"Kakakmu mengalami kerusakan yang sudah sangat parah pada ginjalnya," beritahu Dokter Juan.
Napas Airy terasa tercekat mendengar penjelasan dari dokter Juan. "Bukannya Kak Wina, rutin cuci darah ya, setiap tiga kali seminggu?"
"Kakakmu sudah lebih dari 3 bulan tidak melakukan cuci darah rutin seperti sebelumnya," sangkal Dokter Juan.
"Apa?!" Airy membelalakkan matanya tak percaya.
"Jika kamu tidak percaya ..." Dokter Juan mengambil buku catatan dan ditunjukkan kepada Airy. "Ini saya ada data-datanya. Kapan jadwal terakhir kakakmu melakukan cuci darah, saya catat di sini."
Mata Airy memanas ketika melihat catatan tersebut. Jadwal cuci darah kakaknya, tidak lagi ada setelah tiga bulan terakhir. Kenapa kakak Airy tidak lagi melanjutkan jadwal cuci darah? Ini membuat Airy bingung.
"Kalau sudah seperti ini, tindakan apa yang dilakukan, Dokter?" tanya Airy.
"Satu-satunya jalan untuk menyembuhkan kakakmu kembali, adalah melakukan transplantasi ginjal."
"Transplantasi ginjal?"
Dokter Juan mengangguk. "Iya benar. Tapi sebelumnya, kakakmu perlu seorang pendonor yang cocok. Mungkin ada dari pihak keluarga yang ginjalnya cocok dengan kakakmu?"
Airy menggeleng. "Saya kurang tahu."
"Nanti boleh dilakukan tes dari pihak keluarga."
Airy mengangguk. "Baik, Dokter."
Airy memutuskan untuk melakukan pengecekan terhadap dirinya. Mana tahu ia bisa menjadi pendonor untuk kakaknya. Dokter Juan menyetujui dan akan melakukan pemeriksaan terhadap Airy.
"Hasil dari tes ini, cocok, atau tidaknya, tunggu sampai besok. Saya harap bukan hanya kamu yang menjadi kandidat pendonor. Apa ada keluarga lainnya?"
"Ada ibu kami dokter. Kalau Ayah sudah meninggal 5 tahun yang lalu. Sebentar lagi Ibu akan datang," ujar Airy
"Setelah semua pengecekan selesai, dan mendapatkan pendonor yang cocok, harus segera dilakukan transplantasi demi keselamatan kakakmu. Tapi sebelumnya, kamu harus mengurus administrasinya," saran Dokter Juan.
Airy mengangguk. "Terima kasih, Dokter. Atas pemberitahuannya."
Setelah Airy selesai melakukan pemeriksaan untuk mengetahui ginjalnya cocok atau tidak dengan kakaknya, gadis itu melangkah keluar dari ruangan kerja dokter Juan. Ia mendatangi loket pembayaran untuk mengecek biaya operasi transplantasi. Mata Airy melebar ketika melihat nominal biaya yang harus dikeluarkan.
"750 juta?!" gumamnya.
Perihal sang kakak yang telah berhenti melakukan cuci darah selama tiga bulan sudah membuat hatinya gusar. Sekarang, ia harus dipusingkan dengan memutar otak agar mengumpulkan biaya operasi. Dan menurut kebijakan dari rumah sakit, operasi akan dilakukan jika biaya disetorkan.
"Airy!" Seorang wanita paruh baya memanggilnya.
Airy menoleh ke arah sumber suara. "Ibu?"
"Gimana kata dokter keadaan kakakmu?" tanya Ratih.
"Dokter bilang, kakak harus melakukan operasi transplantasi ginjal. Supaya bisa sehat kembali seperti sedia kala," beritahu Airy dengan wajah sendu.
"Biayanya berapa?"
"750 juta," lirih Airy.
Ratih syok mendengar nominal biaya yang disebutkan. "Sebanyak itu?"
