Halo geng yang belum kasih review bintang 5 please kasih review ya geng, aku akan sangat berterima kasih kalau kalian juga mau komen love Nasya
Bangun di pagi hari, Jiwa kaget melihat Wangi dengan rambut basah duduk di tepi ranjang dan memandangi kakinya yang terluka. Untuk yang satu ini, wanita itu belum tahu apa yang terjadi. Wangi kaget, dia tak bermaksud membangunkan Jiwa. Bahkan semalam saat pulang dan melihat suaminya itu tertidur, Wangi tak membangunkan, meski penasaran dengan apa yang sudah diceritakan oleh Linda. Jiwa tertidur lelap karena terlalu lelah, sampai beranggapan Wangi baru saja pulang dan mandi. Ia bangun, menarik kakinya agar jauh dari jangkauan sang istri. "Mas, kaki Mas kenapa?"Jiwa tak langsung menjawab, dia mengecek ponsel dan baru sadar dirinya sudah kesiangan. "Tidak apa-apa, aku hanya tidak sengaja menginjak pecahan cangkir," jawab Jiwa. Dia menurunkan kaki dan mengusap mukanya kasar. Wangi pun tak ingin menyia-nyiakan kesempatan. Ia mendekat dan duduk di sebelah Jiwa untuk menanyakan kebenaran akan informasi yang diberikan oleh Linda. "Mas apa benar Ayuda hamil? Apa itu artinya proses bayi
Sienna bisa menghindari sang papa semalam, tapi pagi harinya jelas tidak bisa. Perutnya keroncongan, satu hal yang seharusnya di pikirkan sebelum mengurung diri adalah logistik. Jika saja dia sudah menyimpan banyak makanan dan minuman di kamar, tentu dia tidak perlu disidang seperti sekarang ini. "Aku makan dulu, baru Papa marah nanti," ucap gadis itu sambil menyuapkan roti ke dalam mulut. Sienna meminta susu cokelat lagi karena sudah menghabiskan satu gelas tadi. Dia kelaparan, melewatkan makan malam karena takut akan murka papanya. Olivia yang sudah mendengar cerita dari sang suami pun memilih untuk tidak ikut campur, dia membiarkan Bisma yang bicara ke Sienna. Dirinya hanya akan berjaga-jaga saja jangan sampai ada kekerasan yang terjadi karena Bisma terkadang tak sungkan untuk bermain kasar. "Kenapa kamu bisa menabrak mobil orang dan malah kabur?"Sienna tersedak mendengar pertanyaan papanya. Ia meletakkan roti ke piring lalu meminum susu yang baru dibawakan lagi oleh sang pemb
Ayuda masuk ke dalam rumah papanya dan langsung duduk di meja makan. Ia meminta dibawakan piring karena hendak menyantap sarapan. Meski berhadapan dengan sang papa, tapi Ayuda sama sekali belum mengungkapkan mkasud kedatangannya pagi itu. “Apa Ramahadi tidak memberimu makan sampai kamu datang ke sini?” sindir Affandi. “Entahlah aku tidak berselera menyantap sarapan di rumah mereka, mungkin bawaan bayi.” Affandi geleng-geleng kepala, dia menatap putri yang sangat disayanginya itu tapi sayang keras kepala dan susah untuk mengikuti kemauannya. “Apa kamu bahagia bisa mengandung keturunan Ramahadi?” “Aku bahagia karena bisa membalaskan dendamku,” jawab Ayuda. “Anak itu akan menjadi penghalang Ayuda, kamu pasti akan goyah saat melihatnya nanti. Kamu pasti tidak akan tega menyakiti pria yang merupakan ayah dari anakmu.” Affandi menasehati putrinya panjang lebar. Ia merasa menyesal karena membiarkan Ayuda terlalu lama dan tak membantunya untuk segera melakukan balas dendam. “Aku tidak a
