“Tidak mau! aku tidak akan membuat anak ini dekat denganmu.” Ayuda melepaskan tangan Jiwa yang mengurungnya. Ia berjalan pergi tanpa menoleh sang suami yang hanya bisa diam. Jiwa yakin dada Ayuda berdebar-debar mendapatkan perlakuan seperti itu darinya. Hanya saja, sang istri terlalu tinggi hati untuk mau mengakui. “Aku sudah tidak menginginkan omelet, sebaiknya kamu segera mandi dan tidur. Ini sudah malam,”kata Ayuda dengan suara lantang tanpa menoleh. Jiwa malah tertawa, dia berjalan cepat mengejar Ayuda lalu menerobos masuk ke kamar milik wanita itu. Tingkahnya membuat Ayuda mengerutkan dahi. Ia tidak mau masuk ke dalam dan hanya berdiri di ambang pintu. Dengan nada galak dia meminta Jiwa keluar. “Pergi ke kamarmu sendiri, aku tidak mengizinkanmu tidur di sini!” “Biarkan aku bicara pada baby,”pinta Jiwa. “Setelah itu aku akan pergi.” Ayuda menelan ludah susah payah mendengar Jiwa memanggil calon anaknya ‘baby’. Ia tak mau menatap Jiwa yang berada di dalam kamar. Hatinya terus
“Sienna, turun kamu!”Sienna baru saja mengirim pesan ke seseorang yang sengaja dia bayar untuk membalaskan rasa kesalnya ke Amara dan teman-temanya. Namun, sepertinya masalah baru sudah datang. Sang papa tahu tentang apa yang dia lakukan bersama Raga. Gadis itu merasa kesal, karena bahkan tembok di sekitarnya pun seperti memiliki mata, mulut dan telinga. Tidak ada yang bisa dia sembunyikan dari papanya terlalu lama.Mau tak mau Sienna harus menghadapi. Ia menuruni anak tangga dan Bisma langsung melemparkan beberapa lembar foto tepat mengenai mukanya. Sementara itu, Olivia kaget karena sang suami pulang dalam keadaan marah. Ia pungut satu lembar foto dari lantai. Wajahnya yang kebingungan nampak menatap sang putri.“Sienna, apa ini?” tanya Olivia dengan bibir bergetar.“Dia memang salah pergaulan, aku pikir kamu bisa mendidik putrimu dengan baik, tapi lihat! dia pergi ke club dan masuk ke kamar bersama pria dewasa,” amuk Bisma.“Kok jadi nyalahin aku sih, Mas? Emang Sienna cuma tanggu
Jiwa dibuat memegang kepala siang itu, dia baru saja mendapat kabar bahwa warga di sekitar lahan yang akan dibangun apartemen perusahaan papanya melakukan demo. Ia heran dan bahkan ingin menyalahkan bawahannya.“Bagaimana bisa? bukankah mereka semua sudah setuju dan bahkan menandatangani berita acara saat sosialisasi rencana pembangunan apartemen ini?”“Benar Pak, tapi mereka beralasan kita menipu dan tidak sesuai kesepakatan?” jawab bawahan Jiwa yang mengabarkan hal itu.“Menipu? Tidak sesuai kesepakatan?” Jiwa tergelak ironi, dia marasa alasan ini mengada-ngada, karena awalnya warga sekitar sudah setuju.“Mereka takut air tanah habis dan sumur mereka kering, mereka juga bilang tidak ingin ada bangunan tinggi yang membuat perkampungan menjadi gelap.”“Terlalu tak masuk akal alasan mereka, semua ketakutan mereka itu sudah kita jelaskan dan bahas, bahkan kita juga sudah memberikan kompensasi yang seharusnya tidak perlu kita berikan.” Jiwa diam sejenak dan berpikir, setelah itu dia meny