Airy mengangguk kaku. "Kita juga nggak punya BPJS."
Ratih menghela napas gusar. "Yah ... mau bagaimana lagi. Kita harus cari dana supaya bisa operasi kakakmu."
"Tapi ..." Airy menggantung kalimatnya.
"Tapi apa?" Ratih mengerutkan kening.
"Boleh Ibu jawab jujur? Selama ini, aku kasih uang pesangonku ke ibu, untuk biaya Kakak cuci darah, dan itu bisa digunakan untuk 4 bulan. Kenapa Kakak tiba-tiba berhenti cuci darah? Kenapa, Bu?" cecar Airy.
Ratih gelagapan ditanya seperti itu oleh putri keduanya. Airy berpikir tidak mungkin kakaknya menyerah untuk sembuh. Dulu pernah Wina menyerah karena kekurangan biaya. Namun Airi berhasil membangkitkan semangat untuk Wina agar bisa sembuh.
"Se-sebenarnya ... uangnya, ibu pakai buat investasi."
Airy menaikkan kedua alisnya. "Investasi? Terus?"
"Ternyata, orang yang menawarkan investasi kepada Ibu, adalah seorang penipu. Dan ibu terlanjur memberikan seluruh hasil pesangonmu," jawab Ratih penuh sesal.
"Astaga! Ibu, kok bisa, sih?" Airy merasa syok mendengar pesangon yang ia berikan hilang lenyap karena investasi bodong.
"Ya ... terus mau bagaimana lagi? Sudah terlanjur."
Sebelum Airy bekerja di perusahaan yang sekarang, Airy di-PHK dari tempat kerja yang dahulu karena perusahaan mengalami pailit. Setiap karyawan yang di-PHK, mendapatkan pesangon yang sangat lumayan. Dan uang pesangon Airy, diberikan seluruhnya kepada Ratih agar kakaknya bisa melakukan cuci darah rutin selama 4 bulan. Tapi ternyata, uang itu malah lenyap karena kecerobohan Ratih.
"Bu! Ibu tuh harusnya pentingkan kesehatannya Kak Wina, Bu. Itu pesangonku, aku kasihkan semuanya ke ibu, buat biaya cuci darah kakak, supaya kakak bisa sembuh. Aku sendiri, bahkan nggak berani ngambil satu lembar pun loh. Kok malah ibu percaya sama mulut manis untuk melakukan investasi begitu?"
"Kenapa kamu jadi nyalahin ibu?" Ratih tidak terima dicerca Airy.
"Memangnya siapa yang disalahin? Kan ibu yang pakai uang itu!"
"Ya sudahlah." Ratih mengibaskan tangannya. "Terus sekarang, bagaimana dana pengobatan kakakmu itu?"
"Aku nggak punya uang, Bu. Aku juga belum gajian. Ibu bisa bantu kan?" Airy berharap sang ibu bisa meringankan beban pikirannya.
"Bantu apa memangnya? Ibu nggak punya uang juga. Ibu kan bisa punya uang, kalau kamu yang kasih. Nggak kamu kasih, ya Ibu nggak punya."
"Ibu punya perhiasan kan? Perhiasan itu Ibu jual, dan gunakan uangnya untuk biaya operasi Kakak. Kita bayar sebagian dulu biayanya. Nanti kita selanjutnya bisa menyicil."
"Apa?! Masa ibu suruh jual perhiasannya ibu? Enggak mau," tolak Ratih, "nanti kalau ibu arisan, teman-teman sosialitanya ibu itu bisa menghina Ibu. Masa Ibu gundulan nggak pakai perhiasan."
Airy berdecak kesal terhadap ibunya. Bisa-bisanya Ratih lebih sayang terhadap perhiasan ketimbang kesehatan anaknya sendiri. Airy tak habis pikir dengan sikap Ratih.