“Untuk apa datang ke sini?”“Kenapa bertanya? Bukankah kamu mengadu ke papaku soal apa yang terjadi?”Sienna lupa harus bersikap manis ke Raga. Ia malah membentak dan membuat pria itu menyipitkan mata.“Bukankah seharusnya kamu bersikap baik dan manis? Kenapa kamu malah bicara ketus, jika aku tidak memberimu maaf, tamat riwayatmu bocah,” amuk Raga. Berniat bersikap cool, dia malah bersikap kekanakkan juga.“Sudah maafkan aku Tuan Raga Ramahadi. Kamu pasti sangat berkuasa sampai papaku seperti takut aku berurusan denganmu,” ucap Sienna. Ia malas berdebat dengan Raga, tapi untuk bersikap manis sesuai dengan rencana di kepala ternyata juga tidak bisa.“Bukankah meminta maaf harus menunjukkan ketulusan? Kalau seperti ini aku tidak akan pernah memaafkanmu. Kamu mungkin masih sombong karena aku belum membuka kartu matimu, apa aku harus bicara ke Pak Bisma sudah ena-ena dengan putri tunggalnya?”Sienna membulatkan netra, dia berjinjit dan langsung membekap mulut Raga. Pria itu jelas memberon
Jiwa duduk di kursi empuknya sambil memegang amplop yang baru saja dia ambil dari mobil. Amplop itu diberikan oleh orang yang dia minta untuk memata-matai Wangi selama ini. Meski sudah tahu jika Wangi dekat dengan pria bernama Antony, tapi Jiwa sengaja tak pernah menanyakan hal itu.Awalnya dia pikir Wangi akan berhenti dengan sendirinya setelah dia sindir, tapi nyatanya wanita itu masih saja dekat dan kali ini entah kenapa Jiwa malah berharap semoga Wangi melewati batas, agar dia bisa memiliki alasan untuk berpisah. "Apa aku sudah gila berharap seperti itu?" Jiwa merasa sangat buruk. Ia pun membuka amplop itu untuk melihat isi di dalamnya. Beberapa lembar foto dan copy bill dari club VVIP yang Wangi datangi bersama Antony terpampang di sana beserta beberapa rincian lain. "Apa dia memakai uang bulanan dariku untuk membelikan hadiah pria lain?"Kening Jiwa mengernyit, dia mendapati catatan transaksi keuangan yang dilakukan oleh Wangi juga di dalam sana. Hingga dia melihat ada yang j
"Aku tau kalian sengaja membuat permainan konyol dan menjebakku malam itu."Sienna to the point, dia tak perlu berbasa-basi lagi ke gadis yang mengaku temannya tapi menusuk dari belakang. Teman Sienna itu saling lirik, dan tentu saja tidak langsung mengakui apa yang dituduhkan. Mereka berkelit, berkata sudah berusaha menahan tapi Sienna tidak mau mendengar karena mabuk. "Cih ... tidak perlu berbohong, aku yakin kalian mau menjadi temanku karena aku berasal dari keluarga kaya, 'kan?" cibir Sienna. "Dasar, rendahan!""Apa kamu bilang?"Teman Sienna tak terima dan terjadilah pertengkaran di antara mereka. Sienna dikeroyok, bahkan karena terlalu sebal dia menyiramkan minuman ke muka salah satu temannya. Itulah hal yang Ayuda lihat beberapa saat yang lalu dari tempatnya berdiri. Ada rasa ingin membantu Sienna yang dikeroyok oleh gadis-gadis itu. Namun, baru saja Ayuda akan mendekat, teman Sienna sudah bertindak brutal dengan menjambak. Ayuda ingin menolong, tapi dihalangi Aldi yang tak
Wangi sengaja mengosongkan jadwal pekerjaannya malam itu, dia meminta Audy menggeser jadwal pekerjaannya. Wangi ingin menemui Ayuda dan memberikan beberapa barang yang sudah dia siapkan karena madunya itu tengah mengandung. Tentu saja kebaikan Wangi ini bukan tanpa alasan. Sikapnya ini didasari atas pemahamannya, bahwa Ayuda kini tengah hamil anaknya dan Jiwa. Maka, untuk menunjukkan perhatiannya itu, Wangi membeli beberapa susu hamil dan multivitamin. Dia juga meminta Susi menyiapkan buah segar untuk diberikan ke Ayuda. Linda yang melihat Wangi berubah sikap seperti itu pun berhasil dibuat heran. Ia dekati sang menantu lalu bertanya kenapa repot-repot memerhatikan Ayuda. "Apa karena itu anak Jiwa jadi kamu juga perhatian padanya?" Linda bertanya sambil mengambil satu potongan buah dari piring yang sedang ditata secantik mungkin oleh Wangi. Hingga, Wangi mendelik karena kesal dengan tingkahnya. "Apa tangan Mama bersih? Aku tidak bisa memberikan makanan yang tidak higienis ke Ayu
