Aldi berdiri di depan meja Affandi pagi itu. Dengan berani memutuskan mengundurkan diri dari perusahaan karena merasa tidak ada lagi ada yang bisa dia kerjakan. Padahal sebelum menjadi sekretaris dan pengawal Ayuda, Aldi juga sudah biasa ditempatkan di bagian berbeda-beda sesuai dengan bagian apa yang sedang membutuhkan pekerja.Keputusan Aldi yang sedikit tergesa ini membuat Affandi bingung, padahal dia baru saja ingin meminta Aldi untuk membantunya membujuk Dira agar mau diajak bertemu.“Kenapa harus keluar? Kamu bisa mendapat posisi lain di perusahaan,”jawab Affandi dengan sorot mata sedikit curiga. Ia masih merasa Aldi tahu keberadaan Ayuda, tapi sengaja merahasiaakan darinya.“Saya ingin rehat sejenak, saya pikir saya sudah terlalu keras dengan diri saya sendiri karena bekerja setiap hari.”Jawaban Aldi membuat Affandi melirik Hari. Ayahanda Ayuda itu berusaha meminta bantuan agar orang kepercayaannya itu bisa ikut membujuk.Paham dengan isyarat yang diberikan oleh atasannya, Har
Dira buru-buru keluar dari rumah sambil menggendong Arca. Ia tidak bisa meninggalkan kucing itu sendirian di rumah karena masih belum memiliki pembantu. Dengan uang yang dia miliki sekarang, naik taksi memutari kota seharian pun tidak akan menjadi masalah. Dira ingin mendatangi langsung rumah Ramahadi untuk memastikan keberadaan Ayuda, tanpa tahu kalau mertua saudara kembarnya itu tengah dirundung duka.Baru saja menutup pintu gerbang rumah, Dira dibuat kaget karena Aldi tiba-tiba muncul. Pria itu memandangi penampilan Dira dari atas sampai bawah, meski sudah tidak perlu melarikan diri atau bersembunyi, tapi Dira masih mengenakan hijab. Dan, mungkin ini lah yang membuat Aldi menyukainya.“Mas Al!”Aldi malah memandangi Dira tanpa berkedip, ini membuat gadis itu sampai harus memukul lengan untuk membuatnya tersadar.“Kamu mau ke mana?”“Mas kenapa ke sini?”Keduanya berucap secara bersamaan, dan saat membuka mulut lagi mereka kembali mengulangi hal yang sama.“Kamu dulu!”“Mas dulu!”A
“Ayuda pergi, dia tidak meninggalkan pesan sama sekali dan malah memberiku surat cerai.”Jiwa duduk di samping ranjang Raga. Adiknya itu sudah mulai pulih, hanya menunggu beberapa tes lagi sampai diperbolehkan pulang. Linda hanya mendengarkan, dia membereskan nakas yang sedikit berantakan sambil sesekali melirik ekspresi wajah Jiwa.“Dia memang suka mempermainkan perasaan orang, pantas dia datang memberiku bunga sebelum aku menjalani operasi. Dia bilang saat aku bangun bunga itu bisa aku anggap penggantinya. Wanita itu!” Raga mengeluh, tapi merasa salah setelahnya karena muka sang kakak berubah semakin sedih. “Apa kamu tidak mau mencarinya? Cari dia! Bawa dia pulang bersama calon keponakanku yang berharga.”“Ayuda tidak akan mau kembali kepadaku jika aku masih menjadikannya istri ke dua.”“Lalu ceraikan saja Wangi,”sambar Linda dengan cepat.Linda harus rela mendapatkan tatapan heran dari kedua putranya karena kalimat yang baru saja dia ucapkan. Jiwa tidak mungkin menanyakan apa maksu
