“Bisa-bisanya pergi dan tanpa membawa uang cash.” Aldi memasukkan kembalian yang diberikan ibu warung ke dompet sambil menggerutu. Ia tak menyangka meski kembar tapi sifat Ayuda dan Dira sangat jauh berbeda seperti ini. Ayuda selalu memikirkan apa yang akan dilakukan, merencanakan sesuatu hingga tidak akan terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, tapi Dira? Gadis ini bahkan tak sadar uang di dompet hanya cukup untuk membayar ongkos taksi. “Kenapa bukan taksinya yang kamu bayar non tunia, kamu itu bodoh atau apa? warung ini di dekat sekolah, apa kamu pikir jajan anak-anak itu menghabiskan uang ratusan ribu?” amuk Aldi, dia duduk di depan Dira sambil menyesap teh dingin miliknya. Gadis itu masih menunggu Randy yang tak kunjung membalas pesannya, tapi tidak enak karena sudah pesan makanan tapi belum bayar. “Kenapa sih langsung menghakimi? Pak taksi itu tadi bilang dia ingin dibayar tunai untuk beli bensin, mana orangnya sudah tua, aku ‘kan jadi kasihan,” sembur Dira, wajahnya sudah mara
“Apa kita perlu menemui Raga?”Ayuda memandang Jiwa dan menunggu respon suaminya itu. Tak perlu berpikir lama, Jiwa mengangguk setuju karena dia juga sebenarnya sangat ingin bertemu dengan Raga. Mereka pun meninggalkan Linda di kamar sampai wanita itu geleng-geleng kepala. Jiwa dan Ayuda mengabaikan keberadaannya, seperti merasa dunia milik berdua.“Pelan-pelan!” pinta Ayuda penuh perhatian. Keduanya menuju kamar Raga yang tak jauh dari sana. “Jangan memandangiku seperti itu!”“Kamu sangat cantik, aku benar-benar beruntung bisa menikahimu.”Ayuda membuang muka karena malu. Hal-hal seperti ini lah yang akan membuatnya merasa berat untuk menepati janji untuk pergi.Tiba di depan kamar Raga, Ayuda dan Jiwa saling pandang karena mendengar suara dari dalam. Tak ingin larut dalam rasa penasaran tak berdasar, Ayuda membuka pintu dan mendapati Sienna ada di sana.“Sudah aku bilang, Om akan tetap tampan.”“Tidak, bagaimana bisa botak itu tampan?”Ternyata benar kata Linda, Raga tidak mau melak
"Sudah jangan takut. Aku tahu kamu tidak mau operasi karena takut jarum suntik."Sienna mencibir Raga. Ia tertawa sambil menikmati buah yang disediakan oleh pihak rumah sakit, tak hanya itu banyak makanan juga di sana dari orang-orang yang mencemaskan kondisi Raga. Ayuda dan Jiwa sudah pergi beberapa menit yang lalu, sehingga kini hanya tinggal Sienna berdua dengan Raga di kamar. Gadis itu penuh perhatian mengupas dan memotong buah, tapi sayang Raga tidak mau makan dengan alasan tidak lapar. "Apa kamu tidak kuliah? Kenapa kamu berkeliaran di dekatku?" "Karena aku senang melihat om Jiwa, dia tampan, baik hati tapi sayang istrinya dua." Sienna berucap sesuka hati sambil terus melahap buah di tangan. "Heh, gadis barbar. Ingat kamu sudah berjanji, bawa papamu untuk melamarku kalau aku botak nanti."Sienna mendelik, dia tak menyangka kalau Raga akan menganggap serius ucapannya. _Saat kembali ke kamar, Ayuda dan Jiwa bertemu dengan perawat dan dokter yang akan melakukan pemeriksaan. M
