"Ini benar kepalanya? Dan Ini kaki, lalu apa kami sudah bisa tahu jenis kelaminnya, Dok?"Ayuda tertawa memandangi Jiwa yang sibuk bertanya ke dokter kandungan tentang kondisi bayi mereka. Pria itu bahkan sampai mendekat ke layar monitor untuk melihat dengan jelas agar lebih puas. "Dia sedang miring ke sebelah kanan jadi belum terlihat, Pak."Jawaban dari dokter membuat Jiwa sedikit kecewa. Meski begitu tak mengurangi rasa bahagianya mendengar calon anaknya tumbuh sehat sesuai dengan usia kehamilan Ayuda. "Asam folatnya diminum ya Bu, boleh makan apa saja asal tidak berlebihan, karena sesuatu yang berlebihan tidak baik untuk kesehatan."Nasihat sang dokter diiyakan Ayuda dengan anggukan kepala. Ia mengucapkan terima kasih sebelum meninggalkan ruang pemeriksaan menuju ke kamar rawat Jiwa. Di sana, Ayuda membantu mengemasi barang sang suami. Wajahnya menunjukkan kebahagiaan, padahal hanya sebuah kepalsuan agar Jiwa tidak curiga dengan rencananya."Aku ingin keluar sebentar untuk menc
Ayuda pulang ke rumah Ramahadi. Ia sengaja mengambil barang-barangnya yang penting bahkan meminta bantuan ke bik Nini untuk menatanya. Ayuda berkata ada urusan pekerjaan di luar kota sehingga butuh membawa banyak barang, dia jelas tak ingin jika pembantu senior di rumah mertuanya itu curiga dengan rencananya.“Bagaimana kondisi tuan muda Raga, Nona?”“Masih belum sadar, dia masih di ICU. Ada mama yang menemani di sana,” jawab Ayuda. Ia melempar senyum sambil melipat baju ke dalam koper.Bik Nini agaknya mencium gelagat aneh, tapi dia memang tak sampai berpikir bahwa Ayuda akan pergi meninggalkan anak majikannya.“Oh … ya Bik Nini aku punya sesuatu.”Ayuda mengambil amplop cokelat di dalam tas lalu menyerahkannya ke pembantu itu. Dia sudah menyiapkan sejumlah uang untuk diberikan ke bik Nini.“Non, apa ini?”“Hadiah dariku karena selama ini bik Nini sangat baik ke aku,” jawab Ayuda. Ia sebenarnya ingin memberikan sesuatu untuk bik Nini, tapi bingung memilih barang apa yang diinginkan s
Pagi itu, Jiwa terganggu dengan sinar matahari yang menembus korden kamarnya. Ia mengerjap dan menutup mata dengan punggung tangan. Pria itu mengernyitkan kening lalu mengedarkan pandangan. Sepi, tak ada sosok Ayuda di sana bahkan Wangi pun tidak datang.Pria itu menegakkan punggung, parasnya yang baru saja terjaga nampak lesu. Meski begitu, dia memulas senyum melihat foto USG calon anaknya yang ditinggalkan Ayuda di sebelah bantal.“Kemana mommymu?”tanya Jiwa bak sedang bicara dengan anaknya. Ia memutuskan bangkit dari kasur untuk membersihkan diri.Jiwa merasa tak sabar untuk bisa pulang bersama Ayuda dan melewati hari-hari bahagia bersama.Namun, dia dibuat heran. Bahkan setelah dua jam Ayuda masih belum datang. Ia mulai gusar apalagi ponsel istri keduanya itu tak bisa dihubungi.“Ayuda, ke mana dia?” Jiwa mulai cemas dan berpikir hal buruk mungkin sedang terjadi.Lama pria itu duduk di sofa, dia berharap pintu terbuka dan Ayuda datang dengan senyuman lebar. Istrinya itu pasti hany
Ramahadi tak bisa melakukan apa-apa selain membiarkan saja putranya. Ia melihat surat cerai yang tergeletak di lantai.Saat dia datang tadi, Wangi sudah tidak ada di sana dan meninggalkan pintu kamar perawatan Jiwa terbuka. Ramahadi menatap kertas itu sambil membuang napas kasar. Ia meremas lalu melemparnya begitu saja.“Coba kamu lacak di mana keberadaan Jiwa sekarang, anak itu sejak dulu sama. Kalau sudah bucin pasti akan bertindak seperti orang gila,”ucap Ramahadi ke bawahannya.Pria itu keluar dan berbelok menuju kamar Raga. Ia juga harus mengecek kondisi kesehatan sang putra bungsu yang baru saja melakukan operasi._Ayuda berdiri di teras sebuah rumah dengan pemandangan hamparan pohon teh di sekelilingnya. Wanita itu melipat tangan di depan dada sambil mengingat setiap ucapan Ramahadi.‘Papamu juga tidak menginginkan anakmu, aku tidak tahu kenapa Affandi sangat dendam kepadaku dan bahkan tidak sudi memiliki cucu yang mengalir darah keturunan keluargaku. Jika kamu pergi ke Amerik
