Mereka melanjutkan perjalanan dalam hujan. Air hujan membasahi tubuh Davin. Jingga merasa bersalah, tapi ia juga merasa terharu dengan pengorbanan pria itu untuknya.Akhirnya, mereka tiba di rumah. Jingga bergegas melepas jas hujan dan menatap khawatir pada Davin yang basah kuyup. Ia segera membawa Davin masuk ke dalam rumah setelah melepas jaket yang dikenakan suaminya itu.“Bik, gimana keadaan Oliver?” tanya Jingga saat berpapasan dengan Arum yang membukakan pintu—yang juga terkejut dan khawatir melihat kondisi Davin.“Den Oliver baru saja tidur setelah saya kasih susu, Bu. Sekarang ada di kamar.”Jingga mengangguk. Ia dan Davin masuk ke kamar utama. Saat Jingga akan membantu mengeringkan tubuh suaminya, pria itu cepat-cepat berkata dengan lembut, “Kamu cek dulu Oliver, ya? Aku bisa mengeringkan tubuhku sendiri.”“Aku nggak mau kamu sakit,” kata Jingga dengan khawatir sambil memegangi handuk.Davin tersenyum, menyentuh pipi Jingga dengan jemarinya yang terasa dingin. “Tenang saja, a
Pukul sebelas malam, Jingga baru berhasil menidurkan Oliver lagi setelah minum obat yang diberikan Dokter Indra tiga jam yang lalu. Saat bersama ibunya, Oliver memang tidak terlalu rewel, tapi selalu ingin ditemani.Jingga menggendong Oliver, memindahkannya dari kamarnya ke kamar utama.Begitu memasuki kamar tersebut, Jingga cukup heran melihat Davin sudah terlelap di atas kasur sambil bergelung selimut.Terdengar rintihan dan igauan Davin yang membuat Jingga merasa terkejut sekaligus khawatir.Lebih dulu Jingga menaruh Oliver ke dalam box bayi, lalu bergegas mendekati Davin dan duduk di sebelahnya.“Dave, kamu kenapa?” tanya Jingga lembut seraya mengusap pipi suaminya. Ia kaget karena suhu tubuh pria itu terasa tinggi. Tubuh Davin menggigil. “Ya Tuhan, kamu demam!”Jingga segera beranjak untuk mengambil obat penurun panas. Namun, igauan Davin kembali terdengar, membuat langkah Jingga terhenti di ambang pintu.“Jingga... jangan pergi... temani aku di sini.”Akhirnya, Jingga kembali du
Di satu sisi, Jingga merasa khawatir dengan kondisi suaminya. Namun, di sisi lain, sikap dan ucapan Davin membuat Jingga terperangah hingga ia nyaris tertawa. Selain terlihat seperti lelaki paling menderita, Davin juga terlihat seperti hari ini adalah hari terakhirnya tinggal di bumi. Jingga duduk kembali di samping Davin, tersenyum seraya mengusapkan jemari lentiknya di dagu pria itu. “Seluruh harta milik kamu itu nggak berarti buat aku, kalau nggak ada kamu dalam hidupku,” ujarnya, lembut. “Jadi jangan bicara aneh-aneh. Istirahat saja di sini, aku yakin nanti sore juga kondisi kamu akan kembali membaik.” Davin memaksakan dirinya untuk tersenyum, ia raih tangan Jingga dari dagunya dan mengecup telapak tangan itu. “Terima kasih, Sayang. Jangan pergi lama-lama. Selesai masak ke sini lagi.” Jingga mengangguk. Ia mengacak rambut suaminya sambil terkekeh pelan, sebelum akhirnya ia keluar dari kamar dan bergegas membuatkan sup untuk sarapan Davin dan MPASI untuk Oliver dibantu oleh Arum