“Nona tidak menjawab.”Hari memberitahu Affandy, tapi pria itu tak ingin menunggu sampai pagi hingga meminta dokter Thomas mencoba menghubungi sang putri beberapa saat lagi.‘Kamu melanggar janji, aku sudah pulang dan kamu malah pergi bersama mas Jiwa.’Ayuda hanya membaca pesan Wangi tanpa berniat untuk membalas, dia seharusnya tidak membuka pesan itu, karena berakhir membuat suasana hati yang sedang bahagia menjadi sedih.Esok, adalah hari terakhirnya bersama pria yang sedang memandanginya ini. Jadi Wangi seharusnya tak mengganggu mereka. Ayuda juga sedikit heran untuk apa dokter Thomas menghubungi, mungkinkah pria itu sudah kembali?“Kamu masuk dulu, aku ingin mengembalikan kunci mobil Sienna.” Ayuda meminta izin setibanya di depan kamar Jiwa. Ia tahu Wangi sudah ada di dalam,mengembalikan kunci Sienna hanya sebagai alasan agar dia bisa menghindar.“Oke, Jangan lama-lama!”Jiwa memandangi punggung Ayuda sampai pergi, dia membuka pintu dengan wajah yang masih terlihat bahagia, hingg
“Mas benar tidak mau cerita ke mana Mas tadi pergi bersama Ayuda.” Wangi seperti tak ingin membiarkan Jiwa istirahat jika belum menjawab pertanyaan dan memuaskan rasa penasarannya. Jiwa padahal sudah memejamkan mata, tapi memang belum terlelap, dia sengaja untuk menghindari obrolan dengan sang istri. “Aku hanya ingin makan burger, jadi kami membeli burger,” jawab Jiwa pada akhirnya. “Hanya itu? benarkah? kenapa tidak memakai layanan pesan antar saja kalau hanya menginginkan burger, kenapa harus sampai pergi dari rumah sakit?” Wangi seolah tak puas mengorek apa yang baru saja dilakukan sang suami. Ia cemburu, merasa tak sabar jika harus menunggu lusa di mana Jiwa tidak akan pernah lagi bisa bertemu dengan Ayuda. “Lalu apa kamu ingin aku menjawab jujur? Kami berkencan di taman melihat bintang lalu diakhiri dengan sebuah ciuman.” “Hah … “ Wangi tergelak, dia menggeleng dan setelah itu tak lagi bertanya ke Jiwa. Lagi pula kehadirannya di sana juga tak ada guna. Dia datang di malam ha
“Terserah apa yang mau kalian lakukan, aku juga harus pergi.”Wangi akhirnya memilih untuk menghindari pertikaian, jangan sampai Ayuda buka mulut soal perjanjian mereka. Ini jelas hanya akan merugikan dirinya sendiri.Bagai pria pengecut, Jiwa juga tidak bisa melakukan apa-apa. Ia sebenarnya bingung dalam menentukan sikap. Poligami memang bukan keinginannya sejak awal, terjebak dalam hubungan rumit seperti ini juga bukan yang dia inginkan. Melihat Wangi pergi jujur saja ada rasa bersalah yang amat besar membumbung di dadanya, hingga Jiwa mengambil keputusan bulat, dia ingin mengakhiri hubungan dengan istri pertamanya itu.Wangi pergi dengan rasa kesal. Namun, dia berpikir semua ini pun akan terbayar saat Ayuda pergi nanti. Ia akan membuat Jiwa kembali mencintainya sepenuh hati. Oleh karena itu, Wangi sudah membayar seseorang untuk mengikuti Ayuda mulai hari ini, memastikan madunya itu benar-benar pergi dan membuat bayi Ayuda tak pernah terlahir ke dunia.“Tugasmu mulai dari saat dia d
Ayuda kembali menemui Jiwa seolah tak terjadi apa-apa, meski begitu suaminya sempat mendengar ribut-ribut tapi tak menyadari bahwa itu melibatkan Ayuda.“Matahari sudah terik, saatnya makan siang juga,” ucap Ayuda. Ia membereskan bekal pikniknya dan melarang Jiwa untuk ikut membantu.“Biar aku bantu bawa!”“Jangan tanganmu sakit!”Jiwa bersikeras, dia menarik tas piknik di tangan Ayuda dan berjalan mendahului. Sikapnya yang seperti itu membuat Ayuda merasa diistimewakan.Lima belas menit kemudian keduanya sampai di restoran yang sudah Ayuda reservasi. Mereka menikmati makan siang dengan sesekali membicarakn hal-hal random tentang apa yang pernah mereka lalui.“Ah .. aku penasaran apa benar kamu bertemu dengan Raga di club malam dan menawarkan itu padanya?”Ayuda yang sedang menggigit daging dibuat tertawa dengan pertanyaan Jiwa. Ia mengangguk dan berkata,”Hem … tidak ada dusta diantara kita.”“Kalian benar-benar.”“Tidak perlu cemburu, lagi pula aku sudah bilang aku mencintaimu. Apa k
