“Aku tidak bercanda, tanyakan sendiri ke putramu.” Ramahadi naik ke atas ranjang, dia biarkan Linda bingung dengan pikirannya sendiri. Belum hilang rasa penasaran wanita itu tentang Ayuda, kini ditambah informasi tentang Sienna yang ingin melamar Raga. Linda yang kesal memutuskan ikut berbaring, dia peluk suaminya itu dari belakang dan bahkan menggesekkan dadanya ke punggung Ramahadi. “Ma!” Linda mengatupkan bibir rapat-rapat, dia bukannya ingin mengajak sang suami bercinta, melainkan hanya ingin jujur tentang rahasia yang selama ini dia simpan rapat-rapat. Meski yakin pasti akan dimarahi, tapi menurut Linda akan jauh lebih baik dari pada Ramahadi mendengarnya dari Wangi. “Pa, aku mau jujur, tapi jangan dimarahi!” “Apa?” “Selama ini aku berjudi dapat duitnya dari Wangi,”ucap Linda dengan suara yang dia buat sekecil mungkin. “Kembalikan semua uang yang sudah Wangi berikan, kamu itu orangtua yang tidak bisa mengayomi.” Linda terkejut, tapi bukan karena dirinya baru saja dikatai
Ayuda mulai disibukkan dengan pekerjaan barunya. Ia bisa tenang membaca artikel dan jurnal di laptop sambil menikmati semangkuk salad buah yang dibuat oleh Tiara. Wanita itu seperti menciptakan dunia baru sendiri.“Kak, kakak harus bangun dan jalan-jalan, kalau kebanyakan duduk nanti kaki kakak bisa bengkak.”Tiara dengan penuh perhatian mengingatkan Ayuda. Ia memang diberi pesan oleh ibunya untuk melakukan itu.“Oke, sebentar lagi setelah ini aku akan berjalan keliling halaman empat kali,” kata Ayuda. Hampir tiga minggu tinggal bersama, Ayuda sudah terbiasa dengan perintah, omelan bahkan nasihat dari gadis yang jauh lebih muda darinya itu.Tiara diam-diam memiliki kejutan untuk Ayuda. Hari itu, ibunya akan datang karena sang tuan sudah mengizinkan. Ramahadi membuat kesepakatan dengan Linda, hingga wanita itu tak berani untuk mengusik Ayuda.Sudah lima belas menit sejak Ayuda berkata sebentar lagi ke Tiara. Ia masih saja sibuk membaca sebuah artikel tentang keluhan para mama muda yang
Empat bulan kemudian “Kok ga dimakan, Nona?” tanya Bik Nini karena Ayuda sama sekali tidak menyentuh makanannya. “Aku mendadak tidak berselera, rasanya jus saja tidak bisa masuk,” jawab Ayuda sambil mendorong piring yang ada di hadapannya agak menjauh. Ayuda sendiri memang tidak nafsu makan sejak pagi, rasanya apa pun yang masuk ke mulutnya terasa hambar. Dia lantas memilih bangun dari duduknya, berdiri sambil memegangi perut yang besar dan kini terasa berat karena sudah menginjak usia tiga puluh enam minggu. Tiara yang setiap akhir pekan datang ke villa juga ada di ruang makan, dia menatap Ayuda yang terlihat meringis menahan sakit dan wajahnya pun tampak pucat. “Kak Ayuda sakit?” tanya Tiara yang cemas. Ayuda menggelengkan kepala, tubuhnya memang terasa tidak nyaman, perutnya mulas tapi tidak terlalu sakit, hal ini membuat Ayuda memilih mengabaikan. “Aku baik-baik saja,” jawab Ayuda dengan suara sedikit berat. Tiara dan Bik Nini saling tatap, kemudian memandang Ayuda yang hen
Setengah jam kemudian Ari sampai. Ia mendapat pukulan dari bik Nini di lengan dan omelan dari Ayuda. Pria itu bergegas memasukkan tas kecil milik Ayuda lalu melesatkan kendaraan agar secepat mungkin sampai ke klinik.Saat di mobil, Ayuda terus merintih dan berteriak karena rasa sakit yang dirasakan. Dia bahkan hampir membenturkan kepalanya sendiri ke kaca, jika Tiara tidak menghalangi.“Sabar, Kak. Tarik napas, terus buang.” Tiara mencoba mengarahkan Ayuda untuk bernapas dengan benar agar mengurangi rasa sakitnya.Ayuda mencoba mengikuti arahan Tiara, tapi tetap saja rasa mulasnya tidak hilang dan kini malah semakin menjadi-jadi.“Kenapa sesakit ini?” Lagi-lagi Ayuda menggerutu, kini bahkan tanpa sengaja meremas telapak tangan Tiara yang menggenggamnya.“Aduh!” Tiara kini memekik karena kesakitan.Bik Nini duduk di depan, menoleh ke belakang dan panik saat melihat bagaimana Ayuda kesakitan hingga bicara kasar dan sampai meremas tangan Tiara.“Buruan, Ari! Nanti bayinya lahir di mobil!
