"Jadi, kamu ingin meminjam uang kepada saya?" tanya Gunawan---bos Airy.
"Maaf, Pak Gunawan, kalau saya sudah lancang. Tapi saya saat ini sedang membutuhkan bantuan dari Bapak. Dan saya harap, kiranya Bapak ingin bermurah hati untuk membantu saya," ucap Airy menundukkan kepalanya.
"Kalau boleh tahu, apa yang membuat kamu memiliki keberanian kepada saya?" tanya Gunawan.
"Emm ..." Airy menggigit bibirnya. "Kakak saya kondisinya kritis di rumah sakit. Dan dokter menyarankan harus dioperasi. Biaya operasi tersebut memakan biaya 750 juta."
"Kakakmu sakit apa?" tanya Gunawan.
"Gagal ginjal, Pak. Saya mohon bantuannya, Pak. Saya tidak tahu lagi harus meminjam kepada siapa."
Airy harap-harap cemas melihat Gunawan yang tetap diam tanpa jawaban. Ia memainkan kesepuluh jarinya dengan dada yang berdebar. Ia memberanikan diri untuk mengajukan pinjaman ke perusahaan setelah mengalami pikiran buntu. Jika seandainya Gunawan menolak memberikan bantuan, Airy tidak tahu harus kemana lagi.
"Bagaimana, Pak? Apakah boleh?" tanya Airy tidak sabar.
Jantung Airy berdebar kencang melihat Gunawan menatapnya dengan raut wajah yang tidak bersahabat. Sepertinya tidak ada harapan untuk Airy meminta bantuan kepada pria paruh baya yang merupakan bosnya. Entah ia harus mencari bantuan ke mana lagi.
"Saya permisi, Pak. Maaf sudah mengganggu waktu Bapak." Airy menghormat dan membalikkan badan dan bersiap untuk pergi.
"Tunggu, Airy!" cegah Gunawan.
Langkah Airy terhenti. Perlahan ia membalikkan badannya. Airy menatap bingung terhadap Gunawan.
"Saya kan belum menjawab pertanyaan kamu," cetus Gunawan.
Airy berpikir, karena Gunawan tidak kunjung menjawab, dan menatapnya dengan tatapan yang tidak nyaman, Airy menyimpulkan bahwa Gunawan tidak mau membantu. Mungkin Gunawan berpikir sejenak, karena merasa kasihan, atau apa, Airy tidak tahu.
"Saya akan membantu untuk operasi kakakmu," ujar pria paruh baya itu.
"Benarkah, Pak?" tanya Airy tidak percaya.
Gunawan mengangguk. "Iya. Saya tidak bohong."
"Terima kasih, Pak," ucap Airy penuh haru.
Airy sangat bersyukur keajaiban datang membantu dirinya di dalam kesulitan seperti sekarang. Ia berjanji dalam hati akan membalas kebaikan bosnya tersebut. Awalnya ia hampir menyerah. Namun, Tuhan memberikan kejutan.
"Di rumah sakit mana kakakmu dirawat?" tanya Gunawan.
"Di rumah sakit, MHBD," beritahu Airy.
"Baik. Nanti malam, saya akan ke sana."
"Sekali lagi terima kasih, Pak."
"Hm. Kembalilah bekerja!"
Airy keluar dari ruangan kerja Gunawan dengan diiringi napas lega. Ia sangat bersyukur Tuhan memberikan jalan yang mudah. Airy berharap, dengan bantuan dari Gunawan bisa menjadi jalan untuk Kak Wina menuju kesembuhan.
Airy memutuskan untuk kembali bekerja. Ia tidak merasa pusing lagi memikirkan biaya ataupun donor untuk ginjal sang kakak. Gunawan mengatakan kepada Airy, bahwa pria paruh baya itu akan mengurus semuanya.