Cahaya matahari yang menerobos masuk melalui jendela, berhasil membangunkan Jingga dari tidur lelapnya pagi itu. Namun, saat ia membuka mata, ia tidak melihat Davin di sisinya. Begitu pula dengan Oliver. Dan Jingga merasa kaget kala melihat waktu sudah menunjukkan pukul delapan pagi. “Aku kesiangan!” desis Jingga sambil buru-buru turun dari ranjang dan bergegas ke kamar mandi. Mungkin karena malam sebelumnya ia kurang tidur, jadi tadi malam ia benar-benar tertidur nyenyak. Oliver tidak rewel. Begitu juga ayahnya. Lima belas menit kemudian Jingga keluar dari kamar mandi dan mengganti pakaiannya. Ia terlebih dulu mencari kedua lelakinya ke kamar Oliver, tapi di kamar itu tampak kosong. Ke mana mereka? Samar-samar Jingga mendengar suara orang bercakap-cakap dari ruang tamu. Dengan penasaran, ia datang ke sana. Terlihat Davin sedang menggendong Oliver, duduk di sofa dengan Lucy yang duduk di hadapannya. “Mas, kamu yakin baik-baik saja?” Suara Lucy terdengar penuh kekhawatiran. “Dok
Davin memasuki ruang kreatif Jingga tanpa menimbulkan suara. Ia segera menempelkan jari telunjuk di bibirnya saat Arum akan menyapanya.Arum mengerti, ia hanya mengangguk dan mengalihkan perhatian Oliver pada mainan di hadapannya. Oliver tidak menyadari kedatangan ayahnya, sebab jika tahu, anak itu pasti akan berteriak memanggil-manggil ‘papa’.Davin mendekati Jingga yang sedang duduk di depan kanvas dengan posisi membelakanginya. Jemari wanita itu tengah menggoreskan pensil, membuat sketsa pada kanvas. Jendela besar di hadapannya memperlihatkan taman kecil di rooftop.“Selamat sore, Sayang,” bisik Davin seraya mengecup pipi Jingga dari belakang.Seketika, Jingga berjengit. Ia menurunkan tangannya, menoleh dan menghela napas lega kala melihat Davin. “Kamu bikin aku kaget, tahu?”“Maaf. Aku sengaja melakukannya untuk memberimu kejutan.” Davin tetap merundukan badan di belakang Jingga dan mencium puncak kepalanya.Lantas Davin menyerahkan setangkai bunga mawar merah yang sejak tadi ia s
Jingga merasakan darahnya mendidih. Pikirannya berkecamuk saat ia mendengar ucapan wanita tersebut. Cemburu mulai merayapi hatinya meski Davin yang mereka maksud belum tentu Davin suaminya.“Davin? Laki-laki yang kita lihat barusan? Yang bersama anak kecil dan perempuan tua yang seperti pembantunya itu?”“Iya.”Jingga seketika lupa bagaimana caranya bernapas. Ternyata benar. Davin yang mereka maksud adalah suaminya. Sedangkan wanita tua mungkin maksudnya Arum.Jingga mengurungkan dirinya untuk keluar dari bilik toilet dan memilih mendengarkan percakapan mereka.“Dulu dia sering datang ke club-nya Danish, hampir setiap malam.” Terdengar suara air mengucur dari keran saat wanita itu bicara. “Kamu tahu nggak? Dia jadi idaman di sana. Banyak wanita yang berusaha dan bermimpi naik ke ranjang dia.” Wanita itu terkekeh-kekeh.“Terus? Dia meniduri semua perempuan itu?”“Nggak. Cuma yang memenuhi spesifikasi dia saja yang dipilih. Seperti aku?”“Ya... ya... aku percaya. Kamu nggak perlu diragu
Davin merasakan darahnya berhenti mengalir saat melihat tatapan dingin istrinya. Sungguh, ia amat berharap bahwa Jingga tidak mendengar percakapannya dengan wanita yang samar-samar ia kenali di hadapannya itu. Namun, harapan Davin sia-sia. Dilihat dari raut muka dan tatapan tajamnya, jelas jika Jingga mendengar apa yang wanita itu ucapkan barusan.“Sayang?” gumam Davin dengan leher yang terasa tercekik.Jingga menatap Davin dan wanita itu, bergantian. Lalu menatap Davin lagi sambil berkata, “Kalau ngobrolnya sudah selesai, sebaiknya kita pulang.”“Tunggu!” ucap wanita berdada besar itu dengan cepat, membuat Jingga mengurungkan niat untuk pergi. “Kamu... yang tadi di toilet itu, ‘kan? Jadi kamu istrinya Davin?”“Kalian berdua bertemu di toilet?” Raut muka Davin tampak tegang sekaligus kebingungan. Sekarang, ia mengerti apa yang membuat mood Jingga tiba-tiba berubah setelah kembali dari toilet tadi.“Benar,” jawab Jingga pada wanita itu dengan senyuman samar. “Saya istrinya Davin. Terim