Ayuda terbaring lemah menunggu putri cantiknya yang sedang dibersihkan oleh bidan. Wajah lelahnya membuat bik Nini merasa kasihan hingga menawari minum. Namun, dia menolak dan meminta pembantunya itu untuk mengawasi saja putrinya yang sedang mendapat perawatan.Beberapa jam kemudian, Ayuda sudah diperbolehkan pulang. Dengan tubuhnya yang masih terasa lelah, dia sudah mulai belajar menyusui anaknya dibantu bik Nini.“Dia sangat mirip dengan Anda, Nona. Apa Anda sudah menyiapkan nama untuknya?” tanya bik Nini setelah mengganjal punggung Ayuda dengan satu bantal agar lebih nyaman.“Surinala Flair Zivanya, anak perempuan yang memiliki kepribadian cantik dan bercahaya,” ucap Ayuda dengan senyum lebar. Ia mengecup lembut pipi Nala. Ayuda masih tak percaya dirinya yang keras kepala seperti batu, bisa mengandung dan melahirkan bayi lucu seperti ini.“Bik, apa aku sudah jadi ibu?”“Iya Nona, Anda sudah menjadi ibu.”“Ini masih seperti mimpi,” lirih Ayuda._Jiwa masih teguh dengan pendiriannya
“Pindah? Kenapa?”Ayuda masih di atas ranjang sambil menimang sang putri, dia kebingungan setelah mendengar apa yang baru saja disampaikan oleh Ari. Pria yang beberapa bulan ini seperti menggantikan posisi Aldi itu berkata bahwa Ramahadi menginginkannya pindah ke penthouse secepatnya.“Papa membelikan sebuah penthouse untukku?”Ayuda tak percaya, sedangkan bik Nini yang ada di sana merapikan baju milik Nala hanya bisa menelinga. Sebagai pembantu orang kaya, dia jelas tahu apa yang dimaksud dengan penthouse. Hunian yang biasanya berada di bagian paling atas gedung apartemen itu berharga jauh lebih mahal dibandingkan bangunan di bawahnya. Tak sembarang orang yang bisa memiliki hunian seperti itu, jadi jika Ramahadi yang kaya raya membelikannya untuk Ayuda hal itu wajar-wajar saja.“Untuk Apa Papa membelikan penthouse?” Ayuda masih bertanya-tanya, dia pandangi wajah Nala yang terlelap, pipi bayi itu nampak kemerah-merahan dan membuatnya semakin cantik.“Apa mungkin hadiah untuk Nala?” ba
Bagai orang yang tak memiliki dosa, Jiwa pulang ke rumah larut malam. Ia menaiki anak tangga pelan-pelan hingga suara tapak kakinya nyaris tak terdengar. Jiwa terus menunduk seolah memerhatikan langkah. Bibirnya tersenyum masam, kesepian adalah teman setia baginya semenjak Ayuda pergi. Hingga, saat dia baru saja merebahkan tubuh di atas ranjang bekas kamar Ayuda, suara Raga terdengar menggelegar. Adiknya itu ternyata belum tidur dan sengaja menunggunya pulang.“Jiwa, dasar brengsek. Kenapa kamu tidak datang? Sialan, Sienna marah karena mengira aku yang memesan PSK itu.”Raga yang sudah mengomel terdiam mendapati Jiwa terlentang dengan sebelah lengan menutup mata. Hatinya seketika merasa iba, perasaan marah yang sudah dia tahan sejak tadi menguap bak buih melihat sang kakak seperti itu.“Kita bertengkarnya besok saja. Aku lelah,” lirih Jiwa.Raga membuang napas kasar, sejak kecil dia sama sekali belum pernah melihat Jiwa serapuh ini. Bahkan saat menghadapi masalah, Jiwa tak pernah menu
