Sebelah tangan Tama merangkul Syera, sedangkan satu tangan lagi menggendong Elvina. Ketiganya melangkah menelusuri lorong rumah sakit yang ramai tanpa mengenakan topi atau masker. Lelaki itu tampak masa bodoh dengan berbagai tatapan orang-orang di sekitar sana. Bahkan, tak ada beberapa yang terang-terangan mengarahkan ponsel pada mereka. Entah untuk sekadar memfoto atau malah merekam. Namun, Tama tetap santai dan tak merasa terbebani dengan hal itu. Berbanding terbalik dengan Syera yang hanya berani menatap lantai di sepanjang jalan.Bukannya Syera malu, tetapi ia merasa risih. Wanita itu tak suka menjadi pusat perhatian banyak orang. Dan sekarang entah bagaimana caranya membuat tatapan orang-orang berpaling dari mereka. Apalagi tampaknya Tama tidak akan bertindak. “Mas, sebenarnya siapa yang akan kita temui? Kalau tidak ada urusannya denganku, lebih baik aku menunggu di mobil saja. Ada banyak orang yang memperhatikan kita,” bisik Syera setelah mereka melewati lorong yang lebih s
“Siapa itu, Mas?” Syera bertanya dengan antusias, keraguannya pun menghilang. Namun, sepersekian detik kemudian ekspresinya malah berubah. “Jangan-jangan orang yang Mas curigai itu aku?! Kalau aku yang—”Tama yang sedang memangku Elvina tiba-tiba berdiri dan mengecup bibir Syera sekilas. Lelaki itu langsung kembali ke tempat duduknya lagi setelahnya, seolah-olah tak melakukan apa pun. Untung saja mereka berada di ruangan yang tertutup. “Apa kamu tidak bisa berhenti berpikiran negatif? Aku belum selesai bicara,” sahut lelaki itu seraya kembali menyuapi putri kecilnya. Syera mengerutkan keningnya, berpura-pura tersinggung. “Bukannya justru Mas yang sering asal menuduh tanpa bukti? Itu apa namanya kalau bukan selalu berpikir negatifnya?” balasnya dengan ekspresi cemberut. Wajahnya masih memerah karena apa yang Tama lakukan barusan. Wanita itu menghela napas pelan sebelum melanjutkan kata-katanya. “Sudahlah, bukan itu yang harus kita bahas sekarang. Jadi, siapa yang Mas curigai seb
“Hah?!” Syera spontan menghentikan langkah dan menoleh ke belakang. Selama beberapa saat wanita itu terdiam, namun langsung tertawa di detik berikutnya. “Jangan mengada-ada, Mas. Sudahlah, aku ke kamar dulu, takutnya Elvina sudah bangun.” Kata-kata Tama tadi berhasil membuat jantung Syera berdebar dua kali lebih cepat. Ia tidak tahu apakah kata-kata tersebut memang serius atau hanya gurauan belaka. Namun, dirinya lebih percaya pada opsi pertama. Tak mungkin juga suaminya cemburu, memangnya siapa dia? Syera kembali berbalik dan melanjutkan langkah, namun Tama kembali menahannya. Kali ini dengan mencekal lengannya. Lelaki itu merebut paksa kotak berisi tas dari Dareen dari tangannya dengan wajah yang tampak sangat kesal. “Sepertinya kamu sangat senang mendapat hadiah dari Dareen?” Tama melirik isi kotak di tangannya sekilas sebelum menutup benda itu, seakan enggan melihat isinya. “Kalau aku yang memberikannya, kamu pasti menggunakan segala alasan untuk menolak, ‘kan?” Syera yang gela
Syera menatap layar ponselnya yang sudah kembali menghitam dengan helaan napas berat. Ia tak ingin menafsirkan apa arti ‘bersenang-senang' yang dikatakan oleh wanita tadi. Namun, biar bagaimanapun, segala kemungkinan itu tetap memenuhi pikirannya. Wanita itu menyimpan ponselnya di saku celana piyama yang dikenakannya seraya membereskan makanan yang tersedia di meja. Untung saja ia sudah makan malam bersama Elvina tadi. Jadi, walaupun moodnya cukup anjlok sekarang, jatah makanannya juga anaknya telah terpenuhi. Syera berusaha mengusir dugaan-dugaan negatif yang tanpa permisi memenuhi kepalanya, tetapi ternyata tidak semudah itu. Padahal sudah berulang kali juga ia menegaskan pada dirinya sendiri untuk tidak terlalu ingin tahu tentang urusan Tama. Dan sekarang dirinya malah merasakan sesuatu yang tidak seharusnya. “Daddy-mu sedang sibuk, Sayang. Malam ini kita tidur dengan Kak El saja ya?” Syera bergumam sembari mengelus perutnya yang membuncit. Kemarin-kemarin Syera pasti sudah tidu