Ketika menjelang sore tiba, Airy telah menyelesaikan pekerjaannya. Pekerjaan bersih-bersih digantikan oleh teman Airy yang bekerja shift malam. Airy memutuskan untuk pergi ke rumah sakit.
Gunawan menepati janjinya Airy untuk datang ke rumah sakit yang telah diberitahukan oleh Airy pada malam hari. Saat Gunawan tiba, Airy dan Ratih, duduk di kursi tunggu depan ruang Wina dirawat.
"Airy!" panggil Gunawan.
Airy beringsut dari duduknya, dan mendekat. "Ya, Pak?"
"Mari kita bicara sebentar!" ujar Gunawan kemudian menjauh dari tempat Airy menunggu.
Gunawan berjalan ke salah satu sudut ruangan, dengan diikuti Airy yang mengekor di belakangnya. Tak lama kemudian, Ramli, asisten Gunawan datang sambil membawa sebuah map berisi dokumen. Airy memperhatikan wajah Gunawan yang menampilkan ekspresi serius.
"Bagaimana, Pak?" tanya Airy.
Entah mengapa hatinya sedikit was-was melihat ekspresi serius yang ditampilkan oleh Gunawan. Ia takut jika pria paruh baya itu akan membatalkan membantu operasi Kak Wina. Jika Gunawan menggagalkan, maka Airy akan kesulitan mencari bantuan lagi.
"Saya akan bantu kamu. Tetapi ini tidak gratis," tutur pria paruh baya itu.
Airy terdiam sejenak, kemudian berkata, "Baik. Saya mengerti, Pak. Bapak boleh memotong gaji saya untuk melunasi hutang."
"Ada persyaratan yang harus kamu tanda tangani. Dan kamu tidak boleh menolaknya," tegas Gunawan.
Airy menatap Gunawan dengan kening berkerut. "Persyaratan apa, Pak?"
"Saya butuh balas budi kamu," jawab Gunawan.
"Persyaratan apapun itu, dan balas budi apapun yang harus kamu lakukan, apakah kamu bersedia? Apakah kamu tidak keberatan karena ini menyangkut masa depan kamu?"
"Saya sudah janji kepada diri saya sendiri, akan melakukan apapun untuk kakak saya bisa sembuh, Pak," ucap Airy tanpa keraguan.
"Kamu yakin?" tanya Gunawan memastikan
Airy mengangguk. "Yakin, Pak."
Gunawan kemudian beralih menatap Ramli yang berdiri tak jauh dari mereka berdua. Gunawan, kemudian memberi isyarat lewat mata kepada sang asisten. Ramli yang paham, kemudian mendekati Airy, dan memberikan sebuah map untuk dibaca oleh gadis itu.
"Silakan dibaca, Nona!" ujar Ramli.
Perlahan-lahan, Airy membuka map tersebut. Gadis itu mencoba meresapi barisan tinta hitam yang tertulis rapi di sana. Seketika matanya melebar membaca poin yang mengejutkan.
"I-ini ... tidak salah, Pak?" tanya Airy dengan suara bergetar.
"Tidak." Gunawan menggeleng.
Airy memejamkan matanya erat. "Apakah tidak ada persyaratan yang lain, Pak?"
"Bukankah kamu tadi bilang, kalau kamu akan melakukan apapun demi Kakakmu bisa sembuh? Bukankah kamu tadi mengatakan, persyaratan apapun yang saya ajukan, kamu akan menyetujuinya?" telak Gunawan.
"Tapi bukan harus menikah dengan cucu bapak," protes Airy.
Airy tak lupa beberapa saat yang lalu mengatakan bersedia melakukan apapun untuk melakukan balas budi kepada Gunawan. Tetapi, Airy begitu terkejut melihat syarat yang harus dijalani. Menikah dengan cucu dari Gunawan. Ini benar-benar di luar dugaannya.
"Jika kamu keberatan, tidak apa-apa," kata Gunawan.
"Tapi ..." Gunawan menggantung kalimatnya.