Siang itu, Wangi sedang melakukan pemotretan. Ia menunjukkan pose terbaiknya sambil mengingat hinaan Linda kepadanya. Wangi tergelak di dalam hati, dia memang bukan siapa-siapa sebelum Jiwa menjadikannya kekasih.Lahir dari keluarga biasa, Wangi memang memiliki bakat di dunia hiburan sejak kecil. Sayangnya, kurang adanya biaya dari orangtua membuat Wangi harus banting tulang sendiri. Ia bekerja paruh waktu bahkan saat masih duduk di bangku SMP. Casting menjadi cameo sudah banyak dia ikuti. Hingga memang Jiwa lah yang membuat karirnya melejit. Meski masih SMA tapi dukungan dan koneksi orang tua, membuat Jiwa bisa membantu Wangi. Pria itu benar-benar terjebak pesona dan kebaikhatiannya. Padahal, awalnya Wangi mendekati Jiwa karena hanya ingin memanfaatkan.Sedikit akting dan trik darinya membuat Jiwa terjerat, hingga lama kelamaan dari hanya ingin memanfaatkan, Wangi benar-benar mencintai Jiwa. Perasaan wanita itu ke sang suami sangat dalam saat ini. Hingga meski Linda berkata jahat, di
“Mas Jiwa, mas di mana?”Wangi menghubungi sang suami di sela jeda waktu pemotretannya. Beruntung, Jiwa mengangkat panggilannya, dan langsung menjawab bahwa dia sedang dalam perjalanan ke lokasi demo warga.“Mas, apa tidak apa-apa Mas ke sana? bagaimana kalau ….”“Jangan khawatir, aku bersama beberapa orang dari perusahaan. Aku juga sudah meminta bantuan pihak kepolisian,” jawab Jiwa.Wangi membuang napas kasar, dia tak bisa melakukan apa-apa dan hanya bisa meminta Jiwa untuk berhati-hati, meski perasaannya tiba-tiba saja menjadi tidak enak.Di waktu yang sama, Ayuda yang mendengar demo itu berjalan sesuai keinginannya merasa sangat senang. Ia berdiri dari kursi kerjanya dan meminta Aldi mengantar ke kantor Affandi. Ayuda ingin bertemu dengan sang papa, sebelum pria itu kembali lagi ke Singapura lusa.Ayuda ingin menyampaikan bahwa Dira akan kembali dan mereka mungkin akan tinggal bersama dalam waktu dekat.Namun, saat sampai di depan ruangan Affandi, Ayuda tak menemukan keberadaan Ha
Ayuda duduk sendirian di depan UGD dengan tangan berlumuran darah. Aldi yang menyusul terlihat ikut sedih melihat nonanya itu, dia melepas jas lalu menutup bagian depan tubuh Ayuda. Meski menundukkan pandangan tapi Ayuda tahu pria di depannya adalah Aldi dari bau parfum yang dia cium. Aldi memilih diam dan tak banyak bicara, dia duduk di sebelah Ayuda menunggu dokter yang sedang menangani Jiwa dan Raga. Rumah sakit itu bahkan terlihat sangat sibuk, bunyi ambulans yang silih berganti datang dan pergi, membuat orang yang melihat tahu bahwa ada hal yang buruk sedang terjadi. “Nona, pergilah ke kamar mandi untuk mencuci tangan.” Aldi bicara dengan nada suara lembut dan penuh perhatian, dia takut Ayuda merasa terganggu dan malah emosi. Namun, tak Aldi duga Ayuda berdiri dan menyerahkan jasnya kembali. Tanpa banyak bicara Ayuda berjalan mencari letak kamar mandi. Dia berdiri di depan wastafel dan membuka keran air, warna merah di tangannya perlahan pudar. Pundak Ayuda bergetar, dia kemba
Sienna pulang dengan kondisi kacau, dia bahkan membawa mobil Raga karena mobilnya masih berada di perusahaan pria itu. Sienna bingung, dia sejak tadi mondar-mandir di depan teras setelah mandi, hingga Bisma datang dan heran dengan tingkah sang putri. “Mobil siapa itu?” Bisma bertanya karena asing dengan mobil yang terparkir di halaman. Sienna yang ditanya seperti itu lantas mendekat dan meraih tangan papanya. Ia yakin Bisma pasti sudah tahu kejadian robohnya rangka apartemen milik perusahaan Ramahadi. “Itu mobil Raga Ramahadi, Pa!” “Sienna, apa kamu nyolong? Bukankah dia menjadi korban lalu bagaimana bisa mobilnya kamu bawa?” bentak Bisma dengan suara lantang. Sienna tentu saja geram, fitnah keji apa ini. Mana mungkin seorang Sienna melakukan tindak kriminal pencurian. “Bukan, Pa. Aku bersamanya saat kejadian itu. Aku bahkan melihatnya saat dievakuasi petugas,” ujar Sienna. Ia menceritakan kejadian ini dengan raut muka cemas karena sampai sekarang belum mendengar bagaimana kondi
