Wangi sengaja mengosongkan jadwal pekerjaannya malam itu, dia meminta Audy menggeser jadwal pekerjaannya. Wangi ingin menemui Ayuda dan memberikan beberapa barang yang sudah dia siapkan karena madunya itu tengah mengandung. Tentu saja kebaikan Wangi ini bukan tanpa alasan. Sikapnya ini didasari atas pemahamannya, bahwa Ayuda kini tengah hamil anaknya dan Jiwa. Maka, untuk menunjukkan perhatiannya itu, Wangi membeli beberapa susu hamil dan multivitamin. Dia juga meminta Susi menyiapkan buah segar untuk diberikan ke Ayuda. Linda yang melihat Wangi berubah sikap seperti itu pun berhasil dibuat heran. Ia dekati sang menantu lalu bertanya kenapa repot-repot memerhatikan Ayuda. "Apa karena itu anak Jiwa jadi kamu juga perhatian padanya?" Linda bertanya sambil mengambil satu potongan buah dari piring yang sedang ditata secantik mungkin oleh Wangi. Hingga, Wangi mendelik karena kesal dengan tingkahnya. "Apa tangan Mama bersih? Aku tidak bisa memberikan makanan yang tidak higienis ke Ayu
Beberapa menit yang lalu, Jiwa pulang dan tak menemukan keberadaan Ayuda. Dia juga heran dengan wajah kecewa Wangi dan Linda. Mencoba mencari jawaban, Jiwa melihat adiknya yang baru saja dititipi hadiah untuk Ayuda dari sang papa. Jiwa pun memilih mengikuti langkah Raga hingga ke teras samping, dia sengaja menelinga setelah mendengar dari Linda bahwa semua orang sudah terkena virus Ayuda. Jiwa menajamkan pendengaran, dia mendengar Raga menyebutkan nama sang istri. Hingga dirinya memberanikan diri untuk merebut ponsel itu, dan bertanya di mana Ayuda sekarang karena ingin pergi menjemput. Jiwa dan Raga berdebat membahas kesopanan. Si sulung bahkan tak menyadari bahwa ponsel si bungsu masih tersambung sehingga Ayuda bisa mendengar perdebatan mereka dengan jelas. Awalnya hanya masalah kesopanan, tapi tak lama dua pria itu membahas hal lain - yang Ayuda tak mengerti. Wanita itu lantas memilih mematikan ponsel. Ia mengedikkan bahu ke arah Aldi yang menatap bingung. "Biarkan saja, mereka
"Lha kamu sendiri, ngapain ke sini?" Sienna tak mau kalah. Meski sudah tahu dari Ayuda, tapi tetap saja tak menyangka kalau Raga akan datang ke club. Belum habis rasa kaget Sienna, kini giliran Jiwa yang muncul dan berdiri di ambang pintu. Melihat suami Ayuda itu membuatnya mengingat momen memalukan pagi tadi. "Ayuda!" Panggil Jiwa. Ia sudah hampir menerobos masuk ke dalam tapi dihalangi oleh Raga. "Apa yang kamu lakukan? Jangan seperti anak kecil!" amuk Jiwa. Ayuda yang menyaksikan memilih bersikap santai, dia silangkan kaki dan menyandarkan punggung dengan nyaman. Tangannya terlipat di depan dada memindai wajah sang suami. "Pergi!" Jiwa mendorong Raga dan akhirnya berhasil masuk. Ia berdiri di depan Ayuda, memandangi wajah sang istri lalu mengajaknya pulang. Tak lupa dia menyisir meja untuk memastikan apakah Ayuda menenggak minuman keras. "Ayo pulang! Ibu hamil tidak baik berada di tempat seperti ini," bujuk Jiwa."Hamil?" Sienna bergumam, dia menunduk melihat perutnya lalu m