"Ibu kok bisa-bisanya malah lebih mikirin gimana nanti kalau ketemu teman sosialita nggak pakai perhiasan? Yang penting sekarang dijual aja dulu. Nanti, kalau aku udah gajian, Ibu aku belikan perhiasan lagi," saran Airy
"Nggak. Nggak boleh. Perhiasan Ibu nggak boleh dijual," tegas Ratih
"Bu!" rengek Airy.
"Lagian, kalau kamu jual semua perhiasan yang ibu punya, paling mentok kamu dapat duit nggak nyampe 300 juta. Sedangkan biaya operasi transplantasi ginjal kakakmu itu, 750 juta. Pokoknya Ibu nggak mau kasih perhiasan ibu supaya dijual buat biaya operasi kakakmu. Ibu nggak akan kasih."
"Ibu! Ibu pilih Kakak sehat, tapi perhiasan Ibu hilang di jual, atau pilih perhiasan ibu tetap utuh, tapi Kakak meninggal?" tanya Airy menahan kesal.
"Kamu ini ngasih pilihan apa sih? nggak usah aneh-aneh, deh."
"Ibu kok bisa kayak gitu sih, Bu? Kakak itu anak kandungnya Ibu, lho. Kenapa ibu bisa tega kayak gitu?" Protes Airy.
"Ya kamu sendirilah yang cari uangnya. Jangan nyuruh ibu buat jual perhiasan."
"Setidaknya, tolong bantu aku sekali ini aja, Bu," mohon Airy.
Ratih berdecak. "Ibu nggak mau. Kamu harus usaha sendiri sana!"
Ratih kemudian melenggang pergi meninggalkan Airy menuju ruang ICU tempat Wina beristirahat. Airy menatap nanar punggung ibunya. Ia menitikkan airmata sedih karena sang ibu tidak ingin membantu dirinya.
Ratih telah masuk ke dalam ruang ICU untuk menemui putri sulungnya. Sedangkan Airy, memilih berada di luar ruang ICU sambil memandang Wina yang terbaring lemah dengan mulut terpasang oksigen, melalui sebuah kaca pintu. Airy sangat menyayangi sang kakak. Ia tidak ingin kehilangan saudara yang ia miliki.
"Kak Wina! Aku akan berusaha melakukan apapun demi kesembuhan kakak," gumam Airy.
"Tapi, kemana aku harus mencari pinjaman ...?"
"Jadi, kamu ingin meminjam uang kepada saya?" tanya Gunawan---bos Airy."Maaf, Pak Gunawan, kalau saya sudah lancang. Tapi saya saat ini sedang membutuhkan bantuan dari Bapak. Dan saya harap, kiranya Bapak ingin bermurah hati untuk membantu saya," ucap Airy menundukkan kepalanya."Kalau boleh tahu, apa yang membuat kamu memiliki keberanian kepada saya?" tanya Gunawan."Emm ..." Airy menggigit bibirnya. "Kakak saya kondisinya kritis di rumah sakit. Dan dokter menyarankan harus dioperasi. Biaya operasi tersebut memakan biaya 750 juta.""Kakakmu sakit apa?" tanya Gunawan."Gagal ginjal, Pak. Saya mohon bantuannya, Pak. Saya tidak tahu lagi harus meminjam kepada siapa."Airy harap-harap cemas melihat Gunawan yang tetap diam tanpa jawaban. Ia memainkan kesepuluh jarinya dengan dada yang berdebar. Ia memberanikan diri untuk mengajukan pinjaman ke perusahaan setelah mengalami pikiran buntu. Jika seandainya Gunawan menolak memberikan bantuan, Airy tidak tahu harus kemana lagi."Bagaimana, Pak
Airy duduk termenung di depan meja rias dengan gelisah. Ia meremas-remas jarinya untuk meredakan kecemasan. Setelah dua hari dilakukannya operasi transplantasi, ini adalah hari dimana ia akan melepas masa lajangnya. "Sudah dua jam lebih. Apa dia sungguh-sungguh tidak datang?" gumam Airy ketika melihat jam yang tergantung di dinding.Mendesah pelan, Airy beringsut dari duduknya, dan keluar dari kamar tempat ia dirias oleh MUA. Setelah berjalan melewati tangga, Airy menyibak tirai jendela, dan mengintip ke luar. Di sana para tamu undangan menunggu digelarnya acara. "Aku menduga pernikahan tidak akan terjadi," gumam Airy. Jika seandainya benar pernikahan batal, Airy tidak menanggung malu karena tidak ada satupun yang tahu bahwa Airy menikah hari ini. Bahkan, ibu dan kakaknya juga tidak tahu. Jika ada yang harus menanggung malu, Gunawan yang merasakan itu. Sebab pria itulah yang mengadakan pesta pernikahan ini. Airy tak sengaja menatap keberadaan Gunawan. Pria paruh baya berkacamata i