Beberapa menit yang lalu, Jiwa pulang dan tak menemukan keberadaan Ayuda. Dia juga heran dengan wajah kecewa Wangi dan Linda. Mencoba mencari jawaban, Jiwa melihat adiknya yang baru saja dititipi hadiah untuk Ayuda dari sang papa. Jiwa pun memilih mengikuti langkah Raga hingga ke teras samping, dia sengaja menelinga setelah mendengar dari Linda bahwa semua orang sudah terkena virus Ayuda. Jiwa menajamkan pendengaran, dia mendengar Raga menyebutkan nama sang istri. Hingga dirinya memberanikan diri untuk merebut ponsel itu, dan bertanya di mana Ayuda sekarang karena ingin pergi menjemput. Jiwa dan Raga berdebat membahas kesopanan. Si sulung bahkan tak menyadari bahwa ponsel si bungsu masih tersambung sehingga Ayuda bisa mendengar perdebatan mereka dengan jelas. Awalnya hanya masalah kesopanan, tapi tak lama dua pria itu membahas hal lain - yang Ayuda tak mengerti. Wanita itu lantas memilih mematikan ponsel. Ia mengedikkan bahu ke arah Aldi yang menatap bingung. "Biarkan saja, mereka
Pelukan, kasih sayang dan senyuman tulus kini bisa Jiwa rasakan setiap hari. Hidupnya sudah lengkap dengan kehadiran istri yang sangat dia cintai, juga putri cantik yang semakin hari semakin pintar. Jiwa berdiri sambil memegang cangkir kopi di tangan, dia memandang ke arah Nala yang sudah mulai belajar berjalan bersama bik Nini. Sementara itu, Ayuda bertelanjang kaki menemani dengan perut yang nampak membuncit. Nala, dia pasti terlihat seperti saudara kembar dengan adiknya nanti. “Nala pintarnya!” puji Ayuda, putrinya itu tertawa dan memeluk kakinya. Dia sedikit kesusahan untuk mengusap punggung sang putri karena terganjal perutnya yang sudah besar. Dengan bantuan bik Nini, Ayuda akhirnya bisa menggendong Nala. Namun, tak diduga Jiwa langsung berlari dan meminta Ayuda untuk tidak melakukan itu. “Sayang, kasihan adik Nala nanti,”ucap Jiwa. Bik Nini yang melihat tuannya sangat posesif pun tersenyum. Ia bahkan dibuat malu sendiri dengan tingkah Jiwa yang over protective. “Dari pada
Aura pengantin baru terpancar jelas dari wajah Dira. Kembaran Ayuda itu nampak sedang duduk bersama mertua dan saudara-saudara Aldi di teras sambil bercanda. Ibunda Aldi menceritakan bagaimana masa kecil pria itu, sampai aibnya yang masih suka minum susu menggunakan dot meski sudah kelas 5 SD.“Besok kalau kamu hamil banyak-banyak sugesti calon bayimu, jangan sampai kayak bapaknya.”Dira tertawa, dia tak sadar Aldi sedang memandanginya. Pria yang sudah resmi mempersuntingnya itu sibuk membantu merapikan kursi yang dipinjam dari RT untuk acara pengajian.“Lha … gimana nggak kayak bapaknya, Bu? Kalau aku hamil ‘kan memang anak mas Aldi, kalau nggak mirip nanti bisa-bisa malah menimbulkan fitnah,”kata Dira.“Maksudnya sifatnya yang jelek-jelek itu lho, Ra!”“Mas Aldi nggak punya sifat jelek, Bu. Mas Aldi itu sempurna buatku.”Aldi yang mendengar pujian sang istri seketika malu. Pipinya bahkan merona merah sedangkan Dira terlihat sangat santai meski orang-orang bersorak menggoda.“Ya begi
