Meski sedikit terpaksa Dira akhirnya mau menemui Hanung siang itu. Mereka kini duduk berhadapan di sebuah restoran bergaya Italia. Dira hanya diam menunggu pria di depannya ini bicara. Padahal sudah sangat jelas dia berkata tidak mungkin bisa melanjutkan hubungan tanpa mendapat restu dari ibunda Hanung.“Aku akan bicara pada Mama, beliau tidak akan mungkin menolak jika aku bersungguh-sungguh meminta. Ra, yang kamu butuhkan hanya sabar dan yang aku butuhkan adalah dukungan.”Dira membalas kalimat Hanung dengan tawa penuh ironi. Ia bukan gadis bodoh yang berharap wanita yang membencinya bisa dengan mudah melunak lalu merestui.“Aku serius ingin menikahimu,” ucap Hanung. Ia ingin meraih tangan Dira tapi gadis itu menjauhkannya. Meski begitu Hanung tetap berusaha dan pada akhirnya bisa memegang tangan Dira.“Mas, apa perlu aku tegaskan lagi? aku tidak ingin melanjutkan hubungan yang tidak direstui. Aku bukan gadis bodoh Mas, berharap suatu saat hati Mama mas Hanung terbuka dan mau menerim
Dira kaget, ini karena dia bahkan tidak mengenal siapa orang yang mencekal tangan ibunda Hanung.“Siapa yang Anda pikir sedang Anda tampar?”Hari, pria itu menunjukkan wajah garang. Padahal sejatinya dia memiliki wajah yang kalem. Tipikal wajah bapak-bapak yang penuh kasih sayang.“Lepaskan tangannya!” Dira bingung harus menyebut apa ibunda Hanung. Toh wanita itu juga sangat membencinya.Hari melepaskan tangan wanita itu dengan kasar, sebelum memandang Dira dan menunduk memberi hormat.“Nona, saya diminta tuan untuk menjemput Nona,”kata Hari dengan sangat sopan.Ibunda Hanung sampai tak bisa berkata-kata, dia bingung kenapa gadis yang dia anggap tak selevel dengan putranya ini dipanggil dengan sebutan ‘Nona’.“Jaga sikap Anda! Jika tuan Affandi tahu Anda menampar putrinya yang berharga, maka bukan hanya Anda, tapi perusahaan suami Anda juga akan terkena akibatnya.”Hari memersilahkan Dira untuk ikut dengannya, dan karena tidak ada yang bisa dia lakukan dan sampaikan di sana, gadis itu
Aldi berdiri di depan meja Affandi pagi itu. Dengan berani memutuskan mengundurkan diri dari perusahaan karena merasa tidak ada lagi ada yang bisa dia kerjakan. Padahal sebelum menjadi sekretaris dan pengawal Ayuda, Aldi juga sudah biasa ditempatkan di bagian berbeda-beda sesuai dengan bagian apa yang sedang membutuhkan pekerja.Keputusan Aldi yang sedikit tergesa ini membuat Affandi bingung, padahal dia baru saja ingin meminta Aldi untuk membantunya membujuk Dira agar mau diajak bertemu.“Kenapa harus keluar? Kamu bisa mendapat posisi lain di perusahaan,”jawab Affandi dengan sorot mata sedikit curiga. Ia masih merasa Aldi tahu keberadaan Ayuda, tapi sengaja merahasiaakan darinya.“Saya ingin rehat sejenak, saya pikir saya sudah terlalu keras dengan diri saya sendiri karena bekerja setiap hari.”Jawaban Aldi membuat Affandi melirik Hari. Ayahanda Ayuda itu berusaha meminta bantuan agar orang kepercayaannya itu bisa ikut membujuk.Paham dengan isyarat yang diberikan oleh atasannya, Har
Dira buru-buru keluar dari rumah sambil menggendong Arca. Ia tidak bisa meninggalkan kucing itu sendirian di rumah karena masih belum memiliki pembantu. Dengan uang yang dia miliki sekarang, naik taksi memutari kota seharian pun tidak akan menjadi masalah. Dira ingin mendatangi langsung rumah Ramahadi untuk memastikan keberadaan Ayuda, tanpa tahu kalau mertua saudara kembarnya itu tengah dirundung duka.Baru saja menutup pintu gerbang rumah, Dira dibuat kaget karena Aldi tiba-tiba muncul. Pria itu memandangi penampilan Dira dari atas sampai bawah, meski sudah tidak perlu melarikan diri atau bersembunyi, tapi Dira masih mengenakan hijab. Dan, mungkin ini lah yang membuat Aldi menyukainya.“Mas Al!”Aldi malah memandangi Dira tanpa berkedip, ini membuat gadis itu sampai harus memukul lengan untuk membuatnya tersadar.“Kamu mau ke mana?”“Mas kenapa ke sini?”Keduanya berucap secara bersamaan, dan saat membuka mulut lagi mereka kembali mengulangi hal yang sama.“Kamu dulu!”“Mas dulu!”A
