Pagi itu, Jiwa terganggu dengan sinar matahari yang menembus korden kamarnya. Ia mengerjap dan menutup mata dengan punggung tangan. Pria itu mengernyitkan kening lalu mengedarkan pandangan. Sepi, tak ada sosok Ayuda di sana bahkan Wangi pun tidak datang.Pria itu menegakkan punggung, parasnya yang baru saja terjaga nampak lesu. Meski begitu, dia memulas senyum melihat foto USG calon anaknya yang ditinggalkan Ayuda di sebelah bantal.“Kemana mommymu?”tanya Jiwa bak sedang bicara dengan anaknya. Ia memutuskan bangkit dari kasur untuk membersihkan diri.Jiwa merasa tak sabar untuk bisa pulang bersama Ayuda dan melewati hari-hari bahagia bersama.Namun, dia dibuat heran. Bahkan setelah dua jam Ayuda masih belum datang. Ia mulai gusar apalagi ponsel istri keduanya itu tak bisa dihubungi.“Ayuda, ke mana dia?” Jiwa mulai cemas dan berpikir hal buruk mungkin sedang terjadi.Lama pria itu duduk di sofa, dia berharap pintu terbuka dan Ayuda datang dengan senyuman lebar. Istrinya itu pasti hany
Ramahadi tak bisa melakukan apa-apa selain membiarkan saja putranya. Ia melihat surat cerai yang tergeletak di lantai.Saat dia datang tadi, Wangi sudah tidak ada di sana dan meninggalkan pintu kamar perawatan Jiwa terbuka. Ramahadi menatap kertas itu sambil membuang napas kasar. Ia meremas lalu melemparnya begitu saja.“Coba kamu lacak di mana keberadaan Jiwa sekarang, anak itu sejak dulu sama. Kalau sudah bucin pasti akan bertindak seperti orang gila,”ucap Ramahadi ke bawahannya.Pria itu keluar dan berbelok menuju kamar Raga. Ia juga harus mengecek kondisi kesehatan sang putra bungsu yang baru saja melakukan operasi._Ayuda berdiri di teras sebuah rumah dengan pemandangan hamparan pohon teh di sekelilingnya. Wanita itu melipat tangan di depan dada sambil mengingat setiap ucapan Ramahadi.‘Papamu juga tidak menginginkan anakmu, aku tidak tahu kenapa Affandi sangat dendam kepadaku dan bahkan tidak sudi memiliki cucu yang mengalir darah keturunan keluargaku. Jika kamu pergi ke Amerik
“Mas Jiwa mau sampai kapan seperti ini? tak acuh dan bahkan tidak mau tidur satu kamar denganku.”Wangi mendatangi Jiwa yang ada di kamar Ayuda. Apa yang dia inginkan tak berjalan sesuai rencana. Setelah madunya itu pergi bukannya melupakan, Jiwa malah larut dalam nestapanya sendiri.“Tidur denganmu? kamu selalu pulang malam, bahkan kita sudah jarang lagi bercerita dan mencurahkan isi hati satu sama lain, jadi untuk apa aku berada di kamar itu. Lebih baik aku di sini menunggu Ayuda kembali.”Jawaban Jiwa seperti menampar Wangi. Wanita itu tak bisa berkata-kata dan seharusnya sadar kesempatannya kembali harmonis dengan Jiwa sudah tidak ada.Wangi cemburu, dia marah karena sikap Jiwa yang terlalu jauh berbeda. Meski dia sadar sudah tidak ada tempat untuknya, tapi dia tetap memaksa.“Aku hanya ingin istirahat, jadi tolong beri aku sedikit ruang untuk sendiri,” kata Jiwa dengan nada suara tinggi.“Wanita itu sangat licik, dia tahu dengan memilih pergi Mas akan menjadi seperti ini. Mas sep
Ayuda mulai menyesuaikan keadaan dengan membuat dirinya nyaman. Apa yang tidak dia suka dari villa itu dia ubah dan singkirkan. Ayuda menata perlahan ruangan, dan pagi itu dia memulainya dari kamar.“Tidak perlu box bayi karena dia akan tidur di ranjang bersamaku nanti, tapi cat kamar ini terlihat tidak segar, apa aku ganti warna pink saja?” Agaknya Ayuda bisa melupakan sedikit kesedihan dengan hal-hal random di sana. Cukup setiap malam dia meratapi kerinduannya ke Jiwa, dia sadar bahwa perasaan sedih yang dia rasakan bisa dirasakan juga oleh bayinya.“Pink?” Ayuda bergelut dengan pikirannya sendiri. “Sejak kapan aku menyukai warna itu?”Wanita dengan gaun selutut dan rambut diikat kuda itu menggeleng, menurut Ayuda warna merah muda terlalu girly, dia lebih suka warna merah yang berani. Namun, mengecat dinding kamar dengan warna merah agaknya kurang lazim, terlalu mencolok.“Aku harus meminta tolong seseorang untuk menggeser meja rias ini,”ucap Ayuda.Ia terus berbicara dengan dirin
