Airy duduk termenung di depan meja rias dengan gelisah. Ia meremas-remas jarinya untuk meredakan kecemasan. Setelah dua hari dilakukannya operasi transplantasi, ini adalah hari dimana ia akan melepas masa lajangnya.
"Sudah dua jam lebih. Apa dia sungguh-sungguh tidak datang?" gumam Airy ketika melihat jam yang tergantung di dinding.
Mendesah pelan, Airy beringsut dari duduknya, dan keluar dari kamar tempat ia dirias oleh MUA. Setelah berjalan melewati tangga, Airy menyibak tirai jendela, dan mengintip ke luar. Di sana para tamu undangan menunggu digelarnya acara.
"Aku menduga pernikahan tidak akan terjadi," gumam Airy.
Jika seandainya benar pernikahan batal, Airy tidak menanggung malu karena tidak ada satupun yang tahu bahwa Airy menikah hari ini. Bahkan, ibu dan kakaknya juga tidak tahu. Jika ada yang harus menanggung malu, Gunawan yang merasakan itu. Sebab pria itulah yang mengadakan pesta pernikahan ini.
Airy tak sengaja menatap keberadaan Gunawan. Pria paruh baya berkacamata itu, yang sedang bersandar di dinding, dengan kaki menyilang sambil memainkan ponsel. Airy heran dengan Gunawan yang terlihat santai tanpa ada kecemasan sedikitpun di wajah yang telah keriput karena usia itu. Gunawan sedikitpun tak khawatir dengan acara yang tak tahu pasti akan dimulai.
"Pak Gunawan!" panggil Airy.
Gunawan yang masih tetap sibuk dengan ponselnya menjawab, "ada apa?"
"Apakah pernikahan ini, akan dibatalkan?" tanya Airy.
Gunawan mengerutkan kening. "Kenapa kamu bertanya seperti itu?"
"Mohon maaf." Airy menangkup kan kedua telapak tangannya. "bukannya apa-apa. Tapi ini sudah lebih dari 2 jam, penghulu, dan tamu undangan menunggu. Tapi calon suami saya tidak kunjung datang."
"Pernikahan akan tetap terlaksana meskipun terlambat. Bahkan jika itu harus terjadi sampai nanti malam, cucu saya akan datang," jawab Gunawan dengan tegas.
Airy menghela napas dan memejamkan mata. "Apa yang terjadi? Pasti dia tidak menyetujui dengan pernikahan ini, maka dia kabur 'kan?"
"Kamu tenang saja, Airy. Jangan khawatir. Saya sudah mengatur semuanya. Bagaimana pun keadaannya, pernikahanmu pasti terlaksana," ujar Gunawan mencoba menenangkan.
"Tapi ..." Airy menggantung ucapannya.
"Percayalah kepada saya. Calon suami kamu, sebentar lagi akan sampai."
Setelah beberapa lama menunggu, Gunawan menampilkan senyuman sumringah. Airy yang menatapnya menjadi heran dengan sikap pria paruh baya itu. Gunawan mendekati Airy yang tengah duduk di samping jendela kaca.
"Calon suamimu sudah datang," beritahu Gunawan.
Airy menghembuskan napas lega. Setelah sekian lama menunggu ketidakpastian yang membuat hati cemas, akhirnya Airy tak jadi mengkhawatirkan kemungkinan terburuk. Calon suami Airy telah datang. Itu artinya, mereka siap untuk melakukan pernikahan.
"Kamu boleh melihat calon suami. Dia ada di kamar sebelah," kata Gunawan.
Airy bangkit dari duduknya dan berjalan menuju kamar yang ditempati oleh calon suaminya. Ia berjalan mengekor dibelakang Gunawan. Ketika hampir sampai, Airy mendengar suara seorang pria sedang mengamuk.
"Kenapa kamu membawa saya ke tempat ini?" teriaknya.
"Apa itu dia?" gumam Airy.
"Sudah bangun kamu, Ferdinand?" tegur Gunawan yang masuk dan melihat cucu laki-lakinya.
"Kakek benar-benar sialan! Apakah kakek berniat untuk menghancurkan hidupku, menikah dengan gadis yang sama sekali tidak aku kenal?" amuk pria yang dipanggil Ferdinand itu.