Meski benci ke Bowo, tapi hari itu Dira terpaksa menemui pria itu di rumahnya. Dira ingin Bowo membantunya sebagai ayah tiri untuk menerima lamaran dari Aldi.“Kamu, mau nikah sama dia?”Bowo melongo, mukanya jadi bego bahkan Randy sampai harus menyenggol lengan sang papa untuk menyadarkan agar tidak bersikap seperti itu di depan Dira dan Aldi.“Kenapa? aku dan mas Aldi saling cinta, untuk apa pacarana lama-lama,” jawab Dira sedikit ketus, seharusnya dia bersikap manis karena sedang meminta bantuan.Tak terdengar kapan berhubungan dan kini mau lamaran jelas membuat Bowo kebingungan. Dia pandangi Aldi yang hari itu memakai pakaian kasual, karena biasanya pria itu mengenakan setelan jas rapi saat menemuinya.“Kapan kalian pacarannya?”Akhirnya Randy memberanikan diri bertanya, dia memang beberapa kali bertemu dengan Dira. Randy menyadari di mana ada kakaknya pasti ada Aldi.“Tiga bulan yang lalu, kenapa?” Dira menjawab masih dengan nada tak bersahabat. “Aku ingin menikah sama mas Aldi,
Pelukan, kasih sayang dan senyuman tulus kini bisa Jiwa rasakan setiap hari. Hidupnya sudah lengkap dengan kehadiran istri yang sangat dia cintai, juga putri cantik yang semakin hari semakin pintar. Jiwa berdiri sambil memegang cangkir kopi di tangan, dia memandang ke arah Nala yang sudah mulai belajar berjalan bersama bik Nini. Sementara itu, Ayuda bertelanjang kaki menemani dengan perut yang nampak membuncit. Nala, dia pasti terlihat seperti saudara kembar dengan adiknya nanti. “Nala pintarnya!” puji Ayuda, putrinya itu tertawa dan memeluk kakinya. Dia sedikit kesusahan untuk mengusap punggung sang putri karena terganjal perutnya yang sudah besar. Dengan bantuan bik Nini, Ayuda akhirnya bisa menggendong Nala. Namun, tak diduga Jiwa langsung berlari dan meminta Ayuda untuk tidak melakukan itu. “Sayang, kasihan adik Nala nanti,”ucap Jiwa. Bik Nini yang melihat tuannya sangat posesif pun tersenyum. Ia bahkan dibuat malu sendiri dengan tingkah Jiwa yang over protective. “Dari pada
Aura pengantin baru terpancar jelas dari wajah Dira. Kembaran Ayuda itu nampak sedang duduk bersama mertua dan saudara-saudara Aldi di teras sambil bercanda. Ibunda Aldi menceritakan bagaimana masa kecil pria itu, sampai aibnya yang masih suka minum susu menggunakan dot meski sudah kelas 5 SD.“Besok kalau kamu hamil banyak-banyak sugesti calon bayimu, jangan sampai kayak bapaknya.”Dira tertawa, dia tak sadar Aldi sedang memandanginya. Pria yang sudah resmi mempersuntingnya itu sibuk membantu merapikan kursi yang dipinjam dari RT untuk acara pengajian.“Lha … gimana nggak kayak bapaknya, Bu? Kalau aku hamil ‘kan memang anak mas Aldi, kalau nggak mirip nanti bisa-bisa malah menimbulkan fitnah,”kata Dira.“Maksudnya sifatnya yang jelek-jelek itu lho, Ra!”“Mas Aldi nggak punya sifat jelek, Bu. Mas Aldi itu sempurna buatku.”Aldi yang mendengar pujian sang istri seketika malu. Pipinya bahkan merona merah sedangkan Dira terlihat sangat santai meski orang-orang bersorak menggoda.“Ya begi
Pernikahan adalah impian setiap wanita, apalagi menikah dengan pria yang sangat dicintai. Begitu juga dengan Sienna, dia tidak pernah menyangka hatinya akan tertambat pada pria casanova seperti Raga. Meski tahu bagaimana sepak terjang pria itu, tapi Sienna yakin, suaminya itu kini sudah berubah. Ibarat panci bertemu tutupnya, mereka saling melengkapi. Membangun pernikahan yang sebenarnya mereka sendiri masih belum begitu yakin.Namun, Raga dan Sienna yakin mimpi-mimpi dan rencana akan mereka