Ayuda masuk terakhir ke ruang ICU setelah Wangi. Wajah lelahnya terlihat sangat jelas karena dia bahkan tak tidur dengan layak semalam. Ayuda melupakan semua rasa lelah karena kepedihan yang menguasai hatinya. “Kamu sudah tidur lebih dari dua belas jam, apa kamu tidak ingin bangun?” Ayuda berbicara dengan nada lembut seolah memarahi Jiwa. Ia memindai tubuh suaminya dari kepala sampai ujung kaki yang tertutup selimut. Ayuda duduk di kursi samping Jiwa dan meraih telapak tangan pria itu. Dadanya terasa nyeri, dia bahkan sudah tak memiliki rasa benci ke Jiwa. ‘Silahkan rawat mas Jiwa, hanya sampai di sembuh seperti apa yang kamu minta, tapi kita harus membuat batasan yang jelas, sembuh yang kamu maksud dan yang aku maksud tidak boleh abu-abu.’ Ayuda mengingat ucapan Wangi di luar tadi. Ia terus menunduk, mengusap memar di punggung tangan Jiwa setelah itu menyentuhkan pipinya. ‘Hanya sampai dia keluar dari rumah sakit, bukankah orang yang sudah diperbolehkan pulang artinya sudah sembu
Pelukan, kasih sayang dan senyuman tulus kini bisa Jiwa rasakan setiap hari. Hidupnya sudah lengkap dengan kehadiran istri yang sangat dia cintai, juga putri cantik yang semakin hari semakin pintar. Jiwa berdiri sambil memegang cangkir kopi di tangan, dia memandang ke arah Nala yang sudah mulai belajar berjalan bersama bik Nini. Sementara itu, Ayuda bertelanjang kaki menemani dengan perut yang nampak membuncit. Nala, dia pasti terlihat seperti saudara kembar dengan adiknya nanti. “Nala pintarnya!” puji Ayuda, putrinya itu tertawa dan memeluk kakinya. Dia sedikit kesusahan untuk mengusap punggung sang putri karena terganjal perutnya yang sudah besar. Dengan bantuan bik Nini, Ayuda akhirnya bisa menggendong Nala. Namun, tak diduga Jiwa langsung berlari dan meminta Ayuda untuk tidak melakukan itu. “Sayang, kasihan adik Nala nanti,”ucap Jiwa. Bik Nini yang melihat tuannya sangat posesif pun tersenyum. Ia bahkan dibuat malu sendiri dengan tingkah Jiwa yang over protective. “Dari pada
Aura pengantin baru terpancar jelas dari wajah Dira. Kembaran Ayuda itu nampak sedang duduk bersama mertua dan saudara-saudara Aldi di teras sambil bercanda. Ibunda Aldi menceritakan bagaimana masa kecil pria itu, sampai aibnya yang masih suka minum susu menggunakan dot meski sudah kelas 5 SD.“Besok kalau kamu hamil banyak-banyak sugesti calon bayimu, jangan sampai kayak bapaknya.”Dira tertawa, dia tak sadar Aldi sedang memandanginya. Pria yang sudah resmi mempersuntingnya itu sibuk membantu merapikan kursi yang dipinjam dari RT untuk acara pengajian.“Lha … gimana nggak kayak bapaknya, Bu? Kalau aku hamil ‘kan memang anak mas Aldi, kalau nggak mirip nanti bisa-bisa malah menimbulkan fitnah,”kata Dira.“Maksudnya sifatnya yang jelek-jelek itu lho, Ra!”“Mas Aldi nggak punya sifat jelek, Bu. Mas Aldi itu sempurna buatku.”Aldi yang mendengar pujian sang istri seketika malu. Pipinya bahkan merona merah sedangkan Dira terlihat sangat santai meski orang-orang bersorak menggoda.“Ya begi