Waktu sudah menunjukkan pukul dua belas malam, tapi kantuk tak kunjung menyerang. Setiap kali Jingga berusaha memejamkan mata, imajinasinya berkeliaran, terbayang di benaknya bagaimana pria yang ia cintai menyentuh wanita lain dengan panas. Membuat hati Jingga terasa semakin terbakar, amarah membuat jantungnya berdetak cepat. Jingga berusaha meyakinkan dirinya, bahwa hal itu terjadi di masa lalu sebelum ia dan Davin menjadi pasangan suami istri yang ‘sesungguhnya’. Namun, tetap saja Jingga sulit mengendalikan perasaan cemburu itu. Saat Jingga duduk memeluk lutut sambil bersandar pada headboard ranjang, tiba-tiba terdengar pintu kamar putranya itu diketuk dari luar. Awalnya Jingga tidak ingin menghiraukan. Ia sudah bisa menebak bahwa orang di luar sana pastilah Davin. Namun, karena Jingga tidak ingin suara ketukan pintu yang tak berhenti itu membangunkan Oliver, alhasil ia membuka pintu dengan terpaksa. Dugaannya tidak meleset. Terlihat Davin berdiri di depan pintu dengan rambut a
“Nama yang bagus...,” gumam Oliver tanpa sadar. Ia berdehem saat menyadari ucapannya terlalu berlebihan. “Gue tunggu pertandingan kita nanti. Cepat sehat.” Oliver menepuk bahu gadis itu. “Gue harus pergi sekarang.” Setelah mengatakan kalimat tersebut, Oliver pergi meninggalkan gadis—yang masih mematung itu, sambil berlari menuju sebuah mobil SUV di seberang sana. Zara masih terdiam. Mencerna apa yang baru saja terjadi kepadanya. Ia meraba dadanya sendiri, berdetak kencang. Oh, tentu Zara tahu siapa cowok itu. Dia Oliver William, seorang pemain basket populer yang dikagumi banyak cewek. “Jadi dia cowok yang diceritain Yara?” gumam Zara seraya menghela napas panjang. Ada rasa iri sekaligus rasa bersalah, yang bergelayut di dalam hatinya. “Dia cowok populer. Kenapa bisa Yara nggak tahu nama Oliver?” Zara melanjutkan langkah menuju halte bus. Sepanjang perjalanan menuju rumah, ia terdiam, melamun menatap jendela bus, memikirkan apa yang harus ia lakukan setelah ini? Ia tahu tenta
“Hey! Tunggu!” teriak Oliver.Itu dia, pikirnya. Dia gadis yang selama ini Oliver cari!Oliver berlari, menyeberangi jalan ke sekolah seberang, lalu menyusul seorang gadis berambut sebahu yang sedang berjalan sendiri—dan tampaknya tidak mendengar teriakan Oliver barusan.“Kamu yang di sana! Tunggu! Berhenti di situ!” seru Oliver lagi dengan nada memerintah sekaligus penuh permohonan.Namun, gadis itu tetap berjalan, tanpa menoleh ke belakang.Oliver berlari semakin kencang, mendekati gadis itu dan menghadang langkahnya, membuat langkah gadis itu seketika terhenti.“Akhirnya....” Oliver tersenyum dengan napas tersengal-sengal, sebab gadis di hadapannya adalah orang yang tepat. Orang yang selama ini ia cari.Gadis itu mengerjap, terpana menatap wajah Oliver. “Lo... bicara sama gue?”“Apa menurut lo gue lagi bicara sama hantu?” Oliver mendengus, lalu tersenyum kikuk. “Gue cari-cari lo. Ke mana aja lo selama ini? Jangan lo kira lo bisa kabur, ya! Pertandingan basket kita belum selesai. At