temukan seiring berjalannya waktu. Seperti saat ini. Mereka harus menunda bulan madu karena Sienna harus menghadapi ujian semester."Boleh aku bicara serius?" tanya Raga saat mereka berada di dalam salah satu kamar villa milik Ramahadi.Raga teringat akan Ayuda yang mual-mual tadi, setelah ditanya kakak iparnya itu menjawab dia memang belum datang bulan sejak melahirkan Nala. Kata Linda, kemungkinan besar Ayuda pasti hamil lagi."Bicara serius? Apa?"Sienna yang memakai paha Raga sebagai bantalan
Tiga bulan kemudianHari yang membahagiakan untuk semua orang akhirnya tiba. Ramahadi mengajak seluruh keluarganya pergi ke villanya yang dulu digunakan Ayuda untuk bersembunyi.Raga baru seminggu menikah dengan Sienna. Bulan madu mereka pun tertunda karena Sienna harus menghadapi ujian semester minggu ini. Raga tidak mau kalau sampai kuliah istrinya itu terganggu hanya karena bulan madu - yang sejatinya sudah sering mereka lakukan sebelum menikah.Affandi juga hadir, dia menerima undangan dari Ramahadi dengan penuh suka cita. Awalnya Affandi ingin mengajak Dira ke sana, tapi putrinya itu lebih dulu menerima ajakan dari sang mertua untuk berkumpul di rumah keluarga besar Aldi.Ayuda nampak memangku Nala, dia menyusui putrinya sambil menatap keluar jendela di mana papanya tengah sibuk mengobrol dengan sang mertua. Ayuda menepuk pantat Nala lembut, dia menoleh kaget kala Jiwa keluar dengan membawa buku - yang dulu selalu menjadi teman saat dirinya merasa kesepian tinggal sendiri di sana
Di saat putra putri mereka sedang berdua dan kembali meleburkan asa, Affandi dan Ramahadi duduk bersama. Ramahadi tak menyangka pria yang seumur hidup terus menganggapnya musuh kini mengajaknya bicara. Affandi bahkan mengeluarkan satu kata yang dia rasa mustahil untuk didengar. “Maaf!” Ramahadi tentu tak bisa percaya begitu saja, setelah hampir berpuluh-puluh tahun menganggapnya musuh, kini Affandi mengucap kata maaf dan terdengar begitu sangat tulus. “Aku tahu perbuatanku salah, dan selama ini aku terlalu malu untuk mengakuinya. Mungkin, pertemuan Ayuda dan Jiwa adalah takdir yang memang sudah ditetapkan, hingga akhirnya aku bisa sadar,”ungkap Affandi panjang lebar. Hening, Ramahadi tak langsung membalas permintaan maaf Affandi. Ia mencoba mencerna dulu, menimbang apakah pria itu tulus atau hanya sekadar meminta maaf agar dirinya tak lagi menaruh prasangka. “Aku sudah lelah bekerja, aku ingin menyerahkan perusahaan ke anak-anakku, dan aku ingin hidup tenang bermain bersama cucu,”
Terkesan nakal, tapi begitulah naluri manusia dewasa. Mereka memiliki birahi yang butuh disalurkan. Ayuda tahu perbuatannya membuat Jiwa semakin ingin menerkamnya. Namun, bukankah itu yang mereka inginkan? Ayuda memindai manik mata Jiwa, di sana terlihat penuh cinta, berbeda dengan tatapan mata pria itu saat pertama kali menyentuhnya. Tak ada perasaan hangat seperti ini, Jiwa bahkan mencekoki dirinya obat perangsang agar nafsunya tersalurkan tanpa perlu ikatan seperti saat ini. Jiwa membelai pipi Ayuda, mencium setiap bagian wajahnya seolah setiap incinya tak ingin terlewatkan untuk dia cicipi. Pria itu menghentikan sapuan bibir di hidung bangir sang istri, sorot matanya seolah meminta izin. “Bisakah aku bisa melakukannya jauh lebih dari ini.” Ayuda tersenyum tipis, tangannya menarik tengkuk Jiwa hingga bibir mereka kembali bertaut. Mereka sama-sama memejamkan mata, menyelami setiap perasaan cinta yang membara. Perlahan tangan Ayuda melonggar dan beralih membuka kancing kemeja Jiw