"Maaf saya tidak bisa membantu kamu. Dokter yang menangani kakakmu, akan saya suruh untuk menghentikan tindakannya."
Airy membeku mendengar penuturan Gunawan. Gunawan tidak bermain-main dengan kata-katanya. Terlebih lagi dengan penolakan yang di ucapkan oleh Airy.
Gunawan kemudian beralih menatap asistennya. "Pak Ramli! Minta kepada Dokter Joshua untuk menghentikan tindakannya. Ini perintah dari saya."
Ramli mengangguk. "Baik, Pak. Akan saya temui dokter Joshua."
Selama beberapa detik Airy membisu tak tahu harus berbicara apa. Ia dalam kebingungan yang mendera hati. Dengan rasa khawatir akan kehilangan kakak tercinta, ia harus menuruti apa yang diajukan oleh Gunawan. Ketika Ramli mulai berjalan satu langkah akan meninggalkan mereka berdua, Airy mengambil sikap dengan cepat.
"Saya bersedia, Pak," ucap Airy dengan suara bergetar.
Gunawan menoleh menatap Airy, dan tersenyum penuh kemenangan. "Baik. Segeralah tanda tangan!"
Dengan tangan bergetar, Airy memantapkan hati untuk membubuhkan tanda tangan di atas dokumen yang ia pegang. Sebuah coretan sudah ia goreskan di atas materai. Dengan demikian, perjanjian telah disepakati antara kedua belah pihak.
"Sudah, Pak." Airy menyerahkan map kepada Ramli.
"Pak Ramli! Beritahu dokter segera lakukan tindakan operasi!" perintah Gunawan.
"Baik, Pak!" Ramli kemudian melangkah pergi untuk menemui dokter.
Setelah Ramli melangkah jauh, Gunawan menatap wanita yang sebentar lagi akan menjadi cucu menantunya. Ia menghela napas melihat Airy dengan wajah tertekan. Pria paruh baya yang telah beruban itu, mengerti akan suasana hati Airy.
Airy, mencoba menahan gemuruh yang ada di hati. Tak pernah sedikitpun ia berpikir untuk merelakan hidupnya demi sang kakak. Babak baru akan dimulai sebentar lagi.
"Apakah keputusan ini benar?" batin Airy.
.
Airy duduk termenung di depan meja rias dengan gelisah. Ia meremas-remas jarinya untuk meredakan kecemasan. Setelah dua hari dilakukannya operasi transplantasi, ini adalah hari dimana ia akan melepas masa lajangnya. "Sudah dua jam lebih. Apa dia sungguh-sungguh tidak datang?" gumam Airy ketika melihat jam yang tergantung di dinding.Mendesah pelan, Airy beringsut dari duduknya, dan keluar dari kamar tempat ia dirias oleh MUA. Setelah berjalan melewati tangga, Airy menyibak tirai jendela, dan mengintip ke luar. Di sana para tamu undangan menunggu digelarnya acara. "Aku menduga pernikahan tidak akan terjadi," gumam Airy. Jika seandainya benar pernikahan batal, Airy tidak menanggung malu karena tidak ada satupun yang tahu bahwa Airy menikah hari ini. Bahkan, ibu dan kakaknya juga tidak tahu. Jika ada yang harus menanggung malu, Gunawan yang merasakan itu. Sebab pria itulah yang mengadakan pesta pernikahan ini. Airy tak sengaja menatap keberadaan Gunawan. Pria paruh baya berkacamata i