Airy mengintip dari luar untuk melihat wajah pria yang ia duga akan menjadi suaminya. Pria itu sedang duduk di kursi menggunakan pakaian kasual dan belum ada tanda-tanda akan segera melaksanakan pernikahan yang akan digelar hari ini. Airy dapat melihat wajah menggelap yang terpancar dari pria itu.
Gunawan tersenyum remeh. "Sudah Kakek katakan padamu, Ferdinand. Jangan coba-coba kabur."
"Jadi nama pria itu Ferdinand?" gumam Airy.
"Apa sebenarnya yang gadis itu berikan kepada kakek, hingga kakek ingin menikahkanku dengannya?" tanya Ferdinand dengan tajam.
"Tidak usah banyak bicara. Segeralah menikah!"
"Aku tidak mau," tolak Ferdinand.
Airy menghela napas berat. Ia sudah membayangkan jika calon suaminya tak bisa menerima dirinya sebagai calon pendamping yang telah dipilih oleh Gunawan untuk Ferdinand. Tak tahu bagaimana nanti jika Airy menjalani kehidupan rumah tangga bersama pria itu.
"Kenapa kakek selalu bersikap seenaknya sendiri mengatur kehidupanku?" murka Ferdinand dengan penuh amarah.
"Mungkin, saat ini kamu merasa bahagia karena hidup dengan dirimu sendiri. Dan mata hatimu, tertutup oleh trauma yang kamu miliki. Ketika nanti kamu menjalani pernikahanmu, kamu akan tahu apa itu artinya cinta dan ketulusan," jelas Gunawan.
"Aku tidak peduli dengan apa yang kakek katakan. Aku tidak akan menikah!" bentak Ferdinand
Namun, Gunawan tetap tenang dan tersenyum, "Kamu mungkin tidak mengerti sekarang. Tetapi, cinta itu tidak selalu datang dengan cara yang kita inginkan, Ferdinand."
Ferdinand beranjak dari hadapan Gunawan, dan hampir saja menabrak tubuh Airy jika Airy tidak segera menghindar. Karena pintu belakang yang akan dilewati olehnya telah dihadang oleh anak buah Gunawan, Ferdinand memutuskan untuk keluar melewati pintu depan. Namun, Ferdinand terpaku ketika para tamu undangan menatap dirinya.
"Kamu lihat di luar itu," ucap Gunawan, "banyak tamu undangan yang datang, dan mereka semua menunggu. Karena kamu yang tidak kunjung datang dari dua jam yang lalu, semua orang sudah berbisik-bisik negatif tentang kamu."
Ferdinand membalikkan tubuh menatap Gunawan. "Ini semua bukan salahku. Kakek yang terlalu memaksa."
"Dan hasil paksaan Kakekmu ini semua, sudah terlanjur terjadi. Apakah kamu ingin membuat malu kakekmu ini? Kamu ingin melihat kakek cepat mati karena menahan malu akibat perbuatanmu," hardik Gunawan.
Ferdinand mengetatkan rahangnya dan memejamkan mata menahan kesal. Pria itu mengepalkan tangan di kedua sisi tubuhnya dengan erat. Niatnya untuk kabur bahkan sia-sia. Ferdinand putus asa, dan tidak punya pilihan lain sekarang.
"Baiklah. Aku akan menikah. Apakah Kakek puas?" geram Ferdinand.
Gunawan tersenyum penuh kemenangan. "Itu baru cucuku."
Setelah drama panjang yang cukup melelahkan, akhirnya pernikahan Ferdinand dan Airy resmi dilaksanakan. Setelah Ferdinand mengucapkan ijab qobul, pemasangan cincin kawin dilakukan. Tetapi Ferdinand enggan memakaikan cincin kepada wanita yang telah resmi menjadi istrinya. Sehingga Airy berinisiatif memasang cincin kawin di tangannya sendiri, dan tangan Ferdinand.
"Selamat atas pernikahan kalian. Semoga kalian bahagia," ucap Gunawan memberikan selamat.
"Terima kasih," ucap Airy tersenyum tipis. Sedangkan Ferdinand hanya mendengus menatap tajam Airy.
Ferdinand masih terlihat tegang menahan amarah, dan jauh dari ekspresi bahagia. Dalam pandangan Airy, Ferdinand sulit menerima kenyataan bahwa ia harus menikah dengan seseorang yang kemungkinan akan hidup bersama pria itu selamanya.