"Ini benar kepalanya? Dan Ini kaki, lalu apa kami sudah bisa tahu jenis kelaminnya, Dok?"Ayuda tertawa memandangi Jiwa yang sibuk bertanya ke dokter kandungan tentang kondisi bayi mereka. Pria itu bahkan sampai mendekat ke layar monitor untuk melihat dengan jelas agar lebih puas. "Dia sedang miring ke sebelah kanan jadi belum terlihat, Pak."Jawaban dari dokter membuat Jiwa sedikit kecewa. Meski begitu tak mengurangi rasa bahagianya mendengar calon anaknya tumbuh sehat sesuai dengan usia kehamilan Ayuda. "Asam folatnya diminum ya Bu, boleh makan apa saja asal tidak berlebihan, karena sesuatu yang berlebihan tidak baik untuk kesehatan."Nasihat sang dokter diiyakan Ayuda dengan anggukan kepala. Ia mengucapkan terima kasih sebelum meninggalkan ruang pemeriksaan menuju ke kamar rawat Jiwa. Di sana, Ayuda membantu mengemasi barang sang suami. Wajahnya menunjukkan kebahagiaan, padahal hanya sebuah kepalsuan agar Jiwa tidak curiga dengan rencananya."Aku ingin keluar sebentar untuk menc
Pelukan, kasih sayang dan senyuman tulus kini bisa Jiwa rasakan setiap hari. Hidupnya sudah lengkap dengan kehadiran istri yang sangat dia cintai, juga putri cantik yang semakin hari semakin pintar. Jiwa berdiri sambil memegang cangkir kopi di tangan, dia memandang ke arah Nala yang sudah mulai belajar berjalan bersama bik Nini. Sementara itu, Ayuda bertelanjang kaki menemani dengan perut yang nampak membuncit. Nala, dia pasti terlihat seperti saudara kembar dengan adiknya nanti. “Nala pintarnya!” puji Ayuda, putrinya itu tertawa dan memeluk kakinya. Dia sedikit kesusahan untuk mengusap punggung sang putri karena terganjal perutnya yang sudah besar. Dengan bantuan bik Nini, Ayuda akhirnya bisa menggendong Nala. Namun, tak diduga Jiwa langsung berlari dan meminta Ayuda untuk tidak melakukan itu. “Sayang, kasihan adik Nala nanti,”ucap Jiwa. Bik Nini yang melihat tuannya sangat posesif pun tersenyum. Ia bahkan dibuat malu sendiri dengan tingkah Jiwa yang over protective. “Dari pada
Aura pengantin baru terpancar jelas dari wajah Dira. Kembaran Ayuda itu nampak sedang duduk bersama mertua dan saudara-saudara Aldi di teras sambil bercanda. Ibunda Aldi menceritakan bagaimana masa kecil pria itu, sampai aibnya yang masih suka minum susu menggunakan dot meski sudah kelas 5 SD.“Besok kalau kamu hamil banyak-banyak sugesti calon bayimu, jangan sampai kayak bapaknya.”Dira tertawa, dia tak sadar Aldi sedang memandanginya. Pria yang sudah resmi mempersuntingnya itu sibuk membantu merapikan kursi yang dipinjam dari RT untuk acara pengajian.“Lha … gimana nggak kayak bapaknya, Bu? Kalau aku hamil ‘kan memang anak mas Aldi, kalau nggak mirip nanti bisa-bisa malah menimbulkan fitnah,”kata Dira.“Maksudnya sifatnya yang jelek-jelek itu lho, Ra!”“Mas Aldi nggak punya sifat jelek, Bu. Mas Aldi itu sempurna buatku.”Aldi yang mendengar pujian sang istri seketika malu. Pipinya bahkan merona merah sedangkan Dira terlihat sangat santai meski orang-orang bersorak menggoda.“Ya begi