Sienna tak mungkin jujur bahwa sudah melakukan one night stand bersama Raga. Gadis itu hanya melirik Raga dan pamit ke Ayuda. Ia juga berterima kasih karena wanita itu dan Aldi tadi membantunya. "Memang apa yang terjadi tadi?" Raga bertanya. Ia penasaran juga bantuan apa yang diberikan kakak iparnya ke gadis barbar putri dari pemilik Rahwana hotel itu. Jiwa yang menjadi pengamat pun ikut tertarik dengan alasan Sienna. Namun, Ayuda tidak mau memberitahu. Ditatapnya wajah Jiwa lalu menoleh Raga. Ia kembali menanyakan kenapa Raga menyebut kata menikahi tadi."Sudahlah, jangan dibahas!" Raga memilih bungkam. Ia sambar mangkuk berisi kacang milik Ayuda, tapi tangannya lebih dulu terkena pukulan dari wanita itu. "Pesan sendiri! Ini punyaku!" Sewot Ayuda ke Raga. Ia terlihat masih tak memperdulikan keberadaan Jiwa di sana. Namun, Jiwa tetap menunggu. Ia ingin melihat seberapa jauh Ayuda bisa mengabaikannya. Wanita itu juga sudah mengungkapkan rasa. Jiwa yakin Ayuda hanya marah dan cemb
Di sisi lain Aldi benar-benar dibuat kerepotan membawa Raga pulang. Bahkan setelah sampai ke rumah pun dia masih kesusahan. Semua pembantu sudah bisa dipastikan tidur di jam itu, merepotkan penjaga pun Aldi merasa kasihan. Akhirnya dia membawa Raga masuk meski ala kadarnya. Kadang dia seret dengan cara memegang bagian ketiaknya, kadang dia gendong di belakang.Napas Aldi putus-putus seperti orang yang baru saja selesai lari marathon. Ia membaringkan Raga di sofa ruang tamu dan hendak pergi. Di belakangnya penjaga rumah terlihat menggaruk bagian atas kepala.“Mas, bisa nggak dibawa naik sekalian ke kamar?”Aldi melongo, tapi melihat penjaga rumah yang sudah paruh baya Aldi merasa kasihan. Jika sampai penghuni rumah bangun, pasti penjaga itu yang akan diminta membopong sang tuan ke sana.Mereka berdua pun memapah Raga dengan cara mengapit tubuh pria itu, hingga saat berada di pertengahan anak tangga, Aldi mendengar suara ribut dan gedoran pintu yang sangat kencang.Aldi tercengang, dia
Setelah semalam berhasil membujuk Wangi untuk tidak mengungkapkan rahasia ke Ayuda. Pagi itu Jiwa dikejutkan dengan perhatian istri pertamanya ke istri ke dua. Wangi sengaja meminta Audy mengosongkan jadwalnya lagi, setidaknya sampai Ayuda berangkat ke kantor karena dia ingin melakukan apa yang tertunda semalam. Ayuda bingung, dia memandangi satu persatu anggota keluarga yang terlihat lebih ramah padanya kecuali Linda. Mama mertuanya itu memasang muka masam sambil meliriknya sinis. "Ini aku siapkan buah untukmu." Wangi sudah dalam mode normal kembali. Dia menyodorkan buah juga susu hamil ke Ayuda. "Terima kasih, tapi mulai detik ini aku tidak akan mengkonsumsi makanan dan minuman dari kalian," tolak Ayuda. Ia ingin melakukan antisipasi dari pada harus berakhir masuk rumah sakit karena terkapar keracunan. "Sumpah! Aku tidak mungkin mencampurkan racun di dalamnya, bahkan semalam aku sudah menyiapkan buah dan susu tapi kamu pulang malam," kata Wangi. "Apa untuk itu kamu menggedor p
Ayuda menatap diri dari pantulan cermin di ruang kerjanya. Ia melihat bagian perut dari samping dan mengusapnya lembut. Bibir Ayuda menipis, dia merasa lucu mendapati perutnya sedikit membuncit.“Apa yang sedang dia lakukan di dalam sini? menghisap makanan dariku?” Ayuda menurunkan pandangan, dia tunjuk perutnya dengan telunjuk dan berkata lagi,”Hei, anak Jiwa, siapa yang akan kamu sayangi nanti aku atau daddymu yang menyebalkan itu?”Ayuda cemberut, dia kesal kenapa juga sudah memberi sebutan ‘daddy’ ke Jiwa. Matanya kini menyipit tajam melihat dirinya sendiri.“Jangan pikirkan pria itu, lakukan rencanamu dan akhiri semuanya segera!”Ayuda menyudahi apa yang dilakukannya sejak tadi, dia berjalan mendekat ke arah kursi kerja bersamaan dengan pintu ruangannya yang diketuk. Tak lama pintu itu pun terbuka.“Nona, apa Anda ada waktu? Saya ingin mengajak Anda melihat rumah yang Anda cari.”“Em ... Apa aku sudah tidak ada pekerjaan lagi?”Aldi mengangguk tanpa ragu, hingga Ayuda pun mengiya