“Kamu tidak bisa melarangku!”“Mas mau pergi ke villa yang mana?” Wangi tak ingin dengan mudah membiarkan sang suami pergi.“Terserah aku, apa pedulimu?” Jiwa merampas kembali tasnya.Namun, Wangi tidak dengan mudah membiarkan. Wanita itu malah memeluk tubuh Jiwa dan memohon agar sang suami tidak bersikap seperti ini.“Aku mohon! Lupakan Ayuda! Anggap saja dia hanya bagian dari ujian rumah tangga kita, Mas.”“Aku tidak bisa melakukannya Wangi, karena sekarang bagiku kamu lah ujian itu,” jawab Jiwa sambil berusaha melepas pelukan sang istri.Setelah terlepas, pria itu kembali menegaskan ucapannya barusan. “Mungkin ini terdengar kejam, tapi aku ingin kita berpisah. Aku menjatuhkan talak cerai padamu.”Wangi tak percaya, dia menggeleng menolak ucapan Jiwa dan bahkan mendorong dada pria itu dengan kasar.“Tidak akan semudah itu bercerai denganku, Mas!”_Di villa tempatnya bersembunyi, Ayuda gelisah. Hari sudah malam tapi bik Nini belum juga kembali. Ia juga tidak memiliki ponsel, jika sa
Bertemu dengan pria yang merupakan ayah kandungnya tak membuat Dira bahagia. Sejak datang dia malah merasa dipojokkan. Bukannya menanyakan kabar atau bagaimana hidup yang dia jalani selama ini, Affandi malah bertanya soal kemungkinan dia tahu di mana kebaradaan Ayuda. Affandi masih belum bisa mengendus keberadaan putrinya itu, padahal Ayuda tidak pergi terlalu jauh. Hal ini karena Ramahadi sangat rapi menyembunyikan rahasia. Sejak awal inilah alasan Ramahadi bersikap tak begitu peduli ke Ayuda di depan orang lain. Selain menghindari asumsi negatif dari Ayuda sendiri, dia juga tidak ingin Affandi terlalu mengawasinya. “Jadi kamu benar tidak tahu di mana Ayuda?” “Kenapa Anda terus mengulang pertanyaan yang sama? Apa tidak sedikitpun Anda ingin tahu bagaimana saya menjalani hidup selama ini?” Dira sampai seperti orang yang mengiba, Aldi dan Hari yang juga berada di ruangan itu juga merasakan hal yang sama. Sejak tadi Affandi memang hanya menanyakan tentang Ayuda. Tidak ada sikap hanga
Ayuda senang, penuh semangat dia duduk di kursi makan untuk mencoba melihat berita lewat ponsel barunya. Tiara bahkan sampai tak bisa menahan tawa, begitu juga dengan Ari. Namun, tak lama pria itu memilih pamit karena tidak ingin mengganggu Ayuda.“Aku benar-benar tidak bisa hidup tanpa gadget, apa ini yang disebut kecanduan?” tanya Ayuda tanpa menoleh Tiara.Gadis muda itu meletakkan tas bajunya ke dekat meja pajangan, setelah itu mengambil vacuum cleaner yang tadi ditinggalkan begitu saja oleh Ayuda. Tiara tahu tugasnya di sana, dia pun meneruskan pekerjaan Ayuda membersihkan lantai.Beberapa menit berselang, Tiara kembali menipiskan bibir melihat Ayuda masih sibuk dengan benda pipih di tangan. Ia mendekat ke arah bak cuci piring untuk membersihkan bekas makan Ayuda. Hingga ibu hamil itu sadar dan meminta maaf.“Tidak apa-apa Nona, saya sudah biasa melakukan pekerjaan rumah, lagi pula tugas saya di sini untuk menggantikan tugas ibu.”Ayuda merasa kagum dengan jawaban Tiara, dia samp
“Keputusanku sudah bulat, meski kamu tidak mau menandatangani surat cerai, tapi secara agama kita sudah bukan pasangan suami istri.”Wangi mematung saat Jiwa mengatakan kalimat yang membuat dunianya seekan baru saja runtuh. Ia ingin menganggap ini hanya mimpi, tapi jelas mustahil. Jiwa yang begitu sangat mencintainya, dan selalu menuruti semua keinginannya tiba-tiba melakukan hal mustahil - yang tidak pernah dia bayangkan sebelumnya.“Mas!”“Tidak perlu ada keributan, jika kamu menginginkan harta gono gini sebutkan saja jumlahnya. Aku ingin kita berpisah baik-baik, aku juga tidak ingin perceraian ini menjadi bahan gosip dan malah mengancam karirmu,”ucap Jiwa.“Mas Jiwa, apa semua ini karena wanita itu?” tanya Wangi. Ia tidak bisa membendung air mata. Semua rencana yang dia susun sedemikian rupa hancur berantakan, dan bahkan kini membuat orang yang paling dia cintai memilih meninggalkannya.“Tidak! Ayuda juga pergi, aku bahkan tidak tahu dia ada di mana sekarang. Aku merasa bersalah ke