Sementara itu, Gunawan duduk di kursi depan, menatap kedua cucunya dengan senyum puas. Baginya, pernikahan ini adalah bagian dari rencana besar yang telah ia susun dengan cermat. Meskipun Ferdinand masih merasa terpaksa, Gunawan yakin bahwa waktu akan memperbaiki segalanya.
Di sisi lain, Airy mencoba untuk menerima segala keadaan dengan lapang dada. Meskipun awalnya terjadi dengan drama yang rumit, ia berharap bahwa cinta dan pengertian akan tumbuh di antara mereka seiring berjalannya waktu.
Ferdinand melemparkan tatapan tajam kepada wanita yang kini telah resmi menjadi istrinya. Tubuh Airy sedikit kaku mendapat tatapan yang menghunus jantungnya.
"Apa yang sebenarnya yang kamu janjikan kepada kakekku, sehingga kakekku memaksaku untuk menikahi kamu?"
"Apa yang sebenarnya yang kamu janjikan kepada kakekku, sehingga kakekku memaksaku untuk menikahi kamu?" Airy terkejut dengan pertanyaan yang keluar dari mulut suaminya. Jujur, ia merasa terhina karena Ferdinand menganggapnya serendah itu. Bukan hanya pria itu yang merasa tertekan dengan pernikahan paksa ini. Tapi Airy juga.Airy menatap netra Ferdinand dengan gugup, namun ia mencoba bersikap tenang. Mengabaikan rasa sakitnya, ia berdehem sejenak sebelum menjawab. "Tidak ada."Ferdinand tersenyum menyeringai. Airy sedikit takut melihat seringai yang ditunjukkan oleh Ferdinand. Ia tahu bahwa, pria itu tidak akan mungkin percaya dengan apa yang ia ucapkan. Peristiwa sebelum terjadinya akad nikah, Airy mendengar dan melihat sikap Ferdinand saat akan menikah dengan wanita asing, yaitu dirinya. Ferdinand dengan lantang mengatakan kepada sang kakek, tidak ingin menikah dengan wanita manapun. Tidak ingin menikah sampai kapanpun. Airy penasaran, apa yang membuat pria itu membenci sebuah ik
"Siapa dia, Mas?" tanya Airy dengan tatapan menelisik."Dia ---" Ferdinand ingin menjawab, namun wanita itu melemparkan pertanyaan kepada Airy."Kamu siapa? Kamu membawakan makanan untuk Ferdinand?" tanya wanita itu dengan tatapan sinis.Airy tersenyum. "Memang apa salahnya, kalau aku membawakan makan siang untuk suamiku?"Wanita itu melebarkan matanya mendengar penuturan Airy. "Su-suami?!"Ferdinand meraup kasar wajahnya. Setelahnya, terdengar hembusan napas kasar terdengar dari sela-sela bibirnya. Ia kemudian melirik secara bergantian ke arah Airy dan wanita yang berada satu ruangan dengannya. "Oh. Jadi kamu istrinya?" tanya wanita itu kemudian menampilkan sebuah senyuman.Airy mengangguk. "Iya benar. Saya istrinya Mas Ferdinand."Wanita itu kemudian menjauh dari Ferdinand, dan berjalan mendekati Airy. Ia mengulurkan tangannya kepada Airy. Airy pun menyambut uluran tangan wanita itu."Perkenalkan! Saya Nadine. Sahabat Ferdinand sedari kami masih anak-anak," terang Nadine.Airy mena
Bibir Airy terasa kelu. Bukan ia takut berhadapan dengan Ferdinand. Tapi ia mengingat ucapan Gunawan yang mengingatkannya agar menutup rahasia yang menyebabkan pernikahan antara dirinya dengan Ferdinand harus terjadi. Bahkan dalam waktu yang sangat singkat dan dipaksakan. Melihat Airy yang membisu, membuat Ferdinand menatap remeh istrinya. "Tidak bisa jawab bukan? Itu artinya, kamu memang berniat untuk menguasai seluruh hartaku." "Satu hal yang perlu kamu tahu Airy! Aku telah berkomitmen terhadap diriku sendiri tidak ingin jatuh cinta terhadap siapapun. Bahkan kepadamu istriku sendiri. Jadi, jangan berharap pernikahan kita akan langgeng seperti kebanyakan yang orang lain jalani. Dan ingat! Kamu hanya membutuhkan waktu 2 tahun menjadi istriku. Berikan anakku, dan setelah itu pergilah!" "Jika pernikahan hanya untuk memberikan anak, lalu aku pergi setelah memberikan anakku kepadamu, aku tidak mau. Kita lihat saja nanti. Bagaimana kamu dapat mempertahankan benteng yang kokoh di hatimu?