Oliver kembali melanjutkan perjalanannya menuju halte bus. Ia berjalan tanpa arah yang jelas, seolah-olah berharap bisa menemukan gadis itu lagi di tengah keramaian yang lalu lalang di sekitarnya.Namun, yang ia temukan hanya kerumunan orang yang sibuk dengan urusan masing-masing, tanpa ada tanda-tanda kehadiran gadis yang dicari.Saat tiba di halte bus, Oliver merasa perasaannya campur aduk.Di satu sisi, ia merasa lega karena tidak perlu menghadapi gadis itu lagi—tidak perlu berurusan dengan perasaan aneh yang mengganggu dirinya.Namun, di sisi lain, ada rasa kecewa yang menggigit, karena dalam hatinya, Oliver tahu bahwa pertemuan itu telah meninggalkan bekas yang tak terhapuskan.Bus yang ia tunggu akhirnya datang. Dengan enggan, Oliver naik ke dalamnya dan duduk di kursi dekat jendela. Ia menatap ke luar, melihat kota yang terus bergerak di luar sana, tetapi pikirannya terus berputar pada sosok gadis yang tak bisa ia lupakan.“Gue beneran gila, ya?” Oliver menghela napas panjang,
Oliver berdiri di depan gerbang sekolahannya. Meski enggan mengakui ini, tapi saat ini matanya sedang mengamati para siswi yang keluar dari gerbang sekolah seberang. Ia mencari-cari sosok yang akhir-akhir ini tidak asing lagi bagi Oliver.Karena kendaraan yang berlalu lalang dan mengantre di jalan menghalangi pemandangannya, Oliver akhirnya memutuskan pergi ke gerbang sekolah di seberangnya itu.Ia sendiri pun tidak tahu mengapa ingin bertemu lagi dengan gadis itu, setelah hampir satu bulan lebih mereka tidak pernah bertemu, sejak terakhir kali mereka berpisah di bawah hujan.“Maaf, kalian kenal siswi yang namanya... em... Atika?” tanyanya tak yakin. “Atau Atira. Eh... atau Anita?”Dua siswi yang ditanya Oliver saling bertukar pandangan. Salah satu dari mereka menjawab, “Kami baru kelas satu, Kak. Maaf, kami nggak kenal mereka.”“Sebenarnya orangnya cuma satu, tapi aku nggak tahu siapa nama dia yang pastinya,” jawab Oliver seraya menggaruk tengkuk.“Atau Kakak bisa coba tanya ke Kakak
Pagi itu, suasana kelas begitu riuh dengan canda tawa para siswa. Yara dengan rambutnya yang diikat ekor kuda, duduk di bangkunya sambil bercerita kepada teman-temannya tentang mimpi lucu yang ia alami semalam. Senyum ceria tak pernah lepas dari wajahnya, membuat suasana di sekitarnya selalu terasa lebih hidup.Tiba-tiba, suara langkah kaki terdengar mendekat, dan pintu kelas terbuka perlahan. Ibu Santi, guru kelas mereka yang dikenal ramah tetapi tegas, masuk ke dalam kelas dengan senyuman hangat.“Selamat pagi, Anak-anak!”“Selamat pagi, Bu....!”“Bisa tenang sebentar? ada yang ingin Ibu sampaikan."Seluruh kelas seketika hening, dan semua mata tertuju pada Ibu Santi. Yara yang duduk di barisan tengah, menyandarkan tubuhnya ke kursi dengan penuh rasa penasaran.Tatapan Ibu Santi lantas tertuju pada Yara dengan senyuman lembut. "Yara, Ibu punya kabar baik untukmu."Yara mengerjap, bingung sekaligus antusias. Ia teringat dengan pesan dari Ibu Santi tadi malam. Apakah ini yang dimaksud
“Hey! Nama lo siapa?!” Gadis itu mendengar seruan pemuda yang tak ia ketahui namanya. Ia menoleh sambil berlari dan memayungi kepalanya menggunakan jaket laki-laki itu.“Yara!” serunya, menyebutkan namanya. “Yara Vianca Zettira!” Yara melompat naik ke dalam bis dan menempati salah satu kursi yang kosong. Ia merasakan jantungnya berdetak kencang. Pipinya memanas. Kejadian barusan di tempat berteduh membuatnya merasakan sensasi aneh di dalam hatinya, yang baru kali ini Yara rasakan. Rasanya aneh, tapi menyenangkan. Tanpa sadar Yara mengulum senyum sambil melipat jaket lelaki itu yang sedikit basah. Tercium aroma parfum yang tidak pasaran. Sepertinya itu parfum mahal, pikirnya. “Ada apa, Neng? Kenapa senyum-senyum sendiri?” tanya sang ibu, setibanya Yara di halaman rumahnya beberapa lama kemudian. Hujan sudah berhenti. Yara terkejut. “Eh? Ibu....” Ia berdehem, menyembunyikan jaket itu di belakang punggung dan mencium tangan ibunya yang tengah menyapu daun-daun yang berjatuhan ke ter
