Sienna bisa menghindari sang papa semalam, tapi pagi harinya jelas tidak bisa. Perutnya keroncongan, satu hal yang seharusnya di pikirkan sebelum mengurung diri adalah logistik. Jika saja dia sudah menyimpan banyak makanan dan minuman di kamar, tentu dia tidak perlu disidang seperti sekarang ini. "Aku makan dulu, baru Papa marah nanti," ucap gadis itu sambil menyuapkan roti ke dalam mulut. Sienna meminta susu cokelat lagi karena sudah menghabiskan satu gelas tadi. Dia kelaparan, melewatkan makan malam karena takut akan murka papanya. Olivia yang sudah mendengar cerita dari sang suami pun memilih untuk tidak ikut campur, dia membiarkan Bisma yang bicara ke Sienna. Dirinya hanya akan berjaga-jaga saja jangan sampai ada kekerasan yang terjadi karena Bisma terkadang tak sungkan untuk bermain kasar. "Kenapa kamu bisa menabrak mobil orang dan malah kabur?"Sienna tersedak mendengar pertanyaan papanya. Ia meletakkan roti ke piring lalu meminum susu yang baru dibawakan lagi oleh sang pemb
Ayuda masuk ke dalam rumah papanya dan langsung duduk di meja makan. Ia meminta dibawakan piring karena hendak menyantap sarapan. Meski berhadapan dengan sang papa, tapi Ayuda sama sekali belum mengungkapkan mkasud kedatangannya pagi itu. “Apa Ramahadi tidak memberimu makan sampai kamu datang ke sini?” sindir Affandi. “Entahlah aku tidak berselera menyantap sarapan di rumah mereka, mungkin bawaan bayi.” Affandi geleng-geleng kepala, dia menatap putri yang sangat disayanginya itu tapi sayang keras kepala dan susah untuk mengikuti kemauannya. “Apa kamu bahagia bisa mengandung keturunan Ramahadi?” “Aku bahagia karena bisa membalaskan dendamku,” jawab Ayuda. “Anak itu akan menjadi penghalang Ayuda, kamu pasti akan goyah saat melihatnya nanti. Kamu pasti tidak akan tega menyakiti pria yang merupakan ayah dari anakmu.” Affandi menasehati putrinya panjang lebar. Ia merasa menyesal karena membiarkan Ayuda terlalu lama dan tak membantunya untuk segera melakukan balas dendam. “Aku tidak a
“Untuk apa datang ke sini?”“Kenapa bertanya? Bukankah kamu mengadu ke papaku soal apa yang terjadi?”Sienna lupa harus bersikap manis ke Raga. Ia malah membentak dan membuat pria itu menyipitkan mata.“Bukankah seharusnya kamu bersikap baik dan manis? Kenapa kamu malah bicara ketus, jika aku tidak memberimu maaf, tamat riwayatmu bocah,” amuk Raga. Berniat bersikap cool, dia malah bersikap kekanakkan juga.“Sudah maafkan aku Tuan Raga Ramahadi. Kamu pasti sangat berkuasa sampai papaku seperti takut aku berurusan denganmu,” ucap Sienna. Ia malas berdebat dengan Raga, tapi untuk bersikap manis sesuai dengan rencana di kepala ternyata juga tidak bisa.“Bukankah meminta maaf harus menunjukkan ketulusan? Kalau seperti ini aku tidak akan pernah memaafkanmu. Kamu mungkin masih sombong karena aku belum membuka kartu matimu, apa aku harus bicara ke Pak Bisma sudah ena-ena dengan putri tunggalnya?”Sienna membulatkan netra, dia berjinjit dan langsung membekap mulut Raga. Pria itu jelas memberon
Jiwa duduk di kursi empuknya sambil memegang amplop yang baru saja dia ambil dari mobil. Amplop itu diberikan oleh orang yang dia minta untuk memata-matai Wangi selama ini. Meski sudah tahu jika Wangi dekat dengan pria bernama Antony, tapi Jiwa sengaja tak pernah menanyakan hal itu.Awalnya dia pikir Wangi akan berhenti dengan sendirinya setelah dia sindir, tapi nyatanya wanita itu masih saja dekat dan kali ini entah kenapa Jiwa malah berharap semoga Wangi melewati batas, agar dia bisa memiliki alasan untuk berpisah. "Apa aku sudah gila berharap seperti itu?" Jiwa merasa sangat buruk. Ia pun membuka amplop itu untuk melihat isi di dalamnya. Beberapa lembar foto dan copy bill dari club VVIP yang Wangi datangi bersama Antony terpampang di sana beserta beberapa rincian lain. "Apa dia memakai uang bulanan dariku untuk membelikan hadiah pria lain?"Kening Jiwa mengernyit, dia mendapati catatan transaksi keuangan yang dilakukan oleh Wangi juga di dalam sana. Hingga dia melihat ada yang j
