“Ayuda pergi, dia tidak meninggalkan pesan sama sekali dan malah memberiku surat cerai.”Jiwa duduk di samping ranjang Raga. Adiknya itu sudah mulai pulih, hanya menunggu beberapa tes lagi sampai diperbolehkan pulang. Linda hanya mendengarkan, dia membereskan nakas yang sedikit berantakan sambil sesekali melirik ekspresi wajah Jiwa.“Dia memang suka mempermainkan perasaan orang, pantas dia datang memberiku bunga sebelum aku menjalani operasi. Dia bilang saat aku bangun bunga itu bisa aku anggap penggantinya. Wanita itu!” Raga mengeluh, tapi merasa salah setelahnya karena muka sang kakak berubah semakin sedih. “Apa kamu tidak mau mencarinya? Cari dia! Bawa dia pulang bersama calon keponakanku yang berharga.”“Ayuda tidak akan mau kembali kepadaku jika aku masih menjadikannya istri ke dua.”“Lalu ceraikan saja Wangi,”sambar Linda dengan cepat.Linda harus rela mendapatkan tatapan heran dari kedua putranya karena kalimat yang baru saja dia ucapkan. Jiwa tidak mungkin menanyakan apa maksu
“Kamu tidak bisa melarangku!”“Mas mau pergi ke villa yang mana?” Wangi tak ingin dengan mudah membiarkan sang suami pergi.“Terserah aku, apa pedulimu?” Jiwa merampas kembali tasnya.Namun, Wangi tidak dengan mudah membiarkan. Wanita itu malah memeluk tubuh Jiwa dan memohon agar sang suami tidak bersikap seperti ini.“Aku mohon! Lupakan Ayuda! Anggap saja dia hanya bagian dari ujian rumah tangga kita, Mas.”“Aku tidak bisa melakukannya Wangi, karena sekarang bagiku kamu lah ujian itu,” jawab Jiwa sambil berusaha melepas pelukan sang istri.Setelah terlepas, pria itu kembali menegaskan ucapannya barusan. “Mungkin ini terdengar kejam, tapi aku ingin kita berpisah. Aku menjatuhkan talak cerai padamu.”Wangi tak percaya, dia menggeleng menolak ucapan Jiwa dan bahkan mendorong dada pria itu dengan kasar.“Tidak akan semudah itu bercerai denganku, Mas!”_Di villa tempatnya bersembunyi, Ayuda gelisah. Hari sudah malam tapi bik Nini belum juga kembali. Ia juga tidak memiliki ponsel, jika sa
Bertemu dengan pria yang merupakan ayah kandungnya tak membuat Dira bahagia. Sejak datang dia malah merasa dipojokkan. Bukannya menanyakan kabar atau bagaimana hidup yang dia jalani selama ini, Affandi malah bertanya soal kemungkinan dia tahu di mana kebaradaan Ayuda. Affandi masih belum bisa mengendus keberadaan putrinya itu, padahal Ayuda tidak pergi terlalu jauh. Hal ini karena Ramahadi sangat rapi menyembunyikan rahasia. Sejak awal inilah alasan Ramahadi bersikap tak begitu peduli ke Ayuda di depan orang lain. Selain menghindari asumsi negatif dari Ayuda sendiri, dia juga tidak ingin Affandi terlalu mengawasinya. “Jadi kamu benar tidak tahu di mana Ayuda?” “Kenapa Anda terus mengulang pertanyaan yang sama? Apa tidak sedikitpun Anda ingin tahu bagaimana saya menjalani hidup selama ini?” Dira sampai seperti orang yang mengiba, Aldi dan Hari yang juga berada di ruangan itu juga merasakan hal yang sama. Sejak tadi Affandi memang hanya menanyakan tentang Ayuda. Tidak ada sikap hanga
Ayuda senang, penuh semangat dia duduk di kursi makan untuk mencoba melihat berita lewat ponsel barunya. Tiara bahkan sampai tak bisa menahan tawa, begitu juga dengan Ari. Namun, tak lama pria itu memilih pamit karena tidak ingin mengganggu Ayuda.“Aku benar-benar tidak bisa hidup tanpa gadget, apa ini yang disebut kecanduan?” tanya Ayuda tanpa menoleh Tiara.Gadis muda itu meletakkan tas bajunya ke dekat meja pajangan, setelah itu mengambil vacuum cleaner yang tadi ditinggalkan begitu saja oleh Ayuda. Tiara tahu tugasnya di sana, dia pun meneruskan pekerjaan Ayuda membersihkan lantai.Beberapa menit berselang, Tiara kembali menipiskan bibir melihat Ayuda masih sibuk dengan benda pipih di tangan. Ia mendekat ke arah bak cuci piring untuk membersihkan bekas makan Ayuda. Hingga ibu hamil itu sadar dan meminta maaf.“Tidak apa-apa Nona, saya sudah biasa melakukan pekerjaan rumah, lagi pula tugas saya di sini untuk menggantikan tugas ibu.”Ayuda merasa kagum dengan jawaban Tiara, dia samp