"Apa yang sebenarnya yang kamu janjikan kepada kakekku, sehingga kakekku memaksaku untuk menikahi kamu?" Airy terkejut dengan pertanyaan yang keluar dari mulut suaminya. Jujur, ia merasa terhina karena Ferdinand menganggapnya serendah itu. Bukan hanya pria itu yang merasa tertekan dengan pernikahan paksa ini. Tapi Airy juga.Airy menatap netra Ferdinand dengan gugup, namun ia mencoba bersikap tenang. Mengabaikan rasa sakitnya, ia berdehem sejenak sebelum menjawab. "Tidak ada."Ferdinand tersenyum menyeringai. Airy sedikit takut melihat seringai yang ditunjukkan oleh Ferdinand. Ia tahu bahwa, pria itu tidak akan mungkin percaya dengan apa yang ia ucapkan. Peristiwa sebelum terjadinya akad nikah, Airy mendengar dan melihat sikap Ferdinand saat akan menikah dengan wanita asing, yaitu dirinya. Ferdinand dengan lantang mengatakan kepada sang kakek, tidak ingin menikah dengan wanita manapun. Tidak ingin menikah sampai kapanpun. Airy penasaran, apa yang membuat pria itu membenci sebuah ik
"Siapa dia, Mas?" tanya Airy dengan tatapan menelisik."Dia ---" Ferdinand ingin menjawab, namun wanita itu melemparkan pertanyaan kepada Airy."Kamu siapa? Kamu membawakan makanan untuk Ferdinand?" tanya wanita itu dengan tatapan sinis.Airy tersenyum. "Memang apa salahnya, kalau aku membawakan makan siang untuk suamiku?"Wanita itu melebarkan matanya mendengar penuturan Airy. "Su-suami?!"Ferdinand meraup kasar wajahnya. Setelahnya, terdengar hembusan napas kasar terdengar dari sela-sela bibirnya. Ia kemudian melirik secara bergantian ke arah Airy dan wanita yang berada satu ruangan dengannya. "Oh. Jadi kamu istrinya?" tanya wanita itu kemudian menampilkan sebuah senyuman.Airy mengangguk. "Iya benar. Saya istrinya Mas Ferdinand."Wanita itu kemudian menjauh dari Ferdinand, dan berjalan mendekati Airy. Ia mengulurkan tangannya kepada Airy. Airy pun menyambut uluran tangan wanita itu."Perkenalkan! Saya Nadine. Sahabat Ferdinand sedari kami masih anak-anak," terang Nadine.Airy mena
Bibir Airy terasa kelu. Bukan ia takut berhadapan dengan Ferdinand. Tapi ia mengingat ucapan Gunawan yang mengingatkannya agar menutup rahasia yang menyebabkan pernikahan antara dirinya dengan Ferdinand harus terjadi. Bahkan dalam waktu yang sangat singkat dan dipaksakan. Melihat Airy yang membisu, membuat Ferdinand menatap remeh istrinya. "Tidak bisa jawab bukan? Itu artinya, kamu memang berniat untuk menguasai seluruh hartaku." "Satu hal yang perlu kamu tahu Airy! Aku telah berkomitmen terhadap diriku sendiri tidak ingin jatuh cinta terhadap siapapun. Bahkan kepadamu istriku sendiri. Jadi, jangan berharap pernikahan kita akan langgeng seperti kebanyakan yang orang lain jalani. Dan ingat! Kamu hanya membutuhkan waktu 2 tahun menjadi istriku. Berikan anakku, dan setelah itu pergilah!" "Jika pernikahan hanya untuk memberikan anak, lalu aku pergi setelah memberikan anakku kepadamu, aku tidak mau. Kita lihat saja nanti. Bagaimana kamu dapat mempertahankan benteng yang kokoh di hatimu?