"Aku tau kalian sengaja membuat permainan konyol dan menjebakku malam itu."Sienna to the point, dia tak perlu berbasa-basi lagi ke gadis yang mengaku temannya tapi menusuk dari belakang. Teman Sienna itu saling lirik, dan tentu saja tidak langsung mengakui apa yang dituduhkan. Mereka berkelit, berkata sudah berusaha menahan tapi Sienna tidak mau mendengar karena mabuk. "Cih ... tidak perlu berbohong, aku yakin kalian mau menjadi temanku karena aku berasal dari keluarga kaya, 'kan?" cibir Sienna. "Dasar, rendahan!""Apa kamu bilang?"Teman Sienna tak terima dan terjadilah pertengkaran di antara mereka. Sienna dikeroyok, bahkan karena terlalu sebal dia menyiramkan minuman ke muka salah satu temannya. Itulah hal yang Ayuda lihat beberapa saat yang lalu dari tempatnya berdiri. Ada rasa ingin membantu Sienna yang dikeroyok oleh gadis-gadis itu. Namun, baru saja Ayuda akan mendekat, teman Sienna sudah bertindak brutal dengan menjambak. Ayuda ingin menolong, tapi dihalangi Aldi yang tak
Wangi sengaja mengosongkan jadwal pekerjaannya malam itu, dia meminta Audy menggeser jadwal pekerjaannya. Wangi ingin menemui Ayuda dan memberikan beberapa barang yang sudah dia siapkan karena madunya itu tengah mengandung. Tentu saja kebaikan Wangi ini bukan tanpa alasan. Sikapnya ini didasari atas pemahamannya, bahwa Ayuda kini tengah hamil anaknya dan Jiwa. Maka, untuk menunjukkan perhatiannya itu, Wangi membeli beberapa susu hamil dan multivitamin. Dia juga meminta Susi menyiapkan buah segar untuk diberikan ke Ayuda. Linda yang melihat Wangi berubah sikap seperti itu pun berhasil dibuat heran. Ia dekati sang menantu lalu bertanya kenapa repot-repot memerhatikan Ayuda. "Apa karena itu anak Jiwa jadi kamu juga perhatian padanya?" Linda bertanya sambil mengambil satu potongan buah dari piring yang sedang ditata secantik mungkin oleh Wangi. Hingga, Wangi mendelik karena kesal dengan tingkahnya. "Apa tangan Mama bersih? Aku tidak bisa memberikan makanan yang tidak higienis ke Ayu
Beberapa menit yang lalu, Jiwa pulang dan tak menemukan keberadaan Ayuda. Dia juga heran dengan wajah kecewa Wangi dan Linda. Mencoba mencari jawaban, Jiwa melihat adiknya yang baru saja dititipi hadiah untuk Ayuda dari sang papa. Jiwa pun memilih mengikuti langkah Raga hingga ke teras samping, dia sengaja menelinga setelah mendengar dari Linda bahwa semua orang sudah terkena virus Ayuda. Jiwa menajamkan pendengaran, dia mendengar Raga menyebutkan nama sang istri. Hingga dirinya memberanikan diri untuk merebut ponsel itu, dan bertanya di mana Ayuda sekarang karena ingin pergi menjemput. Jiwa dan Raga berdebat membahas kesopanan. Si sulung bahkan tak menyadari bahwa ponsel si bungsu masih tersambung sehingga Ayuda bisa mendengar perdebatan mereka dengan jelas. Awalnya hanya masalah kesopanan, tapi tak lama dua pria itu membahas hal lain - yang Ayuda tak mengerti. Wanita itu lantas memilih mematikan ponsel. Ia mengedikkan bahu ke arah Aldi yang menatap bingung. "Biarkan saja, mereka
"Lha kamu sendiri, ngapain ke sini?" Sienna tak mau kalah. Meski sudah tahu dari Ayuda, tapi tetap saja tak menyangka kalau Raga akan datang ke club. Belum habis rasa kaget Sienna, kini giliran Jiwa yang muncul dan berdiri di ambang pintu. Melihat suami Ayuda itu membuatnya mengingat momen memalukan pagi tadi. "Ayuda!" Panggil Jiwa. Ia sudah hampir menerobos masuk ke dalam tapi dihalangi oleh Raga. "Apa yang kamu lakukan? Jangan seperti anak kecil!" amuk Jiwa. Ayuda yang menyaksikan memilih bersikap santai, dia silangkan kaki dan menyandarkan punggung dengan nyaman. Tangannya terlipat di depan dada memindai wajah sang suami. "Pergi!" Jiwa mendorong Raga dan akhirnya berhasil masuk. Ia berdiri di depan Ayuda, memandangi wajah sang istri lalu mengajaknya pulang. Tak lupa dia menyisir meja untuk memastikan apakah Ayuda menenggak minuman keras. "Ayo pulang! Ibu hamil tidak baik berada di tempat seperti ini," bujuk Jiwa."Hamil?" Sienna bergumam, dia menunduk melihat perutnya lalu m