“Om, apa Om tahu ke mana kak Ayuda?”Sienna memakan dengan lahap pudding yang seharusnya menjadi jatah Snack Raga. Setelah habis gadis itu bahkan menumpahkan sisa airnya ke dalam mulut seperti bocah yang tak pernah makan makanan kenyal nan lembut itu.“Kamu memanggil Ayuda kakak, tapi memanggilku Om, aku tidak sudi punya keponakan sepertimu!” Raga menjawab dengan ketus.Sebenarnya dia juga penasaran ke mana Ayuda. Ponsel wanita itu tidak aktif, bahkan tak menjenguk setelah dia menjalani operasi.“Om, apa Om mau mendengar lelucon?” Sienna mendekatkan kursi ke Raga. Gadis itu bahkan menaikturunkan alis matanya.“Apa?”“Aku mengunci gadis-gadis jahat yang menjebakku di club malam itu di dalam gudang kampus. Mereka aku tinggal di sana semalaman dan mereka mati kehausan.”Raga merinding, matanya melotot mendengar cerita Sienna yang menyeramkan. “Apa kamu itu psikopat? Lelucon apa? itu tidak lucu Sienna,” amuk Raga.Sienna malah tertawa, dia senang bisa membuat Raga takut. Apa yang dia ucap
Meski sedikit terpaksa Dira akhirnya mau menemui Hanung siang itu. Mereka kini duduk berhadapan di sebuah restoran bergaya Italia. Dira hanya diam menunggu pria di depannya ini bicara. Padahal sudah sangat jelas dia berkata tidak mungkin bisa melanjutkan hubungan tanpa mendapat restu dari ibunda Hanung.“Aku akan bicara pada Mama, beliau tidak akan mungkin menolak jika aku bersungguh-sungguh meminta. Ra, yang kamu butuhkan hanya sabar dan yang aku butuhkan adalah dukungan.”Dira membalas kalimat Hanung dengan tawa penuh ironi. Ia bukan gadis bodoh yang berharap wanita yang membencinya bisa dengan mudah melunak lalu merestui.“Aku serius ingin menikahimu,” ucap Hanung. Ia ingin meraih tangan Dira tapi gadis itu menjauhkannya. Meski begitu Hanung tetap berusaha dan pada akhirnya bisa memegang tangan Dira.“Mas, apa perlu aku tegaskan lagi? aku tidak ingin melanjutkan hubungan yang tidak direstui. Aku bukan gadis bodoh Mas, berharap suatu saat hati Mama mas Hanung terbuka dan mau menerim
Dira kaget, ini karena dia bahkan tidak mengenal siapa orang yang mencekal tangan ibunda Hanung.“Siapa yang Anda pikir sedang Anda tampar?”Hari, pria itu menunjukkan wajah garang. Padahal sejatinya dia memiliki wajah yang kalem. Tipikal wajah bapak-bapak yang penuh kasih sayang.“Lepaskan tangannya!” Dira bingung harus menyebut apa ibunda Hanung. Toh wanita itu juga sangat membencinya.Hari melepaskan tangan wanita itu dengan kasar, sebelum memandang Dira dan menunduk memberi hormat.“Nona, saya diminta tuan untuk menjemput Nona,”kata Hari dengan sangat sopan.Ibunda Hanung sampai tak bisa berkata-kata, dia bingung kenapa gadis yang dia anggap tak selevel dengan putranya ini dipanggil dengan sebutan ‘Nona’.“Jaga sikap Anda! Jika tuan Affandi tahu Anda menampar putrinya yang berharga, maka bukan hanya Anda, tapi perusahaan suami Anda juga akan terkena akibatnya.”Hari memersilahkan Dira untuk ikut dengannya, dan karena tidak ada yang bisa dia lakukan dan sampaikan di sana, gadis itu
Aldi berdiri di depan meja Affandi pagi itu. Dengan berani memutuskan mengundurkan diri dari perusahaan karena merasa tidak ada lagi ada yang bisa dia kerjakan. Padahal sebelum menjadi sekretaris dan pengawal Ayuda, Aldi juga sudah biasa ditempatkan di bagian berbeda-beda sesuai dengan bagian apa yang sedang membutuhkan pekerja.Keputusan Aldi yang sedikit tergesa ini membuat Affandi bingung, padahal dia baru saja ingin meminta Aldi untuk membantunya membujuk Dira agar mau diajak bertemu.“Kenapa harus keluar? Kamu bisa mendapat posisi lain di perusahaan,”jawab Affandi dengan sorot mata sedikit curiga. Ia masih merasa Aldi tahu keberadaan Ayuda, tapi sengaja merahasiaakan darinya.“Saya ingin rehat sejenak, saya pikir saya sudah terlalu keras dengan diri saya sendiri karena bekerja setiap hari.”Jawaban Aldi membuat Affandi melirik Hari. Ayahanda Ayuda itu berusaha meminta bantuan agar orang kepercayaannya itu bisa ikut membujuk.Paham dengan isyarat yang diberikan oleh atasannya, Har