[ Tidak Tuan, bukannya saya menolak rezeki, tapi saya tidak ingin merasa berhutang budi, saya akan membantu Anda dalam batas yang saya kehendaki] “Dan hal aneh yang diminta Nona dengan alasan ngidamnya adalah urusanmu,” ucap Aldi setelah mengirim pesan itu ke Jiwa. “Aku bahkan tidak ikut tanam benih, jadi untuk apa ikut repot.” Aldi hampir meletakkan ponsel ke dashboard, tapi sebuah pesan masuk lebih dulu, dan entah mengapa Aldi sama sekali tidak bisa mengabaikan, karena pengirimnya adalah Dira. [ Mas Al, aku ingin membawakan hadiah untuk Ayuda dari Jogja. Apa ada yang dia inginkan saat ini? tolong beritahu aku!] Aldi diam karena bingung untuk membalas, dia sudah mengetik pesan tapi dihapus lagi, seperti itu sampai hampir lima kali. Hingga akhirnya hanya sebuah kalimat klise yang dia pakai untuk membalas pesan Dira. [ Nanti aku kabari ] “Apa aku terlalu ketus? Bagaimana kalau dia pikir aku ketus?” Aldi menyesal setelah mengirim pesan itu, karena setelahnya Dira tak membalas lagi.
Pelukan, kasih sayang dan senyuman tulus kini bisa Jiwa rasakan setiap hari. Hidupnya sudah lengkap dengan kehadiran istri yang sangat dia cintai, juga putri cantik yang semakin hari semakin pintar. Jiwa berdiri sambil memegang cangkir kopi di tangan, dia memandang ke arah Nala yang sudah mulai belajar berjalan bersama bik Nini. Sementara itu, Ayuda bertelanjang kaki menemani dengan perut yang nampak membuncit. Nala, dia pasti terlihat seperti saudara kembar dengan adiknya nanti. “Nala pintarnya!” puji Ayuda, putrinya itu tertawa dan memeluk kakinya. Dia sedikit kesusahan untuk mengusap punggung sang putri karena terganjal perutnya yang sudah besar. Dengan bantuan bik Nini, Ayuda akhirnya bisa menggendong Nala. Namun, tak diduga Jiwa langsung berlari dan meminta Ayuda untuk tidak melakukan itu. “Sayang, kasihan adik Nala nanti,”ucap Jiwa. Bik Nini yang melihat tuannya sangat posesif pun tersenyum. Ia bahkan dibuat malu sendiri dengan tingkah Jiwa yang over protective. “Dari pada
Aura pengantin baru terpancar jelas dari wajah Dira. Kembaran Ayuda itu nampak sedang duduk bersama mertua dan saudara-saudara Aldi di teras sambil bercanda. Ibunda Aldi menceritakan bagaimana masa kecil pria itu, sampai aibnya yang masih suka minum susu menggunakan dot meski sudah kelas 5 SD.“Besok kalau kamu hamil banyak-banyak sugesti calon bayimu, jangan sampai kayak bapaknya.”Dira tertawa, dia tak sadar Aldi sedang memandanginya. Pria yang sudah resmi mempersuntingnya itu sibuk membantu merapikan kursi yang dipinjam dari RT untuk acara pengajian.“Lha … gimana nggak kayak bapaknya, Bu? Kalau aku hamil ‘kan memang anak mas Aldi, kalau nggak mirip nanti bisa-bisa malah menimbulkan fitnah,”kata Dira.“Maksudnya sifatnya yang jelek-jelek itu lho, Ra!”“Mas Aldi nggak punya sifat jelek, Bu. Mas Aldi itu sempurna buatku.”Aldi yang mendengar pujian sang istri seketika malu. Pipinya bahkan merona merah sedangkan Dira terlihat sangat santai meski orang-orang bersorak menggoda.“Ya begi