Pernikahan adalah impian setiap wanita, apalagi menikah dengan pria yang sangat dicintai. Begitu juga dengan Sienna, dia tidak pernah menyangka hatinya akan tertambat pada pria casanova seperti Raga. Meski tahu bagaimana sepak terjang pria itu, tapi Sienna yakin, suaminya itu kini sudah berubah. Ibarat panci bertemu tutupnya, mereka saling melengkapi. Membangun pernikahan yang sebenarnya mereka sendiri masih belum begitu yakin.Namun, Raga dan Sienna yakin mimpi-mimpi dan rencana akan mereka temukan seiring berjalannya waktu. Seperti saat ini. Mereka harus menunda bulan madu karena Sienna harus menghadapi ujian semester."Boleh aku bicara serius?" tanya Raga saat mereka berada di dalam salah satu kamar villa milik Ramahadi.Raga teringat akan Ayuda yang mual-mual tadi, setelah ditanya kakak iparnya itu menjawab dia memang belum datang bulan sejak melahirkan Nala. Kata Linda, kemungkinan besar Ayuda pasti hamil lagi."Bicara serius? Apa?"Sienna yang memakai paha Raga sebagai bantalan
Tiga bulan kemudianHari yang membahagiakan untuk semua orang akhirnya tiba. Ramahadi mengajak seluruh keluarganya pergi ke villanya yang dulu digunakan Ayuda untuk bersembunyi.Raga baru seminggu menikah dengan Sienna. Bulan madu mereka pun tertunda karena Sienna harus menghadapi ujian semester minggu ini. Raga tidak mau kalau sampai kuliah istrinya itu terganggu hanya karena bulan madu - yang sejatinya sudah sering mereka lakukan sebelum menikah.Affandi juga hadir, dia menerima undangan dari Ramahadi dengan penuh suka cita. Awalnya Affandi ingin mengajak Dira ke sana, tapi putrinya itu lebih dulu menerima ajakan dari sang mertua untuk berkumpul di rumah keluarga besar Aldi.Ayuda nampak memangku Nala, dia menyusui putrinya sambil menatap keluar jendela di mana papanya tengah sibuk mengobrol dengan sang mertua. Ayuda menepuk pantat Nala lembut, dia menoleh kaget kala Jiwa keluar dengan membawa buku - yang dulu selalu menjadi teman saat dirinya merasa kesepian tinggal sendiri di sana
Di saat putra putri mereka sedang berdua dan kembali meleburkan asa, Affandi dan Ramahadi duduk bersama. Ramahadi tak menyangka pria yang seumur hidup terus menganggapnya musuh kini mengajaknya bicara. Affandi bahkan mengeluarkan satu kata yang dia rasa mustahil untuk didengar. “Maaf!” Ramahadi tentu tak bisa percaya begitu saja, setelah hampir berpuluh-puluh tahun menganggapnya musuh, kini Affandi mengucap kata maaf dan terdengar begitu sangat tulus. “Aku tahu perbuatanku salah, dan selama ini aku terlalu malu untuk mengakuinya. Mungkin, pertemuan Ayuda dan Jiwa adalah takdir yang memang sudah ditetapkan, hingga akhirnya aku bisa sadar,”ungkap Affandi panjang lebar. Hening, Ramahadi tak langsung membalas permintaan maaf Affandi. Ia mencoba mencerna dulu, menimbang apakah pria itu tulus atau hanya sekadar meminta maaf agar dirinya tak lagi menaruh prasangka. “Aku sudah lelah bekerja, aku ingin menyerahkan perusahaan ke anak-anakku, dan aku ingin hidup tenang bermain bersama cucu,”
Terkesan nakal, tapi begitulah naluri manusia dewasa. Mereka memiliki birahi yang butuh disalurkan. Ayuda tahu perbuatannya membuat Jiwa semakin ingin menerkamnya. Namun, bukankah itu yang mereka inginkan? Ayuda memindai manik mata Jiwa, di sana terlihat penuh cinta, berbeda dengan tatapan mata pria itu saat pertama kali menyentuhnya. Tak ada perasaan hangat seperti ini, Jiwa bahkan mencekoki dirinya obat perangsang agar nafsunya tersalurkan tanpa perlu ikatan seperti saat ini. Jiwa membelai pipi Ayuda, mencium setiap bagian wajahnya seolah setiap incinya tak ingin terlewatkan untuk dia cicipi. Pria itu menghentikan sapuan bibir di hidung bangir sang istri, sorot matanya seolah meminta izin. “Bisakah aku bisa melakukannya jauh lebih dari ini.” Ayuda tersenyum tipis, tangannya menarik tengkuk Jiwa hingga bibir mereka kembali bertaut. Mereka sama-sama memejamkan mata, menyelami setiap perasaan cinta yang membara. Perlahan tangan Ayuda melonggar dan beralih membuka kancing kemeja Jiw
