“Mas benar tidak mau cerita ke mana Mas tadi pergi bersama Ayuda.” Wangi seperti tak ingin membiarkan Jiwa istirahat jika belum menjawab pertanyaan dan memuaskan rasa penasarannya. Jiwa padahal sudah memejamkan mata, tapi memang belum terlelap, dia sengaja untuk menghindari obrolan dengan sang istri. “Aku hanya ingin makan burger, jadi kami membeli burger,” jawab Jiwa pada akhirnya. “Hanya itu? benarkah? kenapa tidak memakai layanan pesan antar saja kalau hanya menginginkan burger, kenapa harus sampai pergi dari rumah sakit?” Wangi seolah tak puas mengorek apa yang baru saja dilakukan sang suami. Ia cemburu, merasa tak sabar jika harus menunggu lusa di mana Jiwa tidak akan pernah lagi bisa bertemu dengan Ayuda. “Lalu apa kamu ingin aku menjawab jujur? Kami berkencan di taman melihat bintang lalu diakhiri dengan sebuah ciuman.” “Hah … “ Wangi tergelak, dia menggeleng dan setelah itu tak lagi bertanya ke Jiwa. Lagi pula kehadirannya di sana juga tak ada guna. Dia datang di malam ha
“Terserah apa yang mau kalian lakukan, aku juga harus pergi.”Wangi akhirnya memilih untuk menghindari pertikaian, jangan sampai Ayuda buka mulut soal perjanjian mereka. Ini jelas hanya akan merugikan dirinya sendiri.Bagai pria pengecut, Jiwa juga tidak bisa melakukan apa-apa. Ia sebenarnya bingung dalam menentukan sikap. Poligami memang bukan keinginannya sejak awal, terjebak dalam hubungan rumit seperti ini juga bukan yang dia inginkan. Melihat Wangi pergi jujur saja ada rasa bersalah yang amat besar membumbung di dadanya, hingga Jiwa mengambil keputusan bulat, dia ingin mengakhiri hubungan dengan istri pertamanya itu.Wangi pergi dengan rasa kesal. Namun, dia berpikir semua ini pun akan terbayar saat Ayuda pergi nanti. Ia akan membuat Jiwa kembali mencintainya sepenuh hati. Oleh karena itu, Wangi sudah membayar seseorang untuk mengikuti Ayuda mulai hari ini, memastikan madunya itu benar-benar pergi dan membuat bayi Ayuda tak pernah terlahir ke dunia.“Tugasmu mulai dari saat dia d
Ayuda kembali menemui Jiwa seolah tak terjadi apa-apa, meski begitu suaminya sempat mendengar ribut-ribut tapi tak menyadari bahwa itu melibatkan Ayuda.“Matahari sudah terik, saatnya makan siang juga,” ucap Ayuda. Ia membereskan bekal pikniknya dan melarang Jiwa untuk ikut membantu.“Biar aku bantu bawa!”“Jangan tanganmu sakit!”Jiwa bersikeras, dia menarik tas piknik di tangan Ayuda dan berjalan mendahului. Sikapnya yang seperti itu membuat Ayuda merasa diistimewakan.Lima belas menit kemudian keduanya sampai di restoran yang sudah Ayuda reservasi. Mereka menikmati makan siang dengan sesekali membicarakn hal-hal random tentang apa yang pernah mereka lalui.“Ah .. aku penasaran apa benar kamu bertemu dengan Raga di club malam dan menawarkan itu padanya?”Ayuda yang sedang menggigit daging dibuat tertawa dengan pertanyaan Jiwa. Ia mengangguk dan berkata,”Hem … tidak ada dusta diantara kita.”“Kalian benar-benar.”“Tidak perlu cemburu, lagi pula aku sudah bilang aku mencintaimu. Apa k
"Ini benar kepalanya? Dan Ini kaki, lalu apa kami sudah bisa tahu jenis kelaminnya, Dok?"Ayuda tertawa memandangi Jiwa yang sibuk bertanya ke dokter kandungan tentang kondisi bayi mereka. Pria itu bahkan sampai mendekat ke layar monitor untuk melihat dengan jelas agar lebih puas. "Dia sedang miring ke sebelah kanan jadi belum terlihat, Pak."Jawaban dari dokter membuat Jiwa sedikit kecewa. Meski begitu tak mengurangi rasa bahagianya mendengar calon anaknya tumbuh sehat sesuai dengan usia kehamilan Ayuda. "Asam folatnya diminum ya Bu, boleh makan apa saja asal tidak berlebihan, karena sesuatu yang berlebihan tidak baik untuk kesehatan."Nasihat sang dokter diiyakan Ayuda dengan anggukan kepala. Ia mengucapkan terima kasih sebelum meninggalkan ruang pemeriksaan menuju ke kamar rawat Jiwa. Di sana, Ayuda membantu mengemasi barang sang suami. Wajahnya menunjukkan kebahagiaan, padahal hanya sebuah kepalsuan agar Jiwa tidak curiga dengan rencananya."Aku ingin keluar sebentar untuk menc
