnya dengan handuk. Aroma segar sampo masih menguar dari rambutnya. Mereka memang selalu seperti itu. Sekarang bertengkar, malamnya tidur bareng lagi, paginya terlihat sumringah, sorenya bisa cekcok kembali. Dan begitulah seterusnya. “Tahu tidak, ayahnya dulu yang menghabiskan ladang dan ternak bapakku untuk pendidikannya. Sementara untukku--apa ada sepeserpun uang yang diwariskan?” David kesal dengan almarhum ayah Ayesha yang menjadi anak kebanggaan orang tuanya, sementara dirinya disia-siakan. “Sekarang, anaknya itu harus peng