"Aku dengar, kamu sudah menikah?" tanya Wina pada Airy. Airy mengangguk. "Iya. Aku menikah saat Kakak operasi. Maaf karena kalian tidak aku undang di pesta pernikahanku." Setelah satu Minggu Airy menikah, ia kemudian memberitahu kepada Ratih bahwa dirinya telah menikah. Ratih terkejut bukan main, dan mengomel tak karuan karena Airy tak memberitahu mereka sebagai keluarga. Dan kini, atas permintaan dari Ratih, Airy datang melihat keadaan sang kakaknya yang sedang dalam pemulihan pasca operasi. "Nggak apa-apa. Aku senang. Selamat atas pernikahanmu," sahut Wina. "Terima kasih, Kak." Airy tersenyum. Airy membuka Tote bag berisi makanan yang ia bawa dari rumah. Wanita itu menyiapkan meja makan portabel agar memudahkan kakaknya makan. Wina segera memegang sendok dan bersiap untuk menyantap makanan yang dibawakan oleh Airy. "Kamu menikah dengan pria yang kaya raya. Kamu pasti bahagia sekarang," ujar Wina dengan nada datar. Airy tersenyum kecut mendengar ucapan sang kakak. Meskipun bib
"Aku rasanya nggak rela melihat Airy sekarang hidup makmur. Harusnya kan, aku yang berada di posisi itu," keluh Wina mengadu kepada ibunya. Ratih mendesah. "Ya ... mau bagaimana lagi? Coba kalau kamu ada di posisi itu. Ya pasti kamu tidak akan cemburu seperti ini." Wina menatap foto pernikahan Ferdinand dan Airy yang tersebar di media. Dari berita yang tercantum, Wina mengetahui bahwa suami adiknya, adalah pengusaha kaya raya, dan pewaris satu-satunya keluarga Arlyansyah. Ada rasa cemburu yang begitu besar mendera hati Wina. Ia sangat tak suka melihat adiknya menjadi istri pria itu. "Sebenarnya sejak kapan mereka ketemu? Dan akhirnya menikah?" Wina melirik ibunya. Ratih mengangkat kedua bahunya. "Ibu juga kurang tahu. "Tapi Airy bilang, kalau kakek nya Ferdinand yang menjodohkan keduanya. Pak Gunawan suka sama Airy, dan Pak Gunawan itu, adalah bosnya Airy," beritahu Ratih. Wina tersenyum sinis. "Jadi begitu. Seandainya saj
"Kamu sudah memiliki istri sekarang. Jangan pernah kamu biarkan, ada kesempatan untuk orang ketiga masuk ke dalam rumah tangga kalian," ucap Gunawan memperingatkan Ferdinand. Ferdinand berdecak. "Lagi pula, aku juga tidak tertarik dengan wanita. Apalagi selingkuhan. Nadine itu sahabat ku. Tidak mungkin kamu melakukan hal lebih dari sahabat." "Ck! Kamu ini kalau diberitahu, ya," gerutu Gunawan. Gunawan mengajak cucunya untuk masuk ke ruang kerjanya, setelah kedatangan Nadine yang tiba-tiba. Gunawan beralasan sudah kenyang dengan makan malam yang disantap mereka. Lalu, Gunawan menyuruh Airy untuk berbincang sejenak dengan Nadine. Jujur saja, kedatangan Nadine ditengah makan malam bersama dengan kedua cucunya, membuat Gunawan tak nyaman. Pria yang telah berkepala enam namun masih gagah itu, tak pernah suka dengan sosok Nadine. Apalagi menurutnya, Nadine terlihat ingin mencari muka di hadapannya . "Kakek tadi bilang ingin membahas hal pe