Ayuda pulang ke rumah Ramahadi. Ia sengaja mengambil barang-barangnya yang penting bahkan meminta bantuan ke bik Nini untuk menatanya. Ayuda berkata ada urusan pekerjaan di luar kota sehingga butuh membawa banyak barang, dia jelas tak ingin jika pembantu senior di rumah mertuanya itu curiga dengan rencananya.“Bagaimana kondisi tuan muda Raga, Nona?”“Masih belum sadar, dia masih di ICU. Ada mama yang menemani di sana,” jawab Ayuda. Ia melempar senyum sambil melipat baju ke dalam koper.Bik Nini agaknya mencium gelagat aneh, tapi dia memang tak sampai berpikir bahwa Ayuda akan pergi meninggalkan anak majikannya.“Oh … ya Bik Nini aku punya sesuatu.”Ayuda mengambil amplop cokelat di dalam tas lalu menyerahkannya ke pembantu itu. Dia sudah menyiapkan sejumlah uang untuk diberikan ke bik Nini.“Non, apa ini?”“Hadiah dariku karena selama ini bik Nini sangat baik ke aku,” jawab Ayuda. Ia sebenarnya ingin memberikan sesuatu untuk bik Nini, tapi bingung memilih barang apa yang diinginkan s
Pagi itu, Jiwa terganggu dengan sinar matahari yang menembus korden kamarnya. Ia mengerjap dan menutup mata dengan punggung tangan. Pria itu mengernyitkan kening lalu mengedarkan pandangan. Sepi, tak ada sosok Ayuda di sana bahkan Wangi pun tidak datang.Pria itu menegakkan punggung, parasnya yang baru saja terjaga nampak lesu. Meski begitu, dia memulas senyum melihat foto USG calon anaknya yang ditinggalkan Ayuda di sebelah bantal.“Kemana mommymu?”tanya Jiwa bak sedang bicara dengan anaknya. Ia memutuskan bangkit dari kasur untuk membersihkan diri.Jiwa merasa tak sabar untuk bisa pulang bersama Ayuda dan melewati hari-hari bahagia bersama.Namun, dia dibuat heran. Bahkan setelah dua jam Ayuda masih belum datang. Ia mulai gusar apalagi ponsel istri keduanya itu tak bisa dihubungi.“Ayuda, ke mana dia?” Jiwa mulai cemas dan berpikir hal buruk mungkin sedang terjadi.Lama pria itu duduk di sofa, dia berharap pintu terbuka dan Ayuda datang dengan senyuman lebar. Istrinya itu pasti hany
Ramahadi tak bisa melakukan apa-apa selain membiarkan saja putranya. Ia melihat surat cerai yang tergeletak di lantai.Saat dia datang tadi, Wangi sudah tidak ada di sana dan meninggalkan pintu kamar perawatan Jiwa terbuka. Ramahadi menatap kertas itu sambil membuang napas kasar. Ia meremas lalu melemparnya begitu saja.“Coba kamu lacak di mana keberadaan Jiwa sekarang, anak itu sejak dulu sama. Kalau sudah bucin pasti akan bertindak seperti orang gila,”ucap Ramahadi ke bawahannya.Pria itu keluar dan berbelok menuju kamar Raga. Ia juga harus mengecek kondisi kesehatan sang putra bungsu yang baru saja melakukan operasi._Ayuda berdiri di teras sebuah rumah dengan pemandangan hamparan pohon teh di sekelilingnya. Wanita itu melipat tangan di depan dada sambil mengingat setiap ucapan Ramahadi.‘Papamu juga tidak menginginkan anakmu, aku tidak tahu kenapa Affandi sangat dendam kepadaku dan bahkan tidak sudi memiliki cucu yang mengalir darah keturunan keluargaku. Jika kamu pergi ke Amerik
“Mas Jiwa mau sampai kapan seperti ini? tak acuh dan bahkan tidak mau tidur satu kamar denganku.”Wangi mendatangi Jiwa yang ada di kamar Ayuda. Apa yang dia inginkan tak berjalan sesuai rencana. Setelah madunya itu pergi bukannya melupakan, Jiwa malah larut dalam nestapanya sendiri.“Tidur denganmu? kamu selalu pulang malam, bahkan kita sudah jarang lagi bercerita dan mencurahkan isi hati satu sama lain, jadi untuk apa aku berada di kamar itu. Lebih baik aku di sini menunggu Ayuda kembali.”Jawaban Jiwa seperti menampar Wangi. Wanita itu tak bisa berkata-kata dan seharusnya sadar kesempatannya kembali harmonis dengan Jiwa sudah tidak ada.Wangi cemburu, dia marah karena sikap Jiwa yang terlalu jauh berbeda. Meski dia sadar sudah tidak ada tempat untuknya, tapi dia tetap memaksa.“Aku hanya ingin istirahat, jadi tolong beri aku sedikit ruang untuk sendiri,” kata Jiwa dengan nada suara tinggi.“Wanita itu sangat licik, dia tahu dengan memilih pergi Mas akan menjadi seperti ini. Mas sep