“Hah?!” Syera spontan menghentikan langkah dan menoleh ke belakang. Selama beberapa saat wanita itu terdiam, namun langsung tertawa di detik berikutnya. “Jangan mengada-ada, Mas. Sudahlah, aku ke kamar dulu, takutnya Elvina sudah bangun.” Kata-kata Tama tadi berhasil membuat jantung Syera berdebar dua kali lebih cepat. Ia tidak tahu apakah kata-kata tersebut memang serius atau hanya gurauan belaka. Namun, dirinya lebih percaya pada opsi pertama. Tak mungkin juga suaminya cemburu, memangnya siapa dia? Syera kembali berbalik dan melanjutkan langkah, namun Tama kembali menahannya. Kali ini dengan mencekal lengannya. Lelaki itu merebut paksa kotak berisi tas dari Dareen dari tangannya dengan wajah yang tampak sangat kesal. “Sepertinya kamu sangat senang mendapat hadiah dari Dareen?” Tama melirik isi kotak di tangannya sekilas sebelum menutup benda itu, seakan enggan melihat isinya. “Kalau aku yang memberikannya, kamu pasti menggunakan segala alasan untuk menolak, ‘kan?” Syera yang gela
Syera menatap layar ponselnya yang sudah kembali menghitam dengan helaan napas berat. Ia tak ingin menafsirkan apa arti ‘bersenang-senang' yang dikatakan oleh wanita tadi. Namun, biar bagaimanapun, segala kemungkinan itu tetap memenuhi pikirannya. Wanita itu menyimpan ponselnya di saku celana piyama yang dikenakannya seraya membereskan makanan yang tersedia di meja. Untung saja ia sudah makan malam bersama Elvina tadi. Jadi, walaupun moodnya cukup anjlok sekarang, jatah makanannya juga anaknya telah terpenuhi. Syera berusaha mengusir dugaan-dugaan negatif yang tanpa permisi memenuhi kepalanya, tetapi ternyata tidak semudah itu. Padahal sudah berulang kali juga ia menegaskan pada dirinya sendiri untuk tidak terlalu ingin tahu tentang urusan Tama. Dan sekarang dirinya malah merasakan sesuatu yang tidak seharusnya. “Daddy-mu sedang sibuk, Sayang. Malam ini kita tidur dengan Kak El saja ya?” Syera bergumam sembari mengelus perutnya yang membuncit. Kemarin-kemarin Syera pasti sudah tidu
“Kenapa Mas yakin kalau dalang dari semuanya adalah orang yang sama?” tanya Syera yang masih duduk di pangkuan Tama. “Apa orang itu adalah salah satu investor yang tiba-tiba menarik dana dari perusahaan yang Mas pimpin?” “Aku hanya menebak-nebak. Entah benar atau tidak, aku juga tidak tahu. Dia tidak membatalkan kerja sama, tapi memperalat pihak lain untuk melakukan itu. Sementara, tangannya tampak bersih,” sahut Tama seraya kembali menyandarkan kepala di pundak Syera. “Alur permainannya mirip dengan saat dia mengganggu Kirana dulu. Dia membuat perusahaanku kacau hingga aku sibuk di sana dan mengabaikan keadaan di rumah. Sekarang ia melakukan itu lagi. Tapi, aku tidak sebodoh dulu sampai mengabaikan keluargaku!” imbuh lelaki itu lagi. Tama mengeratkan rengkuhannya pada perut Syera setelah mengusapnya sejenak. “Itulah kenapa aku melarang kamu pergi sendirian. Entah apa yang dia rencanakan di luar sana. Tapi, sudah pasti akan merugikan kita.” Syera spontan mengusap rambut sang suami
