Pukul sebelas malam, Jingga baru berhasil menidurkan Oliver lagi setelah minum obat yang diberikan Dokter Indra tiga jam yang lalu. Saat bersama ibunya, Oliver memang tidak terlalu rewel, tapi selalu ingin ditemani.Jingga menggendong Oliver, memindahkannya dari kamarnya ke kamar utama.Begitu memasuki kamar tersebut, Jingga cukup heran melihat Davin sudah terlelap di atas kasur sambil bergelung selimut.Terdengar rintihan dan igauan Davin yang membuat Jingga merasa terkejut sekaligus khawatir.Lebih dulu Jingga menaruh Oliver ke dalam box bayi, lalu bergegas mendekati Davin dan duduk di sebelahnya.“Dave, kamu kenapa?” tanya Jingga lembut seraya mengusap pipi suaminya. Ia kaget karena suhu tubuh pria itu terasa tinggi. Tubuh Davin menggigil. “Ya Tuhan, kamu demam!”Jingga segera beranjak untuk mengambil obat penurun panas. Namun, igauan Davin kembali terdengar, membuat langkah Jingga terhenti di ambang pintu.“Jingga... jangan pergi... temani aku di sini.”Akhirnya, Jingga kembali du
Di satu sisi, Jingga merasa khawatir dengan kondisi suaminya. Namun, di sisi lain, sikap dan ucapan Davin membuat Jingga terperangah hingga ia nyaris tertawa. Selain terlihat seperti lelaki paling menderita, Davin juga terlihat seperti hari ini adalah hari terakhirnya tinggal di bumi. Jingga duduk kembali di samping Davin, tersenyum seraya mengusapkan jemari lentiknya di dagu pria itu. “Seluruh harta milik kamu itu nggak berarti buat aku, kalau nggak ada kamu dalam hidupku,” ujarnya, lembut. “Jadi jangan bicara aneh-aneh. Istirahat saja di sini, aku yakin nanti sore juga kondisi kamu akan kembali membaik.” Davin memaksakan dirinya untuk tersenyum, ia raih tangan Jingga dari dagunya dan mengecup telapak tangan itu. “Terima kasih, Sayang. Jangan pergi lama-lama. Selesai masak ke sini lagi.” Jingga mengangguk. Ia mengacak rambut suaminya sambil terkekeh pelan, sebelum akhirnya ia keluar dari kamar dan bergegas membuatkan sup untuk sarapan Davin dan MPASI untuk Oliver dibantu oleh Arum
Cahaya matahari yang menerobos masuk melalui jendela, berhasil membangunkan Jingga dari tidur lelapnya pagi itu. Namun, saat ia membuka mata, ia tidak melihat Davin di sisinya. Begitu pula dengan Oliver. Dan Jingga merasa kaget kala melihat waktu sudah menunjukkan pukul delapan pagi. “Aku kesiangan!” desis Jingga sambil buru-buru turun dari ranjang dan bergegas ke kamar mandi. Mungkin karena malam sebelumnya ia kurang tidur, jadi tadi malam ia benar-benar tertidur nyenyak. Oliver tidak rewel. Begitu juga ayahnya. Lima belas menit kemudian Jingga keluar dari kamar mandi dan mengganti pakaiannya. Ia terlebih dulu mencari kedua lelakinya ke kamar Oliver, tapi di kamar itu tampak kosong. Ke mana mereka? Samar-samar Jingga mendengar suara orang bercakap-cakap dari ruang tamu. Dengan penasaran, ia datang ke sana. Terlihat Davin sedang menggendong Oliver, duduk di sofa dengan Lucy yang duduk di hadapannya. “Mas, kamu yakin baik-baik saja?” Suara Lucy terdengar penuh kekhawatiran. “Dok
Davin memasuki ruang kreatif Jingga tanpa menimbulkan suara. Ia segera menempelkan jari telunjuk di bibirnya saat Arum akan menyapanya.Arum mengerti, ia hanya mengangguk dan mengalihkan perhatian Oliver pada mainan di hadapannya. Oliver tidak menyadari kedatangan ayahnya, sebab jika tahu, anak itu pasti akan berteriak memanggil-manggil ‘papa’.Davin mendekati Jingga yang sedang duduk di depan kanvas dengan posisi membelakanginya. Jemari wanita itu tengah menggoreskan pensil, membuat sketsa pada kanvas. Jendela besar di hadapannya memperlihatkan taman kecil di rooftop.“Selamat sore, Sayang,” bisik Davin seraya mengecup pipi Jingga dari belakang.Seketika, Jingga berjengit. Ia menurunkan tangannya, menoleh dan menghela napas lega kala melihat Davin. “Kamu bikin aku kaget, tahu?”“Maaf. Aku sengaja melakukannya untuk memberimu kejutan.” Davin tetap merundukan badan di belakang Jingga dan mencium puncak kepalanya.Lantas Davin menyerahkan setangkai bunga mawar merah yang sejak tadi ia s