“Aku tidak bercanda, tanyakan sendiri ke putramu.” Ramahadi naik ke atas ranjang, dia biarkan Linda bingung dengan pikirannya sendiri. Belum hilang rasa penasaran wanita itu tentang Ayuda, kini ditambah informasi tentang Sienna yang ingin melamar Raga. Linda yang kesal memutuskan ikut berbaring, dia peluk suaminya itu dari belakang dan bahkan menggesekkan dadanya ke punggung Ramahadi. “Ma!” Linda mengatupkan bibir rapat-rapat, dia bukannya ingin mengajak sang suami bercinta, melainkan hanya ingin jujur tentang rahasia yang selama ini dia simpan rapat-rapat. Meski yakin pasti akan dimarahi, tapi menurut Linda akan jauh lebih baik dari pada Ramahadi mendengarnya dari Wangi. “Pa, aku mau jujur, tapi jangan dimarahi!” “Apa?” “Selama ini aku berjudi dapat duitnya dari Wangi,”ucap Linda dengan suara yang dia buat sekecil mungkin. “Kembalikan semua uang yang sudah Wangi berikan, kamu itu orangtua yang tidak bisa mengayomi.” Linda terkejut, tapi bukan karena dirinya baru saja dikatai
Pelukan, kasih sayang dan senyuman tulus kini bisa Jiwa rasakan setiap hari. Hidupnya sudah lengkap dengan kehadiran istri yang sangat dia cintai, juga putri cantik yang semakin hari semakin pintar. Jiwa berdiri sambil memegang cangkir kopi di tangan, dia memandang ke arah Nala yang sudah mulai belajar berjalan bersama bik Nini. Sementara itu, Ayuda bertelanjang kaki menemani dengan perut yang nampak membuncit. Nala, dia pasti terlihat seperti saudara kembar dengan adiknya nanti. “Nala pintarnya!” puji Ayuda, putrinya itu tertawa dan memeluk kakinya. Dia sedikit kesusahan untuk mengusap punggung sang putri karena terganjal perutnya yang sudah besar. Dengan bantuan bik Nini, Ayuda akhirnya bisa menggendong Nala. Namun, tak diduga Jiwa langsung berlari dan meminta Ayuda untuk tidak melakukan itu. “Sayang, kasihan adik Nala nanti,”ucap Jiwa. Bik Nini yang melihat tuannya sangat posesif pun tersenyum. Ia bahkan dibuat malu sendiri dengan tingkah Jiwa yang over protective. “Dari pada
Aura pengantin baru terpancar jelas dari wajah Dira. Kembaran Ayuda itu nampak sedang duduk bersama mertua dan saudara-saudara Aldi di teras sambil bercanda. Ibunda Aldi menceritakan bagaimana masa kecil pria itu, sampai aibnya yang masih suka minum susu menggunakan dot meski sudah kelas 5 SD.“Besok kalau kamu hamil banyak-banyak sugesti calon bayimu, jangan sampai kayak bapaknya.”Dira tertawa, dia tak sadar Aldi sedang memandanginya. Pria yang sudah resmi mempersuntingnya itu sibuk membantu merapikan kursi yang dipinjam dari RT untuk acara pengajian.“Lha … gimana nggak kayak bapaknya, Bu? Kalau aku hamil ‘kan memang anak mas Aldi, kalau nggak mirip nanti bisa-bisa malah menimbulkan fitnah,”kata Dira.“Maksudnya sifatnya yang jelek-jelek itu lho, Ra!”“Mas Aldi nggak punya sifat jelek, Bu. Mas Aldi itu sempurna buatku.”Aldi yang mendengar pujian sang istri seketika malu. Pipinya bahkan merona merah sedangkan Dira terlihat sangat santai meski orang-orang bersorak menggoda.“Ya begi