"Apa yang sebenarnya yang kamu janjikan kepada kakekku, sehingga kakekku memaksaku untuk menikahi kamu?" Airy terkejut dengan pertanyaan yang keluar dari mulut suaminya. Jujur, ia merasa terhina karena Ferdinand menganggapnya serendah itu. Bukan hanya pria itu yang merasa tertekan dengan pernikahan paksa ini. Tapi Airy juga.Airy menatap netra Ferdinand dengan gugup, namun ia mencoba bersikap tenang. Mengabaikan rasa sakitnya, ia berdehem sejenak sebelum menjawab. "Tidak ada."Ferdinand tersenyum menyeringai. Airy sedikit takut melihat seringai yang ditunjukkan oleh Ferdinand. Ia tahu bahwa, pria itu tidak akan mungkin percaya dengan apa yang ia ucapkan. Peristiwa sebelum terjadinya akad nikah, Airy mendengar dan melihat sikap Ferdinand saat akan menikah dengan wanita asing, yaitu dirinya. Ferdinand dengan lantang mengatakan kepada sang kakek, tidak ingin menikah dengan wanita manapun. Tidak ingin menikah sampai kapanpun. Airy penasaran, apa yang membuat pria itu membenci sebuah ik
"Siapa dia, Mas?" tanya Airy dengan tatapan menelisik."Dia ---" Ferdinand ingin menjawab, namun wanita itu melemparkan pertanyaan kepada Airy."Kamu siapa? Kamu membawakan makanan untuk Ferdinand?" tanya wanita itu dengan tatapan sinis.Airy tersenyum. "Memang apa salahnya, kalau aku membawakan makan siang untuk suamiku?"Wanita itu melebarkan matanya mendengar penuturan Airy. "Su-suami?!"Ferdinand meraup kasar wajahnya. Setelahnya, terdengar hembusan napas kasar terdengar dari sela-sela bibirnya. Ia kemudian melirik secara bergantian ke arah Airy dan wanita yang berada satu ruangan dengannya. "Oh. Jadi kamu istrinya?" tanya wanita itu kemudian menampilkan sebuah senyuman.Airy mengangguk. "Iya benar. Saya istrinya Mas Ferdinand."Wanita itu kemudian menjauh dari Ferdinand, dan berjalan mendekati Airy. Ia mengulurkan tangannya kepada Airy. Airy pun menyambut uluran tangan wanita itu."Perkenalkan! Saya Nadine. Sahabat Ferdinand sedari kami masih anak-anak," terang Nadine.Airy mena
Bibir Airy terasa kelu. Bukan ia takut berhadapan dengan Ferdinand. Tapi ia mengingat ucapan Gunawan yang mengingatkannya agar menutup rahasia yang menyebabkan pernikahan antara dirinya dengan Ferdinand harus terjadi. Bahkan dalam waktu yang sangat singkat dan dipaksakan. Melihat Airy yang membisu, membuat Ferdinand menatap remeh istrinya. "Tidak bisa jawab bukan? Itu artinya, kamu memang berniat untuk menguasai seluruh hartaku." "Satu hal yang perlu kamu tahu Airy! Aku telah berkomitmen terhadap diriku sendiri tidak ingin jatuh cinta terhadap siapapun. Bahkan kepadamu istriku sendiri. Jadi, jangan berharap pernikahan kita akan langgeng seperti kebanyakan yang orang lain jalani. Dan ingat! Kamu hanya membutuhkan waktu 2 tahun menjadi istriku. Berikan anakku, dan setelah itu pergilah!" "Jika pernikahan hanya untuk memberikan anak, lalu aku pergi setelah memberikan anakku kepadamu, aku tidak mau. Kita lihat saja nanti. Bagaimana kamu dapat mempertahankan benteng yang kokoh di hatimu?