Setelah pulang sekolah, Oliver memutuskan untuk berjalan kaki. Ia sempat mengirim pesan pada Pak Dodi agar menjemputnya di sebuah cafe. Sore ini, Oliver ingin menghabiskan waktu sendirian di cafe tersebut sebelum pulang ke rumah. Saat sedang berjalan di trotoar, tanpa sengaja matanya menangkap sosok yang cukup familiar akhir-akhir ini. Dia gadis yang kemarin bermain basket dengannya, di lapangan sekolah seberang, sedang berjalan kaki di depannya, menuju halte bus. Oliver melihat gadis itu sesekali menendang batu kerikil, tangannya mengusap tanaman yang ia lewati, atau berlari sambil melompat-lompat ringan seperti anak kecil. Seolah-olah berjalan tanpa melakukan apapun akan membuatnya gelisah. Oliver mendengus pelan, entah mengapa ia merasa terhibur dengan menatap tingkah laku gadis itu. Aneh, pikirnya. Akhir-akhir ini ia sering—walau hanya tiga kali, bertemu dengan gadis tersebut tanpa sengaja. Tiba-tiba, hujan gerimis mulai turun. Oliver mengenakan jaketnya yang semula ia sim
Oliver berdiri di depan pagar sekolahnya, sedang menunggu Pak Dodi yang katanya sedang terjebak macet. Tanpa sengaja, tatapannya tertuju pada sekolah yang ada di seberangnya. Seorang cewek yang sedang bermain basket sendirian mencuri perhatiannya. Ia memperhatikan setiap tembakan cewek itu dan... tanpa sengaja, sebuah senyum kecil muncul di wajahnya. Gadis itu tampak handal bermain basket. Dan jauh di dalam hati, Oliver merasa terpukau dengan setiap tembakan gadis itu. Namun, saat menyadari siapa sebenarnya gadis yang sedang bermain basket tersebut, sebuah senyuman jahil terukir di bibirnya. “Gaya tembakan lo itu kayak orang baru belajar basket!” teriaknya dengan nada mengejek, cukup keras hingga terdengar sampai ke lapangan di seberang. Mendengar teriakan Oliver, cewek itu terhenti, menoleh dengan alis terangkat. Ia mendapati seorang cowok dengan postur tegap dan senyum yang sangat mengganggu di wajahnya. Mata gadis itu terbelalak kala melihat siapa lelaki itu. Dia lelaki men
“Aku yang duluan datang ke sini, Kak. Siapa yang datang duluan dia yang—“ “Tapi gue yang duluan pesan!” sela Oliver, menghentikan kata-kata gadis itu—yang langsung menoleh menatapnya dengan sengit. “Nggak bisa begitu dong! Gue yang datang duluan. Itu kue buat gue!” “Lo kayaknya cuma baru lihat-lihat doang,” timpal Oliver tak mau kalah. “Terus gue dateng dan gue yang pesan duluan.” Keduanya saling berebut red velvet cake itu tanpa ada yang mau mengalah. Hingga akhirnya seorang pria tua yang sejak tadi duduk di bangku dekat jendela dan mendengarkan pertengkaran mereka, berbicara, “Kalian bagi dua saja kuenya, atau makan bersama-sama.” Setelah mendengar saran dari pria tua itu, terang saja Oliver tidak setuju, dan gadis itu pun demikian.Namun, karena red velvet cake tersebut adalah kue favorit Oliver—dan tampaknya begitu pula dengan gadis yang entah siapa namanya itu, akhirnya mereka berdua sepakat untuk membagi dua kuenya. Sang pelayan memberikan dua piring berisi kue yang sudah