Share

Sayangnya, kau tidak bisa pulang.

"Nona ini mengalami Syok, Tuan Sergos." Jelas Dokter Edmund. 

Hector yang semula duduk menyandar pada kepala kursi yang berada di depan ranjang kini duduk tegak, kedua telapak tangannya bertaut dan menempel di bawah dagu, mengangguk mendengar penjelasan Edmund. 

"Kapan dia akan bangun?"  

"Keadaannya sudah membaik, mungkin sebentar lagi." 

Jawab Edmund sambil membereskan alat-alat miliknya. Kemudian berbalik dan berjalan ke arah Hector lalu menunduk sebagai tanda undur diri, berjalan keluar kamar dan menjauh. 

Hector kemudian memanggil Tiago yang berjaga di luar, menyuruhnya untuk masuk. Tiago menghampiri Hector dengan sebuah berkas yang ia genggam di tangannya. 

"Berikan padaku." 

Tiago segera menyerahkan berkas yang ia persiapkan sejak Hector memerintahkannya. Berkas yang berisi data diri wanita yang sedang terbaring di ranjang milik Tuannya. Ya, milik Tuannya. 

Tiago sempat kebingungan saat Tuannya langsung membawa masuk wanita dalam gendongannya ke dalam kamar pribadinya. Bagaimana mungkin Tiago tidak bisa heran melihatnya? Jelas-jelas karena Hector tidak pernah mengizinkan siapapun masuk ke dalam kamarnya selain Tiago. Itu pula dalam perintah dan izin Hector tentunya. 

Dalam kebingungannya, Tiago memperhatikan Hector yang sedang membuka dan membaca isi data diri wanita itu. Ia juga melihat Hector mengangguk kecil dan tersenyum miring sekilas. Bahkan sesekali mendengus kasar dan menipiskan bibirnya, terlihat sekali bahwa Hector sedang menahan kesal. 

"Ahh .., Xiana Eugene. Putri dari Hugh, si dermawan itu." 

Hector lalu menutup berkas yang sudah selesai dilihatnya. Menyerahkan kembali kepada Tiago, mengangkat tangannya sebagai tanda urusannya dengan Tiago sudah selesai. 

Tiago mengangguk dan berjalan mundur keluar meninggalkan Hector. Setelah pintu kamar tertutup dan menyisakan mereka berdua, Hector kembali menyandarkan punggungnya ke kepala kursi. Menyimpan kedua tangannya di kedua sisi kursi seraya menyilangkan satu kakinya. 

Memandang Xiana dengan tatapan datar dan dinginnya, hanya ia yang tahu apa yang sedang dipikirkannya. Pertanyaan-pertanyaan yang memenuhi otaknya harus terjawab, pertanyaan apakah benar wanita di depannya yang selama ini ia cari? 

Di sela-sela Hector yang sedang sibuk dengan pikirannya, ia melihat perlahan mata Xiana terbuka. Lalu bola mata yang pernah ia tatap di klub waktu itu kini sedang sibuk melihat sekeliling. 

"Bagaimana keadaanmu?"

Mendengar seseorang bersuara, Xiana langsung mengangkat kepalanya, melihat pria berkemeja hitam  yang mendominasi ruangan sedang menatapnya dingin. 

"K-kau? Kenapa aku bisa berada di sini?" Tanya Xiana kebingungan.

"Kau yang menghampiri kami," jawab Hector sambil mengangkat kedua alisnya percaya diri. 

Xiana semakin dibuat kaget karena jawaban itu, "apa maksudmu?" Tanyanya seraya duduk dan menatap galak lelaki di hadapannya. 

Hector tidak langsung menjawab, ia memberikan waktu kepada Xiana untuk memikirkan apa yang terjadi sebelum wanita itu tidak sadarkan diri. 

Tepat, beberapa detik kemudian Xiana langsung beringsut mundur, bergerak tidak jelas. Ketakutan. Mengingat kejadian yang ia lihat di basement tadi. 

"Kau 'kan, yang membunuh mereka?" Mata Xiana tiba-tiba berkaca-kaca, seiringan dengan dirinya yang merasa takut. 

"Bukan urusanmu." Tatapan Hector semakin tajam, menyipit memandang Xiana.

"Kau pantas masuk penjara!" Sentak Xiana setengah berteriak.

"Jaga bicaramu, Xiana Eugene." Suara Hector terdengar menyeramkan, lelaki itu mengeratkan rahang, menatap tajam Xiana. "Kau yang dengan berani menghampiri kami." 

Kening Xiana mengerut, "aku bukan menghampirimu, aku berniat pulang. Dan .., apa tadi? Kau tahu namaku dari mana?" Tanyanya heran. 

"Mudah bagiku mengetahui namamu. Namun sayangnya, kau harus tahu satu hal, tidak ada jalan keluar untukmu setelah mengetahui rahasia kami,  terlebih setelah kau masuk ke kawasanku."

Seketika dada Xiana naik turun mendengar itu, tidak mungkin dirinya sedang diculik, 'kan? Ia sering kali kesusahan untuk bernapas jika dalam keadaan panik. Namun entah kenapa malah Hector yang merasakan sesaknya melihat apa yang terjadi dengan Xiana. 