"Aku dengar, kamu sudah menikah?" tanya Wina pada Airy. Airy mengangguk. "Iya. Aku menikah saat Kakak operasi. Maaf karena kalian tidak aku undang di pesta pernikahanku." Setelah satu Minggu Airy menikah, ia kemudian memberitahu kepada Ratih bahwa dirinya telah menikah. Ratih terkejut bukan main, dan mengomel tak karuan karena Airy tak memberitahu mereka sebagai keluarga. Dan kini, atas permintaan dari Ratih, Airy datang melihat keadaan sang kakaknya yang sedang dalam pemulihan pasca operasi. "Nggak apa-apa. Aku senang. Selamat atas pernikahanmu," sahut Wina. "Terima kasih, Kak." Airy tersenyum. Airy membuka Tote bag berisi makanan yang ia bawa dari rumah. Wanita itu menyiapkan meja makan portabel agar memudahkan kakaknya makan. Wina segera memegang sendok dan bersiap untuk menyantap makanan yang dibawakan oleh Airy. "Kamu menikah dengan pria yang kaya raya. Kamu pasti bahagia sekarang," ujar Wina dengan nada datar. Airy tersenyum kecut mendengar ucapan sang kakak. Meskipun bib
"Aku rasanya nggak rela melihat Airy sekarang hidup makmur. Harusnya kan, aku yang berada di posisi itu," keluh Wina mengadu kepada ibunya. Ratih mendesah. "Ya ... mau bagaimana lagi? Coba kalau kamu ada di posisi itu. Ya pasti kamu tidak akan cemburu seperti ini." Wina menatap foto pernikahan Ferdinand dan Airy yang tersebar di media. Dari berita yang tercantum, Wina mengetahui bahwa suami adiknya, adalah pengusaha kaya raya, dan pewaris satu-satunya keluarga Arlyansyah. Ada rasa cemburu yang begitu besar mendera hati Wina. Ia sangat tak suka melihat adiknya menjadi istri pria itu. "Sebenarnya sejak kapan mereka ketemu? Dan akhirnya menikah?" Wina melirik ibunya. Ratih mengangkat kedua bahunya. "Ibu juga kurang tahu. "Tapi Airy bilang, kalau kakek nya Ferdinand yang menjodohkan keduanya. Pak Gunawan suka sama Airy, dan Pak Gunawan itu, adalah bosnya Airy," beritahu Ratih. Wina tersenyum sinis. "Jadi begitu. Seandainya saj
"Kamu sudah memiliki istri sekarang. Jangan pernah kamu biarkan, ada kesempatan untuk orang ketiga masuk ke dalam rumah tangga kalian," ucap Gunawan memperingatkan Ferdinand. Ferdinand berdecak. "Lagi pula, aku juga tidak tertarik dengan wanita. Apalagi selingkuhan. Nadine itu sahabat ku. Tidak mungkin kamu melakukan hal lebih dari sahabat." "Ck! Kamu ini kalau diberitahu, ya," gerutu Gunawan. Gunawan mengajak cucunya untuk masuk ke ruang kerjanya, setelah kedatangan Nadine yang tiba-tiba. Gunawan beralasan sudah kenyang dengan makan malam yang disantap mereka. Lalu, Gunawan menyuruh Airy untuk berbincang sejenak dengan Nadine. Jujur saja, kedatangan Nadine ditengah makan malam bersama dengan kedua cucunya, membuat Gunawan tak nyaman. Pria yang telah berkepala enam namun masih gagah itu, tak pernah suka dengan sosok Nadine. Apalagi menurutnya, Nadine terlihat ingin mencari muka di hadapannya . "Kakek tadi bilang ingin membahas hal pe