Pernikahan adalah impian setiap wanita, apalagi menikah dengan pria yang sangat dicintai. Begitu juga dengan Sienna, dia tidak pernah menyangka hatinya akan tertambat pada pria casanova seperti Raga. Meski tahu bagaimana sepak terjang pria itu, tapi Sienna yakin, suaminya itu kini sudah berubah. Ibarat panci bertemu tutupnya, mereka saling melengkapi. Membangun pernikahan yang sebenarnya mereka sendiri masih belum begitu yakin.Namun, Raga dan Sienna yakin mimpi-mimpi dan rencana akan mereka temukan seiring berjalannya waktu. Seperti saat ini. Mereka harus menunda bulan madu karena Sienna harus menghadapi ujian semester."Boleh aku bicara serius?" tanya Raga saat mereka berada di dalam salah satu kamar villa milik Ramahadi.Raga teringat akan Ayuda yang mual-mual tadi, setelah ditanya kakak iparnya itu menjawab dia memang belum datang bulan sejak melahirkan Nala. Kata Linda, kemungkinan besar Ayuda pasti hamil lagi."Bicara serius? Apa?"Sienna yang memakai paha Raga sebagai bantalan
Tiga bulan kemudianHari yang membahagiakan untuk semua orang akhirnya tiba. Ramahadi mengajak seluruh keluarganya pergi ke villanya yang dulu digunakan Ayuda untuk bersembunyi.Raga baru seminggu menikah dengan Sienna. Bulan madu mereka pun tertunda karena Sienna harus menghadapi ujian semester minggu ini. Raga tidak mau kalau sampai kuliah istrinya itu terganggu hanya karena bulan madu - yang sejatinya sudah sering mereka lakukan sebelum menikah.Affandi juga hadir, dia menerima undangan dari Ramahadi dengan penuh suka cita. Awalnya Affandi ingin mengajak Dira ke sana, tapi putrinya itu lebih dulu menerima ajakan dari sang mertua untuk berkumpul di rumah keluarga besar Aldi.Ayuda nampak memangku Nala, dia menyusui putrinya sambil menatap keluar jendela di mana papanya tengah sibuk mengobrol dengan sang mertua. Ayuda menepuk pantat Nala lembut, dia menoleh kaget kala Jiwa keluar dengan membawa buku - yang dulu selalu menjadi teman saat dirinya merasa kesepian tinggal sendiri di sana
Di saat putra putri mereka sedang berdua dan kembali meleburkan asa, Affandi dan Ramahadi duduk bersama. Ramahadi tak menyangka pria yang seumur hidup terus menganggapnya musuh kini mengajaknya bicara. Affandi bahkan mengeluarkan satu kata yang dia rasa mustahil untuk didengar. “Maaf!” Ramahadi tentu tak bisa percaya begitu saja, setelah hampir berpuluh-puluh tahun menganggapnya musuh, kini Affandi mengucap kata maaf dan terdengar begitu sangat tulus. “Aku tahu perbuatanku salah, dan selama ini aku terlalu malu untuk mengakuinya. Mungkin, pertemuan Ayuda dan Jiwa adalah takdir yang memang sudah ditetapkan, hingga akhirnya aku bisa sadar,”ungkap Affandi panjang lebar. Hening, Ramahadi tak langsung membalas permintaan maaf Affandi. Ia mencoba mencerna dulu, menimbang apakah pria itu tulus atau hanya sekadar meminta maaf agar dirinya tak lagi menaruh prasangka. “Aku sudah lelah bekerja, aku ingin menyerahkan perusahaan ke anak-anakku, dan aku ingin hidup tenang bermain bersama cucu,”
Terkesan nakal, tapi begitulah naluri manusia dewasa. Mereka memiliki birahi yang butuh disalurkan. Ayuda tahu perbuatannya membuat Jiwa semakin ingin menerkamnya. Namun, bukankah itu yang mereka inginkan? Ayuda memindai manik mata Jiwa, di sana terlihat penuh cinta, berbeda dengan tatapan mata pria itu saat pertama kali menyentuhnya. Tak ada perasaan hangat seperti ini, Jiwa bahkan mencekoki dirinya obat perangsang agar nafsunya tersalurkan tanpa perlu ikatan seperti saat ini. Jiwa membelai pipi Ayuda, mencium setiap bagian wajahnya seolah setiap incinya tak ingin terlewatkan untuk dia cicipi. Pria itu menghentikan sapuan bibir di hidung bangir sang istri, sorot matanya seolah meminta izin. “Bisakah aku bisa melakukannya jauh lebih dari ini.” Ayuda tersenyum tipis, tangannya menarik tengkuk Jiwa hingga bibir mereka kembali bertaut. Mereka sama-sama memejamkan mata, menyelami setiap perasaan cinta yang membara. Perlahan tangan Ayuda melonggar dan beralih membuka kancing kemeja Jiw