Wanita itu bahkan memegangi dadanya, pun tanpa sadar Hector mengangkat tangannya. Hampir saja Hector meletakkan tangan di dadanya seperti apa yang dilakukan Xiana, ia segera menahannya. Ia menyangkal lagi. Tidak mungkin itu juga benar? Tidak mungkin apa yang dirasakan belahan jiwanya ia rasakan juga.

Apa benar Xiana adalah belahan jiwanya? Hector masih tidak bisa mempercayainya.  

"Apa yang terjadi denganmu?" Hector bertanya dengan nada tergesa sambil menahan sesak di dadanya. 

"Aku ingin pulang," jawab Xiana cepat. Menatap Hector dengan tatapan memohon. 

"Tidak, aku tidak bisa menjamin kau bisa menjaga rahasia. Aku paling menghindari berurusan dengan polisi, walau sebenarnya aku bisa menyingkirkan mereka dengan mudah." Jawab Hector seraya mengatur gerak napasnya. 

"Lalu apa yang akan kau lakukan padaku? Sialan!" Xiana berteriak.

Tidak bisa, Xiana sudah tidak bisa menahan kegeramannya lagi. Pria di depannya benar-benar tidak masuk akal bagi Xiana. Apa dia tidak mengetahui siapa Xiana? Siapa orang tuanya? Jika pria ini tahu, pasti dia akan menyesal telah memperlakukannya seperti ini. 

Lagipula, orang tua Xiana pasti sudah panik mengetahui putrinya tidak pulang malam ini. Mereka pasti mengerahkan segala hal yang mereka punya untuk menemukan dirinya. Senyum tersungging kecil di bibir Xiana, akhirnya ia punya sedikit kepercayaan diri dan keberanian. 

"Aku tidak akan melakukan apa-apa, aku hanya ingin memastikan sesuatu." Kata Hector seraya berdiri, rasa sesaknya sudah hilang. Apalagi saat ia melihat keadaan Xiana juga perlahan membaik. 

Hector menatap Xiana sebentar sebelum ia hendak pergi, "aku harus pergi." Katanya sambil berlalu. Meninggalkan Xiana dalam keheningan, dalam keasingan. 

Melihat itu, Xiana langsung memegang kepalanya, mencekal rambutnya. Apa yang harus ia lakukan sekarang? ia benar-benar tidak tahu sedang berada di mana, ponselnya pun tidak ada di dekatnya. Ia tidak bisa menghubungi siapapun. Argh! Rasanya Xiana ingin mengacak-acak semua hal yang berada di dekatnya. 

Sedangkan di kediaman keluarga besar Joséphene, Valeria sedang dicecar dengan banyak pertanyaan. Wanita dengan keadaan berantakan karena tiba-tiba diseret oleh pengawal-pengawal yang diutus keluarga Hugh untuk dibawa ke-kediaman mereka itu sedang menangis. Antara khawatir karena tiba-tiba sahabatnya menghilang, atau karena ia merasakan ketakutan dengan Hugh Joséphene.

"Aku sungguh tidak tahu, Uncle. Maafkan aku, aku sudah lalai menjaga Xiana." Valeria menatap semua orang yang berada di sana, berusaha meyakinkan mereka. 

"Tapi Valeria," Margareth, selaku ibu Xiana bersuara dengan nada khawatir. "Apa yang kau tahu terakhir kali?" 

"Yang kuingat, Xiana berkata kepadaku dia akan merapikan diri ke kamar mandi. Setelah itu, aku tidak bertemu dengannya lagi, Aunty. Aku benar-benar tidak tahu. Kau harus percaya padaku." Valeria menggenggam tangan Margareth yang duduk di sampingnya. 

Wanita paruh baya yang masih terlihat anggun itu tersenyum lembut, ia balik menggenggam tangan Valeria. 

"Aku percaya padamu, Nak. Maafkan bawahan-bawahan kami yang membawamu dengan cara yang salah. Membuat pergelangan tanganmu membiru, kau harus diobati." Dengan lembut tatapan Margareth memandang luka itu dengan rasa bersalah. 

Ia bahkan memanggil ketua pelayan, Maia, untuk membawa Valeria. Menyuruhnya untuk mengobati sahabat putrinya itu. 

Di hadapannya, Hugh menghela napas kasar melihat betapa khawatirnya Margareth kepada Valeria. Hugh tidak bisa seperti itu, rasa khawatir pada putrinya lebih besar. Ia sudah menghubungi pihak kepolisian untuk menyelidiki hilangnya putri mereka. Sungguh, ia tidak bisa memaafkan dirinya jika Xiana sampai kenapa-kenapa.

"Habisi siapapun yang menyakiti anakku, Fredo. Jangan sampai kabar ini tercium media." Perintahnya pada kaki tangannya yang sedang berdiri di sampingnya. 

Fredo mengangguk, ia langsung pergi meninggalkan mereka untuk menjalankan tugasnya. Matanya menghunus tajam, kakinya melangkah lebar. Benar-benar seperti akan memangsa sesuatu. Pria berbadan besar dan tegap ini terkenal sangat kejam dan tidak mengenal kasih. Ia siap mati untuk Hugh, tuannya. Serta untuk Xiana, teman masa kecilnya. 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status