Jingga merasakan darahnya mendidih. Pikirannya berkecamuk saat ia mendengar ucapan wanita tersebut. Cemburu mulai merayapi hatinya meski Davin yang mereka maksud belum tentu Davin suaminya.“Davin? Laki-laki yang kita lihat barusan? Yang bersama anak kecil dan perempuan tua yang seperti pembantunya itu?”“Iya.”Jingga seketika lupa bagaimana caranya bernapas. Ternyata benar. Davin yang mereka maksud adalah suaminya. Sedangkan wanita tua mungkin maksudnya Arum.Jingga mengurungkan dirinya untuk keluar dari bilik toilet dan memilih mendengarkan percakapan mereka.“Dulu dia sering datang ke club-nya Danish, hampir setiap malam.” Terdengar suara air mengucur dari keran saat wanita itu bicara. “Kamu tahu nggak? Dia jadi idaman di sana. Banyak wanita yang berusaha dan bermimpi naik ke ranjang dia.” Wanita itu terkekeh-kekeh.“Terus? Dia meniduri semua perempuan itu?”“Nggak. Cuma yang memenuhi spesifikasi dia saja yang dipilih. Seperti aku?”“Ya... ya... aku percaya. Kamu nggak perlu diragu
Davin merasakan darahnya berhenti mengalir saat melihat tatapan dingin istrinya. Sungguh, ia amat berharap bahwa Jingga tidak mendengar percakapannya dengan wanita yang samar-samar ia kenali di hadapannya itu. Namun, harapan Davin sia-sia. Dilihat dari raut muka dan tatapan tajamnya, jelas jika Jingga mendengar apa yang wanita itu ucapkan barusan.“Sayang?” gumam Davin dengan leher yang terasa tercekik.Jingga menatap Davin dan wanita itu, bergantian. Lalu menatap Davin lagi sambil berkata, “Kalau ngobrolnya sudah selesai, sebaiknya kita pulang.”“Tunggu!” ucap wanita berdada besar itu dengan cepat, membuat Jingga mengurungkan niat untuk pergi. “Kamu... yang tadi di toilet itu, ‘kan? Jadi kamu istrinya Davin?”“Kalian berdua bertemu di toilet?” Raut muka Davin tampak tegang sekaligus kebingungan. Sekarang, ia mengerti apa yang membuat mood Jingga tiba-tiba berubah setelah kembali dari toilet tadi.“Benar,” jawab Jingga pada wanita itu dengan senyuman samar. “Saya istrinya Davin. Terim
Waktu sudah menunjukkan pukul dua belas malam, tapi kantuk tak kunjung menyerang. Setiap kali Jingga berusaha memejamkan mata, imajinasinya berkeliaran, terbayang di benaknya bagaimana pria yang ia cintai menyentuh wanita lain dengan panas. Membuat hati Jingga terasa semakin terbakar, amarah membuat jantungnya berdetak cepat. Jingga berusaha meyakinkan dirinya, bahwa hal itu terjadi di masa lalu sebelum ia dan Davin menjadi pasangan suami istri yang ‘sesungguhnya’. Namun, tetap saja Jingga sulit mengendalikan perasaan cemburu itu. Saat Jingga duduk memeluk lutut sambil bersandar pada headboard ranjang, tiba-tiba terdengar pintu kamar putranya itu diketuk dari luar. Awalnya Jingga tidak ingin menghiraukan. Ia sudah bisa menebak bahwa orang di luar sana pastilah Davin. Namun, karena Jingga tidak ingin suara ketukan pintu yang tak berhenti itu membangunkan Oliver, alhasil ia membuka pintu dengan terpaksa. Dugaannya tidak meleset. Terlihat Davin berdiri di depan pintu dengan rambut a
Meski hanya tidur sekitar dua jam tadi malam, tapi hal itu tidak mengurangi ketampanan Davin pagi ini. Hanya saja ekspresinya tampak tegang dan suram. Vincent segera menyadari bahwa suasana hati bosnya itu pasti sedang buruk.Gawat!Davin memasuki ruang rapat dan melemparkan pandangannya ke meja. Matanya langsung tertuju pada tumpukan laporan yang dicetak di kertas putih. Ia mengembuskan napas kasar."Siapa yang mencetak laporan ini?" tanya Davin dengan suara dingin dan tatapan tajam.Karyawan di ruang rapat saling bertukar pandang, merasa bingung dan cemas. Mia, sekretarisnya, segera berdiri dan menjawab dengan tenang."Saya, Pak. Apakah ada yang salah dengan laporan tersebut?""Apa kamu tidak melihat ada yang sangat salah di sini? Kenapa kertasnya putih, bukan biru seperti biasanya?" Suara Davin setengah membentak, membuat Mia terkejut sekaligus bingung.Mia lantas mencoba menjelaskan dengan hati-hati. "Maaf, Pak. Kami kehabisan kertas biru, jadi kami menggunakan kertas putih untuk