“Apa Mas memang selalu pamrih saat memberikan sesuatu? Bahkan, aku belum memakai barang-barang itu. Bagaimana kalau aku tidak menyukainya? Apa lebih baik aku kembalikan saja?” tanya Syera pada Tama yang kini memerangkapnya. Ia tidak marah, lebih cenderung gemas karena tingkah suaminya yang luar biasa. Pagi-pagi sekali dirinya sudah diberi kejutan yang luar biasa. Jujur saja ia sangat senang, namun tak berselang lama lelaki itu malah meminta sesuatu yang membuatnya geleng-geleng takjub. Sempat terlintas dalam benak Syera jika Tama pasti meminta sesuatu sebagai imbalan. Akan tetapi, ia tak menyangka lelaki itu akan meminta imbalan sekarang juga. Bahkan, ia baru saja bangun tidur dam belum sempat membersihkan diri sama sekali. Kepercayaan dirinya yang memang tidak pernah menyentuh 100% semakin berkurang. Sayangnya, Tama yang tampaknya sudah tidak sabaran tak memberinya jeda sama sekali. Seolah-olah tak terganggu dengan aroma-aroma tak sedap yang mungkin muncul dari tubuhnya. “Bukan pa
Nada bicara Rebecca memang halus, namun terasa menusuk tepat ke jantung Syera. Tidak ada ibu waras manapun yang sudi dipisahkan dengan darah dagingnya. Apalagi jika ada yang terang-terangan ingin menggantikan posisinya. Sekarang ia tahu jika Elena bukanlah sanak saudara Tama, melainkan seseorang yang akan bersanding dengan suaminya suatu saat nanti. Meskipun hatinya tak terima, Syera memilih diam. Mati-matian ia berusaha menahan air mata yang menggenang di pelupuk matanya. Tama saja tak pernah menyinggung persoalan itu selama ini. Dan ternyata pembahasan tersebut malah datang dari ibu mertuanya. Syera menatap Tama dan Elena yang sedang berjalan beriringan sembari bercengkrama. Kedua insan itu memang tampak sangat serasi. Terlihat seperti pasangan yang sempurna dan setara. Tidak seperti dirinya yang hanya berasal dari keluarga kalangan bawah. Bahkan, tak tahu bagaimana rupa ibu kandungnya sendiri. “Kamu dengar apa yang saya katakan tadi atau tidak?” Rebecca mengguncang lengan Syera y
“Hanya mantan kekasih ‘kan, Mbak? Masa lalu? Kenapa harus dibahas lagi?” Sebenarnya fakta ini sangat mengejutkan bagi Syera. Namun, ia berusaha tetap tenang seolah-olah tak terpengaruh dengan kata-kata wanita itu. Syera pikir Elena hanyalah wanita yang dijodohkan dengan Tama oleh Rebecca karena keduanya tampak setara. Sama-sama berasal dari keluarga terpandang. Ternyata keduanya pernah memiliki hubungan spesial di masa lalu. Kenyataan itu berhasil menyentil relung hati Syera. Sudah jelas kedatangan wanita di hadapannya ini karena ingin kembali bersama Tama. Apalagi setelah melihat bagaimana gerak-gerik Elena, Syera yakin tidak salah menduga. “Tapi, masa lalu bisa menjadi masa depan, ‘kan?” Elena menyeringai lebar sembari bersandar dan melipat kedua tangannya di depan dada. “3 tahun kami bersama dan itu bukan waktu yang sebentar. Aku mengenalnya jauh lebih lama dari kamu!” Syera masih mempertahankan senyum tipis yang terlukis di wajahnya. Elena telah berhasil menyulut emosinya dalam
“Darimana kamu bisa menyimpulkan aku cocok dengan Elena?” Mimik wajah Tama berubah tak santai. Lelaki itu mengubah posisinya menjadi duduk bersila dengan kedua tangan terlipat di depan dada. “Atau Mama yang mengatakan sesuatu?” Syera gelagapan. Jika dalam hal-hal seperti ini, Tama pasti dapat menebak dengan mudah. Sedangkan tentang tuduhan tak berdasar lelaki itu padanya, masih juga belum mendapat titik terang. Padahal ia merasa kata-katanya barusan tidak menjurus kemana-mana. “Tidak ada yang mengatakan apa pun. Aku hanya mengatakan pendapatku saat melihat kalian bersama. Hanya menebak-nebak, memangnya salah?” sahut Syera yang sebenarnya masih mencoba mencari jawaban lain. Sebenarnya Syera hanya ingin menanyakan mengenai perkembangan masalah yang terjadi di perusahaan Tama. Namun, ia malah keceplosan membahas tentang Elena karena suaminya lebih dulu membawa nama wanita itu. Jujur saja dirinya memang kesal karena merasa tak bisa membantu, sedangkan Elena begitu berjasa. Ditambah lag