“Mas Jiwa mau sampai kapan seperti ini? tak acuh dan bahkan tidak mau tidur satu kamar denganku.”Wangi mendatangi Jiwa yang ada di kamar Ayuda. Apa yang dia inginkan tak berjalan sesuai rencana. Setelah madunya itu pergi bukannya melupakan, Jiwa malah larut dalam nestapanya sendiri.“Tidur denganmu? kamu selalu pulang malam, bahkan kita sudah jarang lagi bercerita dan mencurahkan isi hati satu sama lain, jadi untuk apa aku berada di kamar itu. Lebih baik aku di sini menunggu Ayuda kembali.”Jawaban Jiwa seperti menampar Wangi. Wanita itu tak bisa berkata-kata dan seharusnya sadar kesempatannya kembali harmonis dengan Jiwa sudah tidak ada.Wangi cemburu, dia marah karena sikap Jiwa yang terlalu jauh berbeda. Meski dia sadar sudah tidak ada tempat untuknya, tapi dia tetap memaksa.“Aku hanya ingin istirahat, jadi tolong beri aku sedikit ruang untuk sendiri,” kata Jiwa dengan nada suara tinggi.“Wanita itu sangat licik, dia tahu dengan memilih pergi Mas akan menjadi seperti ini. Mas sep
Ayuda mulai menyesuaikan keadaan dengan membuat dirinya nyaman. Apa yang tidak dia suka dari villa itu dia ubah dan singkirkan. Ayuda menata perlahan ruangan, dan pagi itu dia memulainya dari kamar.“Tidak perlu box bayi karena dia akan tidur di ranjang bersamaku nanti, tapi cat kamar ini terlihat tidak segar, apa aku ganti warna pink saja?” Agaknya Ayuda bisa melupakan sedikit kesedihan dengan hal-hal random di sana. Cukup setiap malam dia meratapi kerinduannya ke Jiwa, dia sadar bahwa perasaan sedih yang dia rasakan bisa dirasakan juga oleh bayinya.“Pink?” Ayuda bergelut dengan pikirannya sendiri. “Sejak kapan aku menyukai warna itu?”Wanita dengan gaun selutut dan rambut diikat kuda itu menggeleng, menurut Ayuda warna merah muda terlalu girly, dia lebih suka warna merah yang berani. Namun, mengecat dinding kamar dengan warna merah agaknya kurang lazim, terlalu mencolok.“Aku harus meminta tolong seseorang untuk menggeser meja rias ini,”ucap Ayuda.Ia terus berbicara dengan dirin
“Om, apa Om tahu ke mana kak Ayuda?”Sienna memakan dengan lahap pudding yang seharusnya menjadi jatah Snack Raga. Setelah habis gadis itu bahkan menumpahkan sisa airnya ke dalam mulut seperti bocah yang tak pernah makan makanan kenyal nan lembut itu.“Kamu memanggil Ayuda kakak, tapi memanggilku Om, aku tidak sudi punya keponakan sepertimu!” Raga menjawab dengan ketus.Sebenarnya dia juga penasaran ke mana Ayuda. Ponsel wanita itu tidak aktif, bahkan tak menjenguk setelah dia menjalani operasi.“Om, apa Om mau mendengar lelucon?” Sienna mendekatkan kursi ke Raga. Gadis itu bahkan menaikturunkan alis matanya.“Apa?”“Aku mengunci gadis-gadis jahat yang menjebakku di club malam itu di dalam gudang kampus. Mereka aku tinggal di sana semalaman dan mereka mati kehausan.”Raga merinding, matanya melotot mendengar cerita Sienna yang menyeramkan. “Apa kamu itu psikopat? Lelucon apa? itu tidak lucu Sienna,” amuk Raga.Sienna malah tertawa, dia senang bisa membuat Raga takut. Apa yang dia ucap
Meski sedikit terpaksa Dira akhirnya mau menemui Hanung siang itu. Mereka kini duduk berhadapan di sebuah restoran bergaya Italia. Dira hanya diam menunggu pria di depannya ini bicara. Padahal sudah sangat jelas dia berkata tidak mungkin bisa melanjutkan hubungan tanpa mendapat restu dari ibunda Hanung.“Aku akan bicara pada Mama, beliau tidak akan mungkin menolak jika aku bersungguh-sungguh meminta. Ra, yang kamu butuhkan hanya sabar dan yang aku butuhkan adalah dukungan.”Dira membalas kalimat Hanung dengan tawa penuh ironi. Ia bukan gadis bodoh yang berharap wanita yang membencinya bisa dengan mudah melunak lalu merestui.“Aku serius ingin menikahimu,” ucap Hanung. Ia ingin meraih tangan Dira tapi gadis itu menjauhkannya. Meski begitu Hanung tetap berusaha dan pada akhirnya bisa memegang tangan Dira.“Mas, apa perlu aku tegaskan lagi? aku tidak ingin melanjutkan hubungan yang tidak direstui. Aku bukan gadis bodoh Mas, berharap suatu saat hati Mama mas Hanung terbuka dan mau menerim