Pernikahan adalah impian setiap wanita, apalagi menikah dengan pria yang sangat dicintai. Begitu juga dengan Sienna, dia tidak pernah menyangka hatinya akan tertambat pada pria casanova seperti Raga. Meski tahu bagaimana sepak terjang pria itu, tapi Sienna yakin, suaminya itu kini sudah berubah. Ibarat panci bertemu tutupnya, mereka saling melengkapi. Membangun pernikahan yang sebenarnya mereka sendiri masih belum begitu yakin.Namun, Raga dan Sienna yakin mimpi-mimpi dan rencana akan mereka temukan seiring berjalannya waktu. Seperti saat ini. Mereka harus menunda bulan madu karena Sienna harus menghadapi ujian semester."Boleh aku bicara serius?" tanya Raga saat mereka berada di dalam salah satu kamar villa milik Ramahadi.Raga teringat akan Ayuda yang mual-mual tadi, setelah ditanya kakak iparnya itu menjawab dia memang belum datang bulan sejak melahirkan Nala. Kata Linda, kemungkinan besar Ayuda pasti hamil lagi."Bicara serius? Apa?"Sienna yang memakai paha Raga sebagai bantalan
Tiga bulan kemudianHari yang membahagiakan untuk semua orang akhirnya tiba. Ramahadi mengajak seluruh keluarganya pergi ke villanya yang dulu digunakan Ayuda untuk bersembunyi.Raga baru seminggu menikah dengan Sienna. Bulan madu mereka pun tertunda karena Sienna harus menghadapi ujian semester minggu ini. Raga tidak mau kalau sampai kuliah istrinya itu terganggu hanya karena bulan madu - yang sejatinya sudah sering mereka lakukan sebelum menikah.Affandi juga hadir, dia menerima undangan dari Ramahadi dengan penuh suka cita. Awalnya Affandi ingin mengajak Dira ke sana, tapi putrinya itu lebih dulu menerima ajakan dari sang mertua untuk berkumpul di rumah keluarga besar Aldi.Ayuda nampak memangku Nala, dia menyusui putrinya sambil menatap keluar jendela di mana papanya tengah sibuk mengobrol dengan sang mertua. Ayuda menepuk pantat Nala lembut, dia menoleh kaget kala Jiwa keluar dengan membawa buku - yang dulu selalu menjadi teman saat dirinya merasa kesepian tinggal sendiri di sana
Di saat putra putri mereka sedang berdua dan kembali meleburkan asa, Affandi dan Ramahadi duduk bersama. Ramahadi tak menyangka pria yang seumur hidup terus menganggapnya musuh kini mengajaknya bicara. Affandi bahkan mengeluarkan satu kata yang dia rasa mustahil untuk didengar. “Maaf!” Ramahadi tentu tak bisa percaya begitu saja, setelah hampir berpuluh-puluh tahun menganggapnya musuh, kini Affandi mengucap kata maaf dan terdengar begitu sangat tulus. “Aku tahu perbuatanku salah, dan selama ini aku terlalu malu untuk mengakuinya. Mungkin, pertemuan Ayuda dan Jiwa adalah takdir yang memang sudah ditetapkan, hingga akhirnya aku bisa sadar,”ungkap Affandi panjang lebar. Hening, Ramahadi tak langsung membalas permintaan maaf Affandi. Ia mencoba mencerna dulu, menimbang apakah pria itu tulus atau hanya sekadar meminta maaf agar dirinya tak lagi menaruh prasangka. “Aku sudah lelah bekerja, aku ingin menyerahkan perusahaan ke anak-anakku, dan aku ingin hidup tenang bermain bersama cucu,”
Terkesan nakal, tapi begitulah naluri manusia dewasa. Mereka memiliki birahi yang butuh disalurkan. Ayuda tahu perbuatannya membuat Jiwa semakin ingin menerkamnya. Namun, bukankah itu yang mereka inginkan? Ayuda memindai manik mata Jiwa, di sana terlihat penuh cinta, berbeda dengan tatapan mata pria itu saat pertama kali menyentuhnya. Tak ada perasaan hangat seperti ini, Jiwa bahkan mencekoki dirinya obat perangsang agar nafsunya tersalurkan tanpa perlu ikatan seperti saat ini. Jiwa membelai pipi Ayuda, mencium setiap bagian wajahnya seolah setiap incinya tak ingin terlewatkan untuk dia cicipi. Pria itu menghentikan sapuan bibir di hidung bangir sang istri, sorot matanya seolah meminta izin. “Bisakah aku bisa melakukannya jauh lebih dari ini.” Ayuda tersenyum tipis, tangannya menarik tengkuk Jiwa hingga bibir mereka kembali bertaut. Mereka sama-sama memejamkan mata, menyelami setiap perasaan cinta yang membara. Perlahan tangan Ayuda melonggar dan beralih membuka kancing kemeja Jiw