Bentakan itu membuat Syera terkejut bukan main. Ia spontan melangkah mundur dengan mata membulat sempurna. Baru saja ia hendak menanyakan kenapa lelaki itu tiba-tiba pulang, namun dirinya lebih dulu mendapat bentakan kasar. “Maaf, Mas. Aku—” “Aku mengizinkanmu menyentuh barangku, tapi bukan berarti kamu bisa melihat semuanya!” desis Tama dengan suara tertahan. Lelaki itu menyambar amplop miliknya yang tergeletak di lantai dan sesuatu malah keluar dari lipatannya. Selembar foto berukuran kecil meluncur bebas dari dalam map tersebut. Syera mengerutkan keningnya mengetahui foto siapa itu. Faisal, paman dari mendiang Kirana. Tama yang menyadari itu langsung mengambil foto tersebut dan mengembalikan ke tempatnya. Syera tak mengerti mengapa Tama sangat panik melihat amplop tersebut di depan matanya. Ditambah lagi dengan foto Faisal yang berada di sana. Ia ingin menanyakan kejelasannya, tetapi wanita itu menyadari betapa panasnya atmosfer kali ini. Suaminya akan semakin murka jual ia beran
“Huek! Huek!” Syera memejamkan mata seraya memijat pelipisnya setelah mual yang dialaminya sedikit membaik. Selama beberapa saat, wanita itu masih berpegangan pada pinggiran wastafel sembari mengumpulkan sisa-sisa tenaganya. Setelah dirasa mualnya tak akan datang lagi, barulah wanita itu membersihkan mulut dan wajahnya. Kemudian, beranjak dari toilet dengan langkah pelan karena kepalanya masih berdenyut-denyut. Padahal ia sudah meminum obat masuk angin, namun tetap saja tak ada hasil yang signifikan. Semenjak hari ulang tahun Aidan yang ke-1 seminggu lalu, Syera selalu seperti ini. Tubuhnya lemas dengan pening dan mual yang melengkapinya. Untung saja Bianca dan Rebecca sering berkunjung belakangan ini. Jadi, dirinya tidak keteteran mengurus kedua anaknya dalam keadaan seperti ini. “Kamu masih mual-mual? Yakin tidak perlu ke dokter? Suamimu akan marah besar kalau tahu kamu sakit tapi tidak mau ke dokter,” tutur Bianca yang baru saja masuk ke kamar putrinya bersama Aidan yang sedang
“Maaf membuatmu kesal seharian ini. Aku sengaja melakukan itu agar kamu tidak sadar kalau orang-orang rumah sedang mempersiapkan pesta ini,” ucap Tama membongkar rencana terselubungnya memuat Syera kesal seharian ini. Syera spontan menoleh. Tak menyangka jika sikap menyebalkan suaminya adalah unsur kesengajaan. Ia menyadari hari ini para pelayan yang biasanya jarang berkeliaran tampak lebih sibuk. Tetapi, mengabaikannya karena dibuat kesal dengan sikap sang suami. Hal yang lebih mengejutkan adalah mereka mengingat hari ulang tahunnya. Entah siapa yang memiliki ide untuk merayakan ulang tahunnya. Tetapi, jujur saja ini sangat membahagiakan baginya. Sebelumnya tak pernah ada yang membuat kejutan di hari ulang tahunnya. Dulu, sang ayah hanya mengucapkan selamat ulang tahun jika ingat saja dan tidak ada perayaan spesial setelahnya. Syera mengira hal itu karena ayahnya masih mengingat ibu kandungnya. Tetapi, ternyata itu terjadi karena Kuncoro memang bukan ayah kandungnya. Wajar jika