Pernikahan adalah impian setiap wanita, apalagi menikah dengan pria yang sangat dicintai. Begitu juga dengan Sienna, dia tidak pernah menyangka hatinya akan tertambat pada pria casanova seperti Raga. Meski tahu bagaimana sepak terjang pria itu, tapi Sienna yakin, suaminya itu kini sudah berubah. Ibarat panci bertemu tutupnya, mereka saling melengkapi. Membangun pernikahan yang sebenarnya mereka sendiri masih belum begitu yakin.Namun, Raga dan Sienna yakin mimpi-mimpi dan rencana akan mereka temukan seiring berjalannya waktu. Seperti saat ini. Mereka harus menunda bulan madu karena Sienna harus menghadapi ujian semester."Boleh aku bicara serius?" tanya Raga saat mereka berada di dalam salah satu kamar villa milik Ramahadi.Raga teringat akan Ayuda yang mual-mual tadi, setelah ditanya kakak iparnya itu menjawab dia memang belum datang bulan sejak melahirkan Nala. Kata Linda, kemungkinan besar Ayuda pasti hamil lagi."Bicara serius? Apa?"Sienna yang memakai paha Raga sebagai bantalan
Tiga bulan kemudianHari yang membahagiakan untuk semua orang akhirnya tiba. Ramahadi mengajak seluruh keluarganya pergi ke villanya yang dulu digunakan Ayuda untuk bersembunyi.Raga baru seminggu menikah dengan Sienna. Bulan madu mereka pun tertunda karena Sienna harus menghadapi ujian semester minggu ini. Raga tidak mau kalau sampai kuliah istrinya itu terganggu hanya karena bulan madu - yang sejatinya sudah sering mereka lakukan sebelum menikah.Affandi juga hadir, dia menerima undangan dari Ramahadi dengan penuh suka cita. Awalnya Affandi ingin mengajak Dira ke sana, tapi putrinya itu lebih dulu menerima ajakan dari sang mertua untuk berkumpul di rumah keluarga besar Aldi.Ayuda nampak memangku Nala, dia menyusui putrinya sambil menatap keluar jendela di mana papanya tengah sibuk mengobrol dengan sang mertua. Ayuda menepuk pantat Nala lembut, dia menoleh kaget kala Jiwa keluar dengan membawa buku - yang dulu selalu menjadi teman saat dirinya merasa kesepian tinggal sendiri di sana
Di saat putra putri mereka sedang berdua dan kembali meleburkan asa, Affandi dan Ramahadi duduk bersama. Ramahadi tak menyangka pria yang seumur hidup terus menganggapnya musuh kini mengajaknya bicara. Affandi bahkan mengeluarkan satu kata yang dia rasa mustahil untuk didengar. “Maaf!” Ramahadi tentu tak bisa percaya begitu saja, setelah hampir berpuluh-puluh tahun menganggapnya musuh, kini Affandi mengucap kata maaf dan terdengar begitu sangat tulus. “Aku tahu perbuatanku salah, dan selama ini aku terlalu malu untuk mengakuinya. Mungkin, pertemuan Ayuda dan Jiwa adalah takdir yang memang sudah ditetapkan, hingga akhirnya aku bisa sadar,”ungkap Affandi panjang lebar. Hening, Ramahadi tak langsung membalas permintaan maaf Affandi. Ia mencoba mencerna dulu, menimbang apakah pria itu tulus atau hanya sekadar meminta maaf agar dirinya tak lagi menaruh prasangka. “Aku sudah lelah bekerja, aku ingin menyerahkan perusahaan ke anak-anakku, dan aku ingin hidup tenang bermain bersama cucu,”
Terkesan nakal, tapi begitulah naluri manusia dewasa. Mereka memiliki birahi yang butuh disalurkan. Ayuda tahu perbuatannya membuat Jiwa semakin ingin menerkamnya. Namun, bukankah itu yang mereka inginkan? Ayuda memindai manik mata Jiwa, di sana terlihat penuh cinta, berbeda dengan tatapan mata pria itu saat pertama kali menyentuhnya. Tak ada perasaan hangat seperti ini, Jiwa bahkan mencekoki dirinya obat perangsang agar nafsunya tersalurkan tanpa perlu ikatan seperti saat ini. Jiwa membelai pipi Ayuda, mencium setiap bagian wajahnya seolah setiap incinya tak ingin terlewatkan untuk dia cicipi. Pria itu menghentikan sapuan bibir di hidung bangir sang istri, sorot matanya seolah meminta izin. “Bisakah aku bisa melakukannya jauh lebih dari ini.” Ayuda tersenyum tipis, tangannya menarik tengkuk Jiwa hingga bibir mereka kembali bertaut. Mereka sama-sama memejamkan mata, menyelami setiap perasaan cinta yang membara. Perlahan tangan Ayuda melonggar dan beralih membuka kancing kemeja Jiw