Dira masih berada di pelukan Ayuda, meski tak mau membalas pelukan saudaranya, tapi Dira menyandarkan kepala ke pundak ibunda Nala itu. Ia masih tergugu, tak menyangka satu orang datang lagi ke rumahnya dan masuk dengan wajah kebingungan. Aldi menjadi pusat perhatian semua orang, sampai Ayuda melonggarkan pelukan dan Dira memanggil dengan manja nama pria itu.“Mas Al!”“Ra, kenapa kamu menangis?” tanya Aldi bingung, dia hanya diberitahu Affandi akan datang, tapi jika tahu akan membuat calon istrinya menangis, tentu saja Aldi akan melarang. Alih-alih berada di sana tepat waktu, Aldi terjebak lampu merah beberapa kali.“Pak, ini bukan seperti yang Anda janjikan, bukankah ….”Aldi menjeda kata, Dira yang masih sesenggukan mendekat dan memberitahu Aldi kalau Affandi baru saja berkata akan menikahkannya.“Benarkah?” Aldi nampak bahagia. Ia raih tangan Affandi dan menggoyang-goyangkannya beberapa kali.Meski awalnya kesal, tapi Dira tertawa melihat kelakuan Aldi. Ayuda lega karena yakin Dir
Setelah Jiwa berangkat ke kantor, Ayuda tak langsung pergi ke rumah Dira. Ia malah berdiri di depan lemari baju, bingung memilih pakaian mana yang cocok dia kenakan untuk malam spesial yang Jiwa katakan tadi. Ayuda menekuk bibir ke dalam lalu memajukannya lagi, bunyi decapan lidahnya membuat bik Nini yang baru saja masuk untuk menata baju Nala keheranan.“Non, cari apa?”Ayuda menggeleng, wanita itu sedang berpikir mana mungkin memakai gaun yang sama di depan Jiwa. Apalagi dia sama sekali tidak memiliki satu pun baju tempur selain piyama satin yang sering dia pakai karena praktis saat menyusui Nala.“Seharusnya aku pergi shopping kemarin,”ucap Ayuda.Bik Nini tentu saja semakin heran, dia sejajari Nonanya itu dan kembali bertanya,”Non cari apa?”“Linger … “ Ayuda keceplosan, matanya melotot menoleh bik Nini dan melempar senyuman canggung.Pembantunya itu pun menarik sudut bibir, tersenyum aneh sambil menaikturunkan alis mata. Bik Nini berhasil membuat Ayuda merasa malu, dia pasti tahu
Sejak pagi, Jiwa terus saja menampakkan wajah riang. Ia memandangi sang istri yang sibuk melakukan tugas merawat putrinya seperti biasa. Jiwa membuat Ayuda salah tingkah setelah semalam wanita itu menjawab pertanyaannya dengan kata ‘ya’.“Apa sudah?”“Berhenti bertanya apa sudah – apa sudah,”amuk Ayuda. Pipinya merona merah karena Jiwa bersikap sangat agresif. “Aku mau bertemu papa dan Dira dulu, kamu cepat bersiap sana untuk pergi bekerja!”Jiwa tak menggubris ucapan Ayuda, dia malah melingkarkan tangan di pinggang wanita itu yang sedang menggendong putrinya.“Jiwa!” bentak Ayuda.“Malam ini aku akan memberi bonus ke Bik Nini untuk menjaga Nala, kita bisa pakai apartemenku untuk melakukan itu.”“Melakukan apa?” Ayuda dengan sengaja menggoyangkan pinggang untuk membuat Jiwa melepaskan tangan. Namun, pria itu terlalu kuat dan membuatnya berakhir pasrah karena Nala ada di pelukannya.“Jangan berpura-pura! aku tahu kamu tidak sepolos itu, bahkan saat tidur kamu sesekali nakal dengan meng