“Kenapa Mas yakin kalau dalang dari semuanya adalah orang yang sama?” tanya Syera yang masih duduk di pangkuan Tama. “Apa orang itu adalah salah satu investor yang tiba-tiba menarik dana dari perusahaan yang Mas pimpin?” “Aku hanya menebak-nebak. Entah benar atau tidak, aku juga tidak tahu. Dia tidak membatalkan kerja sama, tapi memperalat pihak lain untuk melakukan itu. Sementara, tangannya tampak bersih,” sahut Tama seraya kembali menyandarkan kepala di pundak Syera. “Alur permainannya mirip dengan saat dia mengganggu Kirana dulu. Dia membuat perusahaanku kacau hingga aku sibuk di sana dan mengabaikan keadaan di rumah. Sekarang ia melakukan itu lagi. Tapi, aku tidak sebodoh dulu sampai mengabaikan keluargaku!” imbuh lelaki itu lagi. Tama mengeratkan rengkuhannya pada perut Syera setelah mengusapnya sejenak. “Itulah kenapa aku melarang kamu pergi sendirian. Entah apa yang dia rencanakan di luar sana. Tapi, sudah pasti akan merugikan kita.” Syera spontan mengusap rambut sang suami
“Apa Mas memang selalu pamrih saat memberikan sesuatu? Bahkan, aku belum memakai barang-barang itu. Bagaimana kalau aku tidak menyukainya? Apa lebih baik aku kembalikan saja?” tanya Syera pada Tama yang kini memerangkapnya. Ia tidak marah, lebih cenderung gemas karena tingkah suaminya yang luar biasa. Pagi-pagi sekali dirinya sudah diberi kejutan yang luar biasa. Jujur saja ia sangat senang, namun tak berselang lama lelaki itu malah meminta sesuatu yang membuatnya geleng-geleng takjub. Sempat terlintas dalam benak Syera jika Tama pasti meminta sesuatu sebagai imbalan. Akan tetapi, ia tak menyangka lelaki itu akan meminta imbalan sekarang juga. Bahkan, ia baru saja bangun tidur dam belum sempat membersihkan diri sama sekali. Kepercayaan dirinya yang memang tidak pernah menyentuh 100% semakin berkurang. Sayangnya, Tama yang tampaknya sudah tidak sabaran tak memberinya jeda sama sekali. Seolah-olah tak terganggu dengan aroma-aroma tak sedap yang mungkin muncul dari tubuhnya. “Bukan pa
Nada bicara Rebecca memang halus, namun terasa menusuk tepat ke jantung Syera. Tidak ada ibu waras manapun yang sudi dipisahkan dengan darah dagingnya. Apalagi jika ada yang terang-terangan ingin menggantikan posisinya. Sekarang ia tahu jika Elena bukanlah sanak saudara Tama, melainkan seseorang yang akan bersanding dengan suaminya suatu saat nanti. Meskipun hatinya tak terima, Syera memilih diam. Mati-matian ia berusaha menahan air mata yang menggenang di pelupuk matanya. Tama saja tak pernah menyinggung persoalan itu selama ini. Dan ternyata pembahasan tersebut malah datang dari ibu mertuanya. Syera menatap Tama dan Elena yang sedang berjalan beriringan sembari bercengkrama. Kedua insan itu memang tampak sangat serasi. Terlihat seperti pasangan yang sempurna dan setara. Tidak seperti dirinya yang hanya berasal dari keluarga kalangan bawah. Bahkan, tak tahu bagaimana rupa ibu kandungnya sendiri. “Kamu dengar apa yang saya katakan tadi atau tidak?” Rebecca mengguncang lengan Syera y
“Hanya mantan kekasih ‘kan, Mbak? Masa lalu? Kenapa harus dibahas lagi?” Sebenarnya fakta ini sangat mengejutkan bagi Syera. Namun, ia berusaha tetap tenang seolah-olah tak terpengaruh dengan kata-kata wanita itu. Syera pikir Elena hanyalah wanita yang dijodohkan dengan Tama oleh Rebecca karena keduanya tampak setara. Sama-sama berasal dari keluarga terpandang. Ternyata keduanya pernah memiliki hubungan spesial di masa lalu. Kenyataan itu berhasil menyentil relung hati Syera. Sudah jelas kedatangan wanita di hadapannya ini karena ingin kembali bersama Tama. Apalagi setelah melihat bagaimana gerak-gerik Elena, Syera yakin tidak salah menduga. “Tapi, masa lalu bisa menjadi masa depan, ‘kan?” Elena menyeringai lebar sembari bersandar dan melipat kedua tangannya di depan dada. “3 tahun kami bersama dan itu bukan waktu yang sebentar. Aku mengenalnya jauh lebih lama dari kamu!” Syera masih mempertahankan senyum tipis yang terlukis di wajahnya. Elena telah berhasil menyulut emosinya dalam