"Aku dengar, kamu sudah menikah?" tanya Wina pada Airy. Airy mengangguk. "Iya. Aku menikah saat Kakak operasi. Maaf karena kalian tidak aku undang di pesta pernikahanku." Setelah satu Minggu Airy menikah, ia kemudian memberitahu kepada Ratih bahwa dirinya telah menikah. Ratih terkejut bukan main, dan mengomel tak karuan karena Airy tak memberitahu mereka sebagai keluarga. Dan kini, atas permintaan dari Ratih, Airy datang melihat keadaan sang kakaknya yang sedang dalam pemulihan pasca operasi. "Nggak apa-apa. Aku senang. Selamat atas pernikahanmu," sahut Wina. "Terima kasih, Kak." Airy tersenyum. Airy membuka Tote bag berisi makanan yang ia bawa dari rumah. Wanita itu menyiapkan meja makan portabel agar memudahkan kakaknya makan. Wina segera memegang sendok dan bersiap untuk menyantap makanan yang dibawakan oleh Airy. "Kamu menikah dengan pria yang kaya raya. Kamu pasti bahagia sekarang," ujar Wina dengan nada datar. Airy tersenyum kecut mendengar ucapan sang kakak. Meskipun bib
"Aku rasanya nggak rela melihat Airy sekarang hidup makmur. Harusnya kan, aku yang berada di posisi itu," keluh Wina mengadu kepada ibunya. Ratih mendesah. "Ya ... mau bagaimana lagi? Coba kalau kamu ada di posisi itu. Ya pasti kamu tidak akan cemburu seperti ini." Wina menatap foto pernikahan Ferdinand dan Airy yang tersebar di media. Dari berita yang tercantum, Wina mengetahui bahwa suami adiknya, adalah pengusaha kaya raya, dan pewaris satu-satunya keluarga Arlyansyah. Ada rasa cemburu yang begitu besar mendera hati Wina. Ia sangat tak suka melihat adiknya menjadi istri pria itu. "Sebenarnya sejak kapan mereka ketemu? Dan akhirnya menikah?" Wina melirik ibunya. Ratih mengangkat kedua bahunya. "Ibu juga kurang tahu. "Tapi Airy bilang, kalau kakek nya Ferdinand yang menjodohkan keduanya. Pak Gunawan suka sama Airy, dan Pak Gunawan itu, adalah bosnya Airy," beritahu Ratih. Wina tersenyum sinis. "Jadi begitu. Seandainya saj
"Kamu sudah memiliki istri sekarang. Jangan pernah kamu biarkan, ada kesempatan untuk orang ketiga masuk ke dalam rumah tangga kalian," ucap Gunawan memperingatkan Ferdinand. Ferdinand berdecak. "Lagi pula, aku juga tidak tertarik dengan wanita. Apalagi selingkuhan. Nadine itu sahabat ku. Tidak mungkin kamu melakukan hal lebih dari sahabat." "Ck! Kamu ini kalau diberitahu, ya," gerutu Gunawan. Gunawan mengajak cucunya untuk masuk ke ruang kerjanya, setelah kedatangan Nadine yang tiba-tiba. Gunawan beralasan sudah kenyang dengan makan malam yang disantap mereka. Lalu, Gunawan menyuruh Airy untuk berbincang sejenak dengan Nadine. Jujur saja, kedatangan Nadine ditengah makan malam bersama dengan kedua cucunya, membuat Gunawan tak nyaman. Pria yang telah berkepala enam namun masih gagah itu, tak pernah suka dengan sosok Nadine. Apalagi menurutnya, Nadine terlihat ingin mencari muka di hadapannya . "Kakek tadi bilang ingin membahas hal pe