Dira masih berada di pelukan Ayuda, meski tak mau membalas pelukan saudaranya, tapi Dira menyandarkan kepala ke pundak ibunda Nala itu. Ia masih tergugu, tak menyangka satu orang datang lagi ke rumahnya dan masuk dengan wajah kebingungan. Aldi menjadi pusat perhatian semua orang, sampai Ayuda melonggarkan pelukan dan Dira memanggil dengan manja nama pria itu.“Mas Al!”“Ra, kenapa kamu menangis?” tanya Aldi bingung, dia hanya diberitahu Affandi akan datang, tapi jika tahu akan membuat calon istrinya menangis, tentu saja Aldi akan melarang. Alih-alih berada di sana tepat waktu, Aldi terjebak lampu merah beberapa kali.“Pak, ini bukan seperti yang Anda janjikan, bukankah ….”Aldi menjeda kata, Dira yang masih sesenggukan mendekat dan memberitahu Aldi kalau Affandi baru saja berkata akan menikahkannya.“Benarkah?” Aldi nampak bahagia. Ia raih tangan Affandi dan menggoyang-goyangkannya beberapa kali.Meski awalnya kesal, tapi Dira tertawa melihat kelakuan Aldi. Ayuda lega karena yakin Dir
Setelah Jiwa berangkat ke kantor, Ayuda tak langsung pergi ke rumah Dira. Ia malah berdiri di depan lemari baju, bingung memilih pakaian mana yang cocok dia kenakan untuk malam spesial yang Jiwa katakan tadi. Ayuda menekuk bibir ke dalam lalu memajukannya lagi, bunyi decapan lidahnya membuat bik Nini yang baru saja masuk untuk menata baju Nala keheranan.“Non, cari apa?”Ayuda menggeleng, wanita itu sedang berpikir mana mungkin memakai gaun yang sama di depan Jiwa. Apalagi dia sama sekali tidak memiliki satu pun baju tempur selain piyama satin yang sering dia pakai karena praktis saat menyusui Nala.“Seharusnya aku pergi shopping kemarin,”ucap Ayuda.Bik Nini tentu saja semakin heran, dia sejajari Nonanya itu dan kembali bertanya,”Non cari apa?”“Linger … “ Ayuda keceplosan, matanya melotot menoleh bik Nini dan melempar senyuman canggung.Pembantunya itu pun menarik sudut bibir, tersenyum aneh sambil menaikturunkan alis mata. Bik Nini berhasil membuat Ayuda merasa malu, dia pasti tahu
Sejak pagi, Jiwa terus saja menampakkan wajah riang. Ia memandangi sang istri yang sibuk melakukan tugas merawat putrinya seperti biasa. Jiwa membuat Ayuda salah tingkah setelah semalam wanita itu menjawab pertanyaannya dengan kata ‘ya’.“Apa sudah?”“Berhenti bertanya apa sudah – apa sudah,”amuk Ayuda. Pipinya merona merah karena Jiwa bersikap sangat agresif. “Aku mau bertemu papa dan Dira dulu, kamu cepat bersiap sana untuk pergi bekerja!”Jiwa tak menggubris ucapan Ayuda, dia malah melingkarkan tangan di pinggang wanita itu yang sedang menggendong putrinya.“Jiwa!” bentak Ayuda.“Malam ini aku akan memberi bonus ke Bik Nini untuk menjaga Nala, kita bisa pakai apartemenku untuk melakukan itu.”“Melakukan apa?” Ayuda dengan sengaja menggoyangkan pinggang untuk membuat Jiwa melepaskan tangan. Namun, pria itu terlalu kuat dan membuatnya berakhir pasrah karena Nala ada di pelukannya.“Jangan berpura-pura! aku tahu kamu tidak sepolos itu, bahkan saat tidur kamu sesekali nakal dengan meng