"Kamu bawa dia ke gudang belakang!" perintah Ferdinand kepada Dicky."Baik, Pak Ferdinand." Dicky lalu menarik pria peneror yang datang melepaskan tembakan ke rumah Gunawan. Pria itu ditangkap oleh Ferdinand beberapa menit yang lalu. Setelah baku tembak yang terjadi selama beberapa saat, Ferdinand berhasil melumpuhkan pria yang belum diketahui identitasnya itu."Ferdinand!" Nadine datang dan berlari dari arah belakang, dan menghambur ke pelukan Ferdinand."Tolong aku! Aku takut ..." Nadine gemetar ketakutan setelah berada di pelukan Ferdinand."Kamu baik-baik saja? Apa yang terjadi?" tanya Ferdinand khawatir."Salah satu dari mereka menyekap ku, dan menodongkan pistol ke kepalaku. Aku takut," lirih Nadine.Tangan Ferdinand, perlahan terangkat memeluk Nadine. Pria itu mencoba memberikan ketenangan pada hati sahabatnya. Ketika Nadine tak sengaja melihat airy keluar dari rumah, dengan menuntun Gunawan karena luka di kakinya mengurungkan niatnya melepaskan pelukan Ferdinand."Apakah ada
"Kakakmu mengalami kerusakan yang sudah sangat parah pada ginjalnya," beritahu Dokter Juan.Napas Airy terasa tercekat mendengar penjelasan dari dokter Juan. "Bukannya Kak Wina, rutin cuci darah ya, setiap tiga kali seminggu?""Kakakmu sudah lebih dari 3 bulan tidak melakukan cuci darah rutin seperti sebelumnya," sangkal Dokter Juan."Apa?!" Airy membelalakkan matanya tak percaya."Jika kamu tidak percaya ..." Dokter Juan mengambil buku catatan dan ditunjukkan kepada Airy. "Ini saya ada data-datanya. Kapan jadwal terakhir kakakmu melakukan cuci darah, saya catat di sini."Mata Airy memanas ketika melihat catatan tersebut. Jadwal cuci darah kakaknya, tidak lagi ada setelah tiga bulan terakhir. Kenapa kakak Airy tidak lagi melanjutkan jadwal cuci darah? Ini membuat Airy bingung."Kalau sudah seperti ini, tindakan apa yang dilakukan, Dokter?" tanya Airy."Satu-satunya jalan untuk menyembuhkan kakakmu kembali, adalah melakukan transplantasi ginjal.""Transplantasi ginjal?"Dokter Juan men
"Kamu bawa dia ke gudang belakang!" perintah Ferdinand kepada Dicky."Baik, Pak Ferdinand." Dicky lalu menarik pria peneror yang datang melepaskan tembakan ke rumah Gunawan. Pria itu ditangkap oleh Ferdinand beberapa menit yang lalu. Setelah baku tembak yang terjadi selama beberapa saat, Ferdinand berhasil melumpuhkan pria yang belum diketahui identitasnya itu."Ferdinand!" Nadine datang dan berlari dari arah belakang, dan menghambur ke pelukan Ferdinand."Tolong aku! Aku takut ..." Nadine gemetar ketakutan setelah berada di pelukan Ferdinand."Kamu baik-baik saja? Apa yang terjadi?" tanya Ferdinand khawatir."Salah satu dari mereka menyekap ku, dan menodongkan pistol ke kepalaku. Aku takut," lirih Nadine.Tangan Ferdinand, perlahan terangkat memeluk Nadine. Pria itu mencoba memberikan ketenangan pada hati sahabatnya. Ketika Nadine tak sengaja melihat airy keluar dari rumah, dengan menuntun Gunawan karena luka di kakinya mengurungkan niatnya melepaskan pelukan Ferdinand."Apakah ada
"Kamu sudah memiliki istri sekarang. Jangan pernah kamu biarkan, ada kesempatan untuk orang ketiga masuk ke dalam rumah tangga kalian," ucap Gunawan memperingatkan Ferdinand. Ferdinand berdecak. "Lagi pula, aku juga tidak tertarik dengan wanita. Apalagi selingkuhan. Nadine itu sahabat ku. Tidak mungkin kamu melakukan hal lebih dari sahabat." "Ck! Kamu ini kalau diberitahu, ya," gerutu Gunawan. Gunawan mengajak cucunya untuk masuk ke ruang kerjanya, setelah kedatangan Nadine yang tiba-tiba. Gunawan beralasan sudah kenyang dengan makan malam yang disantap mereka. Lalu, Gunawan menyuruh Airy untuk berbincang sejenak dengan Nadine. Jujur saja, kedatangan Nadine ditengah makan malam bersama dengan kedua cucunya, membuat Gunawan tak nyaman. Pria yang telah berkepala enam namun masih gagah itu, tak pernah suka dengan sosok Nadine. Apalagi menurutnya, Nadine terlihat ingin mencari muka di hadapannya . "Kakek tadi bilang ingin membahas hal pe