"Kamu bawa dia ke gudang belakang!" perintah Ferdinand kepada Dicky."Baik, Pak Ferdinand." Dicky lalu menarik pria peneror yang datang melepaskan tembakan ke rumah Gunawan. Pria itu ditangkap oleh Ferdinand beberapa menit yang lalu. Setelah baku tembak yang terjadi selama beberapa saat, Ferdinand berhasil melumpuhkan pria yang belum diketahui identitasnya itu."Ferdinand!" Nadine datang dan berlari dari arah belakang, dan menghambur ke pelukan Ferdinand."Tolong aku! Aku takut ..." Nadine gemetar ketakutan setelah berada di pelukan Ferdinand."Kamu baik-baik saja? Apa yang terjadi?" tanya Ferdinand khawatir."Salah satu dari mereka menyekap ku, dan menodongkan pistol ke kepalaku. Aku takut," lirih Nadine.Tangan Ferdinand, perlahan terangkat memeluk Nadine. Pria itu mencoba memberikan ketenangan pada hati sahabatnya. Ketika Nadine tak sengaja melihat airy keluar dari rumah, dengan menuntun Gunawan karena luka di kakinya mengurungkan niatnya melepaskan pelukan Ferdinand."Apakah ada
"Kamu bawa dia ke gudang belakang!" perintah Ferdinand kepada Dicky."Baik, Pak Ferdinand." Dicky lalu menarik pria peneror yang datang melepaskan tembakan ke rumah Gunawan. Pria itu ditangkap oleh Ferdinand beberapa menit yang lalu. Setelah baku tembak yang terjadi selama beberapa saat, Ferdinand berhasil melumpuhkan pria yang belum diketahui identitasnya itu."Ferdinand!" Nadine datang dan berlari dari arah belakang, dan menghambur ke pelukan Ferdinand."Tolong aku! Aku takut ..." Nadine gemetar ketakutan setelah berada di pelukan Ferdinand."Kamu baik-baik saja? Apa yang terjadi?" tanya Ferdinand khawatir."Salah satu dari mereka menyekap ku, dan menodongkan pistol ke kepalaku. Aku takut," lirih Nadine.Tangan Ferdinand, perlahan terangkat memeluk Nadine. Pria itu mencoba memberikan ketenangan pada hati sahabatnya. Ketika Nadine tak sengaja melihat airy keluar dari rumah, dengan menuntun Gunawan karena luka di kakinya mengurungkan niatnya melepaskan pelukan Ferdinand."Apakah ada
"Kamu sudah memiliki istri sekarang. Jangan pernah kamu biarkan, ada kesempatan untuk orang ketiga masuk ke dalam rumah tangga kalian," ucap Gunawan memperingatkan Ferdinand. Ferdinand berdecak. "Lagi pula, aku juga tidak tertarik dengan wanita. Apalagi selingkuhan. Nadine itu sahabat ku. Tidak mungkin kamu melakukan hal lebih dari sahabat." "Ck! Kamu ini kalau diberitahu, ya," gerutu Gunawan. Gunawan mengajak cucunya untuk masuk ke ruang kerjanya, setelah kedatangan Nadine yang tiba-tiba. Gunawan beralasan sudah kenyang dengan makan malam yang disantap mereka. Lalu, Gunawan menyuruh Airy untuk berbincang sejenak dengan Nadine. Jujur saja, kedatangan Nadine ditengah makan malam bersama dengan kedua cucunya, membuat Gunawan tak nyaman. Pria yang telah berkepala enam namun masih gagah itu, tak pernah suka dengan sosok Nadine. Apalagi menurutnya, Nadine terlihat ingin mencari muka di hadapannya . "Kakek tadi bilang ingin membahas hal pe