"Kamu bawa dia ke gudang belakang!" perintah Ferdinand kepada Dicky."Baik, Pak Ferdinand." Dicky lalu menarik pria peneror yang datang melepaskan tembakan ke rumah Gunawan. Pria itu ditangkap oleh Ferdinand beberapa menit yang lalu. Setelah baku tembak yang terjadi selama beberapa saat, Ferdinand berhasil melumpuhkan pria yang belum diketahui identitasnya itu."Ferdinand!" Nadine datang dan berlari dari arah belakang, dan menghambur ke pelukan Ferdinand."Tolong aku! Aku takut ..." Nadine gemetar ketakutan setelah berada di pelukan Ferdinand."Kamu baik-baik saja? Apa yang terjadi?" tanya Ferdinand khawatir."Salah satu dari mereka menyekap ku, dan menodongkan pistol ke kepalaku. Aku takut," lirih Nadine.Tangan Ferdinand, perlahan terangkat memeluk Nadine. Pria itu mencoba memberikan ketenangan pada hati sahabatnya. Ketika Nadine tak sengaja melihat airy keluar dari rumah, dengan menuntun Gunawan karena luka di kakinya mengurungkan niatnya melepaskan pelukan Ferdinand."Apakah ada
"Kamu sudah memiliki istri sekarang. Jangan pernah kamu biarkan, ada kesempatan untuk orang ketiga masuk ke dalam rumah tangga kalian," ucap Gunawan memperingatkan Ferdinand. Ferdinand berdecak. "Lagi pula, aku juga tidak tertarik dengan wanita. Apalagi selingkuhan. Nadine itu sahabat ku. Tidak mungkin kamu melakukan hal lebih dari sahabat." "Ck! Kamu ini kalau diberitahu, ya," gerutu Gunawan. Gunawan mengajak cucunya untuk masuk ke ruang kerjanya, setelah kedatangan Nadine yang tiba-tiba. Gunawan beralasan sudah kenyang dengan makan malam yang disantap mereka. Lalu, Gunawan menyuruh Airy untuk berbincang sejenak dengan Nadine. Jujur saja, kedatangan Nadine ditengah makan malam bersama dengan kedua cucunya, membuat Gunawan tak nyaman. Pria yang telah berkepala enam namun masih gagah itu, tak pernah suka dengan sosok Nadine. Apalagi menurutnya, Nadine terlihat ingin mencari muka di hadapannya . "Kakek tadi bilang ingin membahas hal pe