Dira masih berada di pelukan Ayuda, meski tak mau membalas pelukan saudaranya, tapi Dira menyandarkan kepala ke pundak ibunda Nala itu. Ia masih tergugu, tak menyangka satu orang datang lagi ke rumahnya dan masuk dengan wajah kebingungan. Aldi menjadi pusat perhatian semua orang, sampai Ayuda melonggarkan pelukan dan Dira memanggil dengan manja nama pria itu.“Mas Al!”“Ra, kenapa kamu menangis?” tanya Aldi bingung, dia hanya diberitahu Affandi akan datang, tapi jika tahu akan membuat calon istrinya menangis, tentu saja Aldi akan melarang. Alih-alih berada di sana tepat waktu, Aldi terjebak lampu merah beberapa kali.“Pak, ini bukan seperti yang Anda janjikan, bukankah ….”Aldi menjeda kata, Dira yang masih sesenggukan mendekat dan memberitahu Aldi kalau Affandi baru saja berkata akan menikahkannya.“Benarkah?” Aldi nampak bahagia. Ia raih tangan Affandi dan menggoyang-goyangkannya beberapa kali.Meski awalnya kesal, tapi Dira tertawa melihat kelakuan Aldi. Ayuda lega karena yakin Dir
Setelah Jiwa berangkat ke kantor, Ayuda tak langsung pergi ke rumah Dira. Ia malah berdiri di depan lemari baju, bingung memilih pakaian mana yang cocok dia kenakan untuk malam spesial yang Jiwa katakan tadi. Ayuda menekuk bibir ke dalam lalu memajukannya lagi, bunyi decapan lidahnya membuat bik Nini yang baru saja masuk untuk menata baju Nala keheranan.“Non, cari apa?”Ayuda menggeleng, wanita itu sedang berpikir mana mungkin memakai gaun yang sama di depan Jiwa. Apalagi dia sama sekali tidak memiliki satu pun baju tempur selain piyama satin yang sering dia pakai karena praktis saat menyusui Nala.“Seharusnya aku pergi shopping kemarin,”ucap Ayuda.Bik Nini tentu saja semakin heran, dia sejajari Nonanya itu dan kembali bertanya,”Non cari apa?”“Linger … “ Ayuda keceplosan, matanya melotot menoleh bik Nini dan melempar senyuman canggung.Pembantunya itu pun menarik sudut bibir, tersenyum aneh sambil menaikturunkan alis mata. Bik Nini berhasil membuat Ayuda merasa malu, dia pasti tahu
Sejak pagi, Jiwa terus saja menampakkan wajah riang. Ia memandangi sang istri yang sibuk melakukan tugas merawat putrinya seperti biasa. Jiwa membuat Ayuda salah tingkah setelah semalam wanita itu menjawab pertanyaannya dengan kata ‘ya’.“Apa sudah?”“Berhenti bertanya apa sudah – apa sudah,”amuk Ayuda. Pipinya merona merah karena Jiwa bersikap sangat agresif. “Aku mau bertemu papa dan Dira dulu, kamu cepat bersiap sana untuk pergi bekerja!”Jiwa tak menggubris ucapan Ayuda, dia malah melingkarkan tangan di pinggang wanita itu yang sedang menggendong putrinya.“Jiwa!” bentak Ayuda.“Malam ini aku akan memberi bonus ke Bik Nini untuk menjaga Nala, kita bisa pakai apartemenku untuk melakukan itu.”“Melakukan apa?” Ayuda dengan sengaja menggoyangkan pinggang untuk membuat Jiwa melepaskan tangan. Namun, pria itu terlalu kuat dan membuatnya berakhir pasrah karena Nala ada di pelukannya.“Jangan berpura-pura! aku tahu kamu tidak sepolos itu, bahkan saat tidur kamu sesekali nakal dengan meng