"Aku rasanya nggak rela melihat Airy sekarang hidup makmur. Harusnya kan, aku yang berada di posisi itu," keluh Wina mengadu kepada ibunya. Ratih mendesah. "Ya ... mau bagaimana lagi? Coba kalau kamu ada di posisi itu. Ya pasti kamu tidak akan cemburu seperti ini." Wina menatap foto pernikahan Ferdinand dan Airy yang tersebar di media. Dari berita yang tercantum, Wina mengetahui bahwa suami adiknya, adalah pengusaha kaya raya, dan pewaris satu-satunya keluarga Arlyansyah. Ada rasa cemburu yang begitu besar mendera hati Wina. Ia sangat tak suka melihat adiknya menjadi istri pria itu. "Sebenarnya sejak kapan mereka ketemu? Dan akhirnya menikah?" Wina melirik ibunya. Ratih mengangkat kedua bahunya. "Ibu juga kurang tahu. "Tapi Airy bilang, kalau kakek nya Ferdinand yang menjodohkan keduanya. Pak Gunawan suka sama Airy, dan Pak Gunawan itu, adalah bosnya Airy," beritahu Ratih. Wina tersenyum sinis. "Jadi begitu. Seandainya saj
"Aku dengar, kamu sudah menikah?" tanya Wina pada Airy. Airy mengangguk. "Iya. Aku menikah saat Kakak operasi. Maaf karena kalian tidak aku undang di pesta pernikahanku." Setelah satu Minggu Airy menikah, ia kemudian memberitahu kepada Ratih bahwa dirinya telah menikah. Ratih terkejut bukan main, dan mengomel tak karuan karena Airy tak memberitahu mereka sebagai keluarga. Dan kini, atas permintaan dari Ratih, Airy datang melihat keadaan sang kakaknya yang sedang dalam pemulihan pasca operasi. "Nggak apa-apa. Aku senang. Selamat atas pernikahanmu," sahut Wina. "Terima kasih, Kak." Airy tersenyum. Airy membuka Tote bag berisi makanan yang ia bawa dari rumah. Wanita itu menyiapkan meja makan portabel agar memudahkan kakaknya makan. Wina segera memegang sendok dan bersiap untuk menyantap makanan yang dibawakan oleh Airy. "Kamu menikah dengan pria yang kaya raya. Kamu pasti bahagia sekarang," ujar Wina dengan nada datar. Airy tersenyum kecut mendengar ucapan sang kakak. Meskipun bib
Bibir Airy terasa kelu. Bukan ia takut berhadapan dengan Ferdinand. Tapi ia mengingat ucapan Gunawan yang mengingatkannya agar menutup rahasia yang menyebabkan pernikahan antara dirinya dengan Ferdinand harus terjadi. Bahkan dalam waktu yang sangat singkat dan dipaksakan. Melihat Airy yang membisu, membuat Ferdinand menatap remeh istrinya. "Tidak bisa jawab bukan? Itu artinya, kamu memang berniat untuk menguasai seluruh hartaku." "Satu hal yang perlu kamu tahu Airy! Aku telah berkomitmen terhadap diriku sendiri tidak ingin jatuh cinta terhadap siapapun. Bahkan kepadamu istriku sendiri. Jadi, jangan berharap pernikahan kita akan langgeng seperti kebanyakan yang orang lain jalani. Dan ingat! Kamu hanya membutuhkan waktu 2 tahun menjadi istriku. Berikan anakku, dan setelah itu pergilah!" "Jika pernikahan hanya untuk memberikan anak, lalu aku pergi setelah memberikan anakku kepadamu, aku tidak mau. Kita lihat saja nanti. Bagaimana kamu dapat mempertahankan benteng yang kokoh di hatimu?