"Aku rasanya nggak rela melihat Airy sekarang hidup makmur. Harusnya kan, aku yang berada di posisi itu," keluh Wina mengadu kepada ibunya. Ratih mendesah. "Ya ... mau bagaimana lagi? Coba kalau kamu ada di posisi itu. Ya pasti kamu tidak akan cemburu seperti ini." Wina menatap foto pernikahan Ferdinand dan Airy yang tersebar di media. Dari berita yang tercantum, Wina mengetahui bahwa suami adiknya, adalah pengusaha kaya raya, dan pewaris satu-satunya keluarga Arlyansyah. Ada rasa cemburu yang begitu besar mendera hati Wina. Ia sangat tak suka melihat adiknya menjadi istri pria itu. "Sebenarnya sejak kapan mereka ketemu? Dan akhirnya menikah?" Wina melirik ibunya. Ratih mengangkat kedua bahunya. "Ibu juga kurang tahu. "Tapi Airy bilang, kalau kakek nya Ferdinand yang menjodohkan keduanya. Pak Gunawan suka sama Airy, dan Pak Gunawan itu, adalah bosnya Airy," beritahu Ratih. Wina tersenyum sinis. "Jadi begitu. Seandainya saj
"Aku dengar, kamu sudah menikah?" tanya Wina pada Airy. Airy mengangguk. "Iya. Aku menikah saat Kakak operasi. Maaf karena kalian tidak aku undang di pesta pernikahanku." Setelah satu Minggu Airy menikah, ia kemudian memberitahu kepada Ratih bahwa dirinya telah menikah. Ratih terkejut bukan main, dan mengomel tak karuan karena Airy tak memberitahu mereka sebagai keluarga. Dan kini, atas permintaan dari Ratih, Airy datang melihat keadaan sang kakaknya yang sedang dalam pemulihan pasca operasi. "Nggak apa-apa. Aku senang. Selamat atas pernikahanmu," sahut Wina. "Terima kasih, Kak." Airy tersenyum. Airy membuka Tote bag berisi makanan yang ia bawa dari rumah. Wanita itu menyiapkan meja makan portabel agar memudahkan kakaknya makan. Wina segera memegang sendok dan bersiap untuk menyantap makanan yang dibawakan oleh Airy. "Kamu menikah dengan pria yang kaya raya. Kamu pasti bahagia sekarang," ujar Wina dengan nada datar. Airy tersenyum kecut mendengar ucapan sang kakak. Meskipun bib
Bibir Airy terasa kelu. Bukan ia takut berhadapan dengan Ferdinand. Tapi ia mengingat ucapan Gunawan yang mengingatkannya agar menutup rahasia yang menyebabkan pernikahan antara dirinya dengan Ferdinand harus terjadi. Bahkan dalam waktu yang sangat singkat dan dipaksakan. Melihat Airy yang membisu, membuat Ferdinand menatap remeh istrinya. "Tidak bisa jawab bukan? Itu artinya, kamu memang berniat untuk menguasai seluruh hartaku." "Satu hal yang perlu kamu tahu Airy! Aku telah berkomitmen terhadap diriku sendiri tidak ingin jatuh cinta terhadap siapapun. Bahkan kepadamu istriku sendiri. Jadi, jangan berharap pernikahan kita akan langgeng seperti kebanyakan yang orang lain jalani. Dan ingat! Kamu hanya membutuhkan waktu 2 tahun menjadi istriku. Berikan anakku, dan setelah itu pergilah!" "Jika pernikahan hanya untuk memberikan anak, lalu aku pergi setelah memberikan anakku kepadamu, aku tidak mau. Kita lihat saja nanti. Bagaimana kamu dapat mempertahankan benteng yang kokoh di hatimu?