"Aku rasanya nggak rela melihat Airy sekarang hidup makmur. Harusnya kan, aku yang berada di posisi itu," keluh Wina mengadu kepada ibunya. Ratih mendesah. "Ya ... mau bagaimana lagi? Coba kalau kamu ada di posisi itu. Ya pasti kamu tidak akan cemburu seperti ini." Wina menatap foto pernikahan Ferdinand dan Airy yang tersebar di media. Dari berita yang tercantum, Wina mengetahui bahwa suami adiknya, adalah pengusaha kaya raya, dan pewaris satu-satunya keluarga Arlyansyah. Ada rasa cemburu yang begitu besar mendera hati Wina. Ia sangat tak suka melihat adiknya menjadi istri pria itu. "Sebenarnya sejak kapan mereka ketemu? Dan akhirnya menikah?" Wina melirik ibunya. Ratih mengangkat kedua bahunya. "Ibu juga kurang tahu. "Tapi Airy bilang, kalau kakek nya Ferdinand yang menjodohkan keduanya. Pak Gunawan suka sama Airy, dan Pak Gunawan itu, adalah bosnya Airy," beritahu Ratih. Wina tersenyum sinis. "Jadi begitu. Seandainya saj
"Aku dengar, kamu sudah menikah?" tanya Wina pada Airy. Airy mengangguk. "Iya. Aku menikah saat Kakak operasi. Maaf karena kalian tidak aku undang di pesta pernikahanku." Setelah satu Minggu Airy menikah, ia kemudian memberitahu kepada Ratih bahwa dirinya telah menikah. Ratih terkejut bukan main, dan mengomel tak karuan karena Airy tak memberitahu mereka sebagai keluarga. Dan kini, atas permintaan dari Ratih, Airy datang melihat keadaan sang kakaknya yang sedang dalam pemulihan pasca operasi. "Nggak apa-apa. Aku senang. Selamat atas pernikahanmu," sahut Wina. "Terima kasih, Kak." Airy tersenyum. Airy membuka Tote bag berisi makanan yang ia bawa dari rumah. Wanita itu menyiapkan meja makan portabel agar memudahkan kakaknya makan. Wina segera memegang sendok dan bersiap untuk menyantap makanan yang dibawakan oleh Airy. "Kamu menikah dengan pria yang kaya raya. Kamu pasti bahagia sekarang," ujar Wina dengan nada datar. Airy tersenyum kecut mendengar ucapan sang kakak. Meskipun bib
Bibir Airy terasa kelu. Bukan ia takut berhadapan dengan Ferdinand. Tapi ia mengingat ucapan Gunawan yang mengingatkannya agar menutup rahasia yang menyebabkan pernikahan antara dirinya dengan Ferdinand harus terjadi. Bahkan dalam waktu yang sangat singkat dan dipaksakan. Melihat Airy yang membisu, membuat Ferdinand menatap remeh istrinya. "Tidak bisa jawab bukan? Itu artinya, kamu memang berniat untuk menguasai seluruh hartaku." "Satu hal yang perlu kamu tahu Airy! Aku telah berkomitmen terhadap diriku sendiri tidak ingin jatuh cinta terhadap siapapun. Bahkan kepadamu istriku sendiri. Jadi, jangan berharap pernikahan kita akan langgeng seperti kebanyakan yang orang lain jalani. Dan ingat! Kamu hanya membutuhkan waktu 2 tahun menjadi istriku. Berikan anakku, dan setelah itu pergilah!" "Jika pernikahan hanya untuk memberikan anak, lalu aku pergi setelah memberikan anakku kepadamu, aku tidak mau. Kita lihat saja nanti. Bagaimana kamu dapat mempertahankan benteng yang kokoh di hatimu?