“Kenapa mataku harus ditutup, Mas? Memangnya kita akan ke mana? Bagaimana kalau aku tersandung?” protes Syera setengah menggerutu karena Tama memaksa menutup matanya dengan kain begitu mereka turun dari mobil. Ketika pulang dari kantor, tiba-tiba Tama memaksa Syera yang saat itu sedang memasak di dapur untuk bersiap-siap pergi. Ternyata lelaki itu mengajaknya mengunjungi salah satu salon di dekat tempat tinggal mereka dan langsung meminta para stylish mendandaninya. Syera tak sempat bertanya karena para stylish itu langsung membawanya memasuki ruangan lain. Setelah dirinya selesai didandani oleh mereka dengan riasan yang cukup mewah, barulah ia bertanya pada sang suami ke mana mereka akan pergi karena riasan juga gaun yang dirinya pakai rasanya terlalu merah jika untuk menghadiri undangan dari rekan bisnis lelaki itu. Namun, seperti biasa, Tama lebih senang membuat Syera penasaran dan bertanya-tanya sendiri. Lelaki itu hanya mengatakan jika mereka akan mendatangi acara penting. Enta
“Tadi kamu mengunjungi makam Kirana, ‘kan? Kenapa tidak terus terang padaku?” Tama yang baru saja berbaring di ranjang langsung bertanya tanpa basa-basi. “Supirku tidak mungkin bisa kamu ajak bekerja sama.” Tama yang tahu kalau Syera belum tidur langsung membalikkan tubuh wanita itu. “Aku tidak akan marah atau melarangmu kalau kamu jujur. Jadi, kenapa kamu memilih berbohong? Bagaimana kalau terjadi sesuatu di luar sana dan aku tidak tahu?” Syera merutuk dalam hati. Ia memang tak ingin Tama mengetahui dirinya mengunjungi makam sang kakak karena tidak mau ditanya macam-macam. Sebenarnya wanita itu berencana berangkat menggunakan taksi. Namun, hal itu pasti semakin memicu kecurigaan Tama. Syera sudah berpesan pada supir yang mengantarnya agar tidak perlu memberitahu ke mana dirinya pergi setelah mengunjungi makam Kuncoro. Namun, ia lupa jika semua orang yang bekerja di rumah ini pasti memberitahu aktivitasnya pada lelaki itu. “Emm … aku tidak bermaksud menyembunyikannya. Lagipula aku
Selama ini Syera tak pernah mendengar informasi apa pun mengenai ayah mertuanya. Ia sempat mengira jika mungkin saja kedua orang tua Tama sudah berpisah dan hidup masing-masing hingga tak pernah berkumpul lagi. Namun, setelah Tama mengajaknya ke suatu tempat yang mengejutkan, Syera tahu dugaannya salah. Setelah mereka makan siang bersama, Tama benar-benar mengajak istri dan anaknya mendatangi tempat papanya berada. Syera mengikuti langkah Tama yang lebih dulu berjalan memasuki area pemakaman umum yang ternyata berlokasi cukup dekat dengan kantor lelaki itu. Tak berselang lama, mereka sampai di sebuah pusara bertuliskan nama Bagas Ravindra. “Selamat siang, Pa. Maaf baru mengunjungi Papa lagi. Aku ingin mengenalkan orang-orang yang sangat ku sayangi. Istri dan anak-anakku,” ucap Tama sembari berjongkok di samping pusara sang papa dan mengusap batu nisannya. Syera ikut berjongkok di samping suaminya sembari membetulkan gendongan Aidan yang sedikit melorot. “Halo, Pa. Maaf baru d
“Apa?! Lalu, bagaimana, Mas?” sahut Syera khawatir. Syera sudah menduga jika cepat atau lambat Elena pasti melakukan sesuatu yang akan merugikan pihak mereka. Walaupun jelas wanita itu yang salah, Elena tak mungkin tinggal diam setelah diperlakukan seperti itu oleh Tama. Perusahaan yang Tama pimpin baru mulai stabil beberapa bulan lalu, itupun karena bantuan dari Elena juga. Jika wanita itu tiba-tiba menarik seluruh investasi, pasti dampaknya cukup besar bagi perusahaan sang suami. Tama menarik pelan sang istri yang hendak bangkit kembali ke pelukannya. “Jangan khawatir, Sayang. Sejak kejadian malam itu aku sudah menebak kalau dia akan melakukan ini. Aku juga sudah mempersiapkan semuanya. Tadi aku hanya memperbaiki sedikit masalah. Perusahaanku tidak akan kolaps seperti waktu itu lagi.” Syera yakin Tama pasti dapat menyelesaikan masalah di perusahaan yang lelaki itu pimpij secepatnya. Akan tetapi, bukan tidak mungkin Elena kembali berulah setelah ini. Sebelumnya wanita itu selalu m