Dira masih berada di pelukan Ayuda, meski tak mau membalas pelukan saudaranya, tapi Dira menyandarkan kepala ke pundak ibunda Nala itu. Ia masih tergugu, tak menyangka satu orang datang lagi ke rumahnya dan masuk dengan wajah kebingungan. Aldi menjadi pusat perhatian semua orang, sampai Ayuda melonggarkan pelukan dan Dira memanggil dengan manja nama pria itu.“Mas Al!”“Ra, kenapa kamu menangis?” tanya Aldi bingung, dia hanya diberitahu Affandi akan datang, tapi jika tahu akan membuat calon istrinya menangis, tentu saja Aldi akan melarang. Alih-alih berada di sana tepat waktu, Aldi terjebak lampu merah beberapa kali.“Pak, ini bukan seperti yang Anda janjikan, bukankah ….”Aldi menjeda kata, Dira yang masih sesenggukan mendekat dan memberitahu Aldi kalau Affandi baru saja berkata akan menikahkannya.“Benarkah?” Aldi nampak bahagia. Ia raih tangan Affandi dan menggoyang-goyangkannya beberapa kali.Meski awalnya kesal, tapi Dira tertawa melihat kelakuan Aldi. Ayuda lega karena yakin Dir
Setelah Jiwa berangkat ke kantor, Ayuda tak langsung pergi ke rumah Dira. Ia malah berdiri di depan lemari baju, bingung memilih pakaian mana yang cocok dia kenakan untuk malam spesial yang Jiwa katakan tadi. Ayuda menekuk bibir ke dalam lalu memajukannya lagi, bunyi decapan lidahnya membuat bik Nini yang baru saja masuk untuk menata baju Nala keheranan.“Non, cari apa?”Ayuda menggeleng, wanita itu sedang berpikir mana mungkin memakai gaun yang sama di depan Jiwa. Apalagi dia sama sekali tidak memiliki satu pun baju tempur selain piyama satin yang sering dia pakai karena praktis saat menyusui Nala.“Seharusnya aku pergi shopping kemarin,”ucap Ayuda.Bik Nini tentu saja semakin heran, dia sejajari Nonanya itu dan kembali bertanya,”Non cari apa?”“Linger … “ Ayuda keceplosan, matanya melotot menoleh bik Nini dan melempar senyuman canggung.Pembantunya itu pun menarik sudut bibir, tersenyum aneh sambil menaikturunkan alis mata. Bik Nini berhasil membuat Ayuda merasa malu, dia pasti tahu
Sejak pagi, Jiwa terus saja menampakkan wajah riang. Ia memandangi sang istri yang sibuk melakukan tugas merawat putrinya seperti biasa. Jiwa membuat Ayuda salah tingkah setelah semalam wanita itu menjawab pertanyaannya dengan kata ‘ya’.“Apa sudah?”“Berhenti bertanya apa sudah – apa sudah,”amuk Ayuda. Pipinya merona merah karena Jiwa bersikap sangat agresif. “Aku mau bertemu papa dan Dira dulu, kamu cepat bersiap sana untuk pergi bekerja!”Jiwa tak menggubris ucapan Ayuda, dia malah melingkarkan tangan di pinggang wanita itu yang sedang menggendong putrinya.“Jiwa!” bentak Ayuda.“Malam ini aku akan memberi bonus ke Bik Nini untuk menjaga Nala, kita bisa pakai apartemenku untuk melakukan itu.”“Melakukan apa?” Ayuda dengan sengaja menggoyangkan pinggang untuk membuat Jiwa melepaskan tangan. Namun, pria itu terlalu kuat dan membuatnya berakhir pasrah karena Nala ada di pelukannya.“Jangan berpura-pura! aku tahu kamu tidak sepolos itu, bahkan saat tidur kamu sesekali nakal dengan meng