"Siapa dia, Mas?" tanya Airy dengan tatapan menelisik."Dia ---" Ferdinand ingin menjawab, namun wanita itu melemparkan pertanyaan kepada Airy."Kamu siapa? Kamu membawakan makanan untuk Ferdinand?" tanya wanita itu dengan tatapan sinis.Airy tersenyum. "Memang apa salahnya, kalau aku membawakan makan siang untuk suamiku?"Wanita itu melebarkan matanya mendengar penuturan Airy. "Su-suami?!"Ferdinand meraup kasar wajahnya. Setelahnya, terdengar hembusan napas kasar terdengar dari sela-sela bibirnya. Ia kemudian melirik secara bergantian ke arah Airy dan wanita yang berada satu ruangan dengannya. "Oh. Jadi kamu istrinya?" tanya wanita itu kemudian menampilkan sebuah senyuman.Airy mengangguk. "Iya benar. Saya istrinya Mas Ferdinand."Wanita itu kemudian menjauh dari Ferdinand, dan berjalan mendekati Airy. Ia mengulurkan tangannya kepada Airy. Airy pun menyambut uluran tangan wanita itu."Perkenalkan! Saya Nadine. Sahabat Ferdinand sedari kami masih anak-anak," terang Nadine.Airy mena
"Apa yang sebenarnya yang kamu janjikan kepada kakekku, sehingga kakekku memaksaku untuk menikahi kamu?" Airy terkejut dengan pertanyaan yang keluar dari mulut suaminya. Jujur, ia merasa terhina karena Ferdinand menganggapnya serendah itu. Bukan hanya pria itu yang merasa tertekan dengan pernikahan paksa ini. Tapi Airy juga.Airy menatap netra Ferdinand dengan gugup, namun ia mencoba bersikap tenang. Mengabaikan rasa sakitnya, ia berdehem sejenak sebelum menjawab. "Tidak ada."Ferdinand tersenyum menyeringai. Airy sedikit takut melihat seringai yang ditunjukkan oleh Ferdinand. Ia tahu bahwa, pria itu tidak akan mungkin percaya dengan apa yang ia ucapkan. Peristiwa sebelum terjadinya akad nikah, Airy mendengar dan melihat sikap Ferdinand saat akan menikah dengan wanita asing, yaitu dirinya. Ferdinand dengan lantang mengatakan kepada sang kakek, tidak ingin menikah dengan wanita manapun. Tidak ingin menikah sampai kapanpun. Airy penasaran, apa yang membuat pria itu membenci sebuah ik
Airy duduk termenung di depan meja rias dengan gelisah. Ia meremas-remas jarinya untuk meredakan kecemasan. Setelah dua hari dilakukannya operasi transplantasi, ini adalah hari dimana ia akan melepas masa lajangnya. "Sudah dua jam lebih. Apa dia sungguh-sungguh tidak datang?" gumam Airy ketika melihat jam yang tergantung di dinding.Mendesah pelan, Airy beringsut dari duduknya, dan keluar dari kamar tempat ia dirias oleh MUA. Setelah berjalan melewati tangga, Airy menyibak tirai jendela, dan mengintip ke luar. Di sana para tamu undangan menunggu digelarnya acara. "Aku menduga pernikahan tidak akan terjadi," gumam Airy. Jika seandainya benar pernikahan batal, Airy tidak menanggung malu karena tidak ada satupun yang tahu bahwa Airy menikah hari ini. Bahkan, ibu dan kakaknya juga tidak tahu. Jika ada yang harus menanggung malu, Gunawan yang merasakan itu. Sebab pria itulah yang mengadakan pesta pernikahan ini. Airy tak sengaja menatap keberadaan Gunawan. Pria paruh baya berkacamata i
"Jadi, kamu ingin meminjam uang kepada saya?" tanya Gunawan---bos Airy."Maaf, Pak Gunawan, kalau saya sudah lancang. Tapi saya saat ini sedang membutuhkan bantuan dari Bapak. Dan saya harap, kiranya Bapak ingin bermurah hati untuk membantu saya," ucap Airy menundukkan kepalanya."Kalau boleh tahu, apa yang membuat kamu memiliki keberanian kepada saya?" tanya Gunawan."Emm ..." Airy menggigit bibirnya. "Kakak saya kondisinya kritis di rumah sakit. Dan dokter menyarankan harus dioperasi. Biaya operasi tersebut memakan biaya 750 juta.""Kakakmu sakit apa?" tanya Gunawan."Gagal ginjal, Pak. Saya mohon bantuannya, Pak. Saya tidak tahu lagi harus meminjam kepada siapa."Airy harap-harap cemas melihat Gunawan yang tetap diam tanpa jawaban. Ia memainkan kesepuluh jarinya dengan dada yang berdebar. Ia memberanikan diri untuk mengajukan pinjaman ke perusahaan setelah mengalami pikiran buntu. Jika seandainya Gunawan menolak memberikan bantuan, Airy tidak tahu harus kemana lagi."Bagaimana, Pak