[ Tidak Tuan, bukannya saya menolak rezeki, tapi saya tidak ingin merasa berhutang budi, saya akan membantu Anda dalam batas yang saya kehendaki] “Dan hal aneh yang diminta Nona dengan alasan ngidamnya adalah urusanmu,” ucap Aldi setelah mengirim pesan itu ke Jiwa. “Aku bahkan tidak ikut tanam benih, jadi untuk apa ikut repot.” Aldi hampir meletakkan ponsel ke dashboard, tapi sebuah pesan masuk lebih dulu, dan entah mengapa Aldi sama sekali tidak bisa mengabaikan, karena pengirimnya adalah Dira. [ Mas Al, aku ingin membawakan hadiah untuk Ayuda dari Jogja. Apa ada yang dia inginkan saat ini? tolong beritahu aku!] Aldi diam karena bingung untuk membalas, dia sudah mengetik pesan tapi dihapus lagi, seperti itu sampai hampir lima kali. Hingga akhirnya hanya sebuah kalimat klise yang dia pakai untuk membalas pesan Dira. [ Nanti aku kabari ] “Apa aku terlalu ketus? Bagaimana kalau dia pikir aku ketus?” Aldi menyesal setelah mengirim pesan itu, karena setelahnya Dira tak membalas lagi.
Jiwa menuju dapur, dia gulung kemejanya sampai siku. Matanya menyisir kulkas dan mencari di mana letak daun bawang dan telur. Diam-diam Ayuda ikut turun dan membuntutinya. Wanita itu tersenyum karena tiga orang pembantu termasuk Susi nampak berdiri tak jauh dari Jiwa yang kebingungan dengan mimik khawatir.“Tuan, Tuan mau membuat apa, biar saya buatkan,” ucap Susi.“Tidak! aku akan membuatnya sendiri. Di mana telur, minyak, tepung dan daun bawang?”Jiwa menoleh Susi. Pembantunya itu langsung berjalan mendekat dan dengan cekatan Susi mengambil satu persatu bahan dari tempatnya dan meletakkan di dekat kompor.“Tuan, tuan mau membuat apa?” Susi masih bertanya. Ia tak bisa membayangkan tangan mulus tuan mudanya terluka karena Jiwa sudah mengambil penggorengan dan minyak.“Sudah sana kembali ke belakang, bukankah sinetron yang kalian sukai sedang tayang,” usir Jiwa.Susi dan dua pembantu lainnya pun tak bisa membantah, mereka menuruti kemauan Jiwa dengan pergi ke tempat mereka masing-masin
“Tidak mau! aku tidak akan membuat anak ini dekat denganmu.” Ayuda melepaskan tangan Jiwa yang mengurungnya. Ia berjalan pergi tanpa menoleh sang suami yang hanya bisa diam. Jiwa yakin dada Ayuda berdebar-debar mendapatkan perlakuan seperti itu darinya. Hanya saja, sang istri terlalu tinggi hati untuk mau mengakui. “Aku sudah tidak menginginkan omelet, sebaiknya kamu segera mandi dan tidur. Ini sudah malam,”kata Ayuda dengan suara lantang tanpa menoleh. Jiwa malah tertawa, dia berjalan cepat mengejar Ayuda lalu menerobos masuk ke kamar milik wanita itu. Tingkahnya membuat Ayuda mengerutkan dahi. Ia tidak mau masuk ke dalam dan hanya berdiri di ambang pintu. Dengan nada galak dia meminta Jiwa keluar. “Pergi ke kamarmu sendiri, aku tidak mengizinkanmu tidur di sini!” “Biarkan aku bicara pada baby,”pinta Jiwa. “Setelah itu aku akan pergi.” Ayuda menelan ludah susah payah mendengar Jiwa memanggil calon anaknya ‘baby’. Ia tak mau menatap Jiwa yang berada di dalam kamar. Hatinya terus
“Sienna, turun kamu!”Sienna baru saja mengirim pesan ke seseorang yang sengaja dia bayar untuk membalaskan rasa kesalnya ke Amara dan teman-temanya. Namun, sepertinya masalah baru sudah datang. Sang papa tahu tentang apa yang dia lakukan bersama Raga. Gadis itu merasa kesal, karena bahkan tembok di sekitarnya pun seperti memiliki mata, mulut dan telinga. Tidak ada yang bisa dia sembunyikan dari papanya terlalu lama.Mau tak mau Sienna harus menghadapi. Ia menuruni anak tangga dan Bisma langsung melemparkan beberapa lembar foto tepat mengenai mukanya. Sementara itu, Olivia kaget karena sang suami pulang dalam keadaan marah. Ia pungut satu lembar foto dari lantai. Wajahnya yang kebingungan nampak menatap sang putri.“Sienna, apa ini?” tanya Olivia dengan bibir bergetar.“Dia memang salah pergaulan, aku pikir kamu bisa mendidik putrimu dengan baik, tapi lihat! dia pergi ke club dan masuk ke kamar bersama pria dewasa,” amuk Bisma.“Kok jadi nyalahin aku sih, Mas? Emang Sienna cuma tanggu