"Siapa dia, Mas?" tanya Airy dengan tatapan menelisik."Dia ---" Ferdinand ingin menjawab, namun wanita itu melemparkan pertanyaan kepada Airy."Kamu siapa? Kamu membawakan makanan untuk Ferdinand?" tanya wanita itu dengan tatapan sinis.Airy tersenyum. "Memang apa salahnya, kalau aku membawakan makan siang untuk suamiku?"Wanita itu melebarkan matanya mendengar penuturan Airy. "Su-suami?!"Ferdinand meraup kasar wajahnya. Setelahnya, terdengar hembusan napas kasar terdengar dari sela-sela bibirnya. Ia kemudian melirik secara bergantian ke arah Airy dan wanita yang berada satu ruangan dengannya. "Oh. Jadi kamu istrinya?" tanya wanita itu kemudian menampilkan sebuah senyuman.Airy mengangguk. "Iya benar. Saya istrinya Mas Ferdinand."Wanita itu kemudian menjauh dari Ferdinand, dan berjalan mendekati Airy. Ia mengulurkan tangannya kepada Airy. Airy pun menyambut uluran tangan wanita itu."Perkenalkan! Saya Nadine. Sahabat Ferdinand sedari kami masih anak-anak," terang Nadine.Airy mena
"Apa yang sebenarnya yang kamu janjikan kepada kakekku, sehingga kakekku memaksaku untuk menikahi kamu?" Airy terkejut dengan pertanyaan yang keluar dari mulut suaminya. Jujur, ia merasa terhina karena Ferdinand menganggapnya serendah itu. Bukan hanya pria itu yang merasa tertekan dengan pernikahan paksa ini. Tapi Airy juga.Airy menatap netra Ferdinand dengan gugup, namun ia mencoba bersikap tenang. Mengabaikan rasa sakitnya, ia berdehem sejenak sebelum menjawab. "Tidak ada."Ferdinand tersenyum menyeringai. Airy sedikit takut melihat seringai yang ditunjukkan oleh Ferdinand. Ia tahu bahwa, pria itu tidak akan mungkin percaya dengan apa yang ia ucapkan. Peristiwa sebelum terjadinya akad nikah, Airy mendengar dan melihat sikap Ferdinand saat akan menikah dengan wanita asing, yaitu dirinya. Ferdinand dengan lantang mengatakan kepada sang kakek, tidak ingin menikah dengan wanita manapun. Tidak ingin menikah sampai kapanpun. Airy penasaran, apa yang membuat pria itu membenci sebuah ik
Airy duduk termenung di depan meja rias dengan gelisah. Ia meremas-remas jarinya untuk meredakan kecemasan. Setelah dua hari dilakukannya operasi transplantasi, ini adalah hari dimana ia akan melepas masa lajangnya. "Sudah dua jam lebih. Apa dia sungguh-sungguh tidak datang?" gumam Airy ketika melihat jam yang tergantung di dinding.Mendesah pelan, Airy beringsut dari duduknya, dan keluar dari kamar tempat ia dirias oleh MUA. Setelah berjalan melewati tangga, Airy menyibak tirai jendela, dan mengintip ke luar. Di sana para tamu undangan menunggu digelarnya acara. "Aku menduga pernikahan tidak akan terjadi," gumam Airy. Jika seandainya benar pernikahan batal, Airy tidak menanggung malu karena tidak ada satupun yang tahu bahwa Airy menikah hari ini. Bahkan, ibu dan kakaknya juga tidak tahu. Jika ada yang harus menanggung malu, Gunawan yang merasakan itu. Sebab pria itulah yang mengadakan pesta pernikahan ini. Airy tak sengaja menatap keberadaan Gunawan. Pria paruh baya berkacamata i
"Jadi, kamu ingin meminjam uang kepada saya?" tanya Gunawan---bos Airy."Maaf, Pak Gunawan, kalau saya sudah lancang. Tapi saya saat ini sedang membutuhkan bantuan dari Bapak. Dan saya harap, kiranya Bapak ingin bermurah hati untuk membantu saya," ucap Airy menundukkan kepalanya."Kalau boleh tahu, apa yang membuat kamu memiliki keberanian kepada saya?" tanya Gunawan."Emm ..." Airy menggigit bibirnya. "Kakak saya kondisinya kritis di rumah sakit. Dan dokter menyarankan harus dioperasi. Biaya operasi tersebut memakan biaya 750 juta.""Kakakmu sakit apa?" tanya Gunawan."Gagal ginjal, Pak. Saya mohon bantuannya, Pak. Saya tidak tahu lagi harus meminjam kepada siapa."Airy harap-harap cemas melihat Gunawan yang tetap diam tanpa jawaban. Ia memainkan kesepuluh jarinya dengan dada yang berdebar. Ia memberanikan diri untuk mengajukan pinjaman ke perusahaan setelah mengalami pikiran buntu. Jika seandainya Gunawan menolak memberikan bantuan, Airy tidak tahu harus kemana lagi."Bagaimana, Pak