“Keputusanku sudah bulat, meski kamu tidak mau menandatangani surat cerai, tapi secara agama kita sudah bukan pasangan suami istri.”Wangi mematung saat Jiwa mengatakan kalimat yang membuat dunianya seekan baru saja runtuh. Ia ingin menganggap ini hanya mimpi, tapi jelas mustahil. Jiwa yang begitu sangat mencintainya, dan selalu menuruti semua keinginannya tiba-tiba melakukan hal mustahil - yang tidak pernah dia bayangkan sebelumnya.“Mas!”“Tidak perlu ada keributan, jika kamu menginginkan harta gono gini sebutkan saja jumlahnya. Aku ingin kita berpisah baik-baik, aku juga tidak ingin perceraian ini menjadi bahan gosip dan malah mengancam karirmu,”ucap Jiwa.“Mas Jiwa, apa semua ini karena wanita itu?” tanya Wangi. Ia tidak bisa membendung air mata. Semua rencana yang dia susun sedemikian rupa hancur berantakan, dan bahkan kini membuat orang yang paling dia cintai memilih meninggalkannya.“Tidak! Ayuda juga pergi, aku bahkan tidak tahu dia ada di mana sekarang. Aku merasa bersalah ke
“Aku tidak bercanda, tanyakan sendiri ke putramu.” Ramahadi naik ke atas ranjang, dia biarkan Linda bingung dengan pikirannya sendiri. Belum hilang rasa penasaran wanita itu tentang Ayuda, kini ditambah informasi tentang Sienna yang ingin melamar Raga. Linda yang kesal memutuskan ikut berbaring, dia peluk suaminya itu dari belakang dan bahkan menggesekkan dadanya ke punggung Ramahadi. “Ma!” Linda mengatupkan bibir rapat-rapat, dia bukannya ingin mengajak sang suami bercinta, melainkan hanya ingin jujur tentang rahasia yang selama ini dia simpan rapat-rapat. Meski yakin pasti akan dimarahi, tapi menurut Linda akan jauh lebih baik dari pada Ramahadi mendengarnya dari Wangi. “Pa, aku mau jujur, tapi jangan dimarahi!” “Apa?” “Selama ini aku berjudi dapat duitnya dari Wangi,”ucap Linda dengan suara yang dia buat sekecil mungkin. “Kembalikan semua uang yang sudah Wangi berikan, kamu itu orangtua yang tidak bisa mengayomi.” Linda terkejut, tapi bukan karena dirinya baru saja dikatai
Ayuda mulai disibukkan dengan pekerjaan barunya. Ia bisa tenang membaca artikel dan jurnal di laptop sambil menikmati semangkuk salad buah yang dibuat oleh Tiara. Wanita itu seperti menciptakan dunia baru sendiri.“Kak, kakak harus bangun dan jalan-jalan, kalau kebanyakan duduk nanti kaki kakak bisa bengkak.”Tiara dengan penuh perhatian mengingatkan Ayuda. Ia memang diberi pesan oleh ibunya untuk melakukan itu.“Oke, sebentar lagi setelah ini aku akan berjalan keliling halaman empat kali,” kata Ayuda. Hampir tiga minggu tinggal bersama, Ayuda sudah terbiasa dengan perintah, omelan bahkan nasihat dari gadis yang jauh lebih muda darinya itu.Tiara diam-diam memiliki kejutan untuk Ayuda. Hari itu, ibunya akan datang karena sang tuan sudah mengizinkan. Ramahadi membuat kesepakatan dengan Linda, hingga wanita itu tak berani untuk mengusik Ayuda.Sudah lima belas menit sejak Ayuda berkata sebentar lagi ke Tiara. Ia masih saja sibuk membaca sebuah artikel tentang keluhan para mama muda yang
Empat bulan kemudian “Kok ga dimakan, Nona?” tanya Bik Nini karena Ayuda sama sekali tidak menyentuh makanannya. “Aku mendadak tidak berselera, rasanya jus saja tidak bisa masuk,” jawab Ayuda sambil mendorong piring yang ada di hadapannya agak menjauh. Ayuda sendiri memang tidak nafsu makan sejak pagi, rasanya apa pun yang masuk ke mulutnya terasa hambar. Dia lantas memilih bangun dari duduknya, berdiri sambil memegangi perut yang besar dan kini terasa berat karena sudah menginjak usia tiga puluh enam minggu. Tiara yang setiap akhir pekan datang ke villa juga ada di ruang makan, dia menatap Ayuda yang terlihat meringis menahan sakit dan wajahnya pun tampak pucat. “Kak Ayuda sakit?” tanya Tiara yang cemas. Ayuda menggelengkan kepala, tubuhnya memang terasa tidak nyaman, perutnya mulas tapi tidak terlalu sakit, hal ini membuat Ayuda memilih mengabaikan. “Aku baik-baik saja,” jawab Ayuda dengan suara sedikit berat. Tiara dan Bik Nini saling tatap, kemudian memandang Ayuda yang hen