Syera yang merasa tidak pernah dekat dengan ibu mertuanya terus tak berhenti menerka apa yang akan wanita paruh baya itu bicarakan dengannya. Selama ini Rebecca hanya mengancam, menghina atau mengintimidasinya ketika mereka sedang berbicara. Wanita paruh baya itu berubah lebih baik setelah mengetahui siapa dirinya. Akan tetapi, mereka belum pernah berbicara empat mata setelah itu. Terlebih, saat ini tak ada Tama di rumah. Bukannya ia tak suka dengan keberadaan Rebecca, hanya saja menurutnya sangat aneh ketika wanita itu tiba-tiba mengajaknya mengobrol. Syera masih dipusingkan dengan sikap aneh suaminya. Ia tak mau menambah beban pikirannya hanya karena pembicaraannya dengan Rebecca. Walaupun belum tentu juga wanita paruh bata itu akan membicarakan sesuatu yang melukai hatinya. “Atau jangan-jangan ini juga ada hubungannya dengan sikap aneh Mas Tama?” gumam Syera menebak-nebak. Ia sedang membuat teh chamomile untuk teman mengobrolnya dengan sang ibu mertua nanti. Selain sedang malas
“Sayang, kamu yakin tidak mau bergabung bersamaku?” tutur Tama sembari menyugar rambutnya yang basah menggunakan tangan. Ia sengaja berenang mendekati Syera dan mencipratkan air kolam ke arah wanita itu. “Mas, basah!” gerutu Syera kesal. Pakaian yang baru dipakainya beberapa menit sebelum datang ke privat pool ini basah karena kelakuan suaminya. Sejak awal ia memang tidak akan ikut berenang karena cukup sadar jika dirinya tak mahir berenang. Kalau bukan karena Tama yang tadi memaksanya ikut kemari ia akan memilih bermain bersama anak-anaknya di kamar. Syera tahu pasti suaminya akan terus mengusiknya jika berada di sini. Apalagi hanya ada mereka berdua di sini. Villa yang Tama sewa untuk bulan madu mereka memang dilengkapi dengan fasilitas privat pool di bagian belakangnya. Namun, sejak pertama kali menginjakkan kaki di tempat ini. Syera sama sekali tak tertarik untuk mencoba berenang di sini. Apalagi setelah melihat jika air kolam itu mencapai dada suaminya yang berarti mencapai dag
Walaupun kesalahpahaman di antara Syera dan Tama telah terungkap, nyatanya pesta pernikahan mereka tetap tidak jadi dilaksanakan karena Elvina jatuh sakit. Mereka sepakat menunda pesta tersebut dan fokus merawat Elvina dulu. Dua hari kemudian pesta tersebut baru bisa dilaksanakan. Pesta sangat mewah yang bahkan jauh lebih indah dari yang Syera bayangkan. Syera sempat mendengar dari beberapa pelayan yang berbincang jika pesta ini lebih mewah dari pesta pernikahan Tama dengan Kirana. Syera tak tahu hal itu benar atau tidak karena dirinya tidak berani menanyakan secara langsung pada Tama. Lagipula ia tidak ingin bersaing dengan kakaknya sendiri. Diberi pesta seperti ini saja sudah sangat membahagiakan baginya. 6 “Mas, kenapa saat di restoran waktu itu Mas malah mencekik Elena? Memangnya apa yang dia katakan?” tanya Syera sembari menyelipkan tangannya di lengan Tama. Syera tahu pembahasan ini kurang cocok dibahas sekarang, namun ia sudah terlanjur penasaran. Setiap hendak bertanya, pas