Dira masih berada di pelukan Ayuda, meski tak mau membalas pelukan saudaranya, tapi Dira menyandarkan kepala ke pundak ibunda Nala itu. Ia masih tergugu, tak menyangka satu orang datang lagi ke rumahnya dan masuk dengan wajah kebingungan. Aldi menjadi pusat perhatian semua orang, sampai Ayuda melonggarkan pelukan dan Dira memanggil dengan manja nama pria itu.“Mas Al!”“Ra, kenapa kamu menangis?” tanya Aldi bingung, dia hanya diberitahu Affandi akan datang, tapi jika tahu akan membuat calon istrinya menangis, tentu saja Aldi akan melarang. Alih-alih berada di sana tepat waktu, Aldi terjebak lampu merah beberapa kali.“Pak, ini bukan seperti yang Anda janjikan, bukankah ….”Aldi menjeda kata, Dira yang masih sesenggukan mendekat dan memberitahu Aldi kalau Affandi baru saja berkata akan menikahkannya.“Benarkah?” Aldi nampak bahagia. Ia raih tangan Affandi dan menggoyang-goyangkannya beberapa kali.Meski awalnya kesal, tapi Dira tertawa melihat kelakuan Aldi. Ayuda lega karena yakin Dir
Setelah Jiwa berangkat ke kantor, Ayuda tak langsung pergi ke rumah Dira. Ia malah berdiri di depan lemari baju, bingung memilih pakaian mana yang cocok dia kenakan untuk malam spesial yang Jiwa katakan tadi. Ayuda menekuk bibir ke dalam lalu memajukannya lagi, bunyi decapan lidahnya membuat bik Nini yang baru saja masuk untuk menata baju Nala keheranan.“Non, cari apa?”Ayuda menggeleng, wanita itu sedang berpikir mana mungkin memakai gaun yang sama di depan Jiwa. Apalagi dia sama sekali tidak memiliki satu pun baju tempur selain piyama satin yang sering dia pakai karena praktis saat menyusui Nala.“Seharusnya aku pergi shopping kemarin,”ucap Ayuda.Bik Nini tentu saja semakin heran, dia sejajari Nonanya itu dan kembali bertanya,”Non cari apa?”“Linger … “ Ayuda keceplosan, matanya melotot menoleh bik Nini dan melempar senyuman canggung.Pembantunya itu pun menarik sudut bibir, tersenyum aneh sambil menaikturunkan alis mata. Bik Nini berhasil membuat Ayuda merasa malu, dia pasti tahu
Sejak pagi, Jiwa terus saja menampakkan wajah riang. Ia memandangi sang istri yang sibuk melakukan tugas merawat putrinya seperti biasa. Jiwa membuat Ayuda salah tingkah setelah semalam wanita itu menjawab pertanyaannya dengan kata ‘ya’.“Apa sudah?”“Berhenti bertanya apa sudah – apa sudah,”amuk Ayuda. Pipinya merona merah karena Jiwa bersikap sangat agresif. “Aku mau bertemu papa dan Dira dulu, kamu cepat bersiap sana untuk pergi bekerja!”Jiwa tak menggubris ucapan Ayuda, dia malah melingkarkan tangan di pinggang wanita itu yang sedang menggendong putrinya.“Jiwa!” bentak Ayuda.“Malam ini aku akan memberi bonus ke Bik Nini untuk menjaga Nala, kita bisa pakai apartemenku untuk melakukan itu.”“Melakukan apa?” Ayuda dengan sengaja menggoyangkan pinggang untuk membuat Jiwa melepaskan tangan. Namun, pria itu terlalu kuat dan membuatnya berakhir pasrah karena Nala ada di pelukannya.“Jangan berpura-pura! aku tahu kamu tidak sepolos itu, bahkan saat tidur kamu sesekali nakal dengan meng