"Siapa dia, Mas?" tanya Airy dengan tatapan menelisik."Dia ---" Ferdinand ingin menjawab, namun wanita itu melemparkan pertanyaan kepada Airy."Kamu siapa? Kamu membawakan makanan untuk Ferdinand?" tanya wanita itu dengan tatapan sinis.Airy tersenyum. "Memang apa salahnya, kalau aku membawakan makan siang untuk suamiku?"Wanita itu melebarkan matanya mendengar penuturan Airy. "Su-suami?!"Ferdinand meraup kasar wajahnya. Setelahnya, terdengar hembusan napas kasar terdengar dari sela-sela bibirnya. Ia kemudian melirik secara bergantian ke arah Airy dan wanita yang berada satu ruangan dengannya. "Oh. Jadi kamu istrinya?" tanya wanita itu kemudian menampilkan sebuah senyuman.Airy mengangguk. "Iya benar. Saya istrinya Mas Ferdinand."Wanita itu kemudian menjauh dari Ferdinand, dan berjalan mendekati Airy. Ia mengulurkan tangannya kepada Airy. Airy pun menyambut uluran tangan wanita itu."Perkenalkan! Saya Nadine. Sahabat Ferdinand sedari kami masih anak-anak," terang Nadine.Airy mena
"Apa yang sebenarnya yang kamu janjikan kepada kakekku, sehingga kakekku memaksaku untuk menikahi kamu?" Airy terkejut dengan pertanyaan yang keluar dari mulut suaminya. Jujur, ia merasa terhina karena Ferdinand menganggapnya serendah itu. Bukan hanya pria itu yang merasa tertekan dengan pernikahan paksa ini. Tapi Airy juga.Airy menatap netra Ferdinand dengan gugup, namun ia mencoba bersikap tenang. Mengabaikan rasa sakitnya, ia berdehem sejenak sebelum menjawab. "Tidak ada."Ferdinand tersenyum menyeringai. Airy sedikit takut melihat seringai yang ditunjukkan oleh Ferdinand. Ia tahu bahwa, pria itu tidak akan mungkin percaya dengan apa yang ia ucapkan. Peristiwa sebelum terjadinya akad nikah, Airy mendengar dan melihat sikap Ferdinand saat akan menikah dengan wanita asing, yaitu dirinya. Ferdinand dengan lantang mengatakan kepada sang kakek, tidak ingin menikah dengan wanita manapun. Tidak ingin menikah sampai kapanpun. Airy penasaran, apa yang membuat pria itu membenci sebuah ik
Airy duduk termenung di depan meja rias dengan gelisah. Ia meremas-remas jarinya untuk meredakan kecemasan. Setelah dua hari dilakukannya operasi transplantasi, ini adalah hari dimana ia akan melepas masa lajangnya. "Sudah dua jam lebih. Apa dia sungguh-sungguh tidak datang?" gumam Airy ketika melihat jam yang tergantung di dinding.Mendesah pelan, Airy beringsut dari duduknya, dan keluar dari kamar tempat ia dirias oleh MUA. Setelah berjalan melewati tangga, Airy menyibak tirai jendela, dan mengintip ke luar. Di sana para tamu undangan menunggu digelarnya acara. "Aku menduga pernikahan tidak akan terjadi," gumam Airy. Jika seandainya benar pernikahan batal, Airy tidak menanggung malu karena tidak ada satupun yang tahu bahwa Airy menikah hari ini. Bahkan, ibu dan kakaknya juga tidak tahu. Jika ada yang harus menanggung malu, Gunawan yang merasakan itu. Sebab pria itulah yang mengadakan pesta pernikahan ini. Airy tak sengaja menatap keberadaan Gunawan. Pria paruh baya berkacamata i
"Jadi, kamu ingin meminjam uang kepada saya?" tanya Gunawan---bos Airy."Maaf, Pak Gunawan, kalau saya sudah lancang. Tapi saya saat ini sedang membutuhkan bantuan dari Bapak. Dan saya harap, kiranya Bapak ingin bermurah hati untuk membantu saya," ucap Airy menundukkan kepalanya."Kalau boleh tahu, apa yang membuat kamu memiliki keberanian kepada saya?" tanya Gunawan."Emm ..." Airy menggigit bibirnya. "Kakak saya kondisinya kritis di rumah sakit. Dan dokter menyarankan harus dioperasi. Biaya operasi tersebut memakan biaya 750 juta.""Kakakmu sakit apa?" tanya Gunawan."Gagal ginjal, Pak. Saya mohon bantuannya, Pak. Saya tidak tahu lagi harus meminjam kepada siapa."Airy harap-harap cemas melihat Gunawan yang tetap diam tanpa jawaban. Ia memainkan kesepuluh jarinya dengan dada yang berdebar. Ia memberanikan diri untuk mengajukan pinjaman ke perusahaan setelah mengalami pikiran buntu. Jika seandainya Gunawan menolak memberikan bantuan, Airy tidak tahu harus kemana lagi."Bagaimana, Pak