Jiwa dibuat memegang kepala siang itu, dia baru saja mendapat kabar bahwa warga di sekitar lahan yang akan dibangun apartemen perusahaan papanya melakukan demo. Ia heran dan bahkan ingin menyalahkan bawahannya.“Bagaimana bisa? bukankah mereka semua sudah setuju dan bahkan menandatangani berita acara saat sosialisasi rencana pembangunan apartemen ini?”“Benar Pak, tapi mereka beralasan kita menipu dan tidak sesuai kesepakatan?” jawab bawahan Jiwa yang mengabarkan hal itu.“Menipu? Tidak sesuai kesepakatan?” Jiwa tergelak ironi, dia marasa alasan ini mengada-ngada, karena awalnya warga sekitar sudah setuju.“Mereka takut air tanah habis dan sumur mereka kering, mereka juga bilang tidak ingin ada bangunan tinggi yang membuat perkampungan menjadi gelap.”“Terlalu tak masuk akal alasan mereka, semua ketakutan mereka itu sudah kita jelaskan dan bahas, bahkan kita juga sudah memberikan kompensasi yang seharusnya tidak perlu kita berikan.” Jiwa diam sejenak dan berpikir, setelah itu dia meny
Siang itu, Wangi sedang melakukan pemotretan. Ia menunjukkan pose terbaiknya sambil mengingat hinaan Linda kepadanya. Wangi tergelak di dalam hati, dia memang bukan siapa-siapa sebelum Jiwa menjadikannya kekasih.Lahir dari keluarga biasa, Wangi memang memiliki bakat di dunia hiburan sejak kecil. Sayangnya, kurang adanya biaya dari orangtua membuat Wangi harus banting tulang sendiri. Ia bekerja paruh waktu bahkan saat masih duduk di bangku SMP. Casting menjadi cameo sudah banyak dia ikuti. Hingga memang Jiwa lah yang membuat karirnya melejit. Meski masih SMA tapi dukungan dan koneksi orang tua, membuat Jiwa bisa membantu Wangi. Pria itu benar-benar terjebak pesona dan kebaikhatiannya. Padahal, awalnya Wangi mendekati Jiwa karena hanya ingin memanfaatkan.Sedikit akting dan trik darinya membuat Jiwa terjerat, hingga lama kelamaan dari hanya ingin memanfaatkan, Wangi benar-benar mencintai Jiwa. Perasaan wanita itu ke sang suami sangat dalam saat ini. Hingga meski Linda berkata jahat, di
“Mas Jiwa, mas di mana?”Wangi menghubungi sang suami di sela jeda waktu pemotretannya. Beruntung, Jiwa mengangkat panggilannya, dan langsung menjawab bahwa dia sedang dalam perjalanan ke lokasi demo warga.“Mas, apa tidak apa-apa Mas ke sana? bagaimana kalau ….”“Jangan khawatir, aku bersama beberapa orang dari perusahaan. Aku juga sudah meminta bantuan pihak kepolisian,” jawab Jiwa.Wangi membuang napas kasar, dia tak bisa melakukan apa-apa dan hanya bisa meminta Jiwa untuk berhati-hati, meski perasaannya tiba-tiba saja menjadi tidak enak.Di waktu yang sama, Ayuda yang mendengar demo itu berjalan sesuai keinginannya merasa sangat senang. Ia berdiri dari kursi kerjanya dan meminta Aldi mengantar ke kantor Affandi. Ayuda ingin bertemu dengan sang papa, sebelum pria itu kembali lagi ke Singapura lusa.Ayuda ingin menyampaikan bahwa Dira akan kembali dan mereka mungkin akan tinggal bersama dalam waktu dekat.Namun, saat sampai di depan ruangan Affandi, Ayuda tak menemukan keberadaan Ha
Ayuda duduk sendirian di depan UGD dengan tangan berlumuran darah. Aldi yang menyusul terlihat ikut sedih melihat nonanya itu, dia melepas jas lalu menutup bagian depan tubuh Ayuda. Meski menundukkan pandangan tapi Ayuda tahu pria di depannya adalah Aldi dari bau parfum yang dia cium. Aldi memilih diam dan tak banyak bicara, dia duduk di sebelah Ayuda menunggu dokter yang sedang menangani Jiwa dan Raga. Rumah sakit itu bahkan terlihat sangat sibuk, bunyi ambulans yang silih berganti datang dan pergi, membuat orang yang melihat tahu bahwa ada hal yang buruk sedang terjadi. “Nona, pergilah ke kamar mandi untuk mencuci tangan.” Aldi bicara dengan nada suara lembut dan penuh perhatian, dia takut Ayuda merasa terganggu dan malah emosi. Namun, tak Aldi duga Ayuda berdiri dan menyerahkan jasnya kembali. Tanpa banyak bicara Ayuda berjalan mencari letak kamar mandi. Dia berdiri di depan wastafel dan membuka keran air, warna merah di tangannya perlahan pudar. Pundak Ayuda bergetar, dia kemba