Ayuda pergi dengan senyuman merekah setelah berhasil menggoda Raga. Namun, senyumannya seketika hilang saat melihat Wangi keluar dari kamar Jiwa. Ayuda berusaha untuk mengabaikan Wangi, tapi wanita itu menyapanya dan mau tidak mau dia pun menghentikan langkah untuk bicara. "Sepertinya kamu berharap mas Jiwa sekarat agar bisa merawatnya lebih lama, tapi sayang kondisinya pulih lebih cepat, jadi mungkin waktunya kamu berkemas dan pergi dari kehidupan kami tanpa jejak," ketus Wangi. Ayuda tak menunjukkan reaksi yang berlebihan, dia hanya menarik satu sudut bibir dan malah mencibir. "Kamu pasti terlalu takut, sampai harus bicara seperti ini. Jangan khawatir, aku akan menepati janji."Ayuda sengaja menabrak lengan Wangi dengan kasar sambil berjalan pergi. Wangi mungkin berpikir dia lemah, mudah mengalah karena akhirnya pergi. Namun, bagi Ayuda melepaskan semua dendam adalah bentuk kemenangan yang paling besar. Ia yakin, jika Jiwa memang sangat mencintainya, pria itu pasti akan mencari k
Dira sampai di depan sekolah Randy saat jam menunjukkan pukul sepuluh pagi. Gadis itu sengaja menunggu jam istirahat sang adik agar bisa bertemu. Dira sudah mengirimkan pesan ke Randy beberapa menit yang lalu, dia meminta remaja itu menemuinya di warung dekat sekolah saat jam istirahat nanti. Sambil menunggu, Dira iseng kembali mengirim pesan ke Aldi. Kali ini dia meminta agar Aldi mencarikan satu unit motor untuknya. 'Untuk apa motor?'' Untuk Jalan-jalan lah, kamu pikir untuk apa lagi? Aku kesusahan kemana-mana harus pakai taksi.'"Gadis ini, apa yang dia lakukan sekarang?" Gumam Aldi. Dia seketika merasa cemas dengan kondisi Dira."Semoga dia tidak ceroboh dan melakukan hal gila."Aldi meletakkan ponsel ke meja lalu memandang pintu ruangan Ayuda. Sejak kembali dari menemui Ramahadi, atasannya itu menjadi murung. "Kenapa dia harus diterpa masalah saat sedang hamil, aku takut anaknya mengalami gizi buruk," ucap Aldi. Namun, di luar dugaan sang sekretaris ternyata di dalam ruangan
“Bisa-bisanya pergi dan tanpa membawa uang cash.” Aldi memasukkan kembalian yang diberikan ibu warung ke dompet sambil menggerutu. Ia tak menyangka meski kembar tapi sifat Ayuda dan Dira sangat jauh berbeda seperti ini. Ayuda selalu memikirkan apa yang akan dilakukan, merencanakan sesuatu hingga tidak akan terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, tapi Dira? Gadis ini bahkan tak sadar uang di dompet hanya cukup untuk membayar ongkos taksi. “Kenapa bukan taksinya yang kamu bayar non tunia, kamu itu bodoh atau apa? warung ini di dekat sekolah, apa kamu pikir jajan anak-anak itu menghabiskan uang ratusan ribu?” amuk Aldi, dia duduk di depan Dira sambil menyesap teh dingin miliknya. Gadis itu masih menunggu Randy yang tak kunjung membalas pesannya, tapi tidak enak karena sudah pesan makanan tapi belum bayar. “Kenapa sih langsung menghakimi? Pak taksi itu tadi bilang dia ingin dibayar tunai untuk beli bensin, mana orangnya sudah tua, aku ‘kan jadi kasihan,” sembur Dira, wajahnya sudah mara
“Apa kita perlu menemui Raga?”Ayuda memandang Jiwa dan menunggu respon suaminya itu. Tak perlu berpikir lama, Jiwa mengangguk setuju karena dia juga sebenarnya sangat ingin bertemu dengan Raga. Mereka pun meninggalkan Linda di kamar sampai wanita itu geleng-geleng kepala. Jiwa dan Ayuda mengabaikan keberadaannya, seperti merasa dunia milik berdua.“Pelan-pelan!” pinta Ayuda penuh perhatian. Keduanya menuju kamar Raga yang tak jauh dari sana. “Jangan memandangiku seperti itu!”“Kamu sangat cantik, aku benar-benar beruntung bisa menikahimu.”Ayuda membuang muka karena malu. Hal-hal seperti ini lah yang akan membuatnya merasa berat untuk menepati janji untuk pergi.Tiba di depan kamar Raga, Ayuda dan Jiwa saling pandang karena mendengar suara dari dalam. Tak ingin larut dalam rasa penasaran tak berdasar, Ayuda membuka pintu dan mendapati Sienna ada di sana.“Sudah aku bilang, Om akan tetap tampan.”“Tidak, bagaimana bisa botak itu tampan?”Ternyata benar kata Linda, Raga tidak mau melak