Pernikahan adalah impian setiap wanita, apalagi menikah dengan pria yang sangat dicintai. Begitu juga dengan Sienna, dia tidak pernah menyangka hatinya akan tertambat pada pria casanova seperti Raga. Meski tahu bagaimana sepak terjang pria itu, tapi Sienna yakin, suaminya itu kini sudah berubah. Ibarat panci bertemu tutupnya, mereka saling melengkapi. Membangun pernikahan yang sebenarnya mereka sendiri masih belum begitu yakin.Namun, Raga dan Sienna yakin mimpi-mimpi dan rencana akan mereka temukan seiring berjalannya waktu. Seperti saat ini. Mereka harus menunda bulan madu karena Sienna harus menghadapi ujian semester."Boleh aku bicara serius?" tanya Raga saat mereka berada di dalam salah satu kamar villa milik Ramahadi.Raga teringat akan Ayuda yang mual-mual tadi, setelah ditanya kakak iparnya itu menjawab dia memang belum datang bulan sejak melahirkan Nala. Kata Linda, kemungkinan besar Ayuda pasti hamil lagi."Bicara serius? Apa?"Sienna yang memakai paha Raga sebagai bantalan
Tiga bulan kemudianHari yang membahagiakan untuk semua orang akhirnya tiba. Ramahadi mengajak seluruh keluarganya pergi ke villanya yang dulu digunakan Ayuda untuk bersembunyi.Raga baru seminggu menikah dengan Sienna. Bulan madu mereka pun tertunda karena Sienna harus menghadapi ujian semester minggu ini. Raga tidak mau kalau sampai kuliah istrinya itu terganggu hanya karena bulan madu - yang sejatinya sudah sering mereka lakukan sebelum menikah.Affandi juga hadir, dia menerima undangan dari Ramahadi dengan penuh suka cita. Awalnya Affandi ingin mengajak Dira ke sana, tapi putrinya itu lebih dulu menerima ajakan dari sang mertua untuk berkumpul di rumah keluarga besar Aldi.Ayuda nampak memangku Nala, dia menyusui putrinya sambil menatap keluar jendela di mana papanya tengah sibuk mengobrol dengan sang mertua. Ayuda menepuk pantat Nala lembut, dia menoleh kaget kala Jiwa keluar dengan membawa buku - yang dulu selalu menjadi teman saat dirinya merasa kesepian tinggal sendiri di sana
Di saat putra putri mereka sedang berdua dan kembali meleburkan asa, Affandi dan Ramahadi duduk bersama. Ramahadi tak menyangka pria yang seumur hidup terus menganggapnya musuh kini mengajaknya bicara. Affandi bahkan mengeluarkan satu kata yang dia rasa mustahil untuk didengar. “Maaf!” Ramahadi tentu tak bisa percaya begitu saja, setelah hampir berpuluh-puluh tahun menganggapnya musuh, kini Affandi mengucap kata maaf dan terdengar begitu sangat tulus. “Aku tahu perbuatanku salah, dan selama ini aku terlalu malu untuk mengakuinya. Mungkin, pertemuan Ayuda dan Jiwa adalah takdir yang memang sudah ditetapkan, hingga akhirnya aku bisa sadar,”ungkap Affandi panjang lebar. Hening, Ramahadi tak langsung membalas permintaan maaf Affandi. Ia mencoba mencerna dulu, menimbang apakah pria itu tulus atau hanya sekadar meminta maaf agar dirinya tak lagi menaruh prasangka. “Aku sudah lelah bekerja, aku ingin menyerahkan perusahaan ke anak-anakku, dan aku ingin hidup tenang bermain bersama cucu,”
Terkesan nakal, tapi begitulah naluri manusia dewasa. Mereka memiliki birahi yang butuh disalurkan. Ayuda tahu perbuatannya membuat Jiwa semakin ingin menerkamnya. Namun, bukankah itu yang mereka inginkan? Ayuda memindai manik mata Jiwa, di sana terlihat penuh cinta, berbeda dengan tatapan mata pria itu saat pertama kali menyentuhnya. Tak ada perasaan hangat seperti ini, Jiwa bahkan mencekoki dirinya obat perangsang agar nafsunya tersalurkan tanpa perlu ikatan seperti saat ini. Jiwa membelai pipi Ayuda, mencium setiap bagian wajahnya seolah setiap incinya tak ingin terlewatkan untuk dia cicipi. Pria itu menghentikan sapuan bibir di hidung bangir sang istri, sorot matanya seolah meminta izin. “Bisakah aku bisa melakukannya jauh lebih dari ini.” Ayuda tersenyum tipis, tangannya menarik tengkuk Jiwa hingga bibir mereka kembali bertaut. Mereka sama-sama memejamkan mata, menyelami setiap perasaan cinta yang membara. Perlahan tangan Ayuda melonggar dan beralih membuka kancing kemeja Jiw