“Ayuda pergi, dia tidak meninggalkan pesan sama sekali dan malah memberiku surat cerai.”Jiwa duduk di samping ranjang Raga. Adiknya itu sudah mulai pulih, hanya menunggu beberapa tes lagi sampai diperbolehkan pulang. Linda hanya mendengarkan, dia membereskan nakas yang sedikit berantakan sambil sesekali melirik ekspresi wajah Jiwa.“Dia memang suka mempermainkan perasaan orang, pantas dia datang memberiku bunga sebelum aku menjalani operasi. Dia bilang saat aku bangun bunga itu bisa aku anggap penggantinya. Wanita itu!” Raga mengeluh, tapi merasa salah setelahnya karena muka sang kakak berubah semakin sedih. “Apa kamu tidak mau mencarinya? Cari dia! Bawa dia pulang bersama calon keponakanku yang berharga.”“Ayuda tidak akan mau kembali kepadaku jika aku masih menjadikannya istri ke dua.”“Lalu ceraikan saja Wangi,”sambar Linda dengan cepat.Linda harus rela mendapatkan tatapan heran dari kedua putranya karena kalimat yang baru saja dia ucapkan. Jiwa tidak mungkin menanyakan apa maksu
“Kamu tidak bisa melarangku!”“Mas mau pergi ke villa yang mana?” Wangi tak ingin dengan mudah membiarkan sang suami pergi.“Terserah aku, apa pedulimu?” Jiwa merampas kembali tasnya.Namun, Wangi tidak dengan mudah membiarkan. Wanita itu malah memeluk tubuh Jiwa dan memohon agar sang suami tidak bersikap seperti ini.“Aku mohon! Lupakan Ayuda! Anggap saja dia hanya bagian dari ujian rumah tangga kita, Mas.”“Aku tidak bisa melakukannya Wangi, karena sekarang bagiku kamu lah ujian itu,” jawab Jiwa sambil berusaha melepas pelukan sang istri.Setelah terlepas, pria itu kembali menegaskan ucapannya barusan. “Mungkin ini terdengar kejam, tapi aku ingin kita berpisah. Aku menjatuhkan talak cerai padamu.”Wangi tak percaya, dia menggeleng menolak ucapan Jiwa dan bahkan mendorong dada pria itu dengan kasar.“Tidak akan semudah itu bercerai denganku, Mas!”_Di villa tempatnya bersembunyi, Ayuda gelisah. Hari sudah malam tapi bik Nini belum juga kembali. Ia juga tidak memiliki ponsel, jika sa
Bertemu dengan pria yang merupakan ayah kandungnya tak membuat Dira bahagia. Sejak datang dia malah merasa dipojokkan. Bukannya menanyakan kabar atau bagaimana hidup yang dia jalani selama ini, Affandi malah bertanya soal kemungkinan dia tahu di mana kebaradaan Ayuda. Affandi masih belum bisa mengendus keberadaan putrinya itu, padahal Ayuda tidak pergi terlalu jauh. Hal ini karena Ramahadi sangat rapi menyembunyikan rahasia. Sejak awal inilah alasan Ramahadi bersikap tak begitu peduli ke Ayuda di depan orang lain. Selain menghindari asumsi negatif dari Ayuda sendiri, dia juga tidak ingin Affandi terlalu mengawasinya. “Jadi kamu benar tidak tahu di mana Ayuda?” “Kenapa Anda terus mengulang pertanyaan yang sama? Apa tidak sedikitpun Anda ingin tahu bagaimana saya menjalani hidup selama ini?” Dira sampai seperti orang yang mengiba, Aldi dan Hari yang juga berada di ruangan itu juga merasakan hal yang sama. Sejak tadi Affandi memang hanya menanyakan tentang Ayuda. Tidak ada sikap hanga
Ayuda senang, penuh semangat dia duduk di kursi makan untuk mencoba melihat berita lewat ponsel barunya. Tiara bahkan sampai tak bisa menahan tawa, begitu juga dengan Ari. Namun, tak lama pria itu memilih pamit karena tidak ingin mengganggu Ayuda.“Aku benar-benar tidak bisa hidup tanpa gadget, apa ini yang disebut kecanduan?” tanya Ayuda tanpa menoleh Tiara.Gadis muda itu meletakkan tas bajunya ke dekat meja pajangan, setelah itu mengambil vacuum cleaner yang tadi ditinggalkan begitu saja oleh Ayuda. Tiara tahu tugasnya di sana, dia pun meneruskan pekerjaan Ayuda membersihkan lantai.Beberapa menit berselang, Tiara kembali menipiskan bibir melihat Ayuda masih sibuk dengan benda pipih di tangan. Ia mendekat ke arah bak cuci piring untuk membersihkan bekas makan Ayuda. Hingga ibu hamil itu sadar dan meminta maaf.“Tidak apa-apa Nona, saya sudah biasa melakukan pekerjaan rumah, lagi pula tugas saya di sini untuk menggantikan tugas ibu.”Ayuda merasa kagum dengan jawaban Tiara, dia samp