"Sudah jangan takut. Aku tahu kamu tidak mau operasi karena takut jarum suntik."Sienna mencibir Raga. Ia tertawa sambil menikmati buah yang disediakan oleh pihak rumah sakit, tak hanya itu banyak makanan juga di sana dari orang-orang yang mencemaskan kondisi Raga. Ayuda dan Jiwa sudah pergi beberapa menit yang lalu, sehingga kini hanya tinggal Sienna berdua dengan Raga di kamar. Gadis itu penuh perhatian mengupas dan memotong buah, tapi sayang Raga tidak mau makan dengan alasan tidak lapar. "Apa kamu tidak kuliah? Kenapa kamu berkeliaran di dekatku?" "Karena aku senang melihat om Jiwa, dia tampan, baik hati tapi sayang istrinya dua." Sienna berucap sesuka hati sambil terus melahap buah di tangan. "Heh, gadis barbar. Ingat kamu sudah berjanji, bawa papamu untuk melamarku kalau aku botak nanti."Sienna mendelik, dia tak menyangka kalau Raga akan menganggap serius ucapannya. _Saat kembali ke kamar, Ayuda dan Jiwa bertemu dengan perawat dan dokter yang akan melakukan pemeriksaan. M
“Nona tidak menjawab.”Hari memberitahu Affandy, tapi pria itu tak ingin menunggu sampai pagi hingga meminta dokter Thomas mencoba menghubungi sang putri beberapa saat lagi.‘Kamu melanggar janji, aku sudah pulang dan kamu malah pergi bersama mas Jiwa.’Ayuda hanya membaca pesan Wangi tanpa berniat untuk membalas, dia seharusnya tidak membuka pesan itu, karena berakhir membuat suasana hati yang sedang bahagia menjadi sedih.Esok, adalah hari terakhirnya bersama pria yang sedang memandanginya ini. Jadi Wangi seharusnya tak mengganggu mereka. Ayuda juga sedikit heran untuk apa dokter Thomas menghubungi, mungkinkah pria itu sudah kembali?“Kamu masuk dulu, aku ingin mengembalikan kunci mobil Sienna.” Ayuda meminta izin setibanya di depan kamar Jiwa. Ia tahu Wangi sudah ada di dalam,mengembalikan kunci Sienna hanya sebagai alasan agar dia bisa menghindar.“Oke, Jangan lama-lama!”Jiwa memandangi punggung Ayuda sampai pergi, dia membuka pintu dengan wajah yang masih terlihat bahagia, hingg
“Mas benar tidak mau cerita ke mana Mas tadi pergi bersama Ayuda.” Wangi seperti tak ingin membiarkan Jiwa istirahat jika belum menjawab pertanyaan dan memuaskan rasa penasarannya. Jiwa padahal sudah memejamkan mata, tapi memang belum terlelap, dia sengaja untuk menghindari obrolan dengan sang istri. “Aku hanya ingin makan burger, jadi kami membeli burger,” jawab Jiwa pada akhirnya. “Hanya itu? benarkah? kenapa tidak memakai layanan pesan antar saja kalau hanya menginginkan burger, kenapa harus sampai pergi dari rumah sakit?” Wangi seolah tak puas mengorek apa yang baru saja dilakukan sang suami. Ia cemburu, merasa tak sabar jika harus menunggu lusa di mana Jiwa tidak akan pernah lagi bisa bertemu dengan Ayuda. “Lalu apa kamu ingin aku menjawab jujur? Kami berkencan di taman melihat bintang lalu diakhiri dengan sebuah ciuman.” “Hah … “ Wangi tergelak, dia menggeleng dan setelah itu tak lagi bertanya ke Jiwa. Lagi pula kehadirannya di sana juga tak ada guna. Dia datang di malam ha
“Terserah apa yang mau kalian lakukan, aku juga harus pergi.”Wangi akhirnya memilih untuk menghindari pertikaian, jangan sampai Ayuda buka mulut soal perjanjian mereka. Ini jelas hanya akan merugikan dirinya sendiri.Bagai pria pengecut, Jiwa juga tidak bisa melakukan apa-apa. Ia sebenarnya bingung dalam menentukan sikap. Poligami memang bukan keinginannya sejak awal, terjebak dalam hubungan rumit seperti ini juga bukan yang dia inginkan. Melihat Wangi pergi jujur saja ada rasa bersalah yang amat besar membumbung di dadanya, hingga Jiwa mengambil keputusan bulat, dia ingin mengakhiri hubungan dengan istri pertamanya itu.Wangi pergi dengan rasa kesal. Namun, dia berpikir semua ini pun akan terbayar saat Ayuda pergi nanti. Ia akan membuat Jiwa kembali mencintainya sepenuh hati. Oleh karena itu, Wangi sudah membayar seseorang untuk mengikuti Ayuda mulai hari ini, memastikan madunya itu benar-benar pergi dan membuat bayi Ayuda tak pernah terlahir ke dunia.“Tugasmu mulai dari saat dia d