Dira masih berada di pelukan Ayuda, meski tak mau membalas pelukan saudaranya, tapi Dira menyandarkan kepala ke pundak ibunda Nala itu. Ia masih tergugu, tak menyangka satu orang datang lagi ke rumahnya dan masuk dengan wajah kebingungan. Aldi menjadi pusat perhatian semua orang, sampai Ayuda melonggarkan pelukan dan Dira memanggil dengan manja nama pria itu.“Mas Al!”“Ra, kenapa kamu menangis?” tanya Aldi bingung, dia hanya diberitahu Affandi akan datang, tapi jika tahu akan membuat calon istrinya menangis, tentu saja Aldi akan melarang. Alih-alih berada di sana tepat waktu, Aldi terjebak lampu merah beberapa kali.“Pak, ini bukan seperti yang Anda janjikan, bukankah ….”Aldi menjeda kata, Dira yang masih sesenggukan mendekat dan memberitahu Aldi kalau Affandi baru saja berkata akan menikahkannya.“Benarkah?” Aldi nampak bahagia. Ia raih tangan Affandi dan menggoyang-goyangkannya beberapa kali.Meski awalnya kesal, tapi Dira tertawa melihat kelakuan Aldi. Ayuda lega karena yakin Dir
Setelah Jiwa berangkat ke kantor, Ayuda tak langsung pergi ke rumah Dira. Ia malah berdiri di depan lemari baju, bingung memilih pakaian mana yang cocok dia kenakan untuk malam spesial yang Jiwa katakan tadi. Ayuda menekuk bibir ke dalam lalu memajukannya lagi, bunyi decapan lidahnya membuat bik Nini yang baru saja masuk untuk menata baju Nala keheranan.“Non, cari apa?”Ayuda menggeleng, wanita itu sedang berpikir mana mungkin memakai gaun yang sama di depan Jiwa. Apalagi dia sama sekali tidak memiliki satu pun baju tempur selain piyama satin yang sering dia pakai karena praktis saat menyusui Nala.“Seharusnya aku pergi shopping kemarin,”ucap Ayuda.Bik Nini tentu saja semakin heran, dia sejajari Nonanya itu dan kembali bertanya,”Non cari apa?”“Linger … “ Ayuda keceplosan, matanya melotot menoleh bik Nini dan melempar senyuman canggung.Pembantunya itu pun menarik sudut bibir, tersenyum aneh sambil menaikturunkan alis mata. Bik Nini berhasil membuat Ayuda merasa malu, dia pasti tahu
Sejak pagi, Jiwa terus saja menampakkan wajah riang. Ia memandangi sang istri yang sibuk melakukan tugas merawat putrinya seperti biasa. Jiwa membuat Ayuda salah tingkah setelah semalam wanita itu menjawab pertanyaannya dengan kata ‘ya’.“Apa sudah?”“Berhenti bertanya apa sudah – apa sudah,”amuk Ayuda. Pipinya merona merah karena Jiwa bersikap sangat agresif. “Aku mau bertemu papa dan Dira dulu, kamu cepat bersiap sana untuk pergi bekerja!”Jiwa tak menggubris ucapan Ayuda, dia malah melingkarkan tangan di pinggang wanita itu yang sedang menggendong putrinya.“Jiwa!” bentak Ayuda.“Malam ini aku akan memberi bonus ke Bik Nini untuk menjaga Nala, kita bisa pakai apartemenku untuk melakukan itu.”“Melakukan apa?” Ayuda dengan sengaja menggoyangkan pinggang untuk membuat Jiwa melepaskan tangan. Namun, pria itu terlalu kuat dan membuatnya berakhir pasrah karena Nala ada di pelukannya.“Jangan berpura-pura! aku tahu kamu tidak sepolos itu, bahkan saat tidur kamu sesekali nakal dengan meng